Lampu Hijau

Karena terlalu banyak bercanda, akhirnya Ojan harus mengalah pada banyak orang yang pada akhirnya menyerobot antrean wudunya untuk salat Zuhur saat istirahat kedua di sekolah. Bagaimana tidak? Alih-alih buru-buru mengambil wudu, Ojan malah sibuk menertawakan celananya yang tak kunjung tergulung lantaran terlalu longgar di bagian betis. Asal digulung, turun lagi. Digulung lagi, turun lagi. Kalau digulung lagi? Ya turun lagi. Membuatnya tak ayal menyemburkan tawa hingga susah berhenti.

Ojan akhirnya melipir dari antrean. Toh, ia pun sudah menerima banyak protes dari banyak massa di belakangnya. Toh, kalaupun ia teruskan mengambil wudu dan melaksanakan ibadah, pasti tak akan khusyu karena salatnya akan batal bahkan saat niatnya belum selesai dibaca. Namun bukan Ojan namanya jika kalah dengan keadaan. Masa cuma gara-gara celana terlalu longgar untuk digulung, dia menyerah begitu saja? Tentu tidak. Tidak akan.

Meninggalkan teman-temannya yang lanjut berwudu, Ojan menyelinap ke kantin. Setelahnya ia kembali dengan kedua sisi celana yang sudah tergulung—pada akhirnya. Ojan lantas memamerkan keberhasilannya pada Haris, Damar, dan Dhimas yang baru saja selesai wudu—hendak memasuki masjid untuk ikut salat berjamaah.

Guys, liat dong! Akhirnya celana gue bisa digulung!”

Ketiganya menoleh pada sumber suara. Tone suara dan intonasinya yang familiar membuat mereka tak perlu lagi menebak milik siapa suara itu. Keheningan serta raut-raut wajah bingung mendominasi selama sepersekian detik. Dan ketika sekon berganti, ketiganya tergelak bersamaan. Penyebabnya, tak lain adalah celana panjang Ojan yang kini sudah tergulung—lebih tepatnya dipaksa diangkat sebatas betis dan kemudian diikat pinggirannya oleh karet gelang merah yang termasyhur di kalangan penikmat nasi bungkus. Membuat dua buah kunciran model ekor kuda kecil kini menghiasi sisi kanan dan kiri kakinya. Kemudian dengan bangga Ojan berjalan seakan-akan dirinya adalah model yang membelah runway dengan pesonanya.

“Weh itu bulu kaki lu meronta-ronta minta dibebaskan!” ujar Dhimas seraya tertawa. Menunjuk bulu-bulu kaki Ojan yang terhimpit oleh celananya yang 'dikuncir'. Sementara yang diajak bicara hanya tertawa seraya dengan bangga tetap berkacak pinggang, memamerkan hasil karyanya yang revolusioner.

“Udah sana wudu, abis itu salat buruan. Nanti keburu bel! Jangan bercanda lagi ya!” titah Damar pada akhirnya. Kemudian mengajak Haris dan Dhimas untuk buru-buru masuk karena tanda mulai salat sudah dikumandangkan.

Haris membanting pelan sepatunya di depan koridor masjid. Menarik sedikit celananya, Haris kemudian duduk di atas lantai masjid yang digadang-gadang terasa sesejuk ketika melihat wajahnya yang masih basah terbasuh air wudu. Pemuda itu tak langsung memakai sepatunya, melainkan ia memilih untuk mengecek ponselnya sementara sembari menunggu Damar dan Dhimas yang belum selesai. Tiba-tiba, seseorang duduk di sebelahnya. Membuat Haris menoleh sepintas.

Rupanya Alwan, pria berbadan tambun yang tingginya nyaris setara dengan Haris itu menunduk hormat kepada sang kakak kelas sebelum memakai sepatunya. Melihat itu, Haris pun membalas sapaan Alwan dan memilih untuk memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

“Sendirian, Kak?” tanya Alwan. Haris tahu itu hanya basa-basi, namun mengingat ia memiliki suatu hal yang harus dibicarakan dengan Alwan, maka ia membalasnya dengan baik.

“Enggak, yang lain masih di dalem,” balas Haris, berusaha terdengar ramah. “Wan, saya mau nanya boleh nggak?” tanya Haris to the point. Ia tahu waktu pertemuannya dengan Alwan sangat singkat, maka ia memaksimalkan yang ada.

