A New Guest
Setelah bicara singkat dengan Kiara, Panji memilih untuk menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Supaya pikiran dan hatinya turut tejernihkan. Pun, ia tak ingin mengganggu momen Kiara dan Juna. Biarlah sepasang kekasih itu menunggu di dalam sembari ia menunggu sang ibu pulang.
Dengan kedua tangan memegangi pagar rumahnya, Panji mendongak menatap langit yang masih biru sore itu. Awan-awan putih sudah tak mengepul, kini berbentuk seperti coretan-coretan yang tetap menambah indah langit meski terlihat tidak sempurna.
Namun kegiatannya harus terhenti ketika seseorang menepuk pelan lengannya. Membuat Panji sedikit berjengit dan segera menurunkan kepalanya yang mendongak.
“Cari siapa ya?” tanyanya. Panji memandangi seseorang di hadapannya. Berdiri seorang gadis dengan rambut kecoklatan yang sedikit lebih terang dari surai Kiara. Struktur wajahnya tegas jika dibandingkan dengan struktur wajah Kiara yang lembut. Panji menelisik, memperhatikannya dari atas sampai bawah. Siapa tahu Panji lupa akan teman-temannya selain Juna dan Kiara yang juga tinggal di lingkungan yang sama.
“Tante Tiur ada?”
“Lagi pergi,” balas Panji seadanya.
“Lo anaknya ya?”
“Iya,” sahutnya lagi.
Gadis dengan kaus putih berbalut jaket biru tua dengan celana denim itu pada akhirnya tersenyum tipis sebelum akhirnya memperkenalkan diri.
Dijulurkan sebelah tangannya yang sedari tadi memegang kaktus dalam pot kecil ke hadapan Panji, “Gue Galuh. Baru tinggal di sini setahun yang lalu, jadi lo pasti belom kenal gue.”
Ah, Panji ingat sekarang. Ini pasti adalah tetangga baru yang mamanya ingin perkenalkan padanya. Maka Panji pun balas tersenyum dan segera menjabat tangan gadis di hadapannya.
“Panji,” ucapnya. “Sorry ya, gue baru balik lagi ke sini setelah tiga tahun. Jadi nggak tau apa aja yang berubah.”
Galuh menggeleng cepat, “Nggak apa-apa.”
“Lo diundang juga dong pasti sama mama gue?” tebak Panji. Galuh dengan cepat mengangguk dan membenarkan tebakannya. Maka sebagai tuan rumah, Panji membukakan pintu gerbang untuk Galuh. Mempersilakannya untuk masuk.
“Masuk, masuk,” ucap Panji. “Lo bawa kaktus buat apaan? Hiasan meja?”
“Ohh, ini—” Galuh menggantung ucapannya. Ditatapnya pot kecil berisi tanaman kaktus yang berada dalam genggamannya. “Waktu itu mama lo bilang mau beli kaktus, tapi belom sempet-sempet. Jadi waktu gue beli tanaman baru sekalian gue beliin buat mama lo.”
Panji manggut-manggut, ia baru ingat kalau Galuh adalah orang yang sering menemani mamanya untuk menggeluti tanaman yang baru-baru disenanginya. “Makasih ya, Gal. Maaf jadi ngerepotin. Makasih banget loh, sering nemenin mama gue. Nanti kaktusnya gue ganti, ya?”
“Santai. Buat kaktusnya, nggak usah diganti, lah! Kayak sama siapa aja,” balas Galuh.
Keduanya kini berjalan santai memasuki rumah Panji. Ternyata ada untungnya juga Panji keluar rumah, sebab meja makan kini sudah siap dipakai untuk acara. Terima kasih sebesar-besarnya kepada Juna dan Kiara, pekerjaan Panji jadi ringan.
“Weh, Gal!” sapa Juna. Ah, rupanya hanya Panji yang tak mengenal Galuh. Sebab nampaknya Juna sudah akrab dengan gadis itu, apalagi Kiara. Keduanya sudah seperti dua saudara perempuan yang terpisah lama dan bertemu kembali.
