raranotruru

Panji mengusap wajahnya gusar. Tubuhnya itu berguling kesana dan kemari di atas kasur empuk berbalut sprei berwarna abu-abu. Diliriknya jam digital yang memancar memberi tahu waktu melalui layar ponsel canggihnya. Pukul setengah dua pagi, kedua mata Panji masih segar seakan disiram oleh air dingin. Belum digandrungi kantuk sama sekali.

Gara-gara Kiara mengiriminya pesan tadi, Panji jadi tidak bisa tidur. Ia memikirkan segala sesuatu yang menyangkut dirinya dan Kiara.

Beban yang sejak dulu menghimpit hatinya hingga membuatnya pecah berkeping-keping itu, masihkah di sana?

Isi kepalanya yang dulu selalu dikuasai oleh Kiara, memutar semua rekaman memorinya dengan Kiara setiap kali dirinya melihat lokasi yang pernah keduanya kunjungi, masihkah sama?

Sudah hampir dua bulan Panji menghabiskan waktu liburnya di kampung halaman. Kembali bercengkerama dengan segala hal yang ia tinggalkan di masa lalunya. Namun, kalau dipikir-pikir, sudah lama pula rasanya Panji mengabaikan segala hal tentang hubungan Kiara dan Juna. Hatinya pun rasanya sudah lama hampa. Tak ada lagi degupan kencang ketika telinganya mendengar nama Kiara, tak ada lagi rasa cintanya yang mengalir begitu deras untuk seorang Kiara.

Yang menjadi pertanyaan Panji adalah—apakah sudah benar-benar hilang, atau hanya bersembunyi di suatu tempat dalam relung hatinya?

Pikirannya kini bergulir pada seseorang lain yang belakangan ini sering berurusan dengannya. Tanpa disadari sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah lengkungan. Galuh, seseorang yang berhasil membuat Panji memusatkan pandangan padanya. Menjadikan Galuh seakan-akan poros tempat dunianya berputar. Galuh dan Kiara adalah dua orang yang sama cantiknya. Namun entah mengapa Panji merasakan ada sesuatu yang berbeda dari kecantikan yang bersemayam dalam diri Galuh.

Senyuman Panji luntur. Cukupkah itu untuk memikat hatinya yang sudah lama terpaut pada Kiara? Bisakah Galuh mengambil alih daerah kekuasaan Kiara dalam hatinya? Benarkah ia menyukai Galuh?

“Ah, pusing amat dah mikirin ginian!” umpat Panji. Pria itu memutuskan bangkit dan menyugar rambutnya yang sudah berantakan. Mengusap wajahnya sekali lagi, Panji memilih untuk berjalan menuju balkon kamarnya. Mencari udara segar yang siapa tahu dapat menyegarkan pikirannya, juga menenangkan hatinya.

Kepalanya sontak tertoleh kala ia mendengar suara perempuan dari suatu tempat yang tak jauh. Sebelah alisnya terangkat ketika menangkap sosok Galuh dengan piyama biru muda berlengan panjang yang membalut tubuhnya. Gadis itu juga terlihat sedang bersandar pada teralis balkon rumahnya seraya sebelah tangannya menempelkan ponselnya pada telinga, entah berbincang dengan siapa di seberang sana.

Panji pun memilih diam dan memperhatikan. Tak ingin mengganggu perbincangan Galuh. Setelah gadis itu menutup teleponnya, barulah Panji menyapanya.

“Sst sst!” ucapnya lumayan keras hingga terdengar pada Galuh yang tinggal di sebelah rumahnya. Balkon keduanya pun cukup dekat. Bahkan rasanya Panji dapat hanya loncat jika ingin mengunjungi Galuh ke rumahnya.

Galuh terlonjak, sekon berikutnya gadis itu pun tersenyum ramah setelah mengetahui Panji-lah yang memanggilnya. “Hai! Kok belom tidur?”

Galuh berjalan mendekat ke arah balkon rumahnya yang bersebelahan dengan milik Panji, membuat keduanya dapat berbicara dengan satu sama lain dalam jarak yang lebih dekat agar tak perlu berteriak sehingga mengganggu yang lain. Mengingat ini sudah dini hari, semua orang pasti sedang terlelap beristirahat dari hari yang penat.

Panji balas tersenyum, pemuda itu pun balas berjalan mendekati Galuh, “Tau, nih. Nggak bisa tidur. Lo abis ngapain?”

Galuh menunjukkan ponselnya pada Panji, “Ini, abis teleponan sama temen gue. Curhat dia, abis diputusin cowoknya.”

“Jam segini?” tanya Panji terkejut.

Galuh mengangguk pelan seraya terkekeh, “Jam segini.”

Mendadak Galuh teringat sesuatu, “Eh, lo kapan balik ke Yogya?”

“Minggu depan, Gal,” jawab Panji.

Kedua bola mata Galuh sedikit membulat, “Oh? Cepet ya.. nggak kerasa.”

Setelahnya gadis itu menunduk. Dan Panji dapat dengan jelas menangkap kekecewaan datang dari Galuh. Ah, andai gadis itu tahu. Panji pun rasanya ingin membekukan waktu untuk tinggal dalam momen ini selamanya. Entah mengapa rasanya Panji yang selalu enggan pulang itu kali ini justru tak ingin meninggalkan rumahnya lagi meskipun harus.

Panji terkekeh, “Iya, ya? Nggak berasa tiba-tiba udah harus balik lagi. Mungkin karena kitanya nikmatin waktu, jadi nggak berasa.”

Galuh hanya membalasnya dengan seulas senyum serta anggukan kecil. “Kenapa sih lagian lo nggak pulang-pulang? Kasian Tante Tiur kesepian, kangen sama anaknya.”

“Ah itu.. yaa, ada lah. Personal reasons aja,” balas Panji. “Lo kok bisa deket banget sama Mama?”

“Ah itu.. yaa, ada lah. Personal reasons aja,” canda Galuh, mengulangi perkataan Panji barusan. Keduanya kemudian terkekeh bersama.

“Awalnya ya karena mama lo duluan, Tante Tiur baik banget semenjak awal kepindahan gue ke sini. Beliau yang paling sering bantu dan mastiin apakah gue butuh sesuatu. Tante Tiur juga paling sering bagi lauk masakannya ke gue, sering ngajak gue makan siang bareng juga. Ya.. karena itu tadi, sebenernya mama lo kesepian,” jelas Galuh pada akhirnya. “Waktu itu gue nggak sengaja liat mama lo ngelamun di depan teras, sering banget kayak gitu, Ji. Akhirnya waktu gue mau pergi beli tanaman, gue ajak deh. Eh, ternyata beliau suka juga. Ya udah deh, dari situ kita nyambung.”

Panji manggut-manggut, “I see. Makasih ya, Gal, udah nemenin Mama. Maaf kalo Mama jadi banyak ngerepotin lo. Besok-besok kalo Mama nitip tanaman lagi, bilang aja ke gue. Biar gue ganti.”

Galuh menggeleng pelan seraya bibirnya menampilkan seulas senyum. “Nggak usah, Ji. Tante Tiur sama sekali nggak pernah ngerepotin gue, kok. Gue malah yang sering ngerepotin beliau. Jadi, lo tenang aja. Apa yang gue lakuin untuk mama lo itu hasil dari keringanan tangan beliau juga yang nolongin gue setiap hari.”

Ah, dengar itu. Jawaban Galuh berhasil memantik sebuah kehangatan dalam dada pemuda di hadapannya. Membuat Panji tak lagi dapat menahan sudut bibirnya yang berkedut. Lagi-lagi pemuda itu terpana. Sudah Panji katakan sebelumnya, ada sesuatu yang berbeda tersimpan dalam kecantikan Galuh.

Thank you, Gal,” ucap Panji tulus.

Hening menyelimuti seiring keduanya memilih untuk diam. Baik Panji dan Galuh sama-sama mendongak, memilih untuk melihat ke arah bulan yang memancar terang dari langit gelap. Seakan menyaksikan keduanya bercengkerama dari singgasananya. Selang beberapa menit, barulah Panji membuka suaranya.

“Gue tuh sebenernya bukan nggak mau pulang, Gal. Tapi karena—”

“Kiara?” potong Galuh.

“Hah?”

Galuh mengembuskan napasnya seraya tersenyum miring menjawab keterkejutan sekaligus kebingungan Panji. “Juna cerita semuanya sama gue, Ji. Mungkin dia tau gue bingung waktu liat ada kecanggungan antara lo sama Kiara, makanya dia cerita. Udah lama sih, dari waktu kita temu kangen di rumah lo,” jelas Galuh.

“Maaf ya, Ji, kalo candaan atau omongan gue ada yang bikin luka lama lo jadi kerasa lagi. Waktu itu gue bener-bener nggak tau,” ucap Galuh lagi.

Panji mengerjapkan matanya. Sesaat kemudian ia mengibaskan tangannya di depan wajah, “Nggaak, nggak pa-pa, Gal. Gue ngerti kok lo nggak tau. Santai aja, santai!”

Setelahnya Panji terkekeh, entah menertawakan dirinya sendiri atau ekspresi Galuh yang panik seketika. “Pengecut banget ya, gue?”

Kini giliran Galuh yang mengerutkan keningnya, “Kenapa?”

“Kabur dari masalah,” balas Panji lesu.

Alih-alih menyetujui, Galuh justru menertawakan jawaban Panji. Membuat pemuda itu menoleh cepat ke arahnya. Sadar sedang ditatap oleh Panji, Galuh menghentikan tawanya. “Sorry,” ucap Galuh.

“Enggak kok, bukan pengecut,” Galuh berbicara lagi. “Emang ada masanya kok kita perlu jauh-jauh dulu dari apa yang bikin kita marah, sakit hati, kecewa. Kalo kata anak sekarang, healing.”

Panji ikut tergelak mendengar jawaban Galuh. “Bukan pengecut selama lo masih balik lagi ke sini, Ji. Gue tau pasti nggak gampang buat lo pulang, tapi lo berhasil pulang,” ucap Galuh seraya tersenyum. Rasanya Panji ingin protes, gadis itu seakan tahu apa kelemahannya saat ini.

“Kalo lo masih merasa canggung sama Kiara, berarti mungkin emang masih ada yang perlu diselesain. Ngobrol aja coba, sebelum lo balik ke Yogya,” saran Galuh. “Kalo udah nggak ada apa-apa, harusnya udah nggak canggung lagi dong?”

Panji menahan senyumnya, sekon berikutnya ia mengangguk. “Iya, nanti gue ngobrol sama Kiara. Thank you, Gal!”

Gadis itu hanya mengangguk dengan mata terpejam dan kedua tangan yang kini terlipat di depan dada. Sepertinya Galuh sudah ngantuk berat, Panji pun memakluminya. Lagi-lagi pemuda itu tak lagi mampu menahan senyumnya, “Tidur, gih! Jangan sampe ketiduran di sini, Gal!”

Galuh menguap, menutup mulutnya yang terbuka dengan sebelah tangannya. Setelahnya ia mengangguk, “Duluan ya, Ji? Ngantuk banget. Lo juga jangan lama-lama di sini, nanti masuk angin!”

Panji hanya membalasnya dengan anggukan gemas. “Iyaa, masuk sana!”

Byee!” ucap Galuh seraya melambaikan tangannya pelan. Kemudian melenggang masuk dan mengunci jendela kamarnya. Sementara Panji baru beranjak dari tempatnya setelah melihat Galuh sudah mematikan lampu kamarnya.

Pria berbadan kekar itu memasuki kamarnya dengan senyum mengembang. Terima kasih pada Galuh, akhirnya Panji menemukan jawaban dari pertanyaan yang membuatnya tak bisa tidur.

Galuh jawabannya.

Suatu sore yang cerah, keempat remaja suntuk berkumpul di ruang tengah rumah Damar. Menikmati semilir angin yang berembus menerpa kulit wajah tampan keempatnya yang kini sama-sama termenung. Sibuk bergelut dengan pikiran kosong masing-masing. Hingga tiba-tiba Ojan berceletuk random.

“Eh, lo kalo udah jadi bapak mau dipanggil apa?” tanyanya. Seketika dirinya menjadi pusat perhatian ketiga temannya.