Pria bernama belakang Anggara itu terlihat bingung, namun pada akhirnya mengangguk juga. “Tanya apa, Kak?”

Haris menatap Alwan lurus, setelahnya ia mengerjapkan matanya ragu. Namun ia tetap pada pendiriannya, memaksimalkan waktu yang ada. “Yang laporin Gio waktu itu ke BK—kamu?” tanyanya.

Mengerti ke mana arah pembicaraan Haris, Alwan menghentikan aktivitasnya sejenak. Pandangannya kini ia fokuskan pada Haris yang nampak mengajaknya bicara serius. “Iya, Kak. Kenapa emangnya? Ada masalah lagi?”

Haris menggeleng cepat, “Oh, enggak. Nggak ada masalah kok, nanya aja. Soalnya saya kan diskors, jadi nggak tau apa-apa. Tiba-tiba pas balik lagi ke sekolah katanya Gio dikeluarin, terus katanya ada yang laporin dia ke BK. Jadi, penasaran aja.”

“Oh, iya, Kak. Itu saya yang laporin,” balas Alwan lagi. Sebenarnya, Haris ingin bertanya alasannya. Tetapi niatnya seakan maju-mundur di kepala. Setiap kali Haris ingin utarakan, ucapannya itu seakan tertelan kembali ke dalam tenggorokan.

Menyadari gelagat Haris yang tak biasa, Alwan mendahului niat Haris. “Masih ada yang mau ditanyain, Kak?”

Haris sontak menoleh, setelahnya ia terkekeh pelan. Malu, sebab rupanya niatnya terbaca dengan gamblang oleh lawan bicaranya. “Enggak kok, nggak ada. Cuma mau nanyain itu aja,” balasnya. “Sama—makasih banyak ya, Alwan. Meskipun saya nggak tau yang kamu lakuin itu ada kaitannya sama saya atau enggak, tapi yang jelas tindakan kamu itu sangat membantu untuk nyelesain kasus saya sama Gio. Jadi, makasih banyak,” ucap Haris lagi. Tulus dari dalam hati. Melupakan semua persaingan yang ia ciptakan sendiri antara dirinya dan Alwan, Haris benar-benar berterima kasih.

Di hadapannya, kini Alwan tersenyum seakan yang ia lakukan bukanlah apa-apa. Pemuda itu mengibaskan tangannya di depan wajah, “Ah, enggak, Kak. Saya bantu ngelurusin aja masalah Kakak karena waktu kejadian kebetulan saya ada di sana. Mungkin Kakak nggak sadar karena saya emang ada di seberang jalan, tapi saya denger semuanya. Saya liat semuanya. Sayang aja rasanya kalo saya tau yang sebenernya tapi diem aja dan ngebiarin fitnah yang menang.”

Haris tak pernah merasa kalah sebelumnya. Haris tak pernah merasa nyalinya ciut sebelumnya. Hingga hari ini, duduk di hadapannya seseorang yang lebih muda darinya. Namun soal isi kepala dan keberanian, keduanya sebanding. Bahkan Haris merasakan ada setitik nyali yang mengkerut di dalam dirinya. Malu, Haris malu akan kesombongannya sendiri. Masih pantaskah ia mengelu-elukan namanya sebagai satu-satunya yang pantas untuk memenangkan hati Gia sekarang? Sebab rasanya gadis itu sudah berada di tangan penjagaan yang tepat. Jauh lebih tepat dibanding dirinya.

“Gantian saya yang nanya, boleh, Kak?” tanya Alwan.

“Iya, boleh, tanya aja.”

“Kalo saya nggak salah tebak, kayaknya kita berdua—suka sama orang yang sama deh, Kak,” balas Alwan.

Skak mat!

Haris mendadak terjebak antara harus berpura-pura bingung atau benar-benar bingung. Alhasil, alis tebalnya bertaut. Dan belum sempat Haris bertanya, lagi-lagi Alwan mendahului niatnya.

“Kak Haris suka sama Gia, ya, kan?” ucap Alwan memastikan. Sementara Haris hanya diam, bibirnya terasa seperti dibungkam dengan perekat paling ampuh. Alwan benar-benar membombardir dirinya habis-habisan.

