The Cat's Out Of The Bag

Sebuah lekukan simpul terpatri di wajahnya ketika dua netranya menangkap ransel yang ia kenali lantaran sering menyelundupkan snack cokelat ke dalamnya setiap pagi. Sengaja, Haris kemudian meletakkan miliknya di sebelah ransel yang tersandar di kursi panjang tempat semua anggota basket mengumpulkan ranselnya.

Hari ini adalah hari pertama ia kembali mengikuti kegiatan ekskul setelah sekian lama. Penyebab wajahnya berseri semenjak bel sekolah berbunyi, sebab akhirnya ia bisa bercengkerama kembali dengan yang didamba.

Sesaat kemudian ia memasukkan seragamnya yang sudah berganti dengan kostum basket ke dalam tas. Posenya yang membelakangi lapangan membuat seseorang dengan mudah menyerangnya dari belakang.

“ANJING, DINGIN BANGSAT!” umpat Haris seraya bereaksi cepat menangkap pelaku yang menempelkan es batu tepat di tengkuknya. Matanya menangkap Ojan dan Dhimas yang asyik tertawa dengan tampang watados-nya. “Abis ibadah udah mengumpat lagi aja lo, Ris, Ris. Banyak-banyak minta ampun sama yang Mahakuasa,” balas Ojan.

“Jorok lu! Es batu bekas emut nggak tuh?” omel Haris.

“Iya bekas emut Ojan, katanya biar lo nurut sama dia jadi ditempelin,” sahut Dhimas.

Haris membelalak, “DEMI?”

“Kagak lah, anjrit! Es batu bekas es teh tapi,” balas Ojan. Setelahnya Haris hanya berdecak sebal seraya melepas sepatunya. Melihat itu, Ojan segera mencegah aksi Haris.

“Eh lu ganti baju nggak ngajak-ngajak gue, Ris! Nggak setia kawan lo!” tuduh Ojan. “Males ngajak lo, ngeri diintipin,” jawabnya dengan wajah yang masih jelas tersinggung akibat ulah jahil Ojan dan Dhimas beberapa sekon yang lalu.

“Iihh sembarangan! Yey kira kita cowok apaan?” sengit Ojan dengan nada dan gestur yang dibuat gemulai. Membuat gelak tawa di sekitarnya menguar.

“Ya udah, lah! Gue ganti baju dulu. Titip tas gue, Ris. Ada pusaka emak gue tuh,” ujar Ojan.

“Apaan pusaka emak lo?” tanya Dhimas penasaran.

Bukan Jauzan Narendra jika tak ada jawaban nyeleneh yang keluar dari mulutnya barang sekali. Mengingat kata Damar, dunia justru baik-baik saja jika Ojan tetap pada jalurnya yang selalu nyeleneh.

Pria berbahu lebar itu terkekeh sebelum menjawab, “Tupperware.”

Tawa Dhimas dan Haris kembali menyembur. “SI BANGSATTTTTTT! GUE KIRA APAAN!” balas Dhimas.

Ojan berdecak seraya mengerucutkan bibir, manyun. “Ck! Lo nggak tau sih, Dhim. Ini nyawa terakhir gue nih,” balas Ojan seraya menunjukkan botol minum miliknya. “Gue udah ngilangin lima tau, kata emak gue kalo ini ilang gue bakal dicoret dari kartu keluarga.”

Helaan napas terdengar dari Ojan, “Dah lah, cukup mendengarkan kisah sedih keluarga gue. Gue mau ganti baju dulu.”

“Kita justru bahagia sih kalo lo dicoret dari kartu keluarga lo,” canda Haris. “Seluruh dunia berbahagia pasti,” timpal Dhimas.

“SSSSSSSSAITONIROJIM NI EMANG MAKHLUK DUA!”


Seperginya Ojan untuk berganti baju, Dhimas pamit untuk pulang sebab ia tak ada kegiatan. Menyisakan Haris yang kini duduk sendirian seraya memainkan ponselnya. Menggulirkan layar ke atas, berselancar dengan gawai memandangi timeline aplikasi burung biru guna membunuh waktu. Sesekali ia terkikik geli lantaran menemukan video-video lucu yang seliweran di beranda akun miliknya.

