Lifted
Panji bergegas keluar ketika Kiara mengabarkan gadis itu sudah berdiri di depan gerbang rumahnya pukul tiga sore. Katanya gadis itu membuat kue hari ini, dan membaginya dengan Panji dan mamanya merupakan hal yang biasa gadis itu lakukan.
Kiara sedikit berjengit ketika pintu kayu bercat putih itu terbuka dan menampakkan Panji yang nampaknya baru bangun tidur. Nampak dari penampilannya yang acak-acakan. Rambutnya tak disisir, lengan kaus putihnya tergulung asal, dan satu-satunya yang rapi adalah celana training hitamnya.
“Sorry ya, Kir. Baru bangun, lo nunggu lama?” tanya Panji. Suara itu, suara serak khas orang bangun tidur yang sudah lama tak menghampiri rungu Kiara, berhasil membuat gadis itu menelan ludahnya.
Panji menyisir rambutnya menggunakan jari-jari. Di hadapannya, Kiara segera menggeleng pelan. Seraya tersenyum, Kiara menyerahkan sepiring bolu cokelat buatannya ke hadapan Panji. Yang segera pemuda itu terima dengan senang hati. Tahu ada , tak lupa Panji pun mengucap terima kasih.
“Tante Tiur lagi pergi?” tanya Kiara. Panji mengangguk, “Iya, lagi pergi sama Galuh.”
“Ohh,” balas Kiara. “Tante Tiur sama Galuh tuh beneran udah kayak ibu sama anak deh.”
Mendadak, kantuk Panji yang bersisa itu menguap. Bersatu dengan udara. Mendengar konfirmasi kedekatan Galuh dengan ibunya membuat Panji menahan senyumnya seraya menunduk. “Iya?” tanya Panji.
Kiara mengangguk, “Suka diledekin sama Juna. Mama lo lebih sayang Galuh daripada gue sama Juna. Yaa, wajar sih. Gue sama Juna emang jarang ada waktu buat mama lo. Galuh yang paling sering nemenin Tante Tiur.”
Panji hanya manggut-manggut menyimak ucapan Kiara. Setelahnya ia hanya diam. Menatap bolu cokelat hangat di tangannya, setelahnya tatapannya ia arahkan pada wajah Kiara. “Ini beli bahannya sama Juna?” tanya Panji.
Dulu, setiap kali Kiara ingin membuat kue, gadis itu akan membombardir ponselnya dengan ratusan pesan untuk membangunkannya. Meminta Panji untuk mengantarnya membeli semua bahan untuk membuat kue, pula membantunya untuk membuat kue yang pada akhirnya dibagikan pada beberapa tetangga terdekat.
“Enggak,” jawab Kiara. “Sendiri.”
Panji mengangkat sebelah alisnya, “Sendiri?”
“Sendiri,” Kiara mengangguk mantap.
“Kenapa nggak minta temenin Juna?” tanya Panji. Namun Kiara menggeleng, “Nggak mau. Kalo bikin kue seruan sama lo. Jadi gue selalu sendiri semenjak lo pergi.”
Hening.
Baik Panji dan Kiara sama-sama terdiam. Panji tahu, dirinya termasuk jahat sebab meninggalkan Kiara tanpa kabar. Dan membiarkan gadis itu satu-satunya orang yang tidak tahu perihal kepergiannya. Namun ini semua juga demi dirinya sendiri. Bagaimanapun juga harus ada yang mengambil tindakan. Kalau tidak Kiara, maka dirinya yang harus mengambil tindakan.
“Lo chat gue jam setengah tiga pagi, nggak ngigo kan, Ji?” tanya Kiara.
Benar juga, Panji baru ingat bahwa ia harus membicarakan sesuatu dengan Kiara.
Pemuda itu kemudian menggeleng, “Enggak. Beneran kok, itu.”
“Terus gimana?”
“Gimana apanya?” tanya Panji.
“Kita?”
Panji terkekeh pelan. “Ohh, kita,” ucapnya. “Lupain aja. Kali ini bener-bener lupain, secara damai. Kita bisa ngobrol lagi.”
Kiara mengulum bibirnya, “Gue minta maaf, Ji. Harusnya waktu itu gue ngasih lo kejelasan, nggak mainin perasaan lo kayak gitu.”
Netra Kiara berkaca-kaca, penyesalan itu rupanya masih bersemayam di dalam diri Kiara. Bedanya, Panji tak lagi merasakan ada yang terluka dalam hatinya.
Maka Panji tersenyum tipis, lebih kepada menertawakan dirinya sendiri. “Nggak pa-pa, Kir. Gue juga minta maaf, ninggalin lo tanpa kabar dan belakangan ini kasar sama lo. Makasih, btw, udah bawain gue bolu lo.”
“Sama-sama,” balas Kiara. “Can we be friends again?“
Panji mengangguk singkat, “Ya. Tapi nggak kayak dulu.”
Kini giliran Kiara yang mengangguk paham, “I see, that's okay. I get it.“
Benar, Panji dan Kiara bisa berteman lagi. Namun tidak seperti dulu di mana Panji akan selalu ada di depannya untuk melindunginya. Bagaimanapun juga Panji harus menghargai posisi Juna sebagai kekasih Kiara. Pemuda itu harus menjaga sedikit jaraknya agar tidak mendahului posisi Juna. Agar tak lancang mengambil alih posisi yang seharusnya diisi oleh Juna.
“So, the lift has been lifted?” tanya Kiara lagi.
