Prolog

“Kasih gue waktu lagi ya, Ji?”

Ah, kalimat itu lagi. Sudah tujuh kali Panji, pemuda bertubuh tinggi dengan balutan kemeja flanel merah yang dijadikan luaran atas kaus putihnya itu mendengar kalimat yang sama terlontar dari seorang perempuan yang telah lama menjadi pujaan hatinya.

Sudah tujuh kali Panji menyatakan perasaannya pada Kiara. Dan jawaban gadis bersurai kecoklatan itu selalu sama sejak keduanya mengenyam Sekolah Menengah Pertama. Kiara selalu minta waktu, seakan Panji memiliki banyak yang tersimpan dalam sakunya. Kiara selalu minta waktu, padahal Panji bukan seorang dengan hati seluas samudera untuk tetap bersabar selama bertahun-tahun. Kiara selalu bilang ia perlu waktu untuk menentukan jawaban atas pernyataan Panji mengenai perasaannya. Padahal, Panji tahu, malaikat pun tahu, Kiara tak pernah mempertimbangkannya. Panji tahu, tujuan Kiara hanya satu. Yaitu Arjuna, salah seorang lain yang juga hadir di antara keduanya.

Panji dan Kiara tinggal di rumah berhadapan. Sejak kecil keduanya tak terpisah bagai surat dan perangko. Di mana ada Panji, di situ ada Kiara. Berdekatan dengan Panji, Kiara selalu aman. Sebab pemuda itu akan selalu membentangkan tangannya lebar-lebar guna menyembunyikan tubuh mungil Kiara di balik punggungnya yang tegap. Melindunginya dari siapapun yang ingin menyakitinya. Begitu selalu hingga keduanya beranjak remaja, hingga Panji menyadari bahwa ada sesuatu yang lain dalam hatinya. Sesuatu yang menggelitik, sampai-sampai dirinya tak bisa tidur dan memandangi balkon kamar Kiara yang sudah gelap dari balik jendela kamarnya.

Namun ketika cintanya bersemi, tiba seorang lain yang selalu berhasil memikat Kiara bahkan saat jumpa pertama. Arjuna, atau lebih akrab disapa Juna, pria itu adalah anak baru di lingkungan rumah Panji dan Kiara. Tak ada dendam maupun kebencian, Panji menyambutnya dengan baik sebagai kawan. Lebih-lebih ketika ia mengetahui bahwa Juna tinggal tepat di sebelah rumahnya. Menggantikan Abah Elon yang diboyong sang anak ke Bandung. Awalnya Panji bersedih atas kepindahan Abah Elon, namun Tuhan tak pernah ingkar. Ketika dirinya mengikhlaskan, maka digantikannya dengan sesuatu yang lebih baik. Tuhan lantas memberikannya teman sebaya yang kemudian menjadi sahabat sejatinya—setidaknya sebelum mereka tumbuh lebih dewasa.

Panji menatap Kiara nanar, lagi-lagi hatinya harus pecah berkeping-keping. “Mau sampe kapan lagi, Kir? Gimana kalo ternyata gue nggak lagi punya waktu?”

Kiara mendesah frustrasi, gadis itu membasahi bibir sebelum membalas Panji. “Gue bingung, Ji. Gue nggak bisa—”

“Nggak bisa milih gue atau Juna?” potong Panji.

Kiara mengerutkan keningnya. Sial, bahkan pada saat seperti ini Panji tak bisa menahan diri untuk memuji Kiara yang semakin menawan ketika menggerutu. “Gue nunggu lo bukan sekali dua kali, Kir. Udah bertahun-tahun. Lo selalu bilang lo butuh waktu, tapi ujungnya lo justru menjauh dari gue,” ujar Panji.

“Ji—”

“Kalo lo sukanya sama Juna, nggak apa-apa, Kir. Just be honest with me, i'll be okay with that. Nggak perlu nyuruh gue nunggu dan ngasih gue pepesan kosong, Kir,” tegas Panji. Sorot matanya yang biasa menatap teduh Kiara kini berubah menjadi sedikit nyalang. Hari itu Panji memutuskan untuk menantang Kiara, ia harus tegas. Tak ada lagi toleransi atas ketidakpastian, Panji memutuskan untuk melanjutkan hidupnya. Dengan atau tanpa Kiara.

“Gue tau lo lebih bahagia kalo pergi sama Juna. Sorot mata lo kalo lagi ngomongin Juna, gestur tubuh lo yang selalu salah tingkah di deket Juna, usaha lo setiap pagi buatin Juna sarapan, itu aja udah cukup untuk ngasih tau gue kalo lo suka sama Juna. Bukan gue, kan, Kir?” pungkas Panji lagi.

Kiara menyerah. Sebab semua yang dikatakan Panji benar adanya.

You're happier with him, aren't you?” tanya Panji lagi.

Kiara mengembuskan napasnya. Rasanya tak ada lagi kesempatan untuk mengelak. Toh, Panji pun sudah tahu semua yang selama ini ia coba untuk samarkan.

Maka dengan lirih, Kiara menjawab, “I guess so..

Kedua kelopak mata Panji mengerjap pelan mewakili kekecewaannya. Ia sudah tahu, namun mendengar konfirmasi dari Kiara rupanya masih membuat ia terkejut.

Panji mengangguk pelan. Sekon berikutnya ia menatap lurus tepat pada netra Kiara yang berwarna senada dengan rambutnya di bawah paparan sinar matahari yang berubah jingga. Sebelum akhirnya dengan mantap ia mengucapkan ultimatumnya.

“Jangan cari gue lagi, Kir!” ucapnya. “Karena gue udah bener-bener nggak punya waktu lagi untuk nunggu lo. Besok gue akan pergi, dan lo bisa nikmatin waktu lo sama Juna. Gue nggak akan ganggu.”

Mengabaikan keterkejutan Kiara dan menulikan telinga dari pekikan gadis itu yang terus memanggilnya menuntut penjelasan dari apa yang barusan ia katakan, Panji membalikkan badannya. Melenggang jauh meninggalkan gadis itu.

Selama ini Panji mengizinkan Kiara untuk bersandar di bahunya, membantu Kiara menahan beban di kepalanya. Namun kini tidak lagi. Sebab hatinya sudah hancur, bahkan Panji tidak yakin kepingannya dapat kembali disatukan.

Hari itu, keputusannya sudah bulat. Panji akan tetap melanjutkan hidupnya.

Tanpa Kiara.