“Ya Allah dongo banget,” ujarnya bermonolog, mengomentari video seorang anak kecil yang kepalanya tersangkut di pipa. Haris masih terkikik geli hingga tak menyadari seseorang sudah mengisi tempat di sebelahnya.

“Kakak, permisi..”

Haris sontak menoleh. Sesaat ia terdiam ketika netranya menangkap seorang yang sedari tadi ia tunggu. Sekon berikutnya ia mengerjapkan mata, kemudian menggeser tubuhnya agar gadis itu dapat meraih ranselnya yang sempat terhalang tubuh tegapnya. “Oh, iya iya silakan,” balas Haris.

“Kok belom ganti baju?” tanya Haris lagi. Tepat setelah itu, Gia yang masih berseragam lengkap itu kemudian mengeluarkan kaus dan celana basketnya dari dalam tas. “Ini mau ganti baju, tadi abis kerja kelompok dulu bikin video,” balasnya.

“Ohh gitu. Video apa?”

“Ngejelasin bentuk-bentuk bakteri gitu, tapi dibentuk beneran pake lilin,” balas Gia. “Seru deh, Kak main main lilin.”

“Iya iya, ganti baju dulu nanti keburu mulai,” balas Haris seraya terkekeh. “Nanti kita ngobrol lagi,” sambungnya. Sementara yang diajak bicara hanya menyunggingkan senyum sebelum akhirnya pergi untuk berganti pakaian.

Selang delapan menit, Gia kembali dengan setelan kaus dan celana basket. Wajahnya terlihat lebih segar, sepertinya gadis itu memang sengaja mencuci muka untuk menghilangkan raut lesu sehabis belajar selama enam jam lebih. Sementara kedua tangannya melakukan skill multitasking ala wanita yang dapat memegang beberapa barang hanya dengan dua tangan. Tangannya penuh dengan setelan seragam, dasi, ikat pinggang, serta sabun cuci muka. Belum lagi, dari kejauhan Haris melihat seorang teman Gia mengembalikan buku catatannya yang tertinggal saat kerja kelompok tadi. Namun gadis itu tetap menghampirinya dengan gelagat santai, menepis semua dugaan Haris yang menyatakan bahwa Gia kerepotan.

“Masih belom mulai, Kak?” tanya Gia. Kemudian mulai melipat seragamnya dengan rapi sebelum memasukkannya ke dalam tas bersama dengan perlengkapannya yang lain.

Haris menggeleng, “Belom, Kak Vio juga belom ada dari tadi.”

Gia hanya ber-oh-ria menanggapi Haris. Setelahnya ia mengambil tempat tepat di sebelah Haris dan mulai memakai sepatunya dengan benar. Selesai dengan sepatunya, Gia mematung sesaat kala mendapati Haris menyodorkan sebungkus biskuit cokelat di hadapannya.

Sebelah alis Gia terangkat, namun perkataan Haris membuatnya langsung paham maksud pemuda itu. “Kan tadi pagi belum,” ucap Haris membuat Gia lantas menerima pemberiannya dengan sukacita.

“Makasih loh, Kak,” ucap Gia riang. “Sama-sama,” balas Haris. “Tapi mejret, Gi. Lupa tadi tasnya dipake tidur sama Ojan.

Gadis dengan rambut hitam panjang yang terkuncir rapi itu kemudian memperhatikan beng-beng di tangannya dengan seksama. Memang tidak terlihat seperti bentuk yang seharusnya. Biskuit cokelat berbungkus merah yang diberikan Haris itu terlihat gepeng pada beberapa sisi. Namun Gia tak mempermasalahkan, gadis itu justru tertawa tatkala menyadari bentuk beng-beng yang gepeng. “Ahahaha iya, nggak apa-apa. Nanti dimakan juga sama aja ancur,” balas Gia.

Haris tersenyum menanggapi. “Tadi kerja kelompok sama siapa? Zahra?” tanyanya. Berusaha tetap menciptakan obrolan di antara keduanya. Sudah lama tak bertemu, lama tak memiliki momen bersama, membuat Haris tak ingin membuang kesempatan sia-sia. Bahkan kalau bisa, Haris akan menahan setiap jam, menit, dan detik agar berhenti bergulir supaya dirinya bisa bertahan lebih lama dengan Gia.

