Eyes Wide Open

Tatapan yang kini nanar itu diarahkan pada seseorang yang selalu didambakan untuk berjumpa oleh empunya. Satria, pria itu kini menggantikan Azriel untuk menjaga Yasmine yang masih ingin 'beristirahat' lebih lama. Di luar, menunggu dengan gundah yang sama besarnya dengan miliknya, turut serta Wilona, Haikal, dan juga Elzan. Ketiganya pun ingin tahu kabar Yasmine, namun memprioritaskan Satria yang memang menaruh hati pada adik Azriel satu-satunya itu.

Pria dengan kemeja berlengan pendek hijau yang sengaja ia jadikan luaran atas kaus hitamnya itu meletakkan tangannya di tepi kasur sembari sesekali memundur-mundurkan kedua tangannya. Takut-takut akan menyentuh milik Yasmine yang terkulai lemas meskipun ia benar-benar ingin menggenggam tangan Yasmine. Akhirnya setelah perdebatan panjang dengan batinnya sendiri, Satria mendekatkan jemarinya pada buku jari telunjuk Yasmine. Hanya berani mengelusnya perlahan.

Sebelah tangannya kembali ia tarik untuk menopang dagunya sendiri, sementara punggungnya merosot bungkuk. Lemas seakan tanpa tulang, berbanding terbalik dengan Satria biasanya yang selalu berdiri tegak layaknya seorang pangeran yang ditatar untuk selalu memiliki postur tubuh yang baik.

“Yas,” panggilnya. Matanya mengikuti ke mana jarinya berada, memperhatikan gerakan jemarinya sendiri yang mengelus sendi-sendi jari jemari Yasmine. “Kangen,” sambungnya.

“Kekhawatiran gue sama Bang Jiel selama di sana, sama, Yas. Lo adalah alesan kami nggak betah di sana. Setiap hari gue ngeliatin Bang Jiel, dia—” Satria menggantung ucapannya. “Gue tau sorot matanya, pikirannya Bang Jiel selalu terpusat ke lo, Yas.”

“Gue juga..” lirihnya kemudian.

Sekon berikutnya ia mengulum senyum yang dipaksakan, menepis segala penyebab air matanya menerobos tiba-tiba. Ia berusaha menguatkan diri sebab benaknya mengingatkan, pasti Yasmine tak ingin dirinya bersedih. Narsis, tapi boleh juga usahanya untuk menguatkan diri.

Seperti orang yang memiliki perubahan suasana hati cepat, senyumnya seketika luntur. Berganti dengan ekspresi wajah meratapi dirinya sendiri. “Padahal gue udah susun banyak-banyak rencana buat ngajak lo jalan-jalan tau, Yas,” getir Satria.

“Gue dikasih tau cafe lucu sama Bang Adam, dulu dia sering ke sana sama mantannya. Jadi gue berencana ngajak lo ke sana juga. Terus, kita bisa naik MRT biar lo bisa merasa kita lagi menjalankan sebuah petualangan. Gue juga mau ngajak lo ke Kebun Raya Bogor biar lo bisa merasa kayak Alice in Wonderland yang lagi berkelana.” Satria tak henti-hentinya meracau. Kemudian entah segenap keberanian dari mana, ia menggenggam jemari Yasmine.

“Lo.. capek banget ya, Yas?” tanya Satria yang ia sendiri tahu tak akan mendapat jawaban. Pria itu mengembuskan napas, “Gue jadi mikir, selama ini gue minta lo bertahan. Gue berdoa supaya lo tetap sehat dan hidup. Jatohnya gue egois nggak ya, Yas? Padahal gue nggak pernah tau rasanya jadi lo, gue nggak ngerti gimana beratnya hari-hari lo, gue nggak pernah tau gimana usaha lo menjalani satu hari penuh. Tapi gue tetep asik aja minta sama Tuhan supaya lo nggak ninggalin gue. Jatohnya egois nggak ya, Yas?”