“Dari tadi, Jun?” tanya Galuh.
“Baru kok, belom lama juga,” balas Juna. Pria itu kini mengambil tempat, mengisi salah satu kursi kosong meja makan. Disusul Aji yang mengambil kursi di sebelahnya.
“Emak gue mana ya lama banget,” keluh Panji. “Gue udah laper, apa kita makan duluan aja ya, Jun? Masak mie lagi.”
“Makan aja duluan, palingan dikemplang lo pas emak lo balik,” canda Juna. Yang kemudian dibalas kikikan oleh Panji seraya mendorong bahu Juna pelan.
Dari tempatnya berdiri, entah mengapa Galuh menangkap terbesitnya rasa iri dalam tatapan Kiara pada dua pemuda di rumah itu. “Lo tadi bareng Juna, Kir?” tegur Galuh. Memecah lamunan Kiara.
Kiara menoleh, “Hah? Oh, iya. Bareng Juna datengnya tadi.”
Galuh memajukan bibirnya, mencibir Kiara seraya menarik kursi untuk dirinya sendiri. Membuat posisinya kini berhadapan dengan Panji. Tentu saja, ia tak ingin menjadi orang ketiga di antara Juna dan Kiara. Maka gadis itu membiarkan sepasang kekasih itu berhadapan agar dapat dengan bebas menatap satu sama lain.
“Pacaran mulu!” cibir Galuh, yang tanpa gadis itu tahu justru memantik rasa khawatir dalam diri Kiara. Pun, kecanggungan yang mendadak hadir dalam diri Juna. Sepertinya topik percintaan antara Juna dan Kiara akan selamanya sensitif jika dibahas terang-terangan di depan Panji. Dan itu membuat keduanya was-was.
Namun kebingungan justru melanda ketika Panji dengan santai tertawa dan membalas ucapan Galuh. “Emang gitu, Gal, dari dulu. Nempel banget kayak surat sama perangko, sepaket,” ucap Panji.
Setelahnya Galuh memasang ekspresi sedihnya, “Yah, berarti lo tersingkir dong, Ji?”
Melihat tiga orang di sekitarnya kini sama-sama terdiam dengan gestur tubuh canggung yang jelas terlihat, Galuh menutup mulutnya rapat-rapat. Tentu ia menyadari bahwa dirinya salah bicara. Maka Galuh menepuk-nepuk bibirnya pelan.
Beruntung atmosfer itu tak perlu bertahan cukup lama sebab Tante Tiur, mama Panji akhirnya pulang dengan banyak sekali jinjingan kantung kresek berisi berbagai jajanan pasar dan makanan berat. Yang rasanya cukup untuk asupan makan satu bulan bagi sesama anak rantau seperti Panji dan Galuh. Dengan sigap keempatnya bangkit dan membantu ibunda Panji itu untuk menata makanan di meja. Selang beberapa menit, barulah mereka bercengkerama. Menikmati acara temu kangen yang dibuat seadanya. Namun tetap memiliki kesan yang berarti.
Sepanjang percakapan saling menggema di ruang makan rumah Panji yang sudah lama sepi, entah mengapa Panji seakan tak bisa mengendalikan diri untuk tidak menatap Galuh yang duduk berseberangan dengannya.
Galuh yang selalu sigap membantu mamanya menyiapkan piring dan kemudian mencuci semuanya setelah semua tamu selesai makan, Galuh yang memiliki wajah tegas namun kepribadian yang sangat anggun—persis dengan yang biasanya Panji temukan di tempatnya mengenyam pendidikan, Galuh yang rasanya dapat menyesuaikan diri dalam setiap konsep pergaulan. Panji melihat Galuh dapat berbicara lembut, menjunjung sopan santun begitu tinggi setiap kali berbicara dengan ibunya. Namun gadis itu juga dapat dengan luwes membalas candaan Juna, terlihat seperti seseorang yang benar-benar terbiasa bergaul.