Kini Damar, Dhimas, dan Haris pun tak lagi melamun. Ketiganya mulai mengerutkan kening dan menautkan alis, menggunakan otaknya untuk berpikir guna menjawab pertanyaan sederhana.

“Gue menyesuaikan pasangan aja deh,” balas Damar santai. Ojan mengangguk-angguk, paham bahwa beliau ini—Damar—memang bukan orang yang terlalu memikirkan hal-hal seperti ini.

“Gue Papi,” balas Dhimas yakin.

“Kalo pasangan lo nggak mau?” tanya Haris.

“Ya bodo amat, kan gue yang dipanggil papi. Bukan dia. Nanti terserah dia mau dipanggil apa,” balas Dhimas.

“Lah kocak, terus nggak sepasang dong? Biasanya kan Ibu-Bapak, Ayah-Bunda, lah masa lu Papi terus bini lo lain?” protes Ojan.

“Lah, gue aja manggil ortu gue Mama-Ayah. Aghni juga -Papaji-Bunay. Break the rules, broh!” balas Dhimas sok keren, tapi masuk akal. Ketiga temannya bahkan mengangguk menyetujui pada akhirnya.

“Lo apa, Ris?” tanya Ojan kemudian.

“Ayah.”

“AYAH?! Gue kira lo mau dipanggil Papa gitu, Ris?” tanya Dhimas.

Haris menggeleng, “Enggak, gue dari dulu maunya dipanggil Ayah.”

“Kenapa?” tanya Damar.

“Nggak tau, menurut gue 'ayah' tuh satu kata yang mewakili sosok yang merangkul aja. Adem aja gue denger orang manggil bapaknya Ayah. Apalagi kalo anak perempuan yang bilang,” ucapnya. Haris bahkan menceritakannya dengan berbinar-binar, besar harapnya untuk hal yang sama terjadi padanya di masa depan.

Make sense,” balas Damar. “Cocok juga sih lo dipanggil Ayah,” lanjutnya.

“Semoga anak lo nggak nanya Ayah Mengapa Aku Berbeda? ya, Ris,” canda Dhimas.

“Yehh, sinetron kali, ah!”

“Lu apa lu? Nanya doang nggak mau memberi jawaban,” tanya Damar pada Ojan.

Saat itulah Ojan menghela napasnya. Ekspresinya mendadak khawatir, “Nah.. itu dia..”

“Kenapa?” tanya Haris.

“Gue tuh—sebenernya takut karma. Gue kan muda badung banget begini yak, sampe Emak Bapak gue tuh sering banget bilang NTAR LU RASAIN LU ANAK LU BANGOR!!!” ucapnya bercerita. “Gue takut anak gue iseng, nanti gue dipanggil Om gimana.....”

Tawa teman-temannya menyembur seketika. “Ya, makanya lu tobat dari sekarang!” ucap Haris.

“Iya, ya?”

“Iya. Biar paling nggak ada perubahan lah. Nanti anak lo nggak manggil Om,” ujar Dhimas.

“Tapi?” tanya Ojan.

“AYEAHH! Versi lebih metal dari Ayah soalnya pasti lo menjadi bapak-bapak yang metaaaal!!!” ucap Dhimas seraya tertawa. Mengundang raut cembetut dari Ojan dan gelak tawa yang lebih ramai dari Damar dan Haris.

Sore itu akhirnya tak lagi sepi. Kemudian siapa yang tahu apa yang terjadi di masa depan? Mungkin ucapan asal keempatnya tadi benar-benar menjadi nyata. Tak ada yang benar-benar tahu kapan Tuhan mengaminkan doa-doa makhluk-Nya, kan?

Setelah bicara singkat dengan Kiara, Panji memilih untuk menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Supaya pikiran dan hatinya turut tejernihkan. Pun, ia tak ingin mengganggu momen Kiara dan Juna. Biarlah sepasang kekasih itu menunggu di dalam sembari ia menunggu sang ibu pulang.

Dengan kedua tangan memegangi pagar rumahnya, Panji mendongak menatap langit yang masih biru sore itu. Awan-awan putih sudah tak mengepul, kini berbentuk seperti coretan-coretan yang tetap menambah indah langit meski terlihat tidak sempurna.

Namun kegiatannya harus terhenti ketika seseorang menepuk pelan lengannya. Membuat Panji sedikit berjengit dan segera menurunkan kepalanya yang mendongak.

“Cari siapa ya?” tanyanya. Panji memandangi seseorang di hadapannya. Berdiri seorang gadis dengan rambut kecoklatan yang sedikit lebih terang dari surai Kiara. Struktur wajahnya tegas jika dibandingkan dengan struktur wajah Kiara yang lembut. Panji menelisik, memperhatikannya dari atas sampai bawah. Siapa tahu Panji lupa akan teman-temannya selain Juna dan Kiara yang juga tinggal di lingkungan yang sama.

“Tante Tiur ada?”

“Lagi pergi,” balas Panji seadanya.

“Lo anaknya ya?”

“Iya,” sahutnya lagi.

Gadis dengan kaus putih berbalut jaket biru tua dengan celana denim itu pada akhirnya tersenyum tipis sebelum akhirnya memperkenalkan diri.

Dijulurkan sebelah tangannya yang sedari tadi memegang kaktus dalam pot kecil ke hadapan Panji, “Gue Galuh. Baru tinggal di sini setahun yang lalu, jadi lo pasti belom kenal gue.”

Ah, Panji ingat sekarang. Ini pasti adalah tetangga baru yang mamanya ingin perkenalkan padanya. Maka Panji pun balas tersenyum dan segera menjabat tangan gadis di hadapannya.

“Panji,” ucapnya. “Sorry ya, gue baru balik lagi ke sini setelah tiga tahun. Jadi nggak tau apa aja yang berubah.”

Galuh menggeleng cepat, “Nggak apa-apa.”

“Lo diundang juga dong pasti sama mama gue?” tebak Panji. Galuh dengan cepat mengangguk dan membenarkan tebakannya. Maka sebagai tuan rumah, Panji membukakan pintu gerbang untuk Galuh. Mempersilakannya untuk masuk.

“Masuk, masuk,” ucap Panji. “Lo bawa kaktus buat apaan? Hiasan meja?”

“Ohh, ini—” Galuh menggantung ucapannya. Ditatapnya pot kecil berisi tanaman kaktus yang berada dalam genggamannya. “Waktu itu mama lo bilang mau beli kaktus, tapi belom sempet-sempet. Jadi waktu gue beli tanaman baru sekalian gue beliin buat mama lo.”

Panji manggut-manggut, ia baru ingat kalau Galuh adalah orang yang sering menemani mamanya untuk menggeluti tanaman yang baru-baru disenanginya. “Makasih ya, Gal. Maaf jadi ngerepotin. Makasih banget loh, sering nemenin mama gue. Nanti kaktusnya gue ganti, ya?”

“Santai. Buat kaktusnya, nggak usah diganti, lah! Kayak sama siapa aja,” balas Galuh.

Keduanya kini berjalan santai memasuki rumah Panji. Ternyata ada untungnya juga Panji keluar rumah, sebab meja makan kini sudah siap dipakai untuk acara. Terima kasih sebesar-besarnya kepada Juna dan Kiara, pekerjaan Panji jadi ringan.

“Weh, Gal!” sapa Juna. Ah, rupanya hanya Panji yang tak mengenal Galuh. Sebab nampaknya Juna sudah akrab dengan gadis itu, apalagi Kiara. Keduanya sudah seperti dua saudara perempuan yang terpisah lama dan bertemu kembali.

“Dari tadi, Jun?” tanya Galuh.

“Baru kok, belom lama juga,” balas Juna. Pria itu kini mengambil tempat, mengisi salah satu kursi kosong meja makan. Disusul Aji yang mengambil kursi di sebelahnya.

“Emak gue mana ya lama banget,” keluh Panji. “Gue udah laper, apa kita makan duluan aja ya, Jun? Masak mie lagi.”

“Makan aja duluan, palingan dikemplang lo pas emak lo balik,” canda Juna. Yang kemudian dibalas kikikan oleh Panji seraya mendorong bahu Juna pelan.

Dari tempatnya berdiri, entah mengapa Galuh menangkap terbesitnya rasa iri dalam tatapan Kiara pada dua pemuda di rumah itu. “Lo tadi bareng Juna, Kir?” tegur Galuh. Memecah lamunan Kiara.

Kiara menoleh, “Hah? Oh, iya. Bareng Juna datengnya tadi.”

Galuh memajukan bibirnya, mencibir Kiara seraya menarik kursi untuk dirinya sendiri. Membuat posisinya kini berhadapan dengan Panji. Tentu saja, ia tak ingin menjadi orang ketiga di antara Juna dan Kiara. Maka gadis itu membiarkan sepasang kekasih itu berhadapan agar dapat dengan bebas menatap satu sama lain.

“Pacaran mulu!” cibir Galuh, yang tanpa gadis itu tahu justru memantik rasa khawatir dalam diri Kiara. Pun, kecanggungan yang mendadak hadir dalam diri Juna. Sepertinya topik percintaan antara Juna dan Kiara akan selamanya sensitif jika dibahas terang-terangan di depan Panji. Dan itu membuat keduanya was-was.

Namun kebingungan justru melanda ketika Panji dengan santai tertawa dan membalas ucapan Galuh. “Emang gitu, Gal, dari dulu. Nempel banget kayak surat sama perangko, sepaket,” ucap Panji.

Setelahnya Galuh memasang ekspresi sedihnya, “Yah, berarti lo tersingkir dong, Ji?”

Melihat tiga orang di sekitarnya kini sama-sama terdiam dengan gestur tubuh canggung yang jelas terlihat, Galuh menutup mulutnya rapat-rapat. Tentu ia menyadari bahwa dirinya salah bicara. Maka Galuh menepuk-nepuk bibirnya pelan.

Beruntung atmosfer itu tak perlu bertahan cukup lama sebab Tante Tiur, mama Panji akhirnya pulang dengan banyak sekali jinjingan kantung kresek berisi berbagai jajanan pasar dan makanan berat. Yang rasanya cukup untuk asupan makan satu bulan bagi sesama anak rantau seperti Panji dan Galuh. Dengan sigap keempatnya bangkit dan membantu ibunda Panji itu untuk menata makanan di meja. Selang beberapa menit, barulah mereka bercengkerama. Menikmati acara temu kangen yang dibuat seadanya. Namun tetap memiliki kesan yang berarti.


Sepanjang percakapan saling menggema di ruang makan rumah Panji yang sudah lama sepi, entah mengapa Panji seakan tak bisa mengendalikan diri untuk tidak menatap Galuh yang duduk berseberangan dengannya.

Galuh yang selalu sigap membantu mamanya menyiapkan piring dan kemudian mencuci semuanya setelah semua tamu selesai makan, Galuh yang memiliki wajah tegas namun kepribadian yang sangat anggun—persis dengan yang biasanya Panji temukan di tempatnya mengenyam pendidikan, Galuh yang rasanya dapat menyesuaikan diri dalam setiap konsep pergaulan. Panji melihat Galuh dapat berbicara lembut, menjunjung sopan santun begitu tinggi setiap kali berbicara dengan ibunya. Namun gadis itu juga dapat dengan luwes membalas candaan Juna, terlihat seperti seseorang yang benar-benar terbiasa bergaul.

Berkali-kali Panji berusaha mengalihkan pandangannya, namun Galuh dengan gestur kecilnya yang manis seakan selalu menghalangi arah pandangnya. Mendominasi penglihatannya dan menjadikan Galuh pusat perhatiannya.

Panji membiarkan sudut bibirnya berkedut ketika melihat Galuh yang selalu menutup mulutnya ketika tertawa, suara tawanya pun ia sesuaikan agar tidak mengganggu. Kedua matanya yang selalu memancarkan berbagai ekspresi—marah, sebal, antusias, dan lain-lain setiap kali menanggapi cerita Juna, Kiara, maupun Panji. Pula Galuh yang tak pernah melupakan tiga kata ajaib setiap kali ingin meminta bantuan pada siapapun. Semua, semua mengenai gadis yang baru Panji temui hari itu, berhasil menarik perhatiannya.

“ANJ—”

Panji terlonjak ketika merasakan sesuatu menusuk sikunya. Pria itu bangkit berdiri, memegangi sikunya yang terasa nyut-nyutan seraya menatap nyalang ke arah Juna yang memang menjadi pelaku dari kejadian barusan.