“I guess so,” balas Panji seraya tersenyum.
Baru saja keduanya ingin lanjut berbincang, seseorang menginterupsi. “Heh, heh, ngapain, tuh? Ngapain tuh?!”
Panji melihat Galuh yang rupanya sudah pulang bersama sang ibu. Kedua tangan gadis itu membawa banyak sekali tas belanjaan berisi sayur-sayuran dan bahan makanan lainnya. Panji baru tahu, rupanya Galuh menemani ibunya berbelanja bulanan. Gadis itu bahkan tak mengizinkan ibunya membawa seluruh bawaan berat itu.
“Eh, Kiara,” sapa Tiur. Kiara mengangguk sopan membalas sapaan Tiur. “Udah lama, Kir?”
“Nggak kok, Tante. Aku baru, ini abis nganterin bolu aja buat Tante sama Panji. Aku yang buat tadi,” balas Kiara ramah.
“Waah, repot-repot. Makasih banyak ya, Nak!” balas Tiur. Setelahnya wanita paruh baya itu beralih menatap Panji.
“Ekhem, permioooss!” sapa Juna tiba-tiba. Pria berbahu lebar dengan proporsi tubuh sempurna itu bergabung dengan perkumpulan di depan rumah Panji. Siapapun yang melihatnya pun pasti tahu, Juna juga baru bangun tidur. “Ada apa nih, rame-rame? Ada yang mau hajatan, kah?”
“Sunatan lu, kan, Jun?” canda Panji. “Sembarangan!” protes Juna. Setelahnya netranya menangkap sepiring bolu cokelat yang berada di tangan Panji.
“Wuih, ada makanan, nih! Bagi, Ji!”
“Enak aja, ini punya gue! Minta tuh sama cewek lo!”
Panji dan Juna terus ribut, sementara Tiur dan Kiara sibuk menengahi. Keributan keduanya terhenti ketika Tiur mengambil alih bolu cokelat dan mengatakan bahwa mereka akan kembali melakukan temu kangen. Keputusan itu langsung disetujui mengingat Panji pun sebentar lagi harus kembali ke perantauannya.
“Ya udah, Panji. Kamu mending bantuin Galuh deh, bawain belanjaannya ke dalem. Kasian, dari tadi bawa-bawa pasti berat. Nggak mau gantian sama Mama dari tadi,” ucap Tiur.
Mendengar ucapan mamanya, dan juga nama Galuh tentunya, Panji langsung menurut. Dengan sigap ia melangkah keluar pagar dan menghampiri Galuh setelah memberikan sepiring bolu itu kepada sang ibu. “Sini, Gal. Gantian,” ucap Panji.
Galuh akhirnya memberikan separuh bawaannya kepada Panji. Meskipun Panji memintanya agar memberikan semua belanjaannya, Galuh menolak. Padahal kekuatan Panji pasti jauh lebih besar darinya, membawa belanjaan sebanyak ini pun pasti lebih mudah bagi pria itu. Namun biarlah ini menjadi kontribusi Galuh terhadap sang malaikat Tante Tiur sebab sudah turut membayarkan belanjaannya.
“Separo-separo aja, Ji! Bisa kok gue!” ucap Galuh. Panji akhirnya mengalah dan membawa setengah dari bawaan Galuh. Pemuda itu mengangkat tas belanjaan berisi berbagai macam makanan ringan dan segulung alumunium foil yang diletakkan mencuat dari dalam tas belanja. Membuat pinggiran benda itu tak sengaja mengenai bagian pinggir perut Galuh.
Gadis itu terkejut dan sedikit berjengit, membuat Panji menoleh heran. “Kenapa, Gal?”
“Ituuu, alumunium foilnya kena gue. Geli!” balas Galuh.
“Lah, gelian lu?”
“Ya iyalah, emang ada manusia nggak geli?” tanya Galuh.
Berbicara tentang kelemahan diri pada manusia paling jahil seantero dunia adalah kesalahan yang fatal. Dan Galuh baru saja melakukannya.
Alih-alih berhenti dan memindahkan posisi alumunium foil itu, Panji justru meletakkan tas belanjaan yang sempat dijinjingnya. Kemudian justru menggelitik Galuh pada tempat yang sama. Sekali, tiga kali, Galuh masih menepisnya dengan sabar.
Namun untuk yang kesekian kali—
“GELI ANJ—”
Galuh menoleh cepat. Dibiarkannya semua tas belanjaan itu berserakan di jalan. Setelahnya ia terpaksa berlari mengejar Panji yang baru saja menggelitiknya untuk kesekian kali. Sebab ketika ia menoleh dan bersiap memukulnya, pemuda itu sudah menghilang lantaran berlari dengan kecepatan tinggi.
Dari kejauhan Panji berlari mundur seraya mengejek Galuh dengan perangai jahilnya. Ada setitik perasaan menggelitik yang sudah lama tak Panji rasakan kala melihat Galuh dengan kekesalannya yang membara mengangkat tangannya di udara seraya berlari ke arahnya, siap untuk menghabisi nyawa Panji saat itu juga.
Sudah lama sekali sejak terakhir kali Panji tertawa selepas sore ini. Membuat kebahagiaan turut menyeruak dalam diri Juna yang menyaksikan sahabatnya kala itu.
The weight has been lifted. Sebab ketika Panji memutuskan untuk kembali ke rumah, hatinya pun menemukan rumah baru untuk tempatnya menetap.