Lagi-lagi terdengar helaan napas dari Satria. Netranya kini beralih pada wajah tirus Yasmine, menatapnya tulus dengan binar berkilauan di bola matanya. Entah mewakili cintanya atau lelaki itu justru berkilat menahan tangis. “Yas,” panggilnya. Suaranya bahkan bergetar sekarang.

“Semua orang taunya gue bercanda. Mungkin satu dunia menganggap begitu..” lagi-lagi Satria menggantung ucapannya. “But i love you, i really do.”

Air matanya menetes ketika bibirnya berhasil meloloskan kalimatnya hingga selesai. Satria segera mengusapnya dan berusaha mengembalikan perasaannya pada keadaan netral agar tak menjadi pertanyaan teman-temannya yang menunggu di luar. “Gue.. pamit dulu ya, Yas. Nggak enak sama yang lain, mereka juga mau ketemu lo,” ucapnya. Seulas senyuman tipis dilayangkan kepada yang dicinta meski Yasmine tak membalas. Satria tidak keberatan, ia kemudian menggenggam pelan tangan Yasmine dengan sedikit meremasnya pelan. Sebagai terakhir kali sebelum ia benar-benar melenggang keluar ruang rawat yang terisi banyak alat untuk menyokong kesehatan Yasmine agar kembali pulih.

Satria menutup pintu sebelum akhirnya berbalik, berniat menghadap teman-temannya. Namun alih-alih Haikal, Elzan, dan Wilona, yang ia temukan justru adalah ayah Yasmine yang baru saja datang. Membuat wajahnya menampilkan ekspresi bingung dan terkejut yang seakan berbalapan.

“Eh, ada Satria,” sapa ayah. Mau tak mau Satria tersenyum dan menepis bingungnya jauh-jauh. Sebagai anak yang tahu sopan santun, Satria kemudian meraih tangan ayah untuk kemudian ia kecup sebagai tanda hormat. “Iya, Om. Baru dateng?”

Ayah mengangguk, setelahnya celingak-celinguk, “Kamu sendirian? Azriel mana?”

“Enggak, Om. Tadi sama temen-temen yang lain, mereka juga mau jenguk Yasmine. Cuma nggak tau nih, pada ke mana. Bang Azriel tadi pulang dulu, saya yang suruh. Soalnya kayaknya udah lesu banget, Om, biar istirahat dulu aja yang enak di rumah,” jelas Satria panjang lebar. Ayah hanya membalasnya dengan anggukan paham disertai senyuman puas. Mungkin sedikit berbahagia melihat ada seorang lain yang rela untuk bisa diandalkan.

“Terima kasih banyak ya, Satria,” ucap ayah.

Satria mengibaskan tangannya di depan wajah, mengisyaratkan apa yang ia lakukan bukanlah apa-apa. Toh, ia juga bukan sehabis menyelamatkan dunia. “Nggak perlu makasih, Om. Gimanapun juga saya, sama Yasmine, sama Bang Jiel berteman cukup baik. Jadi selama saya bisa bantu, saya pasti bantu,” pungkasnya.

Tak ada jawaban dari ayah, membuat Satria berinisiatif membukakan pintu. Menawarkan pria paruh baya di hadapannya menengok sang anak. “Om mau masuk?”

Ayah mengangguk cepat, lupa akan niatnya. “Iya, Om masuk dulu ya?”

“Iya, iya, Om. Silakan,” ujar Satria. Kemudian ia membukakan jalan untuk ayah dengan menyingkir dari hadapan pintu. Setelah dengan decakan penuh sebal ia menyusuri koridor rumah sakit dengan langkahnya yang menggebu-gebu. Kesal sebab teman-temannya benar-benar meninggalkannya tanpa kabar.


“Yas? Adek?”

