Good Night, Little Angel

“Mash Damar ini gimana gosok giginyah?” tanya Aay. Gadis itu sudah berdiri di depan cermin dengan bantuan sanggahan kursi untuk menyokong tinggi badannya. Tangan kanannya sudah memegang kuat sikat gigi kecil berwarna merah jambu bercampur putih yang sudah dioles pasta gigi dengan rasa stroberi yang Damar ambilkan dari rumah gadis cilik itu. Menatap ke arah Damar yang masih tersenyum menatap layar ponsel sebab pesan manis yang dikirimkan seseorang yang paling melekat di hatinya.

Damar mendongak, “Gosok gigi aja kayak Aay biasanya gimana?”

Gadis manis itu tersenyum malu. Setelahnya seraya memegangi kepala, Aay terkekeh, “Hehehe lupa! Biasanya Aay dikasih tau Mama.”

Damar tersenyum tipis. Pria yang tubuhnya kini sudah terbalut setelan baju tidur biru dongker itu akhirnya meletakkan ponselnya di suatu tempat yang jauh dari wastafel. Menghindari cipratan air supaya tidak mengenai ponselnya. “Ya udah, barengan sikat giginya sama Mas Damar, ya?”

Aay hanya mengangguk. Ia menunggu Damar memoleskan pasta gigi di sikat gigi miliknya sendiri. “Mash Damar pakenya banyak-banyak emang nanti nggak pedesh?”

“Enggak, Mas Damar udah biasa pake yang ini,” balas Damar. “Aay udah biasa pake yang itu, ya?”

“Iyah, enak yang ini odolnya. Suka Aay emut-emut kalo sikat gigi,” balas Aay. Damar hanya tersenyum membalasnya.

“Udah? Mulai ya? Gosok dulu depannya gigi Aay,” ujar Damar. “Kayak gini nih, iiiiiiii.”

Iiiiiiii,” Aay turut bersuara. Mengikuti cara Damar menggosok gigi bagian depan. Berlanjut ke bagian samping, bagian dalam gigi atas, bawah, dan seterusnya. Damar memandu Aay dengan baik. Dalam hati Damar tertawa geli, rasanya seperti kembali ke masa lalu di mana ia ditunjuk menjadi seorang dokter cilik bersama beberapa teman sekelasnya yang lain. Damar berada di kelas 5 SD saat itu. Tugasnya sederhana, ia hanya harus mengajarkan kepada adik-adik yang menduduki kelas 1 dan 2 caranya menyikat gigi dengan baik.

Entah sudah berapa tahun lalu. Damar bahkan nyaris kehilangan memori itu dalam ingatannya. Namun terima kasih kepada Aay, gelar dokter ciliknya menjadi tak sia-sia.

“Udah, Ay?” tanya Damar yang sudah selesai dengan kegiatannya menggosok gigi sebelum tidur.

“Yang kiri atas belum, Mash. Susahh, Aay nggak bisa!”

“Sini,” ucap Damar. “Mas Damar sikatin. Aay aaaaa!”

Aay membuka mulutnya, mengikuti instruksi Damar. Setelahnya ia membiarkan seseorang yang seharian ini menjadi kakak lelakinya itu untuk menyikat giginya agar lebih bersih. “Kalo yang samping sini digosoknya gini, Ay. Jadi nanti bersih,” tukas Damar.

“Kenapa harus goshok gigi sih, Mash?”

“Ya, biar bersih!” balas Damar. “Aay seharian ini makan apa aja? Permen, kan? Donat, kentang, nasi. Terus tadi Aay minum apa tuh? Es teh, iya kan?”

Gadis kecil itu mengangguk. “Makanan yang Aay makan hari ini tuh bisa ada yang nyangkut di gigi pas Aay kunyah, jadi kalo malem mau bobok harus dibersihin dulu. Caranya ini, sikat gigi,” jelas Damar lagi. Tanpa sadar dirinya sudah mulai berdamai dengan Aay.