“Dari cara Kakak ngeliat dia, ngelindungin dia dari jauh, atau diem-diem kayak waktu kejadian sama Gio dan LDKS—saya tau kalo orang yang kita suka, itu sama. Saya yakin semua orang juga tau. Cuma mereka nggak berani ngeledekinnya aja,” Alwan bicara lagi. Gelagatnya santai, menunjukkan bahwa ia sama sekali tak takut ataupun merasa canggung.

Sementara Haris terdiam, Alwan lanjut memakai sepatunya. Setelah selesai, ia menghentak-hentakkan kakinya pelan untuk memastikan sepatunya sudah nyaman terpakai di kakinya. Setelahnya Alwan menengadah, kembali menatap Haris yang masih berusaha mencerna ucapan Alwan beberapa sekon yang lalu.

“Maju aja, Kak. Saya udah lama kepikiran untuk mundur, kok.”

Kedua alis tebal Haris bertaut, “Kenapa?”

Sudut bibir Alwan berkedut seiring pemuda itu mengendikkan bahu. “Mungkin karena saya tau yang Kakak nggak tau?” ucapnya, lalu ia beranjak pergi. Meninggalkan Haris dengan segala hal yang masih gamang, berenang di kepala.

Kalau begini, bukankah artinya ia baru saja mendapat sebuah lampu hijau? Bukankah harusnya ia merasa senang sebab ia bisa dengan leluasa bergerak melancarkan serangannya?

Bukan. Bukan ini yang ia mau. Bukan lampu hijau secara cuma-cuma dari lawannya yang menyerah begitu saja yang Haris mau. Bagaimanapun juga, ia ingin persaingan yang adil. Tanpa ada seseorang yang harus terpukul mundur tanpa alasan yang jelas.

“Alwan!” panggilnya.

Adik kelasnya itu kembali menoleh, beruntung langkahnya belum jauh. “Ya, Kak?”

“Kalo kita emang beneran suka sama orang yang sama, bukannya harusnya kita saingan secara adil? Kenapa kamu mundur tiba-tiba?” ucap Haris.

Alwan tersenyum simpul, setelahnya ia mengangguk pelan. “Udah kok, Kak. Kita udah bersaing secara adil. Kakak jangan ge-er, saya mundur juga bukan untuk alesan ngalah sama Kakak kok, tapi karena udah waktunya aja. Saya mundur karena kekalahan saya udah terlihat jelas di depan mata,” ucapnya.

“Jangan lupain yang saya bilang, Kak. Saya tau sesuatu yang Kakak nggak tau,” sambungnya lagi. Kali ini disertai cengiran yang justru membuat Haris semakin bingung.

“Semangat ya, Kak! Saya dukung pokoknya,” ucap Alwan. Setelahnya tubuh tegapnya itu menghilang di balik tembok, meninggalkan Haris bergelut dengan benaknya sendiri hingga Dhimas datang menepuk bahunya. Membuat Haris mau tak mau berjengit dan melotot saat mengetahui sang pelaku.

Sementara yang dipelototi hanya mengeluarkan raut wajah tanpa dosa. Tersenyum tanpa rasa bersalah. “Bengaaang, bengong! Mikirin apa sih, Pak Haji?” canda Dhimas.

Haris berdecak sebelum akhirnya menggeleng, “Kagak. Nanti, dah! Lo harus jadi konsultan gue lagi hari ini!”

“Widiiih, ada apaan nih?” tanya Dhimas seraya mulai mengembalikkan bentuk kaus kakinya seperti semula ketika akan ia kenakan.

Terbilang cukup lama hingga Dhimas mendapat jawaban dari pertanyaannya. Sebab Haris terdiam beberapa sekon. Mungkin masih berusaha mencerna situasi. Mungkin hati dan otaknya masih bergelut satu sama lain, menentukan pemenang antara akal sehat atau egonya.

Satu sapaan dari mulut Dhimas membuat Haris kembali pada realita. Pria yang digadang-gadang sebagai dokter cinta di siklus pertemanannya itu pun mengulang kembali pertanyaannya. “Ada apaan sih, Ris? Lo jangan bikin gue penasaran dong, dosa lu!”

Haris pun menoleh. Ia menggeleng pelan seraya mengerucutkan bibir.

“Lampu ijo, Dhim,” jawab Haris kemudian.

“Lampu ijo,” ucapnya lagi, dengan nada yang lebih pasti.