“Iya sama Zahra. Sama ada satu lagi namanya Wili,” balas Gia. Tanpa Haris sadari bahkan gadis itu sudah memakan beng-beng pemberiannya sembari menatap kosong ke lapangan.

“Curiga nggak, Kak, kalo Wili sama Jara tuh jodoh?” celetuk Gia. Haris mengerutkan dahi, “Kenapa emang?”

“Mereka sering banget tau satu kelompok. Ya, absennya emang deketan sih. Tapi kalo diacak nih, disuruh ngitung gitu misalnya. TETEP AJA MEREKA SATU KELOMPOK,” balas Gia lagi. Kali ini ceritanya lebih menggebu-gebu. Membuat sudut bibir Haris berkedut, mati-matian harus menahan gemas dalam diam.

“Kebetulan aja kali,” balas Haris.

“Lah, masa kebetulan berkali-kali sih, Kak? Kata saya mereka beneran jodoh,” balas Gia sengit. Kukuh dengan pendiriannya.

“Lah, kita juga sering ketemu di situasi yang sama. Kamu nggak curiga kita beneran jodoh juga?” balas Haris.

Telak. Ini kekalahan telak bagi Gia. Selain berhasil salah tingkah akibat detak jantungnya yang tiba-tiba meledak mendengar balasan Haris, Gia pun tak punya argumen lagi untuk membalas perkataan Haris. Gia lupa bahwa yang diajak bicara adalah salah satu anggota OSIS yang paling sering diandalkan sang ketua. Pasti pemikirannya jauh lebih kritis dibandingkan dirinya.

Kunyahannya berhenti, Gia mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Menghindari tatapan Haris yang tak luput darinya. Beruntung, selagi memikirkan strategi melarikan diri, pluit tanda kumpul bagi para anggota basket berbunyi. Gia kemudian memanfaatkan kesempatan itu untuk segera kabur. Buru-buru gadis itu membuang bungkusan beng-beng yang sudah tak berisi dan segera berlari ke lapangan. Meninggalkan Haris yang masih setia di tempatnya, memandangi Gia dari kejauhan dengan sebuah senyuman tertahan. Setelahnya ia terkekeh gemas dan akhirnya bangkit untuk bergabung dengan rekan ekskulnya yang lain.


“Gue abisin ya, Ris?”

“Iya abisin aja,” balas Haris dengan napas terengah-engah. Mengizinkan temannya untuk menghabiskan minumnya sebab ia tahu mereka sama lelahnya. Haris baru saja selesai bermain, pemuda itu berhasil menyelesaikan dua babak dengan membawa kemenangan bagi timnya.

Haris memilih untuk meluruskan kakinya di pinggir lapangan seraya mengipasi tubuhnya yang dicucuri keringat. Wajahnya bahkan sudah semerah kepiting rebus lantaran kelelahan. Kali ini adalah giliran Ojan bermain. Vio sebagai ketua ekskul memang sengaja memisahkan Haris dan Ojan yang memang sudah terlalu sering bersama. Agar keduanya beradaptasi dengan anggota yang lain, katanya.

Sebagai teman yang baik, Haris menyoraki Ojan ketika temannya itu memasuki lapangan. Kemudian mengacungkan dua jempol yang mengarah ke bawah sebagai tanda dukungannya. “Cupuuuu, cupuuuu!” ejek Haris, tertuju pada Ojan.

“CELANA LU KEBALIK EGEEE! ITU JAITANNYA DI LUAR GUOBLOK BANGET!” teriak Haris dari pinggir lapangan. Ojan tak menjawab, sebagai gantinya ia meletakkan tangannya di dekat telinga. Mengisyaratkan Haris agar mengulang perkataannya. “CELANA LU KEBALIK!”

Ojan menunduk untuk memeriksa kebenarannya, benar saja. Celananya memang terbalik dengan jahitan yang nampak jelas di luar. Namun, pertandingan akan segera dimulai. Artinya ia tak akan punya waktu untuk membenarkan celananya.