“ELU YA?!”

Juna menahan senyum jahilnya seraya menatap ke arah Panji. Alih-alih minta maaf sebab telah menusuk sikunya dengan duri kaktus yang dibiarkan menjadi primadona di tengah meja makan, Juna justru memainkan kedua alisnya—membuatnya naik turun yang kian memancing kekesalan Panji. Oh, lihat itu, Panji yang sebenarnya telah kembali. Panji yang Juna kenali dengan baik itu telah kembali.

“Ngapain lu bengong?” tanya Juna. “Tante Tiur, ini anaknya kepergok bengong ngeliatin sesuatu,” adu Juna.

Tiur, wanita itu hanya memandangi sang anak tunggal dengan penuh tanya. Namun Panji hanya diam, menggaruk tengkuknya yang tak gatal sebelum akhirnya kembali mengelus sikutnya.

Galuh terkekeh, “Kenapa sih, Ji?”

Panji berdecak, “Ini dia nih! Sikut gue disundut kaktus! Bocah luu!”

Juna manggut-manggut dengan perangai mengejek yang masih setia dipajang pada wajah tampannya. “Siaaapp, si paling dewasa!”

“Mulai deeh, Juna sama Panji. Ributnya nggak udah-udah kalo ketemu,” ucap Tiur. Memang benar. Sejak dulu pertemanan keduanya memang begitu, saling menjahili hingga salah satunya terganggu. Meskipun sebenernya Juna lebih sering jadi korban, pertemanan keduanya tak terpisahkan oleh apapun. Not even Kiara.

“Dianya duluan!” Panji mengadukan Juna balik seraya menunjuk Juna. Melimpahkan semua kesalahan padanya. Sementara Juna hanya tertawa tak peduli. Toh, dirinya memang sengaja.

Setelahnya Panji mengambil pot kaktus yang melukainya, “Gal, sorry, ya, ini gue pinggirin dulu. Demi terciptanya kesejahteraan bangsa.”

Galuh tersenyum menahan tawanya, “Iyaa. Pindahin, dah, pindahin!”

Juna pun turut menahan tawanya. Rupanya Panji tetap Panji yang sama. Tiga tahun pergi jauh dari rumah, sama sekali tak merubahnya. Panji masih suka mencari alasan untuk melarikan diri.

Di sisi lain, Panji membawa pot kaktus yang dihadiahkan Galuh untuk sang ibu ke dekat sebuah bopet yang dekat dengan jendela rumahnya. Diam-diam Panji mengelus dadanya yang mendadak terasa berbeda. Ada kehangatan menelusup ke dalam sana. Namun Panji memilih untuk mendiamkannya.

Rumahnya kedatangan tamu baru hari ini. Mungkin begitu juga dengan hatinya.

Panji merentangkan taplak meja berwarna kuning mustard dengan renda putih di atas meja makannya. Hari itu berdasarkan permintaan sang ibu, Panji terpaksa harus menata meja makan sebab ibunya ingin membuat acara kecil yang ia labeli dengan nama 'Temu Kangen'.

Saat sedang asyik merapikan meja dengan wajahnya yang bersungut, seseorang mengetuk pintu. Alih-alih langsung membukakan pintu, Panji memilih berkacak pinggang. Malas untuk membuka pintu lantaran ia tahu siapa yang datang. Apa yang harus ia lakukan ketika orang yang justru ia hindari menjadi tamu yang begitu disambut di rumahnya? Tak ada yang bisa Panji lakukan selain turut menyambutnya dengan hati yang dipaksakan lapang.

Cklek

Panji membuka pintu rumahnya pelan. Benar dugaannya, berdiri kini di hadapannya Kiara dan Juna yang menenteng totebag berisi minuman teh dengan perisa apel seukuran 1,5 liter dan beberapa camilan lainnya. Setelahnya, berpura-pura seakan tak ada satu hal pun yang terjadi di antara ketiganya, Panji mempersilakan Kiara dan Juna untuk masuk.

Juna dan Kiara otomatis melenggang menuju meja makan yang telah ditata serapi mungkin oleh Panji sebelumnya. Juna celingak-celinguk, “Mana Mama lo?”

“Lagi ke pasar, ngambil pesenan kuenya,” balas Aji. Masih mengabaikan Kiara.

Entah rencana apa yang telah dirancang oleh Juna dan Kiara, tiba-tiba Juna beralasan untuk keluar sebentar. “Ji, gue balik dulu ya? Lupa HP gue ketinggalan,” ucapnya.

Panji tak tahu harus beraksi macam apa, ia jelas tahu Juna hanya ingin meninggalkannya berdua dengan Kiara. Entah karena permintaan kekasihnya itu atau memang Juna mendukung selesainya sesuatu antara Panji dan Kiara, Panji tetap malas meladeninya. Pria itu bahkan mengembuskan napas lelahnya.

Panji berbalik arah, berniat meninggalkan Kiara entah ke mana. Namun suara yang dulu setia mengalun di telinganya sepanjang hari itu memanggil namanya.

“Ji,” Kiara bersuara. Tubuhnya terpaku sembari menatap nanar punggung Panji yang membelakanginya. Ah, sudah banyak yang berubah ternyata. Panji yang dulu selalu menjadi benteng paling kokoh untuk melindunginya kini justru membangun benteng untuk melindungi dirinya sendiri—dari Kiara.

Pemuda itu membalikkan tubuhnya, membuat dirinya berhadapan dengan Kiara. Tak ada jawaban, Panji hanya mengangkat sebelah alisnya guna bertanya 'ada apa?'.

Kiara meneguk ludah, setelahnya menatap Panji dengan tatapan bergetar. Kiara nyaris menangis, mengingat betapa banyak rindu yang telah dipupuk bertahun-tahun terhadap lelaki di hadapannya. Seseorang yang meninggalkan Kiara sebab ulahnya sendiri. Sebab keegoisannya sendiri. Rupanya usaha Kiara mempertahankan Panji dan Juna pada saat bersamaan hanya membuat dirinya menjumpai kehilangan yang jauh lebih besar.

“Ji, please sekali ini aja. Kita perlu bicara,” ucap Kiara.

Panji lagi-lagi menghela napasnya. Ia tahu Kiara tak akan berhenti sampai ia diberi kesempatan untuk membahas masa lalu yang menurut Panji sudah tidak penting meski masih terasa begitu menyakitkan itu.

“Oke, cepet. Gue nggak mau cowok lo nanti liat kita ngobrol berdua terus jadi salah paham,” balas Panji.

Kiara mengerjapkan matanya, tak menyangka bahwa Panji akan mengizinkannya bicara. Memanfaatkan kesempatan, maka Kiara membuka suara.

Are you okay? All this time?

Satu kalimat yang baru saja terlontar dari Kiara itu berhasil membuat Panji termangu. Kalimat itu. Kalimat yang sama yang selalu ia lontarkan pada dirinya sendiri. Kalimat tanya yang Panji sendiri tak pernah temukan jawabannya.

Matanya memandang lurus pada wajah Kiara yang sekarang jauh lebih dewasa dibanding dengan saat terakhir kali kedua bola matanya melihat gadis itu. Wajahnya jauh lebih tirus. Dan sekarang ada helaian rambut yang lebih pendek dari yang lainnya membingkai wajah Kiara. Rambutnya cokelat terang, mungkin gadis itu mewarnainya. Terdapat sedikit bekas cakaran pada pipi kanannya, mungkin tak sengaja terluka saat Kiara menggaruk wajahnya frustrasi.

Aji mengerjapkan matanya. Menepis semua lamunannya. Kemudian dengan mantap ia mengangguk.

“Gue kan berkali-kali bilang udah nggak ada yang perlu dibahas. Apa yang bikin lo mikir gue nggak baik-baik aja, Kir?” balas Panji.

“Gue minta maaf, Ji. Gue ngegantungin perasaan lo terlalu lama. Mungkin lo juga ngerasa gue bohongin. Tapi beneran, Ji, gue nggak bermaksud begitu,” ucap Kiara dengan suara bergetar. “Gue cuma nggak mau—jauh dari lo, Ji. You mean so much to me.

Kiara terisak. Setitik air matanya turut jatuh membasahi pipi. Namun Panji tetaplah Panji yang selalu ingin tampil perkasa. Maka pemuda itu terkekeh miris. Setelahnya ia menggeleng cepat seraya mengibaskan tangannya di depan wajah.

“Lupain, Kir. Masa lalu. Gue aja nggak mau terjebak terus-terusan di sana. Masa lo mau?” jawab Panji. “Gue nggak apa-apa, lupain aja. Anggep aja nggak pernah ada apa-apa di antara kita bertiga dulu.”

“Udah nggak usah nangis, nanti sangkain Juna gue ngapa-ngapain lo lagi,” tegas Panji pada Kiara.

Setelahnya, Panji melakukan apa yang bisa dilakukan oleh lelaki paking perkasa di muka bumi. Melarikan diri.

Menempatkan Kiara di masa lalunya adalah yang benar-benar dilakukannya. Namun perihal baik-baik saja, Panji sendiri mengakui bahwa itu hanya sandiwara.

Selama ini Kiara masih ada dalam hatinya. Luka itu belum sembuh sepenuhnya, dan melihat Kiara menangis justru menambah perih luka yang bersemayam di dalam sana. Kiara masih menguasai kepalanya. Memanipulasi pikirannya hingga gadis itu menjadi pemeran utama yang bermain di sana. Mengganggunya tidur pada setiap malam yang membuat kesepiannya semakin nyata. Mengejeknya dengan terus mengingatkannya pada angan yang harus ia lepaskan jauh-jauh, yaitu menjadi pemenang bagi seorang Kiara.

Dulu, Panji bisa saja tetap bertahan di tempatnya. Kemudian menanti hari ketika janji Kiara menjadi nyata. Janjinya untuk berubah agar tak lagi membuat Panji merasa seperti dipermainkan.

Sekarang pun sebenarnya Panji bisa saja meruntuhkan pertahanannya. Kemudian kembali pada posisi awal ketika ia harus menggantungkan dirinya pada ketidakpastian yang terus-menerus Kiara berikan.

Panji bisa saja menunggu, hingga Kiara mengulang kebiasaannya. Bersikap seolah tak ingin kehilangannya, kemudian kembali menjauh ketika Juna mengisi perannya.

Tapi tidak. Panji tak ingin menunggu lagi. Semuanya cukup sampai di sini. Kiara adalah masa lalunya. Dan Panji harus membuka pintu rumahnya lebar-lebar untuk masa depan yang menanti untuk ia sambut dengan hangat.

“Gimana Jogja, Ji?”

Juna memulai percakapan seiring Panji mulai menggunakan tangannya untuk mengipasi asap yang mengepul dari semangkuk mie rebus di hadapannya. Walaupun di depannya tersuguh banyak buah-buahan dan kue kering, mie instan tetap jauh lebih menarik.

Keduanya kini tengah berkumpul di rumah Juna untuk bercengkrama setelah sekian lama. Meski Juna mengajaknya untuk pergi ke luar, Panji berusaha tak membuat Juna memaksakan diri hanya untuk menyenangkannya. Maka jadilah ia yang berkunjung ke rumah sahabatnya itu, yang akhirnya disetujui dengan alasan untuk sekaligus bertemu dengan ibu Juna.

“Biasa aja,” jawab Panji setelah menyeruput kuah segar mie rebus miliknya. “Tapi seru, gue banyak belajar hal baru.”

Juna manggut-manggut setuju. Memang benar adanya. Juna pun melihat perubahan dari sikap Panji semenjak pria itu merantau ke kota yang disebut sebagai Kota Pendidikan itu. Mungkin budaya di sana yang masih menjunjung tinggi segala unggah-ungguhnya membuat Panji beradaptasi dan menyerapnya ke dalam diri sendiri. Dibuktikan dengan bagaimana cara Panji mencium tangan ibunda Juna yang lebih terlihat seperti orang sungkem. Pria itu membungkuk nyaris 90 derajat, ketika bicara pun kedua tangannya ia simpan di depan dekat dengan pinggang, tutur kayanya lembut, serta tak membiarkan orang yang lebih tua mendongak ke arahnya. Berbeda dengan Panji yang terakhir kali Arjuna jumpai.

