See You!

Haris memasukkan baju-baju kotornya kembali ke dalam tas setelah ia satukan dalam sebuah kantong plastik besar. Di sebelahnya, Dhimas pun merapikan barang-barangnya. Keduanya memastikan tak ada yang tertinggal sebab seluruh rangkaian acara LDKS sudah selesai dan mereka akan segera kembali pulang.

Haris dan Dhimas sudah siap dengan seragam pramuka lengkapnya. Dress code untuk pulang kali ini adalah seragam pramuka sebab mereka diharuskan untuk mengikuti apel penutupan terlebih dulu sebelum pada akhirnya kembali ke sekolah.

“Udah kelar belom?” tanya Dhimas pada Haris yang menunjukkan gelagat sibuk mencari sesuatu. Dhimas mengerutkan alisnya, “Ada yang lupa?”

“Jaket,” balas Haris.

“Jaket apaan?”

“Gue dibawain jaket sama emak gue, tapi kok nggak ada ya?” tanya Haris.

“Jaket lo yang mana?”

“Yang biasa gue pake,” balas Haris lagi. Ia masih sibuk mencari. Membongkar kembali seluruh isi tasnya untuk mencari jaketnya yang kini 'menghilang'. Haris bahkan membuka kembali plastik baju-baju kotor, takut-takut jaketnya tercampur di sana. Tak mudah menyerah, Haris bahkan kembali mengecek setiap bilik kamar mandi untuk mencari jaketnya.

“Ada nggak?” tanya Dhimas.

“Kagak ada,” balasnya. “Duh, di mana ya, anjrit! Itu jaket enak banget dipakenya lagi. Sedih nih gue kalo ilang!”

Dhimas terkekeh, “Coba inget-inget lagi. Beneran kebawa apa enggak?”

“Kayaknya kebawaa, kayaknya gue liat jaket itu di sini. Tapi di mana ya? Kita kan juga nggak pake jaket, masa ilang? Gue keluarin buat apaan juga?” balas Haris lagi.

“Yehh, mana gue tau. Jaket jaket elu!” sahut Dhimas. “Ya udah, nanti tanya aja kakak panitianya. Siapa tau ada yang nemu. Sekarang baris dulu aja, udah dipanggilin tuh dari tadi! Nanti kita ketinggalan apel, ketinggalan balik. Mau nginep lagi lu di sini?”

Alhasil, Haris hanya menghela napas pasrah dan memilih untuk mengikuti perkataan Dhimas. Meski dalam pikirannya ia masih menelaah di mana terakhir kali ia menjumpai jaket kesayangannya itu. Namun nihil, ia tak menemukan ingatan apapun mengenai jaketnya. Seakan ingatannya dalam jangka waktu tertentu terhapus begitu saja.

Kini keduanya sudah bergabung kembali dengan para adik kelas bimbingannya di aula. Kali ini barisan didasarkan kepada yang paling tinggi. Mau tak mau Haris berdiri di paling depan. Di belakangnya adalah Dinda dengan tinggi yang tak jauh berbeda.

Apel penutupan tidak berlangsung lama. Berterima kasih lah pada wakil kepala sekolah yang berpidato tak cukup lama. Setelahnya mereka digiring untuk masuk ke tronton, sesuai dengan pembagian yang sama seperti ketika berangkat.

Entah semesta turut andil dalam penyatuan kembali Gia dan Haris atau bagaimana, yang jelas, keduanya duduk berhadapan sekarang. Namun rupanya interaksi tipis-tipis saat Haris menolongnya itu masih tak cukup untuk menghilangkan kecanggungan di antara keduanya. Masih saja saling membuang muka dan memilih untuk menghindari tatapan masing-masing.

Gia duduk di antara Dinda dan Alfi, seakan-akan gadis itu adalah penengah di antara keduanya yang memang sering ribut. Semetara di seberang, Haris duduk di sebelah Dhimas. Sebelah kiri pemuda itu masih kosong hingga.. Gina yang entah bagaimana caranya bisa masuk ke tronton yang sama dengannya itu menduduki kursi kosong di sebelah Haris.

“Gue sini ya, Ris,” ucap Gina. Haris memandanginya dengan tatapan menghakimi. “Kok lo di sini?”

“Tronton gue penuh, jadi disuruh di sini,” balas Gina. Haris masih menatap Gina bingung, terlebih ketika gadis itu datang tanpa membawa apapun. “Tas lo mana?”

“Di tronton gue. Guenya doang disuruh di sini soalnya di sana nggak muat lagi karena penuh tas. Gue juga nggak tau tuh gimana caranya bisa begitu,” balas Gina.