“DAH LAH RIS INI EMANG FASHION!” balas Ojan berteriak dari dalam lapangan seraya berkacak pinggang. Cuek dengan situasi celana terbalik yang ia alami. Toh, ia pun pernah mengalami yang lebih parah, alias ketika celana seragamnya harus robek sangat lebar hingga menampakkan seluruh bagian pahanya akibat main kuda reot. Setelahnya keduanya hanya terkekeh dengan Haris yang turut menggelengkan kepalanya. Walaupun sudah biasa, tetap saja tak habis pikir dengan kelakuan temannya.

Setelah sibuk menertawakan Ojan dengan segala tingkahnya di tengah lapangan, Haris kembali menyadari seseorang berjalan di dekat ring dengan langkah santai. Matanya membelalak sesaat, “Anggia kenapa sih suka banget lewat-lewat di pinggir lapangan kalo ada yang main basket? Kalo kegebok pingsan, Gi!”

Sementara yang diajak bicara hanya cengegesan, “Kan lagi ke sanaaa orang-orangnya, Kak!”

“Ya tetep aja!” balas Haris lagi. “Dari mana sih?”

“Beli mimi,” balas Gia seraya mengangkat botol plastik yang baru saja ia beli dari pedagang di depan sekolah.

“Kakak udah main?” tanya Gia lagi. Gadis itu kemudian mendudukkan diri di tempat kosong sebelah Haris.

“Udah, baru kelar. Kamu tadi duluan ya mainnya?”

“Iya, pertama banget tadi main,” jawab Gia seraya menyugar anak rambutnya yang berjatuhan membingkai wajahnya. Masih tersisa semburat merah pada kedua pipi marshmellow-nya sebagai sisa-sisa lelahnya, menambah kesan manis dari seorang Anggia Kalila Maheswari. Haris terpaku sesaat, seakan-akan otaknya mendapat serangan tanpa peringatan. Benaknya kini sibuk menampar dirinya sendiri agar tidak tertangkap basah oleh orang lain karena memandangi wajah Gia yang menurutnya tanpa cela.

Segala puji bagi Tuhan yang mahabaik. Mungkin sudah terlalu banyak manusia di muka bumi hingga sang pemilik bumi kemudian mengirimkan satu dari sekian banyak bidadari-Nya hingga Haris dapat menemukan salah satunya dengan mudah di depan mata.

“Kakak kok mainnya nggak bareng sama Kak Ojan? Tumben?” Gia kembali bersuara.

“Iya, dipisah sama Kak Vio. Udah keseringan bareng katanya.”

“Oohh. Tapi kalo Kak Ojan yang main rame banget ya, Kak kayaknya?”

Haris terkekeh sesaat sebelum akhirnya mengangguk menjawab pertanyaan Gia. “Dari dulu. Dari SMP setiap dia nongol di lapangan pasti selalu rame. Soalnya emang aneh aja orangnya, urat malunya udah putus juga sih,” sahut Haris.

“Oh, Kakak satu SMP sama Kak Ojan?” Gia bertanya dengan nada terkejut yang alami.

“Iya, mana sekelas mulu dari kelas tujuh. Rame banget udah,” balas Haris lagi.

“Bosen nggak, Kak temenan udah lama gitu?”

“Ini kamu wawancarain saya?” canda Haris. Gia tergelak, “Iya ini lagi siaran langsung, cepet jawab, Kak! Ditungguin pemirsa di rumah.”

Gadis itu kemudian mengangkat sikunya seakan-akan siku kanannya adalah sebuah kamera yang merekam jawaban wawancara Haris. Pria di hadapannya itu tertawa hingga memamerkan deretan giginya yang rapi. Sekon berikutnya kemudian ia menjawab, “Bosen sih enggak, cuma hampir gila aja. Bayangin malem-malem lagi santai di rumah, tiba-tiba Ojan minta tolong karena nyangsang di genteng rumahnya sendiri.”

“Nyangsang gimana, Kakk?”