“Emang kalo nggak goshok gigi, kenapa?”

“Nanti gigi Aay bolong, mau?”

“Emang bisa bolong, Mash? Dibolonginnya pake apa?”

“Bolongnya sama kuman, Ay. Nanti kumannya makanin gigi Aay sampe bolong. Nanti lama-lama abis, nanti Aay bisa ompong. Mau?” balas Damar lagi.

“Ompong kayak opanya Aay?”

Damar menatap Aay sedikit terkejut, sebelah alisnya terangkat bingung. “Emang opanya Aay ompong?”

“Iya, Mash. Giginya bisa dicopot semua!” balas Aay antusias. Kedua bola matanya bahkan membesar saking bersemangatnya memberi tahu Damar mengenai sang kakek yang memakai gigi palsu.

“Kalo itu karena udah tua, bukan karena nggak pernah gosok gigi!” balas Damar.

“Ooh, emang nanti kalo udah tua giginya suka ompong?” Aay bertanya dengan polosnya.

“Iya. Wajar kalo udah tua giginya ompong atau rambutnya udah tipis.” Berbeda dengan siang tadi, kali ini Damar menjawab semua rasa penasaran Aay dengan sabar.

Mendengar penuturan Damar, Aay berdecak. Sesuai kata Aghniya, Aay adalah anak ekspresif. Ketika ia tidak suka, tercetak jelas delikan matanya yang memancarkan perasaan sebalnya. Seperti yang saat ini nampak di penglihatan Damar. “Kalo gitu Aay nggak mau tua, deh! Nanti Aay ompong!”

Damar terkekeh geli, “Yee, mana bisa? Semua orang nanti pasti makin dewasa—”

“Dewasa tuh apa, Mash?”

“Makin gede, makin tua. Nanti pasti Aay akan setua Mas Damar sama Kak Ni sekarang, nanti Mas Damar juga pasti akan setua Ibu, setua mamanya Aay, papanya Aay. Nggak bisa terus-terusan kecil,” balas Damar lagi.

“Kenapa begitu, Mas?”

“Udah dari sananya begitu, Ay..”

“Emang enak, Mas, jadi orang gede?” tanya Aay lagi. Kali ini, pertanyaannya membuat Damar tersenyum miris. Sebab bahkan dirinya pun memilili keinginan yang sama dengan Aay, tak ingin tumbuh dewasa. Bedanya, Aay hanya tak ingin ompong. Sedang Damar, sebab ia sudah tahu lelahnya menjadi seorang dewasa.

“Kalo itu, Aay harus cobain sendiri rasanya gimana,” ucap Damar. “Makanya, mam-nya yang banyak ya? Minum susunya yang rajin, nanti bisa jadi setinggi Kak Ni.”

Kak Ni. Satu nama yang sejak tadi diam-diam Damar jadikan senjata untuk membungkam Aay ketika pertanyaannya sudah terlampau banyak. Lagi-lagi Aghniya benar, usia Aay memang waktunya penasaran. Pun usia Damar, sebenarnya. Bedanya, Aay hanya penasaran tentang berbagai hal-hal dasar dalam kehidupan. Sedang usia Damar, menawarkan berbagai rasa penasaran akan segala hal yang berkaitan dengan jati diri.

Mungkin Aghniya benar lagi, keduanya sama.

“Udah, Ay. Kumur-kumur terus cuci mulutnya. Mas Damar bersihin sikat gigi Aay,” ucap Damar. Setelahnya Aay hanya menurut. Damar bahkan sedikit bingung di dalam hatinya. Sebab Aay yang kini ia tangani benar-benar berbeda dengan Aay yang ia tangani siang tadi.

Namun ia tak ambil pusing. Mungkin karena sudah malam, mungkin karena Aay memang sudah kelelahan. Atau mungkin karena gadis itu sudah sedikit menurunkan bendera perang yang ia kibarkan sejak pertama kali keduanya berinteraksi.