Ayah bergumam seraya mengerjapkan bola matanya tak percaya. Melihat putrinya menatap balik ke arahnya. Namun seseorang di seberangnya, Yasmine, jauh lebih terkejut mendapati sang ayah memasuki ruangan. Kemudian apa tadi? Apakah telinganya berfungsi dengan baik? Ayahnya memanggilnya apa tadi?

“Adek?” ulang Yasmine lirih. Alih-alih memberi jawaban, ayah justru mempercepat langkahnya menghampiri Yasmine. Meraih kedua bahunya, ayah menatapnya penuh binar. Tatapan yang tak pernah sampai pada Yasmine selama ini. Seakan tak berhenti membuat Yasmine merasa seperti sedang bermimpi, ayah turut membelai halus surai hitamnya yang terasa lengket sebab entah berapa hari tak ia cuci.

Yasmine hanya terdiam kaku, menatap sang ayah dengan matanya yang berkaca-kaca. Namun tangisnya masih tertahan dengan baik, mungkin terhalang benaknya yang masih berusaha mencerna semuanya dengan baik. Apakah sekarang ia terbangun dan memasuki sebuah realitas dunia yang lain di mana dirinya adalah anak kesayangan ayah?

Arah pandang Yasmine mengikuti ayah yang kini menarik kursi mendekat ke arah tempat tidurnya. Menimbulkan bunyi decitan yang mengilukan telinga sebab gesekan kursi besi dengan lantai. Yasmine yang kini bersandar dengan bantal yang sempat ia tinggikan dengan segenap usaha dan tenaganya yang belum sepenuhnya pulih itu kini berhadapan dengan lelaki yang selama ini ia kenali sebagai ayahnya.

Ayah berdeham ketika sudah duduk dengan nyaman. Sesaat sesudahnya ekspresi ayah berubah. Menampakkan jelas sorot matanya yang meredup, kilatan bahagia yang tadinya terpancar kini tersingkir. Tergantikan dengan pancaran kecewa, sedih, marah—hancur.

“Adek—pipinya masih sakit?” tanya ayah.

Yasmine nyaris bergidik merasakan canggungnya berbicara dengan ayah yang kini mengeluarkan tutur lembut. Tak ada hardikan, tak ada sorot mata yang seakan menyambarkan petir pada sekujur tubuh Yasmine, tak ada tangan yang senantiasa melayang di udara bersiap untuk menamparnya habis-habisan karena masalah kecil sekalipun. Namun Yasmine hanya menggeleng kecil. Membuat Ayah sudut bibir ayah tertarik perlahan seiring sang empunya mengangguk kaku.

Telunjuk ayah diarahkan pada sudut bibirnya sendiri. Membuat Yasmine menelisik lebih dalam, ada area kebiruan khas orang yang sehabis ditinju preman. Luka lebam dari mana itu?

Jawabannya segera ia temukan ketika sang ayah kemudian tertawa seraya mengelus wajahnya yang terluka. “Tamparan Ayah ke Adek waktu itu udah dibales Mas Jiel, tenang aja,” ucap ayah. Masih dengan setia memamerkan senyum yang tak pernah menjadi hadiah bagi Yasmine sejak kecil.

“Ayah minta maaf, Adek.”

Senyum ayah sirna. Entah berapa banyak topeng yang ayah kenakan hari ini, Yasmine menerka-nerka sendiri mengingat betapa cepat perubahan ekspresi ayah di hadapannya saat ini. Ayah seperti mesin undian tiket yang biasa ia mainkan dengan Azriel. Yang ketika dijalankan akan memutar acak berapa banyak tiket yang akan mereka dapatkan. Bedanya, ayah adalah mesin undian ekspresi yang ketika dijalankan akan memutar acak ekspresi apa yang akan ditampilkan pada sekon selanjutnya.

“Ayah minta maaf,” ulangnya. Seakan ingin membuktikan pada siapapun yang melihat bahwa ayah benar-benar tulus mengucapkannya. Terutama pada Yasmine yang kini masih terpaku dan enggan membuka suaranya.

