He Doesn't Wanna Wait
Panji merentangkan taplak meja berwarna kuning mustard dengan renda putih di atas meja makannya. Hari itu berdasarkan permintaan sang ibu, Panji terpaksa harus menata meja makan sebab ibunya ingin membuat acara kecil yang ia labeli dengan nama 'Temu Kangen'.
Saat sedang asyik merapikan meja dengan wajahnya yang bersungut, seseorang mengetuk pintu. Alih-alih langsung membukakan pintu, Panji memilih berkacak pinggang. Malas untuk membuka pintu lantaran ia tahu siapa yang datang. Apa yang harus ia lakukan ketika orang yang justru ia hindari menjadi tamu yang begitu disambut di rumahnya? Tak ada yang bisa Panji lakukan selain turut menyambutnya dengan hati yang dipaksakan lapang.
Cklek
Panji membuka pintu rumahnya pelan. Benar dugaannya, berdiri kini di hadapannya Kiara dan Juna yang menenteng totebag berisi minuman teh dengan perisa apel seukuran 1,5 liter dan beberapa camilan lainnya. Setelahnya, berpura-pura seakan tak ada satu hal pun yang terjadi di antara ketiganya, Panji mempersilakan Kiara dan Juna untuk masuk.
Juna dan Kiara otomatis melenggang menuju meja makan yang telah ditata serapi mungkin oleh Panji sebelumnya. Juna celingak-celinguk, “Mana Mama lo?”
“Lagi ke pasar, ngambil pesenan kuenya,” balas Aji. Masih mengabaikan Kiara.
Entah rencana apa yang telah dirancang oleh Juna dan Kiara, tiba-tiba Juna beralasan untuk keluar sebentar. “Ji, gue balik dulu ya? Lupa HP gue ketinggalan,” ucapnya.
Panji tak tahu harus beraksi macam apa, ia jelas tahu Juna hanya ingin meninggalkannya berdua dengan Kiara. Entah karena permintaan kekasihnya itu atau memang Juna mendukung selesainya sesuatu antara Panji dan Kiara, Panji tetap malas meladeninya. Pria itu bahkan mengembuskan napas lelahnya.
Panji berbalik arah, berniat meninggalkan Kiara entah ke mana. Namun suara yang dulu setia mengalun di telinganya sepanjang hari itu memanggil namanya.
“Ji,” Kiara bersuara. Tubuhnya terpaku sembari menatap nanar punggung Panji yang membelakanginya. Ah, sudah banyak yang berubah ternyata. Panji yang dulu selalu menjadi benteng paling kokoh untuk melindunginya kini justru membangun benteng untuk melindungi dirinya sendiri—dari Kiara.
Pemuda itu membalikkan tubuhnya, membuat dirinya berhadapan dengan Kiara. Tak ada jawaban, Panji hanya mengangkat sebelah alisnya guna bertanya 'ada apa?'.
Kiara meneguk ludah, setelahnya menatap Panji dengan tatapan bergetar. Kiara nyaris menangis, mengingat betapa banyak rindu yang telah dipupuk bertahun-tahun terhadap lelaki di hadapannya. Seseorang yang meninggalkan Kiara sebab ulahnya sendiri. Sebab keegoisannya sendiri. Rupanya usaha Kiara mempertahankan Panji dan Juna pada saat bersamaan hanya membuat dirinya menjumpai kehilangan yang jauh lebih besar.
“Ji, please sekali ini aja. Kita perlu bicara,” ucap Kiara.
Panji lagi-lagi menghela napasnya. Ia tahu Kiara tak akan berhenti sampai ia diberi kesempatan untuk membahas masa lalu yang menurut Panji sudah tidak penting meski masih terasa begitu menyakitkan itu.
“Oke, cepet. Gue nggak mau cowok lo nanti liat kita ngobrol berdua terus jadi salah paham,” balas Panji.
Kiara mengerjapkan matanya, tak menyangka bahwa Panji akan mengizinkannya bicara. Memanfaatkan kesempatan, maka Kiara membuka suara.