“Kuliah lo lancar?” tanya Juna.

“Lancar, ini lagi libur—Jun maaf, bagi sambel lagi dong tolong,” ucap Panji. Pria itu mengulurkan tangannya untuk meraih sebotol saus sambal yang berada dekat siku Juna—yang segera ia berikan pada Panji. “Makasih,” ucapnya.

“Lo gimana?” Panji bertanya balik.

Seraya mengerucutkan bibir, Juna kemudian manggut-manggut menjawab pertanyaan Panji. “Lancar, cuma yaa stress stress dikit mah ada,” balasnya seraya tertawa.

Panji mengangguk menyetujui, “Pasti, lah! Gue aja baru kelar tipes nih, stress UAS.”

Juna melotot, “Bisa sakit lu?”

“Iya, lah. Gimana enggak? Begadang mulu, telat makan, sekalinya makan sembarangan. Ditambah gue stress mikirin materi UAS bejibun abis. Nggak gila aja udah bagus,” keluh Panji.

Keduanya kemudian terkekeh bersama. Relate. Ada yang bilang bahwa kebahagiaan menjadi mahasiswa perguruan tinggi ternama hanyalah saat hasil tes menyatakan diterima. Dan baik Juna maupun Panji tak ingin menggunakan opsi lain kecuali menyetujuinya.

“Lo sampe kapan di sini, Ji?”

“Sampe libur gue abis. Dua bulan, lah. Kasian juga Mama sendirian terus, ini juga sebenernya gue masih nggak tega. Soalnya gue kabur tiga tahun dibayarnya cuma dua bulan,” balas Panji seraya membelah telur setengah matang yang sedari tadi bertengger manis di atas mie yang kini sudah nyaris habis itu. Membiarkan cairan kuning telur mengalir keluar, menambah nafsu makannya.

“Iya, lo lama banget sih nggak pulang-pulang. Ngapain dah? Betah banget di Jogja!” umpat Juna.

“Yah, gimana ya..”

Baru saja Juna ingin membalas, seseorang menerobos masuk dan memanggil namanya keras-keras. Suara itu, dengan nada itu, Panji tahu siapa yang datang.

“Junaaaaaaaahhh!! Keluar, yuk!!”

Itu Kiara.

Seakan seluruh bagian tubuh mengalami malfungsi, ketiganya sama-sama terdiam kaku. Garpu yang siap menyuapkan segulung mie milik Panji menggantung di udara, Juna yang sedang mengaduk kuah agar bumbunya lebih merata pun terhenti, begitu pula dengan Kiara yang baru saja datang.

Ketiganya bertukar pandang, setidaknya sebelum Panji menjadi yang pertama memalingkan wajahnya. Alat makan yang sedari tadi tak lepas dari genggamannya kini dibiarkan terlepas begitu saja. Nafsu makannya resmi hilang meski telur setengah matangnya itu seakan memanggilnya.

Juna memandangi Kiara dan Panji bergantian. Mendadak atmosfer ruangan menegang. Kiara masih terpaku, kemudian berjengit ketika terdengar suara geseran kursi seiring Panji bangkit dari duduknya.

Pria itu membawa mangkuknya yang masih berisi sedikit makanannya menuju dapur. Diletakannya mangkuk itu di dekat wastafel, setelahnya Panji kembali ke meja makan dan menyambar ponselnya yang tergeletak di meja.

“Gue balik, Jun. Thank you, ya! Pan-kapan gue ke sini lagi,” pamit Panji. Setelahnya ia melangkah keluar. Meninggalkan Juna dan Kiara dengan urusannya, Panji tak ingin tahu.

Di halaman rumah Juna, seraya memegangi pagar dengan langkah yang ragu harus ia lanjutkan pulang atau bawa kembali ke dalam. Sebelah tangannya memegangi dada bidangnya sendiri.

Rupanya beban itu masih ada. Hatinya masih terluka ketika bola matanya menangkap Kiara.

His heavy heart is still breaking. He still can't lift the weight.

“Kasih gue waktu lagi ya, Ji?”

Ah, kalimat itu lagi. Sudah tujuh kali Panji, pemuda bertubuh tinggi dengan balutan kemeja flanel merah yang dijadikan luaran atas kaus putihnya itu mendengar kalimat yang sama terlontar dari seorang perempuan yang telah lama menjadi pujaan hatinya.

Sudah tujuh kali Panji menyatakan perasaannya pada Kiara. Dan jawaban gadis bersurai kecoklatan itu selalu sama sejak keduanya mengenyam Sekolah Menengah Pertama. Kiara selalu minta waktu, seakan Panji memiliki banyak yang tersimpan dalam sakunya. Kiara selalu minta waktu, padahal Panji bukan seorang dengan hati seluas samudera untuk tetap bersabar selama bertahun-tahun. Kiara selalu bilang ia perlu waktu untuk menentukan jawaban atas pernyataan Panji mengenai perasaannya. Padahal, Panji tahu, malaikat pun tahu, Kiara tak pernah mempertimbangkannya. Panji tahu, tujuan Kiara hanya satu. Yaitu Arjuna, salah seorang lain yang juga hadir di antara keduanya.

Panji dan Kiara tinggal di rumah berhadapan. Sejak kecil keduanya tak terpisah bagai surat dan perangko. Di mana ada Panji, di situ ada Kiara. Berdekatan dengan Panji, Kiara selalu aman. Sebab pemuda itu akan selalu membentangkan tangannya lebar-lebar guna menyembunyikan tubuh mungil Kiara di balik punggungnya yang tegap. Melindunginya dari siapapun yang ingin menyakitinya. Begitu selalu hingga keduanya beranjak remaja, hingga Panji menyadari bahwa ada sesuatu yang lain dalam hatinya. Sesuatu yang menggelitik, sampai-sampai dirinya tak bisa tidur dan memandangi balkon kamar Kiara yang sudah gelap dari balik jendela kamarnya.

Namun ketika cintanya bersemi, tiba seorang lain yang selalu berhasil memikat Kiara bahkan saat jumpa pertama. Arjuna, atau lebih akrab disapa Juna, pria itu adalah anak baru di lingkungan rumah Panji dan Kiara. Tak ada dendam maupun kebencian, Panji menyambutnya dengan baik sebagai kawan. Lebih-lebih ketika ia mengetahui bahwa Juna tinggal tepat di sebelah rumahnya. Menggantikan Abah Elon yang diboyong sang anak ke Bandung. Awalnya Panji bersedih atas kepindahan Abah Elon, namun Tuhan tak pernah ingkar. Ketika dirinya mengikhlaskan, maka digantikannya dengan sesuatu yang lebih baik. Tuhan lantas memberikannya teman sebaya yang kemudian menjadi sahabat sejatinya—setidaknya sebelum mereka tumbuh lebih dewasa.

Panji menatap Kiara nanar, lagi-lagi hatinya harus pecah berkeping-keping. “Mau sampe kapan lagi, Kir? Gimana kalo ternyata gue nggak lagi punya waktu?”

Kiara mendesah frustrasi, gadis itu membasahi bibir sebelum membalas Panji. “Gue bingung, Ji. Gue nggak bisa—”

“Nggak bisa milih gue atau Juna?” potong Panji.

Kiara mengerutkan keningnya. Sial, bahkan pada saat seperti ini Panji tak bisa menahan diri untuk memuji Kiara yang semakin menawan ketika menggerutu. “Gue nunggu lo bukan sekali dua kali, Kir. Udah bertahun-tahun. Lo selalu bilang lo butuh waktu, tapi ujungnya lo justru menjauh dari gue,” ujar Panji.

“Ji—”

“Kalo lo sukanya sama Juna, nggak apa-apa, Kir. Just be honest with me, i'll be okay with that. Nggak perlu nyuruh gue nunggu dan ngasih gue pepesan kosong, Kir,” tegas Panji. Sorot matanya yang biasa menatap teduh Kiara kini berubah menjadi sedikit nyalang. Hari itu Panji memutuskan untuk menantang Kiara, ia harus tegas. Tak ada lagi toleransi atas ketidakpastian, Panji memutuskan untuk melanjutkan hidupnya. Dengan atau tanpa Kiara.

“Gue tau lo lebih bahagia kalo pergi sama Juna. Sorot mata lo kalo lagi ngomongin Juna, gestur tubuh lo yang selalu salah tingkah di deket Juna, usaha lo setiap pagi buatin Juna sarapan, itu aja udah cukup untuk ngasih tau gue kalo lo suka sama Juna. Bukan gue, kan, Kir?” pungkas Panji lagi.

Kiara menyerah. Sebab semua yang dikatakan Panji benar adanya.

You're happier with him, aren't you?” tanya Panji lagi.

Kiara mengembuskan napasnya. Rasanya tak ada lagi kesempatan untuk mengelak. Toh, Panji pun sudah tahu semua yang selama ini ia coba untuk samarkan.

Maka dengan lirih, Kiara menjawab, “I guess so..

Kedua kelopak mata Panji mengerjap pelan mewakili kekecewaannya. Ia sudah tahu, namun mendengar konfirmasi dari Kiara rupanya masih membuat ia terkejut.

Panji mengangguk pelan. Sekon berikutnya ia menatap lurus tepat pada netra Kiara yang berwarna senada dengan rambutnya di bawah paparan sinar matahari yang berubah jingga. Sebelum akhirnya dengan mantap ia mengucapkan ultimatumnya.

“Jangan cari gue lagi, Kir!” ucapnya. “Karena gue udah bener-bener nggak punya waktu lagi untuk nunggu lo. Besok gue akan pergi, dan lo bisa nikmatin waktu lo sama Juna. Gue nggak akan ganggu.”

Mengabaikan keterkejutan Kiara dan menulikan telinga dari pekikan gadis itu yang terus memanggilnya menuntut penjelasan dari apa yang barusan ia katakan, Panji membalikkan badannya. Melenggang jauh meninggalkan gadis itu.

Selama ini Panji mengizinkan Kiara untuk bersandar di bahunya, membantu Kiara menahan beban di kepalanya. Namun kini tidak lagi. Sebab hatinya sudah hancur, bahkan Panji tidak yakin kepingannya dapat kembali disatukan.

Hari itu, keputusannya sudah bulat. Panji akan tetap melanjutkan hidupnya.

Tanpa Kiara.

“Kasih gue waktu lagi ya, Ji?”

Ah, kalimat itu lagi. Sudah tujuh kali Panji, pemuda bertubuh tinggi dengan balutan kemeja flanel merah yang dijadikan luaran atas kaus putihnya itu mendengar kalimat yang sama terlontar dari seorang perempuan yang telah lama menjadi pujaan hatinya.

Sudah tujuh kali Panji menyatakan perasaannya pada Kiara. Dan jawaban gadis bersurai kecoklatan itu selalu sama sejak keduanya mengenyam Sekolah Menengah Pertama. Kiara selalu minta waktu, seakan Panji memiliki banyak yang tersimpan dalam sakunya. Kiara selalu minta waktu, padahal Panji bukan seorang dengan hati seluas samudera untuk tetap bersabar selama bertahun-tahun. Kiara selalu bilang ia perlu waktu untuk menentukan jawaban atas pernyataan Panji mengenai perasaannya. Padahal, Panji tahu, malaikat pun tahu, Kiara tak pernah mempertimbangkannya. Panji tahu, tujuan Kiara hanya satu. Yaitu Arjuna, salah seorang lain yang juga hadir di antara keduanya.

Panji dan Kiara tinggal di rumah berhadapan. Sejak kecil keduanya tak terpisah bagai surat dan perangko. Di mana ada Panji, di situ ada Kiara. Berdekatan dengan Panji, Kiara selalu aman. Sebab pemuda itu akan selalu membentangkan tangannya lebar-lebar guna menyembunyikan tubuh mungil Kiara di balik punggungnya yang tegap. Melindunginya dari siapapun yang ingin menyakitinya. Begitu selalu hingga keduanya beranjak remaja, hingga Panji menyadari bahwa ada sesuatu yang lain dalam hatinya. Sesuatu yang menggelitik, sampai-sampai dirinya tak bisa tidur dan memandangi balkon kamar Kiara yang sudah gelap dari balik jendela kamarnya.