Setelahnya Haris hanya mengangguk dan tak lagi membalas perkataan Gina. Ia menyugar rambutnya dan memilih untuk mengobrol dengan Dhimas yang berada di sebelahnya. Berusaha tidak memedulikan Gina sama sekali.

Namun rasanya gadis itu tak habis akal untuk mendekatkan dirinya dengan Haris. Terlebih saat mengetahui Gia ada di hadapannya. Dengan santainya, Gina menyandarkan kepalanya pada pundak Haris. Membuat Haris berjengit, “Ngapain sih, Naaaa? Ganggu banget dah lo!”

“Numpang, Riss, ya elah! Ngantuk gue.”

“Belom juga jalan udah ngantuk!” balas Haris lagi. Namun ia pun terpaksa membiarkan Gina merebahkan kepala di atas pundaknya. Sebab bagaimanapun juga, Gina adalah perempuan. Dan gadis itu terpisah dari kelompoknya, mungkin di mobil ini Gina hanya kenal Haris. Maka Haris mengizinkan Gina menggunakan pundaknya sebagai bantalnya selama perjalanan. Sebagai seorang lelaki, Haris pun memastikan agar Gina tak terbentur saat tidur.

Tanpa sengaja, tatapannya bersirobok dengan Gia yang memang duduk berseberangan dengannya. Haris sempat terpaku sesaat sebelum Gia akhirnya lebih dulu memutus kontak mata di antara keduanya. Saat itu, entah mengapa Haris menangkap sesuatu yang lain dari gelagat Gia. Gadis itu nampak—kecewa, entah benar atau tidak, tetapi Haris menangkapnya dengan jelas. Gia bahkan terus memalingkan wajahnya ketika Haris tetap memusatkan pandangannya pada adik kelasnya itu. Seakan benar-benar tak ingin menyaksikan kedekatannya dengan Gina yang saat ini tertidur lelap di bahunya.

Detik itu, Haris pun turut memalingkan wajah sebelum akhirnya menghela napas pelan seraya merutuki dirinya sendiri. Mungkin harapannya akan hubungan yang kembali membaik dengan Gia harus kembali gugur. Entahlah, Haris tak ingin terlalu pusing memikirkannya. Ia pun merebahkan kepalanya di atas kepala Dhimas yang bersandar pada bahu kanannya. Membunuh waktu hingga sampai kembali untuk pulang.


“Perlengkapannya di ambil semua dulu, nih! Hp, dompet, terus senter, jangan sampe ada yang lupa ngambil ya!” ujar Vio.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sekitar tiga jam, mereka semua kini sampai kembali di sekolah. Di sana, Vio sebagai ketua OSIS mengambil alih untuk kegiatan pengembalian barang-barang milik para peserta sebagai bentuk tanggung jawabnya.

Setelah perlengkapan dan barang-barang berharga yang dititipkan itu berhasil menemukan pemiliknya, semua siswa dipersilakan untuk pulang ke rumah masing-masing.

“EH KITA FOTO DULU DONGGG!! JANGAN PULANG DULU!” seru Dinda. Dengan gencar ia mengumpulkan seluruh anggota kelompoknya untuk berfoto bersama di tengah lapangan. Setelahnya mereka pun berkumpul tanpa minat. Sebab sejujurnya sudah sangat lelah dan hal yang ingin segera dilakukan hanyalah pulang ke rumah. Bagaimana tidak? Mereka semua jelas kelelahan, maka bertemu dengan kasur empuk di rumah pasti rasanya bagaikan surga dunia.

Selang dua menit, Dinda berhasil mengumpulkan anggota kelompoknya. Bahkan ia sudah mengumpulkan mereka ke dalam satu formasi yang patut untuk difoto. Setelahnya ia sibuk mencari orang untuk dimintai tolong menjadi fotografer, beruntung Zahra lewat. Maka jadilah gadis itu yang menjadi fotografer grup paling heboh ini.

Puas berfoto, Dinda pun asyik mengecek setiap foto yang dipotret oleh tangan-tangan Zahra. Tak lupa ia berterima kasih, tentunya. “E makasi yak, Jaraa!”

“Kirim, Din! Jangan lu keep sendiri fotonya. Ada muka gue itu, ntar lo diem-diem melet gue lagi,” canda Dhimas.

“IYE IYE YAILAH! Siapa yang mau melet lu siapaaa?! Yang ada gue santet lo, Kak!”

Dhimas hanya terkekeh, “Dah, dah! Pada balik, gih, istirahat! Makasih yaa semuaa atas kerja samanya!”