“Ayo, tidur! Udah jam sembilan,” titah Damar. Kemudian ia menggendong Aay menuju kamar sang ibu yang akan menjadi tempat Aay menginap.

Sepanjang perjalanan, hubungan keduanya justru kian mencair. Aay terus saja bertanya, dibalas dengan Damar yang menjawab seadanya namun tetap membuat gadis itu nyaman bicara dengannya.

“Mash Damar temenin Aay nggak nanti?”

“Iya.”

“Kak Ni cantik, Mash.”

“Iya, Aay juga kok.”

“Kak Ni pacarnya Mash Damar?” tanya Aay tiba-tiba.

“Iya.”

“Nggak cocok, Mash Damar jelek.”

Langkahnya otomatis terhenti. Damar kini memandang Aay dengan tatapan tidak percaya sekaligus tidak terima. Ingin marah, namun segera ia urungkan ketika Aay mengulas senyuman paling manisnya. Hingga kedua matanya menyipit membentuk bulan sabit, persis seperti yang ia lakukan saat meminta Damar memotretnya tadi. “Boong, deh! Mash Damar ganteng!”

Seakan tahu Damar masih menyimpan dendam padanya, Aay kemudian mengalungkan kedua tangannya di leher Damar. Kemudian bersandar pada bahu pemuda itu seiring kantuk semakin menguasai dirinya. Aay menguap, namun masih berusaha untuk bicara. “Twemwennya Aay suka cerita dia punya Mamas. Mamasnya udah SMP, terus dia suka sombong.”

“Oh, gitu?” Damar masih menanggapi. Kemudian alih-alih melanjutkan langkahnya, Damar memilih untuk menganyun-ayunkan tubuhnya pelan. Mengusahakan agar Aay terlelap dulu dalam gendongannya.

Aay mengangguk pelan sebelum akhirnya kembali bersuara. “Mash Damar sekolahnya kelas berapa?”

“Mas Damar kelas dua SMA.”

Seketika Aay kembali mengangkat kepalanya. Tubuhnya bahkan nyaris terhuyung ke belakang, beruntung Damar menahan punggungnya. Kedua matanya yang tadi terkantuk-kantuk itu kini kembali segar bagaikan diguyur air es. “Beneran, Mash?!”

Damar mengangguk bingung. “Kak Ni juga,” ucapnya lagi.

“IYA, MASH?!”

“Iya, cantikkk,” balas Damar seraya tersenyum. Namun senyumannya sirna ketika Aay justru kembali lesu. Kedua bahunya merosot dan gadis kecil itu kembali menyandarkan tubuhnya pada Damar seperti sebelumnya.

“Mash Damar nggak mau jadi Mamasnya Aay? Biar Aay bisa cerita juga ke temen Aay,” ucapnya. Nadanya kini memelan, suara Aay memendam.

“Emang Aay mau punya mamas kayak Mas Damar? Tadi katanya Mas Damar nakal? Mas Damar bau? Tadi juga Aay ngatain Mas Damar jelek, kan?” balas Damar sok jual mahal.

“Bercanda, Mash,” balasnya. “Aay mau kok punya mamas kayak Mash Damar. Mash Damar baik, Aay suka. Aay nggak pernah diteriak-teriakin kalo main sama Mash Damar, sama Kak Ni juga.”

Damar terpaku di tempatnya. Ucapan Aay membuatnya sedikit tercengang. Teriak-teriak? Maksudnya Aay sering dibentak? batin Damar bertanya-tanya.

“Emangnya ada yang sering teriak-teriakin Aay?” tanya Damar. Tak bisa dipungkiri bahwa kini terbesit sedikit rasa khawatir dalam dadanya.

“Banyak,” jawab Aay tanpa ragu. “Katanya Aay berisik, Aay nakal, Aay suka rusakin mainan.”

“Tapi Aay suka rusakin mainan temen Aay nggak?”

“Bukan Aay, Mash. Ada temen Aay yang nggak sengaja rusakin, tapi jadi Aay yang diteriakin,” balas Aay. Masih menyandarkan kepalanya di bahu Damar. Kedua tangannya yang memeluk leher Damar itu kini melemas, namun masih berusaha ditahannya untuk bertengger di sana.