“Banyak waktu yang terbuang, Ayah nggak bisa beli lagi dengan harga tawaran setinggi apapun. Ayah akan sangat mengerti kalo Adek marah, atau gantian benci Ayah,” tukas ayah. Kini Yasmine tak punya pilihan untuk mendengarkan dengan baik dan tidak memotong. Sebagaimana pesan bunda yang selalu berkumandang di telinganya sejak kecil. “Ayah benar-benar minta maaf, Yasmine. Mewakili semua orang di keluarga Ayah yang selalu menganggap Yasmine nggak ada di dunia ini, yang selalu menganggap Yasmine jauh di bawah dan pantas diinjak. Eyang Putri, semua adik-adik Ayah beserta suami atau isterinya. Semua. Ayah minta maaf atas nama diri Ayah sendiri dan mereka semua, keluarga besar Ayah,” lanjut ayah.

“Maaf dari kecil Ayah selalu mengalihkan pandangan Ayah dari Adek dan cuma fokus sama Mas Jiel.” Terlihat raut wajah yang memancarkan ragu untuk menyambung kalimatnya sendiri.

“Bukan karena Adek nggak bersinar, justru karena Adek adalah anak Ayah yang paling bersinar. Sinar Adek selalu paling terang, tapi kebencian dan dendam Ayah yang terlalu ganas—gelap, sampai-sampai sinar Adek selalu tertolak sama Ayah,” pungkas ayah kemudian.

Yasmine masih diam. Namun tak bisa ditampik bahwa hatinya yang sudah hancur berkeping-keping itu terasa seperti kembali pulih. Seakan digantikan dengan yang paling baru. Bahkan lebih kokoh dari sebelumnya.

“Ayah sudah bicara dengan keluarga besar yang lain. Bahwa ini waktunya perubahan. Kita nggak bisa terus-terusan menghidupkan tradisi keluarga yang mencelakakan anggotanya sendiri. Bukan cuma Adek, tapi semua. Ya—tapi jelas Adek yang paling menderita. Ayah minta maaf karena Adek harus ngalamin semua ini karena pemikiran keluarga Ayah yang—bodoh,” ujar ayah. Sudut bibir Yasmine berkedut melihat ayah yang kini menunduk. Jelas terlihat bahwa ayah merasa bersalah hingga menusuk relungnya sendiri. Yasmine membatin, ia paham rasanya.

Yasmine tebak, saat ini mungkin terputar di dalam benak ayah suara-suaranya sendiri yang menggema di kepala. Selayaknya kaset rusak yang terus memutar pertanyaan yang semakin menenggelamkan dirinya ke dasar penjara paling gelap dalam dirinya sendiri. Terkurung dengan kekecewaan terhadap diri sendiri. Dikutuk oleh rasa bersalah teramat dalam. Ayah macam apa dirinya? Pantaskah ia disebut sebagai seorang ayah?

Bagaimana bisa seorang pemimpin dalam keluarga membiarkan salah satu anggotanya tertinggal sangat jauh hingga tak pernah merasakan rangkulan hangat bernama keluarga?

Tidak becus! Harusnya Yasmine memiliki ayah yang lebih baik!

“Yayas anak Ayah. Dari dulu begitu. Kalau Yayas mau tau, Ayah yang kasih nama Yasmine dulu. Ayah siapkan dari jauh-jauh hari, siap menyambut Yasmine dan Yazid datang ke bumi. Ayah dulu senang bukan kepalang, begitu juga Eyang Putri dan Eyang Kakung. Tapi itulah manusia, terlalu senang berharap terlalu tinggi sampai lupa kalau tetap Tuhan yang punya kuasa. Akhirnya luput dari rasa syukur dan menikmati kekecewaan yang mendalam, sampai nyaman dengan dendam dan kebencian akan takdir yang sudah ditulis dengan sangat baik oleh yang mahakuasa,” tukas ayah.