Namun ketika cintanya bersemi, tiba seorang lain yang selalu berhasil memikat Kiara bahkan saat jumpa pertama. Arjuna, atau lebih akrab disapa Juna, pria itu adalah anak baru di lingkungan rumah Panji dan Kiara. Tak ada dendam maupun kebencian, Panji menyambutnya dengan baik sebagai kawan. Lebih-lebih ketika ia mengetahui bahwa Juna tinggal tepat di sebelah rumahnya. Menggantikan Abah Elon yang diboyong sang anak ke Bandung. Awalnya Panji bersedih atas kepindahan Abah Elon, namun Tuhan tak pernah ingkar. Ketika dirinya mengikhlaskan, maka digantikannya dengan sesuatu yang lebih baik. Tuhan lantas memberikannya teman sebaya yang kemudian menjadi sahabat sejatinya—setidaknya sebelum mereka tumbuh lebih dewasa.

Panji menatap Kiara nanar, lagi-lagi hatinya harus pecah berkeping-keping. “Mau sampe kapan lagi, Kir? Gimana kalo ternyata gue nggak lagi punya waktu?”

Kiara mendesah frustrasi, gadis itu membasahi bibir sebelum membalas Panji. “Gue bingung, Ji. Gue nggak bisa—”

“Nggak bisa milih gue atau Juna?” potong Panji.

Kiara mengerutkan keningnya. Sial, bahkan pada saat seperti ini Panji tak bisa menahan diri untuk memuji Kiara yang semakin menawan ketika menggerutu. “Gue nunggu lo bukan sekali dua kali, Kir. Udah bertahun-tahun. Lo selalu bilang lo butuh waktu, tapi ujungnya lo justru menjauh dari gue,” ujar Panji.

“Ji—”

“Kalo lo sukanya sama Juna, nggak apa-apa, Kir. Just be honest with me, i'll be okay with that. Nggak perlu nyuruh gue nunggu dan ngasih gue pepesan kosong, Kir,” tegas Panji. Sorot matanya yang biasa menatap teduh Kiara kini berubah menjadi sedikit nyalang. Hari itu Panji memutuskan untuk menantang Kiara, ia harus tegas. Tak ada lagi toleransi atas ketidakpastian, Panji memutuskan untuk melanjutkan hidupnya. Dengan atau tanpa Kiara.

“Gue tau lo lebih bahagia kalo pergi sama Juna. Sorot mata lo kalo lagi ngomongin Juna, gestur tubuh lo yang selalu salah tingkah di deket Juna, usaha lo setiap pagi buatin Juna sarapan, itu aja udah cukup untuk ngasih tau gue kalo lo suka sama Juna. Bukan gue, kan, Kir?” pungkas Panji lagi.

Kiara menyerah. Sebab semua yang dikatakan Panji benar adanya.

You're happier with him, aren't you?” tanya Panji lagi.

Kiara mengembuskan napasnya. Rasanya tak ada lagi kesempatan untuk mengelak. Toh, Panji pun sudah tahu semua yang selama ini ia coba untuk samarkan.

Maka dengan lirih, Kiara menjawab, “I guess so..

Kedua kelopak mata Panji mengerjap pelan mewakili kekecewaannya. Ia sudah tahu, namun mendengar konfirmasi dari Kiara rupanya masih membuat ia terkejut.

Panji mengangguk pelan. Sekon berikutnya ia menatap lurus tepat pada netra Kiara yang berwarna senada dengan rambutnya di bawah paparan sinar matahari yang berubah jingga. Sebelum akhirnya dengan mantap ia mengucapkan ultimatumnya.

“Jangan cari gue lagi, Kir!” ucapnya. “Karena gue udah bener-bener nggak punya waktu lagi untuk nunggu lo. Besok gue akan pergi, dan lo bisa nikmatin waktu lo sama Juna. Gue nggak akan ganggu.”

Mengabaikan keterkejutan Kiara dan menulikan telinga dari pekikan gadis itu yang terus memanggilnya menuntut penjelasan dari apa yang barusan ia katakan, Panji membalikkan badannya. Melenggang jauh meninggalkan gadis itu.

Selama ini Panji mengizinkan Kiara untuk bersandar di bahunya, membantu Kiara menahan beban di kepalanya. Namun kini tidak lagi. Sebab hatinya sudah hancur, bahkan Panji tidak yakin kepingannya dapat kembali disatukan.

Hari itu, keputusannya sudah bulat. Panji akan tetap melanjutkan hidupnya.

Tanpa Kiara.

“Kasih gue waktu lagi ya, Ji?”

Ah, kalimat itu lagi. Sudah lima kali Panji, pemuda bertubuh tinggi dengan balutan kemeja flanel merah yang dijadikan luaran atas kaus putihnya itu mendengar kalimat yang sama terlontar dari seorang perempuan yang telah lama menjadi pujaan hatinya.

Sudah tujuh kali Panji menyatakan perasaannya pada Kiara. Dan jawaban gadis bersurai kecoklatan itu selalu sama sejak keduanya mengenyam Sekolah Menengah Pertama. Kiara selalu minta waktu, seakan Panji memiliki banyak yang tersimpan dalam sakunya. Kiara selalu minta waktu, padahal Panji bukan seorang dengan hati seluas samudera untuk tetap bersabar selama bertahun-tahun. Kiara selalu bilang ia perlu waktu untuk menentukan jawaban atas pernyataan Panji mengenai perasaannya. Padahal, Panji tahu, malaikat pun tahu, Kiara tak pernah mempertimbangkannya. Panji tahu, tujuan Kiara hanya satu. Yaitu Arjuna, salah seorang lain yang juga hadir di antara keduanya.

Panji dan Kiara tinggal di rumah berhadapan. Sejak kecil keduanya tak terpisah bagai surat dan perangko. Di mana ada Panji, di situ ada Kiara. Berdekatan dengan Panji, Kiara selalu aman. Sebab pemuda itu akan selalu membentangkan tangannya lebar-lebar guna menyembunyikan tubuh mungil Kiara di balik punggungnya yang tegap. Melindunginya dari siapapun yang ingin menyakitinya. Begitu selalu hingga keduanya beranjak remaja, hingga Panji menyadari bahwa ada sesuatu yang lain dalam hatinya. Sesuatu yang menggelitik, sampai-sampai dirinya tak bisa tidur dan memandangi balkon kamar Kiara yang sudah gelap dari balik jendela kamarnya.

Namun ketika cintanya bersemi, tiba seorang lain yang selalu berhasil memikat Kiara bahkan saat jumpa pertama. Arjuna, atau lebih akrab disapa Juna, pria itu adalah anak baru di lingkungan rumah Panji dan Kiara. Tak ada dendam maupun kebencian, Panji menyambutnya dengan baik sebagai kawan. Lebih-lebih ketika ia mengetahui bahwa Juna tinggal tepat di sebelah rumahnya. Menggantikan Abah Elon yang diboyong sang anak ke Bandung. Awalnya Panji bersedih atas kepindahan Abah Elon, namun Tuhan tak pernah ingkar. Ketika dirinya mengikhlaskan, maka digantikannya dengan sesuatu yang lebih baik. Tuhan lantas memberikannya teman sebaya yang kemudian menjadi sahabat sejatinya—setidaknya sebelum mereka tumbuh lebih dewasa.

Panji menatap Kiara nanar, lagi-lagi hatinya harus pecah berkeping-keping. “Mau sampe kapan lagi, Kir? Gimana kalo ternyata gue nggak lagi punya waktu?”

Kiara mendesah frustrasi, gadis itu membasahi bibir sebelum membalas Panji. “Gue bingung, Ji. Gue nggak bisa—”

“Nggak bisa milih gue atau Juna?” potong Panji.

Kiara mengerutkan keningnya. Sial, bahkan pada saat seperti ini Panji tak bisa menahan diri untuk memuji Kiara yang semakin menawan ketika menggerutu. “Gue nunggu lo bukan sekali dua kali, Kir. Udah bertahun-tahun. Lo selalu bilang lo butuh waktu, tapi ujungnya lo justru menjauh dari gue,” ujar Panji.

“Ji—”

“Kalo lo sukanya sama Juna, nggak apa-apa, Kir. Just be honest with me, i'll be okay with that. Nggak perlu nyuruh gue nunggu dan ngasih gue pepesan kosong, Kir,” tegas Panji. Sorot matanya yang biasa menatap teduh Kiara kini berubah menjadi sedikit nyalang. Hari itu Panji memutuskan untuk menantang Kiara, ia harus tegas. Tak ada lagi toleransi atas ketidakpastian, Panji memutuskan untuk melanjutkan hidupnya. Dengan atau tanpa Kiara.

“Gue tau lo lebih bahagia kalo pergi sama Juna. Sorot mata lo kalo lagi ngomongin Juna, gestur tubuh lo yang selalu salah tingkah di deket Juna, usaha lo setiap pagi buatin Juna sarapan, itu aja udah cukup untuk ngasih tau gue kalo lo suka sama Juna. Bukan gue, kan, Kir?” pungkas Panji lagi.

Kiara menyerah. Sebab semua yang dikatakan Panji benar adanya.

You're happier with him, aren't you?” tanya Panji lagi.

Kiara mengembuskan napasnya. Rasanya tak ada lagi kesempatan untuk mengelak. Toh, Panji pun sudah tahu semua yang selama ini ia coba untuk samarkan.

Maka dengan lirih, Kiara menjawab, “I guess so..

Kedua kelopak mata Panji mengerjap pelan mewakili kekecewaannya. Ia sudah tahu, namun mendengar konfirmasi dari Kiara rupanya masih membuat ia terkejut.

Panji mengangguk pelan. Sekon berikutnya ia menatap lurus tepat pada netra Kiara yang berwarna senada dengan rambutnya di bawah paparan sinar matahari yang berubah jingga. Sebelum akhirnya dengan mantap ia mengucapkan ultimatumnya.

“Jangan cari gue lagi, Kir!” ucapnya. “Karena gue udah bener-bener nggak punya waktu lagi untuk nunggu lo. Besok gue akan pergi, dan lo bisa nikmatin waktu lo sama Juna. Gue nggak akan ganggu.”

Mengabaikan keterkejutan Kiara dan menulikan telinga dari pekikan gadis itu yang terus memanggilnya menuntut penjelasan dari apa yang barusan ia katakan, Panji membalikkan badannya. Melenggang jauh meninggalkan gadis itu.

Selama ini Panji mengizinkan Kiara untuk bersandar di bahunya, membantu Kiara menahan beban di kepalanya. Namun kini tidak lagi. Sebab hatinya sudah hancur, bahkan Panji tidak yakin kepingannya dapat kembali disatukan.

Hari itu, keputusannya sudah bulat. Panji akan tetap melanjutkan hidupnya.

Tanpa Kiara.

“Mash Damar ini gimana gosok giginyah?” tanya Aay. Gadis itu sudah berdiri di depan cermin dengan bantuan sanggahan kursi untuk menyokong tinggi badannya. Tangan kanannya sudah memegang kuat sikat gigi kecil berwarna merah jambu bercampur putih yang sudah dioles pasta gigi dengan rasa stroberi yang Damar ambilkan dari rumah gadis cilik itu. Menatap ke arah Damar yang masih tersenyum menatap layar ponsel sebab pesan manis yang dikirimkan seseorang yang paling melekat di hatinya.

Damar mendongak, “Gosok gigi aja kayak Aay biasanya gimana?”

Gadis manis itu tersenyum malu. Setelahnya seraya memegangi kepala, Aay terkekeh, “Hehehe lupa! Biasanya Aay dikasih tau Mama.”

Damar tersenyum tipis. Pria yang tubuhnya kini sudah terbalut setelan baju tidur biru dongker itu akhirnya meletakkan ponselnya di suatu tempat yang jauh dari wastafel. Menghindari cipratan air supaya tidak mengenai ponselnya. “Ya udah, barengan sikat giginya sama Mas Damar, ya?”

Aay hanya mengangguk. Ia menunggu Damar memoleskan pasta gigi di sikat gigi miliknya sendiri. “Mash Damar pakenya banyak-banyak emang nanti nggak pedesh?”

“Enggak, Mas Damar udah biasa pake yang ini,” balas Damar. “Aay udah biasa pake yang itu, ya?”

“Iyah, enak yang ini odolnya. Suka Aay emut-emut kalo sikat gigi,” balas Aay. Damar hanya tersenyum membalasnya.

