Damar VS Aay
“AAY JANGAN! Duhh, jangan yaa, Cantik! Ini ada listriknya, tangan Aay masih basah nanti kesetrum gimana?”
Itulah yang pertama kali didengar Aghniya ketika gadis itu sampai di depan pintu rumah seseorang yang menjabat sebagai kekasihnya setelah sekian lama. Yudhistira Damar, pemuda yang digadang-gadang sempurna itu rupanya memiliki kelemahan juga. Bergelut dengan Aay, adalah salah satunya.
Aghniya tak bisa menahan sudut bibirnya agar tak mengembang kala melihat raut wajah frustrasi tercetak jelas di wajah tirus Damar. Sesekali lesung pipinya terlihat—bukan karena tersenyum, melainkan karena Damar memincingkan bibir guna memikirkan cara apalagi yang harus ia lakukan supaya Aay tenang.
Mazaya, atau yang lebih akrab disapa Aay, gadis kecil berusia tiga tahun yang merupakan anak dari Tante Rahma. Salah satu tetangga Damar yang sangat dekat dengan keluarganya. Sewaktu Damar kecil, Tante Rahma pun sering membantu ibu untuk menjaganya. Itulah yang membuat ibu tak segan mengiyakan permintaannya Tante Rahma untuk menjaga Aay, buah hati satu-satunya.
Di keluarganya, Aay bagaikan permata. Dijaga mati-matian sebab sang ibu pernah sulit mendapat keturunan. Kemudian yang mahakuasa memberi hadiah kepada keluarga kecil Tante Rahma pada usia pernikahannya yang ke-3. Lahirlah seorang Mazaya, bidadari kecil yang kehadirannya menghangatkan hati siapapun yang melihat. Termasuk Damar—setidaknya sebelum gadis itu berumur tiga tahun.
Puas melihat Damar kesulitan mengejar Aay ke segala penjuru, Aghniya akhirnya mengetuk pintu. Gadis itu mengucap salam dengan suara agak keras, membuat Damar yang sedang berlutut dan Aay yang sedang cemberut itu menoleh ke arahnya. Aay yang tiba-tiba sumringah melihatnya, dan Damar yang tiba-tiba merebahkan diri di lantai dengan helaan napas lega membuat Aghniya tak bisa menahan tawanya.
“Kakaaaaakkk!!” seru Aay seraya berlari dengan langkahnya yang kecil. Kedua tangannya direntangkan sebisanya, bersiap memeluk Aghniya. Inisiatif, Aghniya balas merentangkan tangannya dan lekas membawa Aay ke dalam pelukannya sebelum akhirnya menggendong gadis cilik itu.
“Haaaaii!” balas Aghniya. “Aay udah mam?” tanyanya kemudian, basa-basi.
“Udah lah, lo kan tau gue dicolok garpu,” balas Damar keki, masih dalam posisinya menempelkan punggung kekarnya di lantai.
“Kakaak, Mash Damarnya nakal,” adu Aay. Memantik ketidakterimaan dalam dada Damar. Pria itu bahkan bangkit dari posisinya, “Kok jadi aku yang nakal? Emang aku ngapain?”
Aay menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Aghniya, kedua tangannya ia gunakan untuk memeluk leher jenjang sang 'kakak perempuan'. “Aay tadi dimasukin kardus sama Mas Damar tau, Kak! Katanya mau dibuang pake kapal laut biar Aay nggak di sini lagi,” ucapnya sedih.
Damar terkejut untuk sesaat, sekon berikutnya pemuda itu pun terkikik geli. “Abis tadi Aay juga nakal, tangan Mas Damar tadi diapain coba? Dicolok garpu kan? Terus Mas Damar dipukul pake mangkok Aay, nakal kan?”
Aay menoleh defensif, “Tadi kan gara-gara Mas Damar iseng! Mangkok Aay digeser-geser! Terus tadi nakut-nakutin Aay ada tikus ya Aay gebuk!”
“Ooh gituuu,” ucap Aghniya. Menyerobot kesempatan bagi Damar untuk kembali membalas. Aghniya bahkan mengisyaratkan Damar untuk berhenti melalui bola matanya yang membesar. Membuat Damar mau tak mau kembali merapatkan bibir.