“Terus Aay nggak bilang kalo bukan Aay yang rusakin?” tanya Damar lagi. Jiwa pembelanya saat ini menguar.

“Nggak berani, soalnya serem semuanya,” balas Aay. “Aay pikir semua orang gede itu kayak gitu, Mash. Suka marah-marah, suka teriak-teriak. Makanya Aay takut kalo Mama sama Papa pergi. Tapi tadi Aay langsung minta anterin ke sini.”

“Kenapa emangnya?”

“Kalo Mama sama Papa pergi, Aay maunya main sama Mash Damar, ke rumah Ibu. Soalnya Mash Damar sama Ibu baik, terus ada Kak Ni. Mash Damar, Ibu, sama Kak Ni nggak suka teriak-teriakin Aay. Kalo Aay nakal apa buat salah, Aay dibilanginnya pelan-pelan. Aay suka,” balas Aay lagi.

Detik itu, Damar tersadar bahwa Aay—adalah seorang bidadari kecil yang dihadiahkan Tuhan kepada keluarga kecilnya. Dan Damar sepatutnya bersyukur sebab dapat merasakan cipratan kasih sayang yang gadis itu sebarkan kepada dunia. Lagi-lagi Damar merasa Aghniya benar. Aay dan Aghniya, adalah dua orang yang berbagi kisah yang sama. Keduanya sama.

Aay dan Aghniya adalah dua orang dengan keceriaan paling besar yang pernah Damar temui sepanjang hidupnya. Namun sepertinya dunia sudah semakin membosankan, hingga orang-orang seperti Aay dan Aghniya justru dianggap seperti pengganggu dengan alibi terlalu berisik, ramai, kekanakan, atau dalam kasus Aay—nakal.

Damar jadi malu pada dirinya sendiri. Mendadak ia pun teringat betapa dirinya jengkel setengah mati dengan seseorang yang justru kini menjadi tambatan hatinya. Dulu, Damar pun menganggap Aghniya menyebalkan dan sebisa mungkin menjaga jarak paling tidak seratus meter dari gadis itu. Sebab Aghniya berisik dan terlalu ekspresif untuk dirinya yang selalu mengusahakan ketenangan. Namun setelah ia mencari tahu lebih dalam, Aghniya justru memberikan sentuhan yang lain dalam hidupnya. Sama seperti Aay.

Berjam-jam yang lalu Damar bahkan menyebutnya ketua mafia, ratu kegelapan, dan lain sebagainya. Namun detik ini, Damar tersadar akan satu hal. Mazaya adalah seorang malaikat kecil yang kesepian.

“Aay boleh main ke sini terus kok kalo Aay suka,” balas Damar.

“Beneran boleh, Mash?”

Damar mengangguk pelan meski Aay tidak dapat melihatnya. “Boleh, Mas Damar kan mamasnya Aay.”

“Bener mau jadi mamasnya Aay?” tanya Aay.

“Benerannnn!”

Aay tak langsung membalas. Gadis itu membenarkan posisinya pada gendongan Damar. Mengalungkan kedua tangannya lebih erat lagi pada lelaki itu. Mencari posisi paling nyaman untuknya terlelap.

“Mas,” panggilnya tiba-tiba.

“Iya,” jawab Damar lembut. “Aay kenapa nggak tidur-tidur, sih? Matanya udah ngantuk banget gitu, merem gih!”

Aay menghela napasnya, “Aay takut dibuang pake kapal laut.”

Damar mau tak mau tertawa, namun segera ia tahan agar tak mengagetkan Aay. Setelahnya ia merutuki dirinya sendiri sebab bicara sembarangan pada anak kecil yang sedang dalam usia ketika mereka mencerna semuanya mentah-mentah. Mengatasinya, Damar mengusap surai pendek Aay yang membingkai wajahnya. Tak lupa merapikan helaiannya dan menyelipkannya ke belakang telinga Aay. “Nggak kok, Mas Damar nggak akan buang Aay pake kapal laut. Mas Damar kan mamasnya Aay sekarang, Mas Damar jagain Aay sampe Aay bobok. Besok pagi kita main lagi,” jawabnya.