“Udah? Mulai ya? Gosok dulu depannya gigi Aay,” ujar Damar. “Kayak gini nih, iiiiiiii.”

Iiiiiiii,” Aay turut bersuara. Mengikuti cara Damar menggosok gigi bagian depan. Berlanjut ke bagian samping, bagian dalam gigi atas, bawah, dan seterusnya. Damar memandu Aay dengan baik. Dalam hati Damar tertawa geli, rasanya seperti kembali ke masa lalu di mana ia ditunjuk menjadi seorang dokter cilik bersama beberapa teman sekelasnya yang lain. Damar berada di kelas 5 SD saat itu. Tugasnya sederhana, ia hanya harus mengajarkan kepada adik-adik yang menduduki kelas 1 dan 2 caranya menyikat gigi dengan baik.

Entah sudah berapa tahun lalu. Damar bahkan nyaris kehilangan memori itu dalam ingatannya. Namun terima kasih kepada Aay, gelar dokter ciliknya menjadi tak sia-sia.

“Udah, Ay?” tanya Damar yang sudah selesai dengan kegiatannya menggosok gigi sebelum tidur.

“Yang kiri atas belum, Mash. Susahh, Aay nggak bisa!”

“Sini,” ucap Damar. “Mas Damar sikatin. Aay aaaaa!”

Aay membuka mulutnya, mengikuti instruksi Damar. Setelahnya ia membiarkan seseorang yang seharian ini menjadi kakak lelakinya itu untuk menyikat giginya agar lebih bersih. “Kalo yang samping sini digosoknya gini, Ay. Jadi nanti bersih,” tukas Damar.

“Kenapa harus goshok gigi sih, Mash?”

“Ya, biar bersih!” balas Damar. “Aay seharian ini makan apa aja? Permen, kan? Donat, kentang, nasi. Terus tadi Aay minum apa tuh? Es teh, iya kan?”

Gadis kecil itu mengangguk. “Makanan yang Aay makan hari ini tuh bisa ada yang nyangkut di gigi pas Aay kunyah, jadi kalo malem mau bobok harus dibersihin dulu. Caranya ini, sikat gigi,” jelas Damar lagi. Tanpa sadar dirinya sudah mulai berdamai dengan Aay.

“Emang kalo nggak goshok gigi, kenapa?”

“Nanti gigi Aay bolong, mau?”

“Emang bisa bolong, Mash? Dibolonginnya pake apa?”

“Bolongnya sama kuman, Ay. Nanti kumannya makanin gigi Aay sampe bolong. Nanti lama-lama abis, nanti Aay bisa ompong. Mau?” balas Damar lagi.

“Ompong kayak opanya Aay?”

Damar menatap Aay sedikit terkejut, sebelah alisnya terangkat bingung. “Emang opanya Aay ompong?”

“Iya, Mash. Giginya bisa dicopot semua!” balas Aay antusias. Kedua bola matanya bahkan membesar saking bersemangatnya memberi tahu Damar mengenai sang kakek yang memakai gigi palsu.

“Kalo itu karena udah tua, bukan karena nggak pernah gosok gigi!” balas Damar.

“Ooh, emang nanti kalo udah tua giginya suka ompong?” Aay bertanya dengan polosnya.

“Iya. Wajar kalo udah tua giginya ompong atau rambutnya udah tipis.” Berbeda dengan siang tadi, kali ini Damar menjawab semua rasa penasaran Aay dengan sabar.

Mendengar penuturan Damar, Aay berdecak. Sesuai kata Aghniya, Aay adalah anak ekspresif. Ketika ia tidak suka, tercetak jelas delikan matanya yang memancarkan perasaan sebalnya. Seperti yang saat ini nampak di penglihatan Damar. “Kalo gitu Aay nggak mau tua, deh! Nanti Aay ompong!”

Damar terkekeh geli, “Yee, mana bisa? Semua orang nanti pasti makin dewasa—”

“Dewasa tuh apa, Mash?”

“Makin gede, makin tua. Nanti pasti Aay akan setua Mas Damar sama Kak Ni sekarang, nanti Mas Damar juga pasti akan setua Ibu, setua mamanya Aay, papanya Aay. Nggak bisa terus-terusan kecil,” balas Damar lagi.

“Kenapa begitu, Mas?”

“Udah dari sananya begitu, Ay..”

“Emang enak, Mas, jadi orang gede?” tanya Aay lagi. Kali ini, pertanyaannya membuat Damar tersenyum miris. Sebab bahkan dirinya pun memilili keinginan yang sama dengan Aay, tak ingin tumbuh dewasa. Bedanya, Aay hanya tak ingin ompong. Sedang Damar, sebab ia sudah tahu lelahnya menjadi seorang dewasa.

“Kalo itu, Aay harus cobain sendiri rasanya gimana,” ucap Damar. “Makanya, mam-nya yang banyak ya? Minum susunya yang rajin, nanti bisa jadi setinggi Kak Ni.”

Kak Ni. Satu nama yang sejak tadi diam-diam Damar jadikan senjata untuk membungkam Aay ketika pertanyaannya sudah terlampau banyak. Lagi-lagi Aghniya benar, usia Aay memang waktunya penasaran. Pun usia Damar, sebenarnya. Bedanya, Aay hanya penasaran tentang berbagai hal-hal dasar dalam kehidupan. Sedang usia Damar, menawarkan berbagai rasa penasaran akan segala hal yang berkaitan dengan jati diri.

Mungkin Aghniya benar lagi, keduanya sama.

“Udah, Ay. Kumur-kumur terus cuci mulutnya. Mas Damar bersihin sikat gigi Aay,” ucap Damar. Setelahnya Aay hanya menurut. Damar bahkan sedikit bingung di dalam hatinya. Sebab Aay yang kini ia tangani benar-benar berbeda dengan Aay yang ia tangani siang tadi.

Namun ia tak ambil pusing. Mungkin karena sudah malam, mungkin karena Aay memang sudah kelelahan. Atau mungkin karena gadis itu sudah sedikit menurunkan bendera perang yang ia kibarkan sejak pertama kali keduanya berinteraksi.

“Ayo, tidur! Udah jam sembilan,” titah Damar. Kemudian ia menggendong Aay menuju kamar sang ibu yang akan menjadi tempat Aay menginap.

Sepanjang perjalanan, hubungan keduanya justru kian mencair. Aay terus saja bertanya, dibalas dengan Damar yang menjawab seadanya namun tetap membuat gadis itu nyaman bicara dengannya.

“Mash Damar temenin Aay nggak nanti?”

“Iya.”

“Kak Ni cantik, Mash.”

“Iya, Aay juga kok.”

“Kak Ni pacarnya Mash Damar?” tanya Aay tiba-tiba.

“Iya.”

“Nggak cocok, Mash Damar jelek.”

Langkahnya otomatis terhenti. Damar kini memandang Aay dengan tatapan tidak percaya sekaligus tidak terima. Ingin marah, namun segera ia urungkan ketika Aay mengulas senyuman paling manisnya. Hingga kedua matanya menyipit membentuk bulan sabit, persis seperti yang ia lakukan saat meminta Damar memotretnya tadi. “Boong, deh! Mash Damar ganteng!”

Seakan tahu Damar masih menyimpan dendam padanya, Aay kemudian mengalungkan kedua tangannya di leher Damar. Kemudian bersandar pada bahu pemuda itu seiring kantuk semakin menguasai dirinya. Aay menguap, namun masih berusaha untuk bicara. “Twemwennya Aay suka cerita dia punya Mamas. Mamasnya udah SMP, terus dia suka sombong.”

“Oh, gitu?” Damar masih menanggapi. Kemudian alih-alih melanjutkan langkahnya, Damar memilih untuk menganyun-ayunkan tubuhnya pelan. Mengusahakan agar Aay terlelap dulu dalam gendongannya.

Aay mengangguk pelan sebelum akhirnya kembali bersuara. “Mash Damar sekolahnya kelas berapa?”

“Mas Damar kelas dua SMA.”

Seketika Aay kembali mengangkat kepalanya. Tubuhnya bahkan nyaris terhuyung ke belakang, beruntung Damar menahan punggungnya. Kedua matanya yang tadi terkantuk-kantuk itu kini kembali segar bagaikan diguyur air es. “Beneran, Mash?!”

Damar mengangguk bingung. “Kak Ni juga,” ucapnya lagi.

“IYA, MASH?!”

“Iya, cantikkk,” balas Damar seraya tersenyum. Namun senyumannya sirna ketika Aay justru kembali lesu. Kedua bahunya merosot dan gadis kecil itu kembali menyandarkan tubuhnya pada Damar seperti sebelumnya.

“Mash Damar nggak mau jadi Mamasnya Aay? Biar Aay bisa cerita juga ke temen Aay,” ucapnya. Nadanya kini memelan, suara Aay memendam.

“Emang Aay mau punya mamas kayak Mas Damar? Tadi katanya Mas Damar nakal? Mas Damar bau? Tadi juga Aay ngatain Mas Damar jelek, kan?” balas Damar sok jual mahal.

“Bercanda, Mash,” balasnya. “Aay mau kok punya mamas kayak Mash Damar. Mash Damar baik, Aay suka. Aay nggak pernah diteriak-teriakin kalo main sama Mash Damar, sama Kak Ni juga.”

Damar terpaku di tempatnya. Ucapan Aay membuatnya sedikit tercengang. Teriak-teriak? Maksudnya Aay sering dibentak? batin Damar bertanya-tanya.

“Emangnya ada yang sering teriak-teriakin Aay?” tanya Damar. Tak bisa dipungkiri bahwa kini terbesit sedikit rasa khawatir dalam dadanya.

“Banyak,” jawab Aay tanpa ragu. “Katanya Aay berisik, Aay nakal, Aay suka rusakin mainan.”

“Tapi Aay suka rusakin mainan temen Aay nggak?”

“Bukan Aay, Mash. Ada temen Aay yang nggak sengaja rusakin, tapi jadi Aay yang diteriakin,” balas Aay. Masih menyandarkan kepalanya di bahu Damar. Kedua tangannya yang memeluk leher Damar itu kini melemas, namun masih berusaha ditahannya untuk bertengger di sana.

“Terus Aay nggak bilang kalo bukan Aay yang rusakin?” tanya Damar lagi. Jiwa pembelanya saat ini menguar.

“Nggak berani, soalnya serem semuanya,” balas Aay. “Aay pikir semua orang gede itu kayak gitu, Mash. Suka marah-marah, suka teriak-teriak. Makanya Aay takut kalo Mama sama Papa pergi. Tapi tadi Aay langsung minta anterin ke sini.”

“Kenapa emangnya?”

“Kalo Mama sama Papa pergi, Aay maunya main sama Mash Damar, ke rumah Ibu. Soalnya Mash Damar sama Ibu baik, terus ada Kak Ni. Mash Damar, Ibu, sama Kak Ni nggak suka teriak-teriakin Aay. Kalo Aay nakal apa buat salah, Aay dibilanginnya pelan-pelan. Aay suka,” balas Aay lagi.

Detik itu, Damar tersadar bahwa Aay—adalah seorang bidadari kecil yang dihadiahkan Tuhan kepada keluarga kecilnya. Dan Damar sepatutnya bersyukur sebab dapat merasakan cipratan kasih sayang yang gadis itu sebarkan kepada dunia. Lagi-lagi Damar merasa Aghniya benar. Aay dan Aghniya, adalah dua orang yang berbagi kisah yang sama. Keduanya sama.

Aay dan Aghniya adalah dua orang dengan keceriaan paling besar yang pernah Damar temui sepanjang hidupnya. Namun sepertinya dunia sudah semakin membosankan, hingga orang-orang seperti Aay dan Aghniya justru dianggap seperti pengganggu dengan alibi terlalu berisik, ramai, kekanakan, atau dalam kasus Aay—nakal.

Damar jadi malu pada dirinya sendiri. Mendadak ia pun teringat betapa dirinya jengkel setengah mati dengan seseorang yang justru kini menjadi tambatan hatinya. Dulu, Damar pun menganggap Aghniya menyebalkan dan sebisa mungkin menjaga jarak paling tidak seratus meter dari gadis itu. Sebab Aghniya berisik dan terlalu ekspresif untuk dirinya yang selalu mengusahakan ketenangan. Namun setelah ia mencari tahu lebih dalam, Aghniya justru memberikan sentuhan yang lain dalam hidupnya. Sama seperti Aay.