Berkali-kali Panji berusaha mengalihkan pandangannya, namun Galuh dengan gestur kecilnya yang manis seakan selalu menghalangi arah pandangnya. Mendominasi penglihatannya dan menjadikan Galuh pusat perhatiannya.
Panji membiarkan sudut bibirnya berkedut ketika melihat Galuh yang selalu menutup mulutnya ketika tertawa, suara tawanya pun ia sesuaikan agar tidak mengganggu. Kedua matanya yang selalu memancarkan berbagai ekspresi—marah, sebal, antusias, dan lain-lain setiap kali menanggapi cerita Juna, Kiara, maupun Panji. Pula Galuh yang tak pernah melupakan tiga kata ajaib setiap kali ingin meminta bantuan pada siapapun. Semua, semua mengenai gadis yang baru Panji temui hari itu, berhasil menarik perhatiannya.
“ANJ—”
Panji terlonjak ketika merasakan sesuatu menusuk sikunya. Pria itu bangkit berdiri, memegangi sikunya yang terasa nyut-nyutan seraya menatap nyalang ke arah Juna yang memang menjadi pelaku dari kejadian barusan.
“ELU YA?!”
Juna menahan senyum jahilnya seraya menatap ke arah Panji. Alih-alih minta maaf sebab telah menusuk sikunya dengan duri kaktus yang dibiarkan menjadi primadona di tengah meja makan, Juna justru memainkan kedua alisnya—membuatnya naik turun yang kian memancing kekesalan Panji. Oh, lihat itu, Panji yang sebenarnya telah kembali. Panji yang Juna kenali dengan baik itu telah kembali.
“Ngapain lu bengong?” tanya Juna. “Tante Tiur, ini anaknya kepergok bengong ngeliatin sesuatu,” adu Juna.
Tiur, wanita itu hanya memandangi sang anak tunggal dengan penuh tanya. Namun Panji hanya diam, menggaruk tengkuknya yang tak gatal sebelum akhirnya kembali mengelus sikutnya.
Galuh terkekeh, “Kenapa sih, Ji?”
Panji berdecak, “Ini dia nih! Sikut gue disundut kaktus! Bocah luu!”
Juna manggut-manggut dengan perangai mengejek yang masih setia dipajang pada wajah tampannya. “Siaaapp, si paling dewasa!”
“Mulai deeh, Juna sama Panji. Ributnya nggak udah-udah kalo ketemu,” ucap Tiur. Memang benar. Sejak dulu pertemanan keduanya memang begitu, saling menjahili hingga salah satunya terganggu. Meskipun sebenernya Juna lebih sering jadi korban, pertemanan keduanya tak terpisahkan oleh apapun. Not even Kiara.
“Dianya duluan!” Panji mengadukan Juna balik seraya menunjuk Juna. Melimpahkan semua kesalahan padanya. Sementara Juna hanya tertawa tak peduli. Toh, dirinya memang sengaja.
Setelahnya Panji mengambil pot kaktus yang melukainya, “Gal, sorry, ya, ini gue pinggirin dulu. Demi terciptanya kesejahteraan bangsa.”
Galuh tersenyum menahan tawanya, “Iyaa. Pindahin, dah, pindahin!”
Juna pun turut menahan tawanya. Rupanya Panji tetap Panji yang sama. Tiga tahun pergi jauh dari rumah, sama sekali tak merubahnya. Panji masih suka mencari alasan untuk melarikan diri.
Di sisi lain, Panji membawa pot kaktus yang dihadiahkan Galuh untuk sang ibu ke dekat sebuah bopet yang dekat dengan jendela rumahnya. Diam-diam Panji mengelus dadanya yang mendadak terasa berbeda. Ada kehangatan menelusup ke dalam sana. Namun Panji memilih untuk mendiamkannya.
Rumahnya kedatangan tamu baru hari ini. Mungkin begitu juga dengan hatinya.