“Dia suka nongkrong di genteng emang, tapi bapaknya suka bawa masuk tangganya diem-diem. Jadi dia nggak bisa turun,” jawab Haris.

Seakan menular, kini tawa Haris berpindah pada Gia. “Dari dulu, orang-orang sebenernya nggak ada yang mau temenan sama Ojan karena dia emang nggak jelas. Padahal sebenernya rugi banget kalo nggak kenal dia,” Haris berujar lagi.

Hening, Gia pun tak membalas lagi ucapan Haris. Ada sebagian hatinya yang tersentuh melihat seseorang yang begitu tulus membicarakan perihal seorang teman dengan mata berbinar. Membuat senyuman tipis terbentuk di sudut bibirnya tanpa ia sadari.

Setelahnya keduanya tak banyak bicara. Melainkan sama-sama sibuk menonton dan menyoraki Ojan di lapangan. Mendukung selebrasinya setiap kali timnya berhasil mencetak gol meskipun bukan merupakan hasil kontribusinya. Kata Ojan, Kalo bintang betulannya nggak mau bersinar, biar gue yang ambil alih.

“Lawak banget emang ni orang. Yang susah-susah ngegolin siapa yang selebrasi dia mulu,” ucap Haris seraya terkekeh. Pelan, namun rupanya cukup keras untuk sampai ke telinga Gia yang masih tak beranjak duduk di sebelahnya.

Gadis itu sontak menoleh dan menimpali, “IYA IHH MANA NYEBELIN BANGET SELEBRASINYA LAGI!”

Selepas itu, keduanya tak lagi bicara. Melainkan sama-sama fokus menonton pertandingan tim Ojan yang semakin sengit. Kali ini, Gia lebih banyak bicara. Gadis itu sudah seperti komentator pertandingan olahraga dengan jam terbang tinggi hingga selalu memiliki reaksi untuk setiap kejadian di lapangan.

“Ih curanggg! Masa dihalangin gitu emang boleh, Kak?”

“EH—ihhh kenapa sih mainnya emosi banget!?”

“Ih keren!”

“KAK OJAN KAMU KEREN BANGET AKU NGEFANS!!”

“Kak Vio jago banget deh..”

“Ih kenapa dia jatoh sendiri gitu? Aneh!”

Di sebelahnya, Haris terus memandangi Gia diam-diam. Menelisik setiap inci wajah gadis itu dari arah samping, sesekali sudut bibirnya berkedut ketika menangkap ekspresi Gia yang berubah-ubah seiring gadis itu mengomentari pertandingan.

Tiba-tiba Haris teringat dengan percakapannya bersama Dhimas kemarin. Perihal perasaan yang harus ia nyatakan entah kapan. Membuat Haris kembali bergelut dengan benaknya sendiri. Membiarkan isi pikirannya bertarung melawan satu sama lain, membiarkan kalimat paling natural—sebagaimana yang direncanakan—untuk pada akhirnya keluar jadi pemenang dan diucapkan bibirnya untuk mewakili perasaannya.

Suara Dhimas seakan menggema di kepalanya. Wejangan-wejangan Dhimas yang mengatakan untuk tidak menyatakan perasaannya secara dadakan dan mengagetkan itu seakan rekaman yang diputar berulang-ulang dalam indra pendengaran Haris.

Manusia berencana, tetapi tetap Tuhan yang menentukan hasil akhirnya. Dan hari ini, Tuhan menyatakan bahwa rencana yang sudah Haris susun bersama Dhimas, gagal total.

Fokus Haris terpecah begitu saja seiring Gia membiarkan tawanya memecah. Menampilkan raut wajah paling cantik yang berhasil membuat hatinya terpaut setelah sekian lama berdebu. Helaian-helaian rambut yang berjatuhan membingkai wajah, suara tawa renyah yang entah bagaimana caranya membuat hatinya menghangat, hingga netra teduh yang kini menyipit seindah bulan sabit, membuat jantung seorang Haris berdegup kencang. Suaranya bahkan tak hanya memenuhi relungnya, namun juga sampai pada kedua telinganya sendiri.

Membuat Haris rasanya ingin menyatakan pada dunia bahwa—

“Saya suka sama kamu, Anggia.”