Berjam-jam yang lalu Damar bahkan menyebutnya ketua mafia, ratu kegelapan, dan lain sebagainya. Namun detik ini, Damar tersadar akan satu hal. Mazaya adalah seorang malaikat kecil yang kesepian.

“Aay boleh main ke sini terus kok kalo Aay suka,” balas Damar.

“Beneran boleh, Mash?”

Damar mengangguk pelan meski Aay tidak dapat melihatnya. “Boleh, Mas Damar kan mamasnya Aay.”

“Bener mau jadi mamasnya Aay?” tanya Aay.

“Benerannnn!”

Aay tak langsung membalas. Gadis itu membenarkan posisinya pada gendongan Damar. Mengalungkan kedua tangannya lebih erat lagi pada lelaki itu. Mencari posisi paling nyaman untuknya terlelap.

“Mas,” panggilnya tiba-tiba.

“Iya,” jawab Damar lembut. “Aay kenapa nggak tidur-tidur, sih? Matanya udah ngantuk banget gitu, merem gih!”

Aay menghela napasnya, “Aay takut dibuang pake kapal laut.”

Damar mau tak mau tertawa, namun segera ia tahan agar tak mengagetkan Aay. Setelahnya ia merutuki dirinya sendiri sebab bicara sembarangan pada anak kecil yang sedang dalam usia ketika mereka mencerna semuanya mentah-mentah. Mengatasinya, Damar mengusap surai pendek Aay yang membingkai wajahnya. Tak lupa merapikan helaiannya dan menyelipkannya ke belakang telinga Aay. “Nggak kok, Mas Damar nggak akan buang Aay pake kapal laut. Mas Damar kan mamasnya Aay sekarang, Mas Damar jagain Aay sampe Aay bobok. Besok pagi kita main lagi,” jawabnya.

“Bener ya, Mas?”

“Iya, Aay tenang aja.”

“Kalo bohong Mas Damar nanti digigit hiu ya? Digigit naga, digigit barongsai terus dikejar ondel-ondel!” balas Aay penuh ancaman.

Damar lagi-lagi membiarkan tawanya lolos, “Iyaa. Iya, Aay.”

“Bobok Ay, baca doa dulu!” ucap Damar lagi.

“Hmmm” gumam Aay. Setelahnya gadis itu diam, bersiap untuk tidur seiring Damar pun kembali mengayun-ayunkan tubuhnya seraya menepuk-nepuk pelan punggung Aay untuk membuat Aay semakin nyenyak dalam tidurnya.

“Mas,” panggi Aay lagi.

Belom tidur juga ternyata, ucap Damar dalam hati.

Nywanywiin Aay, dong!” pintanya dengan suara parau khas orang ngantuk.

“Aay mau dinyanyiin apa?”

Que Sera Sera,” jawab Aay.

Jawaban Aay memang selalu di luar dugaan. Membuat Damar menerka, sebenarnya Aay ini bibit-bibit kaum Aghniya atau justru Ojan?

Namun Aay tetap gadis cilik yang manis, maka Damar masih menoleransinya. Lagi pula, ia pun sudah mendeklarasikan dirinya sebagai Mamas bagi Aay. Maka apapun yang adik perempuannya minta, maka akan ia usahakan.

“Oke, tapi Aay bobok beneran, ya? Ini udah setengah sepuluh,” balas Damar yang kemudian hanya dibalas anggukan oleh Aay.

When i was just a little girl, i asked my mother what would i be?

Will i be pretty, will i be rich?

Suara halus Damar mengalun merdu. Memasuki indra pendengaran Aay dan mengantarnya lebih dalam ke alam mimpi. Damar harap gadis itu tak bermimpi macam-macam, Damar harap Mazaya bermimpi indah. Seindah-indahnya.

Damar masih terus menyenandungkan lagu yang menjadi permintaan dari Aay. Ia tak akan berhenti hingga benar-benar yakin bahwa Aay sudah tertidur pulas. Tak peduli harus berapa putaran ia mengulangi lagu itu. Yang paling penting, Aay tidur dengan nyaman dalam dekapannya hingga pagi kembali menyingsing.

Dan malam itu, sudah tugasnya untuk menunaikan janji sebagai seorang kakak. Menjaga Mazaya hingga gadis itu pulas tertidur.

Selang beberapa menit, Damar akhirnya memindahkan Aay ke kamar sang ibu. Membaringkannya di sana secara perlahan dan hati-hati. Tak lupa menyelimutinya agar Aay terjaga tetap hangat. Kemudian ditatapnya makhluk mungil yang kini terlelap di hadapannya.

Seulas senyum terpatri di wajah Damar. Mazaya benar-benar seorang bidadari. Mazaya benar-benar seorang malaikat kecil yang malam itu memberinya sentuhan kecil yang lantas menguasai hatinya.

Damar mengangkat sebelah tangannya pelan, kemudian dengan hati-hati ia mengusap pipi tembam milik Aay yang diam-diam selalu menarik perhatiannya.

Malam itu, siapapun yang melihat pasti tahu. Permusuhan antara Damar dan Aay sirna, dendam yang selama ini bersemayam dalam dirinya pun habis tak bersisa. Bendera perang yang selama ini dikibarkan dengan api yang berkobar di antara keduanya, resmi diturunkan malam ini.

Kemudian, seraya mempertahankan senyum yang mewakili hatinya yang menghangat, Damar berbisik, “Sleep tight, Aay!

“Mash Damar ini gimana gosok giginyah?” tanya Aay. Gadis itu sudah berdiri di depan cermin dengan bantuan sanggahan kursi untuk menyokong tinggi badannya. Tangan kanannya sudah memegang kuat sikat gigi kecil berwarna merah jambu bercampur putih yang sudah dioles pasta gigi dengan rasa stroberi yang Damar ambilkan dari rumah gadis cilik itu. Menatap ke arah Damar yang masih tersenyum menatap layar ponsel sebab pesan manis yang dikirimkan seseorang yang paling melekat di hatinya.

Damar mendongak, “Gosok gigi aja kayak Aay biasanya gimana?”

Gadis manis itu tersenyum malu. Setelahnya seraya memegangi kepala, Aay terkekeh, “Hehehe lupa! Biasanya Aay dikasih tau Mama.”

Damar tersenyum tipis. Pria yang tubuhnya kini sudah terbalut setelan baju tidur biru dongker itu akhirnya meletakkan ponselnya di suatu tempat yang jauh dari wastafel. Menghindari cipratan air supaya tidak mengenai ponselnya. “Ya udah, barengan sikat giginya sama Mas Damar, ya?”

Aay hanya mengangguk. Ia menunggu Damar memoleskan pasta gigi di sikat gigi miliknya sendiri. “Mash Damar pakenya banyak-banyak emang nanti nggak pedesh?”

“Enggak, Mas Damar udah biasa pake yang ini,” balas Damar. “Aay udah biasa pake yang itu, ya?”

“Iyah, enak yang ini odolnya. Suka Aay emut-emut kalo sikat gigi,” balas Aay. Damar hanya tersenyum membalasnya.

“Udah? Mulai ya? Gosok dulu depannya gigi Aay,” ujar Damar. “Kayak gini nih, iiiiiiii.”

Iiiiiiii,” Aay turut bersuara. Mengikuti cara Damar menggosok gigi bagian depan. Berlanjut ke bagian samping, bagian dalam gigi atas, bawah, dan seterusnya. Damar memandu Aay dengan baik. Dalam hati Damar tertawa geli, rasanya seperti kembali ke masa lalu di mana ia ditunjuk menjadi seorang dokter cilik bersama beberapa teman sekelasnya yang lain. Damar berada di kelas 5 SD saat itu. Tugasnya sederhana, ia hanya harus mengajarkan kepada adik-adik yang menduduki kelas 1 dan 2 caranya menyikat gigi dengan baik.

Entah sudah berapa tahun lalu. Damar bahkan nyaris kehilangan memori itu dalam ingatannya. Namun terima kasih kepada Aay, gelar dokter ciliknya menjadi tak sia-sia.

“Udah, Ay?” tanya Damar yang sudah selesai dengan kegiatannya menggosok gigi sebelum tidur.

“Yang kiri atas belum, Mash. Susahh, Aay nggak bisa!”

“Sini,” ucap Damar. “Mas Damar sikatin. Aay aaaaa!”

Aay membuka mulutnya, mengikuti instruksi Damar. Setelahnya ia membiarkan seseorang yang seharian ini menjadi kakak lelakinya itu untuk menyikat giginya agar lebih bersih. “Kalo yang samping sini digosoknya gini, Ay. Jadi nanti bersih,” tukas Damar.

“Kenapa harus goshok gigi sih, Mash?”

“Ya, biar bersih!” balas Damar. “Aay seharian ini makan apa aja? Permen, kan? Donat, kentang, nasi. Terus tadi Aay minum apa tuh? Es teh, iya kan?”

Gadis kecil itu mengangguk. “Makanan yang Aay makan hari ini tuh bisa ada yang nyangkut di gigi pas Aay kunyah, jadi kalo malem mau bobok harus dibersihin dulu. Caranya ini, sikat gigi,” jelas Damar lagi. Tanpa sadar dirinya sudah mulai berdamai dengan Aay.

“Emang kalo nggak goshok gigi, kenapa?”

“Nanti gigi Aay bolong, mau?”

“Emang bisa bolong, Mash? Dibolonginnya pake apa?”

“Bolongnya sama kuman, Ay. Nanti kumannya makanin gigi Aay sampe bolong. Nanti lama-lama abis, nanti Aay bisa ompong. Mau?” balas Damar lagi.

“Ompong kayak opanya Aay?”

Damar menatap Aay sedikit terkejut, sebelah alisnya terangkat bingung. “Emang opanya Aay ompong?”

“Iya, Mash. Giginya bisa dicopot semua!” balas Aay antusias. Kedua bola matanya bahkan membesar saking bersemangatnya memberi tahu Damar mengenai sang kakek yang memakai gigi palsu.

“Kalo itu karena udah tua, bukan karena nggak pernah gosok gigi!” balas Damar.

“Ooh, emang nanti kalo udah tua giginya suka ompong?” Aay bertanya dengan polosnya.

“Iya. Wajar kalo udah tua giginya ompong atau rambutnya udah tipis.” Berbeda dengan siang tadi, kali ini Damar menjawab semua rasa penasaran Aay dengan sabar.

Mendengar penuturan Damar, Aay berdecak. Sesuai kata Aghniya, Aay adalah anak ekspresif. Ketika ia tidak suka, tercetak jelas delikan matanya yang memancarkan perasaan sebalnya. Seperti yang saat ini nampak di penglihatan Damar. “Kalo gitu Aay nggak mau tua, deh! Nanti Aay ompong!”

Damar terkekeh geli, “Yee, mana bisa? Semua orang nanti pasti makin dewasa—”

“Dewasa tuh apa, Mash?”

“Makin gede, makin tua. Nanti pasti Aay akan setua Mas Damar sama Kak Ni sekarang, nanti Mas Damar juga pasti akan setua Ibu, setua mamanya Aay, papanya Aay. Nggak bisa terus-terusan kecil,” balas Damar lagi.

“Kenapa begitu, Mas?”

“Udah dari sananya begitu, Ay..”

“Emang enak, Mas, jadi orang gede?” tanya Aay lagi. Kali ini, pertanyaannya membuat Damar tersenyum miris. Sebab bahkan dirinya pun memilili keinginan yang sama dengan Aay, tak ingin tumbuh dewasa. Bedanya, Aay hanya tak ingin ompong. Sedang Damar, sebab ia sudah tahu lelahnya menjadi seorang dewasa.

“Kalo itu, Aay harus cobain sendiri rasanya gimana,” ucap Damar. “Makanya, mam-nya yang banyak ya? Minum susunya yang rajin, nanti bisa jadi setinggi Kak Ni.”

Kak Ni. Satu nama yang sejak tadi diam-diam Damar jadikan senjata untuk membungkam Aay ketika pertanyaannya sudah terlampau banyak. Lagi-lagi Aghniya benar, usia Aay memang waktunya penasaran. Pun usia Damar, sebenarnya. Bedanya, Aay hanya penasaran tentang berbagai hal-hal dasar dalam kehidupan. Sedang usia Damar, menawarkan berbagai rasa penasaran akan segala hal yang berkaitan dengan jati diri.