“Bener ya, Mas?”

“Iya, Aay tenang aja.”

“Kalo bohong Mas Damar nanti digigit hiu ya? Digigit naga, digigit barongsai terus dikejar ondel-ondel!” balas Aay penuh ancaman.

Damar lagi-lagi membiarkan tawanya lolos, “Iyaa. Iya, Aay.”

“Bobok Ay, baca doa dulu!” ucap Damar lagi.

“Hmmm” gumam Aay. Setelahnya gadis itu diam, bersiap untuk tidur seiring Damar pun kembali mengayun-ayunkan tubuhnya seraya menepuk-nepuk pelan punggung Aay untuk membuat Aay semakin nyenyak dalam tidurnya.

“Mas,” panggi Aay lagi.

Belom tidur juga ternyata, ucap Damar dalam hati.

Nywanywiin Aay, dong!” pintanya dengan suara parau khas orang ngantuk.

“Aay mau dinyanyiin apa?”

Que Sera Sera,” jawab Aay.

Jawaban Aay memang selalu di luar dugaan. Membuat Damar menerka, sebenarnya Aay ini bibit-bibit kaum Aghniya atau justru Ojan?

Namun Aay tetap gadis cilik yang manis, maka Damar masih menoleransinya. Lagi pula, ia pun sudah mendeklarasikan dirinya sebagai Mamas bagi Aay. Maka apapun yang adik perempuannya minta, maka akan ia usahakan.

“Oke, tapi Aay bobok beneran, ya? Ini udah setengah sepuluh,” balas Damar yang kemudian hanya dibalas anggukan oleh Aay.

When i was just a little girl, i asked my mother what would i be?

Will i be pretty, will i be rich?

Suara halus Damar mengalun merdu. Memasuki indra pendengaran Aay dan mengantarnya lebih dalam ke alam mimpi. Damar harap gadis itu tak bermimpi macam-macam, Damar harap Mazaya bermimpi indah. Seindah-indahnya.

Damar masih terus menyenandungkan lagu yang menjadi permintaan dari Aay. Ia tak akan berhenti hingga benar-benar yakin bahwa Aay sudah tertidur pulas. Tak peduli harus berapa putaran ia mengulangi lagu itu. Yang paling penting, Aay tidur dengan nyaman dalam dekapannya hingga pagi kembali menyingsing.

Dan malam itu, sudah tugasnya untuk menunaikan janji sebagai seorang kakak. Menjaga Mazaya hingga gadis itu pulas tertidur.

Selang beberapa menit, Damar akhirnya memindahkan Aay ke kamar sang ibu. Membaringkannya di sana secara perlahan dan hati-hati. Tak lupa menyelimutinya agar Aay terjaga tetap hangat. Kemudian ditatapnya makhluk mungil yang kini terlelap di hadapannya.

Seulas senyum terpatri di wajah Damar. Mazaya benar-benar seorang bidadari. Mazaya benar-benar seorang malaikat kecil yang malam itu memberinya sentuhan kecil yang lantas menguasai hatinya.

Damar mengangkat sebelah tangannya pelan, kemudian dengan hati-hati ia mengusap pipi tembam milik Aay yang diam-diam selalu menarik perhatiannya.

Malam itu, siapapun yang melihat pasti tahu. Permusuhan antara Damar dan Aay sirna, dendam yang selama ini bersemayam dalam dirinya pun habis tak bersisa. Bendera perang yang selama ini dikibarkan dengan api yang berkobar di antara keduanya, resmi diturunkan malam ini.

Kemudian, seraya mempertahankan senyum yang mewakili hatinya yang menghangat, Damar berbisik, “Sleep tight, Aay!