“Iyaa, udah yaa? Jangan gitu lagi, oke? Maaf yaa, maafin Mas Damar ya?” ucap Aghniya lembut seraya mengusap punggung Aay yang masih erat memeluknya. Namun Aay menggeleng, menolak keras memaafkan Damar. Sepertinya gadis itu membaca kebencian yang dipancarkan Damar terhadapnya. Maka ia pun memilih untuk mengibarkan balik bendera perang bagi Damar.
“Ay, Mas Damar kan temennya Aay tauu. Kalo Mamanya Aay pergi kan Mas Damar yang jagain Aay. Iyakan?” tanya Aghniya lembut. Aay terdiam cukup lama, hingga akhirnya mengangguk meski ragu-ragu.
“Nah, iya. Berarti Mas Damar itu temennya Aay, loh! Nah, kalo sama temen, kita nggak boleh musuhan, Ay. Kalo temennya buat salah, bikin Aay kesel, bikin Aay sedih, dimaafin ya?” ucapnya lagi.
Damar semakin percaya Aghniya adalah seorang peri yang menyamar. Gadis itu dengan kata-katanya memang selalu ajaib. Bahkan anak kecil yang menurut Damar memiliki kadar brutal sangat tinggi bisa menurut bagaikan tersihir oleh kalimat yang dikeluarkan kekasihnya itu. Damar tersenyum dalam hati. Menikmati hangat yang menelusup diam-diam mengisi celah antar relungnya. Terlebih ketika Aghniya kini mendekat ke arahnya, turut berlutut di hadapannya dengan Aay yang masih berada dalam dekapannya.
“Tuh, Mas Damarnya mau minta maaf,” ucapnya. Kemudian dengan senyum tipis, Damar mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan tangan mungil milik Aay.
“Maaf ya, Aay,” ujar Damar. Sembari cemberut, Aay membalas jabatan tangan Damar. Kemudian ia mengangguk setelahnya.
Namun tak selesai sampai di situ, Aghniya rupanya masih memberi Aay pelajaran. “Tadi kan Mas Damar bilang katanya Aay ngapain ya? Nyolok Mas Damar pake garpu, mukul kepalanya Mas Damar, iya ya?”
Aay menatap Aghniya sesaat, netranya berubah berkaca-kaca. Sempat Damar menangkap raut wajah ketakutan menguar dari Aay, namun sirna setelah Aghniya menggeleng seraya tersenyum dan berucap seraya mengelus surai halus Aay. “Nggak apa-apa, ngerti kok kalo Aay marah. Nggak suka digangguin, dijailin. Tapi nggak boleh kayak tadi lagi ya? Nanti Mas Damarnya sakit gimana? Besok-besok, nanti-nanti, kalo Aay nggak suka digangguin Aay harus bilangnya baik-baik ya? Mas Damar pasti ngerti, kok. Okee?”
Aay yang masih mendongak menatap Aghniya itu kemudian mengangguk. Membuat Aghniya tergelak lantaran gemas. Sekon berikutnya, perempuan yang lebih dewasa itu menangkup wajah Aay. Masih dengan tutur kata yang lembut, berbeda dengan biasanya, Aghniya kembali bicara. “Berarti Aay harus minta maaf juga nggak ke Mas Damar? Kan tadi udah mukul sama nyolok garpu,” ucapnya.
Lagi-lagi Aay mengangguk. Aay kemudian menoleh ke arah Damar yang juga menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Detik berikutnya, suaranya yang imut itu terdengar. “Maaf ya, Mas,” ucap Aay. Dijulurkannya tangan mungil itu kembali ke hadapan Damar.
“Iyaa, nggak apa-apa Aay.” Damar dengan senang hati menyambut uluran tangan Aay. Diterimanya pula permintaan maaf Aay dengan senyuman tertahan lantaran gemas yang masih gengsi untuk ia akui. Bagaimana tidak gemas? Berjabat tangan dengan Aay sama saja menggenggam seluruh kepalan tangannya. Membuat Damar tak punya pilihan selain harus menggigit jari agar tak menghabisi Aay dengan cubitan gemasnya.
“Ay,” panggil Damar. Gadis kecil yang kini sudah kembali memamerkan tawa riangnya sebab digelitik oleh Aghniya itu menoleh ke arahnya. “Jalan-jalan sama Mas Damar mau nggak?”
Aay terdiam. Bibirnya dimajukan, menjadi perwakilan sang empunya yang sedang berpikir menimang jawaban. Cukup lama, hingga gadis itu akhirnya merespon ucapan Damar.
Aay menggeleng keras, “Nggak mau, ah! Mas Damar kepalanya BAU!”