“Ini abis ini Kak Haris kalo disapa masih sombong nggak nih?” tanya Alfi.

Haris tertawa pelan, “Mana ada lu, Fi, ngarang!”

“Sapa aja emang kenapa?” tanya Haris. “Muka lo serem banget, Kak, mana ada yang berani nyapa dah!” balas Dinda.

“Ya sapa aja nggak pa-pa. Belom tentu gue bales tapi,” sahut Haris lagi. “Nggak, lah. Bercanda. Kalo kenal dan kalo denger pasti gue bales.”

“Ya udah balik dah lu pada, ntar dicariin emak lu,” ujar Dhimas. Setelahnya mereka semua berpamitan dan mulai bergerak menuju arah terpisah, pulang ke rumah masing-masing.

Hingga menyisakan Dhimas dan Haris yang berjalan beriringan menuju gerbang. “Asik banget nih ye, LDKS. Tujuan Kak Vio membangun kebersamaan agaknya berhasil ya? Nempel bat lu sama Gia,” ejek Dhimas.

“Mata lu!”

“Yehh, demen kan lo nolongin Gia? Gimana gimana, pas gendong Gia ngobrol nggak?” tanya Dhimas lagi. Haris hanya melirik tidak suka, menyembunyikan perasaan menggelitik dalam dadanya. Haris bersumpah, ia ingin sekali menonjok wajah Dhimas yang saat ini menampilkan perangai mengejek.

“Berisik banget lo! Balik sana!” usir Haris. Sementara Dhimas hanya tertawa semakin keras.

“Lo dijemput emak lo?” tanya Dhimas setelah tawanya berhasil reda. Haris hanya mengangguk dengan kedua alis bertautan menahan terik matahari.

“Ya udah, gue duluan yak! Bae bae lu, sekolah udah sepi ntar disamperin demit!”

“NYETTT PERGI LO!” umpat Haris.

Benar juga, sekolah sudah sepi. Kakak-kakak panitia pasti akan berdiam di ruang OSIS sebab akan melakukan evaluasi. Sementara para peserta LDKS hampir semua sudah pulang. Bahkan Haris menjadi satu-satunya orang yang menunggu di depan gerbang saat itu. Bangsat Dhimas gue ditinggalin, batinnya.

Haris memilih mengeluarkan ponselnya, banyak pesan masuk dari Hanum rupanya. Adiknya itu mengirimkan banyak foto Haura yang menangis ketika mengetahui Haris tidak pulang ke rumah. Sekon berikutnya ia menekan tombol panggilan guna mengabari sang ibu bahwa ia sudah siap untuk dijemput. Sengaja, Haris memang memilih tidak membawa motor. Bawaannya yang banyak itu membuatnya malas untuk pulang sendiri.

“Ma? Haris udah sampe di sekolah yaa!”

”.....”

“Haris depan gerbang. Okeee, see you!

Tepat setelah Haris memutus panggilannya dengan Mama, seseorang memanggilnya dengan suara lembut.

“Kak?”

Haris menoleh santai—tidak sampai ketika pemuda itu mengetahui siapa yang memanggilnya.

“Ya?” balasnya seraya membalikkan badannya agar sepenuhnya menghadap pada Gia, seseorang yang berdiri di hadapannya sekarang.

Gia menunduk, memainkan jemarinya sendiri. Membuat Haris mengerutkan alisnya, menerka apa yang ingin gadis itu bicarakan. Sekon berikutnya, Gia menengadah, menatap wajah Haris jauh lebih tinggi darinya. “Boleh ngomong sebentar, nggak?”

Haris tak langsung menjawab, pria itu hanya diam memandangi Gia bingung sebelum akhirnya menjawab pertanyaannya. “Boleh.”

“Mau duduk nggak? Biar nggak berat kamu gendong-gendong tas,” ucap Haris lagi. Namun Gia menggeleng dan mengatakan bahwa ia tak masalah jika harus berbicara sambil berdiri. Toh, gadis itu tak akan memakan waktu Haris banyak-banyak. Setelahnya pun Haris hanya mengangguk menyetujui.

“Mau ngomong apa?” tanya Haris.

Gia menelan ludah sebelum memulai pembicaraan. Mengumpulkan segenap keberanian untuk bicara empat mata dengan seseorang yang—paling dominan mengisi bagian hatinya.

“Kakak yang—bawa saya ke aula waktu saya pingsan pas jurit malem, ya?” tanya Gia.

Haris mengulas senyum simpul di sudut bibirnya, “Keliatannya gimana?”

