Three Old Friends

“Gimana Jogja, Ji?”

Juna memulai percakapan seiring Panji mulai menggunakan tangannya untuk mengipasi asap yang mengepul dari semangkuk mie rebus di hadapannya. Walaupun di depannya tersuguh banyak buah-buahan dan kue kering, mie instan tetap jauh lebih menarik.

Keduanya kini tengah berkumpul di rumah Juna untuk bercengkrama setelah sekian lama. Meski Juna mengajaknya untuk pergi ke luar, Panji berusaha tak membuat Juna memaksakan diri hanya untuk menyenangkannya. Maka jadilah ia yang berkunjung ke rumah sahabatnya itu, yang akhirnya disetujui dengan alasan untuk sekaligus bertemu dengan ibu Juna.

“Biasa aja,” jawab Panji setelah menyeruput kuah segar mie rebus miliknya. “Tapi seru, gue banyak belajar hal baru.”

Juna manggut-manggut setuju. Memang benar adanya. Juna pun melihat perubahan dari sikap Panji semenjak pria itu merantau ke kota yang disebut sebagai Kota Pendidikan itu. Mungkin budaya di sana yang masih menjunjung tinggi segala unggah-ungguhnya membuat Panji beradaptasi dan menyerapnya ke dalam diri sendiri. Dibuktikan dengan bagaimana cara Panji mencium tangan ibunda Juna yang lebih terlihat seperti orang sungkem. Pria itu membungkuk nyaris 90 derajat, ketika bicara pun kedua tangannya ia simpan di depan dekat dengan pinggang, tutur kayanya lembut, serta tak membiarkan orang yang lebih tua mendongak ke arahnya. Berbeda dengan Panji yang terakhir kali Arjuna jumpai.

“Kuliah lo lancar?” tanya Juna.

“Lancar, ini lagi libur—Jun maaf, bagi sambel lagi dong tolong,” ucap Panji. Pria itu mengulurkan tangannya untuk meraih sebotol saus sambal yang berada dekat siku Juna—yang segera ia berikan pada Panji. “Makasih,” ucapnya.

“Lo gimana?” Panji bertanya balik.

Seraya mengerucutkan bibir, Juna kemudian manggut-manggut menjawab pertanyaan Panji. “Lancar, cuma yaa stress stress dikit mah ada,” balasnya seraya tertawa.

Panji mengangguk menyetujui, “Pasti, lah! Gue aja baru kelar tipes nih, stress UAS.”

Juna melotot, “Bisa sakit lu?”

“Iya, lah. Gimana enggak? Begadang mulu, telat makan, sekalinya makan sembarangan. Ditambah gue stress mikirin materi UAS bejibun abis. Nggak gila aja udah bagus,” keluh Panji.

Keduanya kemudian terkekeh bersama. Relate. Ada yang bilang bahwa kebahagiaan menjadi mahasiswa perguruan tinggi ternama hanyalah saat hasil tes menyatakan diterima. Dan baik Juna maupun Panji tak ingin menggunakan opsi lain kecuali menyetujuinya.

“Lo sampe kapan di sini, Ji?”

“Sampe libur gue abis. Dua bulan, lah. Kasian juga Mama sendirian terus, ini juga sebenernya gue masih nggak tega. Soalnya gue kabur tiga tahun dibayarnya cuma dua bulan,” balas Panji seraya membelah telur setengah matang yang sedari tadi bertengger manis di atas mie yang kini sudah nyaris habis itu. Membiarkan cairan kuning telur mengalir keluar, menambah nafsu makannya.

“Iya, lo lama banget sih nggak pulang-pulang. Ngapain dah? Betah banget di Jogja!” umpat Juna.

“Yah, gimana ya..”

Baru saja Juna ingin membalas, seseorang menerobos masuk dan memanggil namanya keras-keras. Suara itu, dengan nada itu, Panji tahu siapa yang datang.

“Junaaaaaaaahhh!! Keluar, yuk!!”

Itu Kiara.

Seakan seluruh bagian tubuh mengalami malfungsi, ketiganya sama-sama terdiam kaku. Garpu yang siap menyuapkan segulung mie milik Panji menggantung di udara, Juna yang sedang mengaduk kuah agar bumbunya lebih merata pun terhenti, begitu pula dengan Kiara yang baru saja datang.

Ketiganya bertukar pandang, setidaknya sebelum Panji menjadi yang pertama memalingkan wajahnya. Alat makan yang sedari tadi tak lepas dari genggamannya kini dibiarkan terlepas begitu saja. Nafsu makannya resmi hilang meski telur setengah matangnya itu seakan memanggilnya.

Juna memandangi Kiara dan Panji bergantian. Mendadak atmosfer ruangan menegang. Kiara masih terpaku, kemudian berjengit ketika terdengar suara geseran kursi seiring Panji bangkit dari duduknya.

Pria itu membawa mangkuknya yang masih berisi sedikit makanannya menuju dapur. Diletakannya mangkuk itu di dekat wastafel, setelahnya Panji kembali ke meja makan dan menyambar ponselnya yang tergeletak di meja.

“Gue balik, Jun. Thank you, ya! Pan-kapan gue ke sini lagi,” pamit Panji. Setelahnya ia melangkah keluar. Meninggalkan Juna dan Kiara dengan urusannya, Panji tak ingin tahu.

Di halaman rumah Juna, seraya memegangi pagar dengan langkah yang ragu harus ia lanjutkan pulang atau bawa kembali ke dalam. Sebelah tangannya memegangi dada bidangnya sendiri.

Rupanya beban itu masih ada. Hatinya masih terluka ketika bola matanya menangkap Kiara.

His heavy heart is still breaking. He still can't lift the weight.