“Are you okay? All this time?“
Satu kalimat yang baru saja terlontar dari Kiara itu berhasil membuat Panji termangu. Kalimat itu. Kalimat yang sama yang selalu ia lontarkan pada dirinya sendiri. Kalimat tanya yang Panji sendiri tak pernah temukan jawabannya.
Matanya memandang lurus pada wajah Kiara yang sekarang jauh lebih dewasa dibanding dengan saat terakhir kali kedua bola matanya melihat gadis itu. Wajahnya jauh lebih tirus. Dan sekarang ada helaian rambut yang lebih pendek dari yang lainnya membingkai wajah Kiara. Rambutnya cokelat terang, mungkin gadis itu mewarnainya. Terdapat sedikit bekas cakaran pada pipi kanannya, mungkin tak sengaja terluka saat Kiara menggaruk wajahnya frustrasi.
Aji mengerjapkan matanya. Menepis semua lamunannya. Kemudian dengan mantap ia mengangguk.
“Gue kan berkali-kali bilang udah nggak ada yang perlu dibahas. Apa yang bikin lo mikir gue nggak baik-baik aja, Kir?” balas Panji.
“Gue minta maaf, Ji. Gue ngegantungin perasaan lo terlalu lama. Mungkin lo juga ngerasa gue bohongin. Tapi beneran, Ji, gue nggak bermaksud begitu,” ucap Kiara dengan suara bergetar. “Gue cuma nggak mau—jauh dari lo, Ji. You mean so much to me.“
Kiara terisak. Setitik air matanya turut jatuh membasahi pipi. Namun Panji tetaplah Panji yang selalu ingin tampil perkasa. Maka pemuda itu terkekeh miris. Setelahnya ia menggeleng cepat seraya mengibaskan tangannya di depan wajah.
“Lupain, Kir. Masa lalu. Gue aja nggak mau terjebak terus-terusan di sana. Masa lo mau?” jawab Panji. “Gue nggak apa-apa, lupain aja. Anggep aja nggak pernah ada apa-apa di antara kita bertiga dulu.”
“Udah nggak usah nangis, nanti sangkain Juna gue ngapa-ngapain lo lagi,” tegas Panji pada Kiara.
Setelahnya, Panji melakukan apa yang bisa dilakukan oleh lelaki paking perkasa di muka bumi. Melarikan diri.
Menempatkan Kiara di masa lalunya adalah yang benar-benar dilakukannya. Namun perihal baik-baik saja, Panji sendiri mengakui bahwa itu hanya sandiwara.
Selama ini Kiara masih ada dalam hatinya. Luka itu belum sembuh sepenuhnya, dan melihat Kiara menangis justru menambah perih luka yang bersemayam di dalam sana. Kiara masih menguasai kepalanya. Memanipulasi pikirannya hingga gadis itu menjadi pemeran utama yang bermain di sana. Mengganggunya tidur pada setiap malam yang membuat kesepiannya semakin nyata. Mengejeknya dengan terus mengingatkannya pada angan yang harus ia lepaskan jauh-jauh, yaitu menjadi pemenang bagi seorang Kiara.
Dulu, Panji bisa saja tetap bertahan di tempatnya. Kemudian menanti hari ketika janji Kiara menjadi nyata. Janjinya untuk berubah agar tak lagi membuat Panji merasa seperti dipermainkan.
Sekarang pun sebenarnya Panji bisa saja meruntuhkan pertahanannya. Kemudian kembali pada posisi awal ketika ia harus menggantungkan dirinya pada ketidakpastian yang terus-menerus Kiara berikan.
Panji bisa saja menunggu, hingga Kiara mengulang kebiasaannya. Bersikap seolah tak ingin kehilangannya, kemudian kembali menjauh ketika Juna mengisi perannya.
Tapi tidak. Panji tak ingin menunggu lagi. Semuanya cukup sampai di sini. Kiara adalah masa lalunya. Dan Panji harus membuka pintu rumahnya lebar-lebar untuk masa depan yang menanti untuk ia sambut dengan hangat.