“Keliatannya— iya.”

“Tau dari mana?”

Gia tak membalas. Gadis itu memilih untuk mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah jaket berwarna biru dengan kedua lengan berwarna putih gading yang sangat Haris kenali.

Gia menyodorkannya pada Haris. “Ini punya Kak Haris, kan?” tanyanya. Ia mengulum bibir sebelum lanjut bicara. “Ada bordiran inisial di bagian dalem jaketnya. Bordirannya—sama kayak sapu tangan yang Kakak kasih waktu kita ketemu di sekolah Hanum.”

Haris hanya diam dan merutuki kebodohannya sendiri. Bisa-bisanya ia melupakan tindakannya sendiri. Padahal malam itu Haris-lah yang berinisiatif mengambil jaket dari dalam tasnya untuk menjadi selimut untuk Gia. Namun rasanya ia terlalu panik dan khawatir hingga otaknya itu tak dapat merekam dengan jelas apa yang terjadi saat itu.

“Ini punya Kakak, kan?” tanya Gia lagi. Haris meneguk ludahnya sendiri guna mengusir canggung, barulah setelahnya ia mengangguk. “Iya. Punya saya.”

Gia menghela napas lega seraya tersenyum tipis, setelahnya ia menyerahkan jaket Haris pada pemiliknya. Sementara Haris, pemuda itu menerimanya dengan sebelah tangan kanannya sebelum akhirnya ia jinjing asal-asalan. Membuat Gia menahan napasnya, Haris dengan gestur alaminya, tentu saja tak pernah gagal untuk mengambil alih seluruh perhatiannya.

“Kak,” panggil Gia lagi. Haris tak membalas, ia hanya mengangkat sebelah alisnya sebagai bentuk responsnya terhadap panggilan Gia. “Makasih banyak udah nolongin saya selama di sana. Maaf banget karena ngerepotin Kak Haris terus.”

Haris mengerjapkan matanya berkali-kali mendengar nada bicara Gia yang kian merendah. Tidak, bukan ini yang ia inginkan. Toh, Haris sejujurnya dengan sangat senang hati menolong Gia. Kapanpun gadis itu membutuhkannya. Gia tak pernah merepotkan baginya. Sama sekali tidak merepotkan.

“Udah, Kak. Mau ngomong itu aja, kok,” ucap Gia. “Makasih banyak sekali lagi, Kak Haris. Saya—duluan ya?”

“Gia,” panggil Haris. Membatalkan niat Gia untuk melangkah menjauhinya. Gadis itu menoleh tanpa suara, hanya menatapnya bingung. Menunggu kelanjutan bicara dari Haris yang memanggilnya.

“Saya—boleh gantian ngomong?” tanya Haris. Kini giliran Gia yang termangu. Beberapa detik setelahnya, Gia mengangguk. Kemudian dengan dadanya yang bergemuruh akibat jantungnya sendiri, Gia menanti Haris mengeluarkan kalimat selanjutnya.

Haris menunduk menatap sepatunya sendiri seraya lagi-lagi meneguk liurnya sendiri. Dan setelahnya..

“Maaf.”

Satu kata, namun berhasil membuat Gia mengerti ke mana arah pembicaraan mereka.

“Maaf soal yang waktu itu, Gi. Saya minta maaf karena udah kasar sama kamu, Gia. Perkataan saya pasti nyakitin perasaan kamu banget waktu itu, tapi sejujurnya saya nggak bermaksud begitu, kok. Tapi ya, tetep nggak bisa dibenarkan,” lanjut Haris.

Detik itu, Gia benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Permintaan maaf Haris yang sederhana namun terdengar tulus di telinganya itu resmi membuatnya terdiam. Hingga suara berat lelaki di hadapannya kembali menyadarkannya.

“Saya bener-bener minta maaf, Anggia. Saya pastiin kejadian waktu itu nggak akan terulang lagi.”

Gia terdiam sesaat, kemudian gadis itu tersenyum tipis meski ia sudah ingin menangis saat itu juga. “Nggak pa-pa, Kak. Salah saya juga karena nggak tau situasi. Makasih udah ngejelasin semuanya, Kak Haris. Saya—lega dengernya kalo ternyata Kakak nggak bermaksud kayak gitu,” ucap Gia seraya tersenyum. Haris tahu Gia jujur saat ini, sebab ia dapat dengan jelas menangkap raut lega yang tercetak di wajah cantiknya—yang sudah lama luput dari penglihatannya. Namun hal itu justru meningkatkan rasa bersalahnya. Haris jadi membayangkan betapa terlukanya Gia akibat ucapannya hingga gadis itu benar-benar merasa lega kala Haris mengatakan bahwa ia tidak benar-benar bermaksud mengatakannya.