Mungkin Aghniya benar lagi, keduanya sama.

“Udah, Ay. Kumur-kumur terus cuci mulutnya. Mas Damar bersihin sikat gigi Aay,” ucap Damar. Setelahnya Aay hanya menurut. Damar bahkan sedikit bingung di dalam hatinya. Sebab Aay yang kini ia tangani benar-benar berbeda dengan Aay yang ia tangani siang tadi.

Namun ia tak ambil pusing. Mungkin karena sudah malam, mungkin karena Aay memang sudah kelelahan. Atau mungkin karena gadis itu sudah sedikit menurunkan bendera perang yang ia kibarkan sejak pertama kali keduanya berinteraksi.

“Ayo, tidur! Udah jam sembilan,” titah Damar. Kemudian ia menggendong Aay menuju kamar sang ibu yang akan menjadi tempat Aay menginap.

Sepanjang perjalanan, hubungan keduanya justru kian mencair. Aay terus saja bertanya, dibalas dengan Damar yang menjawab seadanya namun tetap membuat gadis itu nyaman bicara dengannya.

“Mash Damar temenin Aay nggak nanti?”

“Iya.”

“Kak Ni cantik, Mash.”

“Iya, Aay juga kok.”

“Kak Ni pacarnya Mash Damar?” tanya Aay tiba-tiba.

“Iya.”

“Nggak cocok, Mash Damar jelek.”

Langkahnya otomatis terhenti. Damar kini memandang Aay dengan tatapan tidak percaya sekaligus tidak terima. Ingin marah, namun segera ia urungkan ketika Aay mengulas senyuman paling manisnya. Hingga kedua matanya menyipit membentuk bulan sabit, persis seperti yang ia lakukan saat meminta Damar memotretnya tadi. “Boong, deh! Mash Damar ganteng!”

Seakan tahu Damar masih menyimpan dendam padanya, Aay kemudian mengalungkan kedua tangannya di leher Damar. Kemudian bersandar pada bahu pemuda itu seiring kantuk semakin menguasai dirinya. Aay menguap, namun masih berusaha untuk bicara. “Twemwennya Aay suka cerita dia punya Mamas. Mamasnya udah SMP, terus dia suka sombong.”

“Oh, gitu?” Damar masih menanggapi. Kemudian alih-alih melanjutkan langkahnya, Damar memilih untuk menganyun-ayunkan tubuhnya pelan. Mengusahakan agar Aay terlelap dulu dalam gendongannya.

Aay mengangguk pelan sebelum akhirnya kembali bersuara. “Mash Damar sekolahnya kelas berapa?”

“Mas Damar kelas dua SMA.”

Seketika Aay kembali mengangkat kepalanya. Tubuhnya bahkan nyaris terhuyung ke belakang, beruntung Damar menahan punggungnya. Kedua matanya yang tadi terkantuk-kantuk itu kini kembali segar bagaikan diguyur air es. “Beneran, Mash?!”

Damar mengangguk bingung. “Kak Ni juga,” ucapnya lagi.

“IYA, MASH?!”

“Iya, cantikkk,” balas Damar seraya tersenyum. Namun senyumannya sirna ketika Aay justru kembali lesu. Kedua bahunya merosot dan gadis kecil itu kembali menyandarkan tubuhnya pada Damar seperti sebelumnya.

“Mash Damar nggak mau jadi Mamasnya Aay? Biar Aay bisa cerita juga ke temen Aay,” ucapnya. Nadanya kini memelan, suara Aay memendam.

“Emang Aay mau punya mamas kayak Mas Damar? Tadi katanya Mas Damar nakal? Mas Damar bau? Tadi juga Aay ngatain Mas Damar jelek, kan?” balas Damar sok jual mahal.

“Bercanda, Mash,” balasnya. “Aay mau kok punya mamas kayak Mash Damar. Mash Damar baik, Aay suka. Aay nggak pernah diteriak-teriakin kalo main sama Mash Damar, sama Kak Ni juga.”

Damar terpaku di tempatnya. Ucapan Aay membuatnya sedikit tercengang. Teriak-teriak? Maksudnya Aay sering dibentak? batin Damar bertanya-tanya.

“Emangnya ada yang sering teriak-teriakin Aay?” tanya Damar. Tak bisa dipungkiri bahwa kini terbesit sedikit rasa khawatir dalam dadanya.

“Banyak,” jawab Aay tanpa ragu. “Katanya Aay berisik, Aay nakal, Aay suka rusakin mainan.”

“Tapi Aay suka rusakin mainan temen Aay nggak?”

“Bukan Aay, Mash. Ada temen Aay yang nggak sengaja rusakin, tapi jadi Aay yang diteriakin,” balas Aay. Masih menyandarkan kepalanya di bahu Damar. Kedua tangannya yang memeluk leher Damar itu kini melemas, namun masih berusaha ditahannya untuk bertengger di sana.

“Terus Aay nggak bilang kalo bukan Aay yang rusakin?” tanya Damar lagi. Jiwa pembelanya saat ini menguar.

“Nggak berani, soalnya serem semuanya,” balas Aay. “Aay pikir semua orang gede itu kayak gitu, Mash. Suka marah-marah, suka teriak-teriak. Makanya Aay takut kalo Mama sama Papa pergi. Tapi tadi Aay langsung minta anterin ke sini.”

“Kenapa emangnya?”

“Kalo Mama sama Papa pergi, Aay maunya main sama Mash Damar, ke rumah Ibu. Soalnya Mash Damar sama Ibu baik, terus ada Kak Ni. Mash Damar, Ibu, sama Kak Ni nggak suka teriak-teriakin Aay. Kalo Aay nakal apa buat salah, Aay dibilanginnya pelan-pelan. Aay suka,” balas Aay lagi.

Detik itu, Damar tersadar bahwa Aay—adalah seorang bidadari kecil yang dihadiahkan Tuhan kepada keluarga kecilnya. Dan Damar sepatutnya bersyukur sebab dapat merasakan cipratan kasih sayang yang gadis itu sebarkan kepada dunia. Lagi-lagi Damar merasa Aghniya benar. Aay dan Aghniya, adalah dua orang yang berbagi kisah yang sama. Keduanya sama.

Aay dan Aghniya adalah dua orang dengan keceriaan paling besar yang pernah Damar temui sepanjang hidupnya. Namun sepertinya dunia sudah semakin membosankan, hingga orang-orang seperti Aay dan Aghniya justru dianggap seperti pengganggu dengan alibi terlalu berisik, ramai, kekanakan, atau dalam kasus Aay—nakal.

Damar jadi malu pada dirinya sendiri. Mendadak ia pun teringat betapa dirinya jengkel setengah mati dengan seseorang yang justru kini menjadi tambatan hatinya. Dulu, Damar pun menganggap Aghniya menyebalkan dan sebisa mungkin menjaga jarak paling tidak seratus meter dari gadis itu. Sebab Aghniya berisik dan terlalu ekspresif untuk dirinya yang selalu mengusahakan ketenangan. Namun setelah ia mencari tahu lebih dalam, Aghniya justru memberikan sentuhan yang lain dalam hidupnya. Sama seperti Aay.

Berjam-jam yang lalu Damar bahkan menyebutnya ketua mafia, ratu kegelapan, dan lain sebagainya. Namun detik ini, Damar tersadar akan satu hal. Mazaya adalah seorang malaikat kecil yang kesepian.

“Aay boleh main ke sini terus kok kalo Aay suka,” balas Damar.

“Beneran boleh, Mash?”

Damar mengangguk pelan meski Aay tidak dapat melihatnya. “Boleh, Mas Damar kan mamasnya Aay.”

“Bener mau jadi mamasnya Aay?” tanya Aay.

“Benerannnn!”

Aay tak langsung membalas. Gadis itu membenarkan posisinya pada gendongan Damar. Mengalungkan kedua tangannya lebih erat lagi pada lelaki itu. Mencari posisi paling nyaman untuknya terlelap.

“Mas,” panggilnya tiba-tiba.

“Iya,” jawab Damar lembut. “Aay kenapa nggak tidur-tidur, sih? Matanya udah ngantuk banget gitu, merem gih!”

Aay menghela napasnya, “Aay takut dibuang pake kapal laut.”

Damar mau tak mau tertawa, namun segera ia tahan agar tak mengagetkan Aay. Setelahnya ia merutuki dirinya sendiri sebab bicara sembarangan pada anak kecil yang sedang dalam usia ketika mereka mencerna semuanya mentah-mentah. Mengatasinya, Damar mengusap surai pendek Aay yang membingkai wajahnya. Tak lupa merapikan helaiannya dan menyelipkannya ke belakang telinga Aay. “Nggak kok, Mas Damar nggak akan buang Aay pake kapal laut. Mas Damar kan mamasnya Aay sekarang, Mas Damar jagain Aay sampe Aay bobok. Besok pagi kita main lagi,” jawabnya.

“Bener ya, Mas?”

“Iya, Aay tenang aja.”

“Kalo bohong Mas Damar nanti digigit hiu ya? Digigit naga, digigit barongsai terus dikejar ondel-ondel!” balas Aay penuh ancaman.

Damar lagi-lagi membiarkan tawanya lolos, “Iyaa. Iya, Aay.”

“Bobok Ay, baca doa dulu!” ucap Damar lagi.

“Hmmm” gumam Aay. Setelahnya gadis itu diam, bersiap untuk tidur seiring Damar pun kembali mengayun-ayunkan tubuhnya seraya menepuk-nepuk pelan punggung Aay untuk membuat Aay semakin nyenyak dalam tidurnya.

“Mas,” panggi Aay lagi.

Belom tidur juga ternyata, ucap Damar dalam hati.

Nywanywiin Aay, dong!” pintanya dengan suara parau khas orang ngantuk.

“Aay mau dinyanyiin apa?”

Que Sera Sera,” jawab Aay.

Jawaban Aay memang selalu di luar dugaan. Membuat Damar menerka, sebenarnya Aay ini bibit-bibit kaum Aghniya atau justru Ojan?

Namun Aay tetap gadis cilik yang manis, maka Damar masih menoleransinya. Lagi pula, ia pun sudah mendeklarasikan dirinya sebagai Mamas bagi Aay. Maka apapun yang adik perempuannya minta, maka akan ia usahakan.

“Oke, tapi Aay bobok beneran, ya? Ini udah setengah sepuluh,” balas Damar yang kemudian hanya dibalas anggukan oleh Aay.

When i was just a little girl, i asked my mother what would i be?

Will i be pretty, will i be rich?

Suara halus Damar mengalun merdu. Memasuki indra pendengaran Aay dan mengantarnya lebih dalam ke alam mimpi. Damar harap gadis itu tak bermimpi macam-macam, Damar harap Mazaya bermimpi indah. Seindah-indahnya.

Damar masih terus menyenandungkan lagu yang menjadi permintaan dari Aay. Ia tak akan berhenti hingga benar-benar yakin bahwa Aay sudah tertidur pulas. Tak peduli harus berapa putaran ia mengulangi lagu itu. Yang paling penting, Aay tidur dengan nyaman dalam dekapannya hingga pagi kembali menyingsing.

Dan malam itu, sudah tugasnya untuk menunaikan janji sebagai seorang kakak. Menjaga Mazaya hingga gadis itu pulas tertidur.

Selang beberapa menit, Damar akhirnya memindahkan Aay ke kamar sang ibu. Membaringkannya di sana secara perlahan dan hati-hati. Tak lupa menyelimutinya agar Aay terjaga tetap hangat. Kemudian ditatapnya makhluk mungil yang kini terlelap di hadapannya.

Seulas senyum terpatri di wajah Damar. Mazaya benar-benar seorang bidadari. Mazaya benar-benar seorang malaikat kecil yang malam itu memberinya sentuhan kecil yang lantas menguasai hatinya.

Damar mengangkat sebelah tangannya pelan, kemudian dengan hati-hati ia mengusap pipi tembam milik Aay yang diam-diam selalu menarik perhatiannya.

Kemudian seraya mempertahankan senyum yang mewakili hatinya yang menghangat, Damar berbisik, “Sleep tight, Aay!