“Yasmine Arthawidya Cantika, putri Ayah satu-satunya. Mulai sekarang Yasmine nggak boleh menghindar. Ini!” ucap ayah menyodorkan sebelah telapak tangannya yang ia buka lebar-lebar di hadapan Yasmine. “Ini, gandeng tangan Ayah kalau Yasmine takut nggak diterima. Karena, Dek, sekarang kalau mereka nggak mau nerima kamu, kita akan pulang sama-sama. Kalau mereka masih mau bertahan pada adat kolotnya, kita pulang sama-sama. Adek nggak perlu lari lagi sendirian. Tapi kita pulang sebagai anggota keluarga yang sama-sama nggak diterima.”

“Yasmine anak Ayah, sama kayak Mas Jiel. Ayah bangga sama Adek, Ayah nggak benci sama Adek. Ayah—sayang sama Adek. Sama besarnya dengan cinta yang selama ini dihujankan di atas kepala Mas Jiel. Sama.” Menyingkirkan semua pertahanan kokohnya, ayah membiarkan dirinya runtuh di hadapan sang putri. Air matanya luruh membasahi pipi, beserta isakan pilu. Membuat Yasmine mau tak mau ikut kehilangan pertahanan. Wajah datar yang sedari tadi ia pajang kuat-kuat akhirnya lengser juga dari hadapan ayah. Yasmine turut menangis. Ucapan ayah membuatnya kalah telak.

“Ayah,” panggilnya. Yasmine menggeleng pelan, “Yayas nggak akan benci Ayah. Karena akan lebih banyak waktu yang harus Ayah bayar nantinya. Cukup hari ini Ayah melihat ke arah Yayas, menganggap Yayas juga bagian dari anggota keluarga Ayah, anak Ayah. Itu—udah lebih dari cukup untuk membayar semuanya. Terima kasih, Ayah. Yayas lega sekarang.”

Andai Yasmine tahu, bahwa sang ayah jauh lebih merasa lega. Seakan sesuatu yang membuat paru-parunya terasa sempit sejak beberapa hari lalu hilang seketika. Seakan seluruh beban di dunia ini lenyap tak bersisa. Bahagia bukan kepalang, ayah menarik Yasmine ke dalam dekapan pertamanya setelah bertahun-tahun. Dekapan hangat yang selama ini selalu menjadi angan bagi putri satu-satunya di rumah. Setelah belasan tahun hidup di dunia, hari ini akhirnya Yasmine merasakan bersandar di dada paling hangat di dunia. Hanya dalam hitungan sekon, pelukan ayah menjadi tempat paling nyaman dalam hidup Yasmine. Mengalahkan Azriel dan bunda.

Bukan lagi Azriel, bukan lagi Eyang Kakung, apa lagi Satria. Hari itu Yasmine tidak peduli catatan waktu, ayah otomatis menjadi cinta pertamanya meskipun terlambat bertahun-tahun.

Yasmine anak Ayah, sama kayak Mas Jiel. Ayah bangga sama Adek, Ayah nggak benci sama Adek. Ayah—sayang sama Adek. Sama besarnya dengan cinta yang selama ini dihujankan di atas kepala Mas Jiel. Sama.

Kalimat itu terus menggema di kepalanya. Yasmine tersenyum disela tangisannya mendengar kalimat yang ia selalu nantikan. Mendengar kalimat yang selama ini terasa seperti legenda yang rasanya bahkan tidak memiliki kemungkinan untuk terwujud. Kalimat itu terus menggema di kepalanya, dan tentu Yasmine akan selalu membiarkannya begitu. Yasmine akan membiarkan kalimat itu terus menggema di kepala, memantul pada setiap bagian tulang oksipital. Mendekam selamanya di sana, bahwa hari ini ketika kedua matanya kembali terbuka, mata ayah pun terbuka sama lebarnya.

Yasmine kasat mata. Ayah akhirnya melihat ke arahnya. Terbuka. Mata ayah sudah terbuka. Semoga selamanya begitu.