Setelahnya hening menguasai keduanya. Baik Haris maupun Gia, keduanya sama-sama salah tingkah. Jika ada Dhimas di tengah-tengah keduanya sekarang, maka pria itu akan bergerak selayaknya Dewa Cinta yang akan segera mendorong keduanya agar kembali menghadap satu sama lain dan langsung saja mengutarakan perasaan masing-masing. Sayangnya Dhimas sudah lebih dulu pulang, maka apa yang akan terjadi sekarang, sepenuhnya bergantung pada Haris dan Gia.

“Gia kakinya masih sakit nggak?

“Hm? Oh, udah nggak terlalu, Kak. Udah diperban juga, jadi aman,” balasnya seraya menggoyang-goyangkan kakinya yang terbalut perban. Sejak terluka tadi, Gia memang tak lagi mengenakan sepatunya. Gadis itu mengenakan sandalnya hingga acara selesai.

Haris mengangguk-angguk. “Hati-hati jalannya, takut kesenggol-senggol nanti berdarah lagi.”

“Iya.”

Hening kembali mengisi, membuat Haris kembali berpikir keras harus mencari topik apa lagi. Beruntung, Gia kembali bersuara.

“Kak Haris,” panggilnya lagi.

“Ya?”

“B-boleh absen lagi, kan?”

Tak ada yang bisa Haris lakukan selain membiarkan sudut bibirnya berkedut menahan senyuman. Semakin bagus jika tawanya tak meluncur di hadapan Gia yang kini menatapnya polos. “Iya, boleh, Gia.”

Tepat setelah Haris menjawab, Gia tersenyum senang. Kedua matanya melengkung sempurna menyerupai bulan sabit, Gia tak pernah gagal untuk memikat Haris untuk jatuh lebih dalam lagi.

“Kamu kok belom pulang?” tanya Haris. Memilih untuk mencari topik pembicaraan lain agar keduanya tak lagi perlu bersikap kikuk di depan satu sama lain.

“Ini mau pulang. Itu ojolnya udah di depan jalan sana,” balas Gia. Ah, baru saja Haris ingin mengajaknya berbicara lebih lama. Sebagai balasan atas waktu yang hilang selama hubungan keduanya tak baik. Namun rupanya ia harus mengurungkan niatnya, membuatnya diam-diam mendesah kecewa.

“Oh, oke.”

“Duluan ya, Kak!” pamit Gia. Haris mengangguk seraya memegangi tengkuknya sebagai respons dari ucapan Gia. Setelahnya ia membiarkan gadis itu berlalu pergi.

“Gia,” panggilnya tiba-tiba. Membuat perempuan yang baru saja berjalan beberapa langkah itu kembali menoleh.

“Ya, Kak?”

Haris diam seraya menahan senyumannya agar tidak mengembang semakin lebar. Setelahnya ia menggeleng. “Enggak, hati-hati pulangnya, Gia.”

“Iyaa, Kak Haris juga yaa!” balasnya. Setelahnya Gia pun kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya. Namun entah karena tidak rela gadis itu pergi atau bagaimana, Haris kembali memanggilnya.

“Gia!”

Gia kembali menoleh, “Kenapa, Kak?”

Namun pemuda itu kembali menggeleng, “Enggak, kamu mirip mama saya.”

Sontak, Gia mengerutkan keningnya bingung. Sekon berikutnya gadis itu tertawa, “Masa? Yahh, tapi Kak Haris nggak mirip papa saya.”

Haris kembali menahan senyumnya, “Nggak pa-pa, Gia. Hati-hati pulangnya ya!”

“Iyaaa, Kak Haris juga yaa!” balasnya seraya terkekeh.

“Gia!”

“Kenapa lagi, Kaaak? Kenapa manggilin saya terus gitu?”

“Saya suka nama kamu soalnya,” balas Haris seraya terkekeh. Membuat Gia pun ikut tertawa di tempatnya.

Gia masih mempertahankan senyumnya bahkan setelah tawanya mereda. Setelahnya gadis itu tak membalas ucapan Haris. Melainkan memilih untuk menyudahi pertemuan mereka hari itu. Dilambaikan tangannya halus pada pemuda yang berdiri beberapa langkah darinya.

“Pulang dulu ya, Kak. Sampai ketemu hari Senin?”

Haris membalasnya dengan anggukan kecil seraya tersenyum tipis. “Sampai ketemu hari Senin, Anggia!”