The Family She's Been Dreaming Of

Tak ada yang Yasmine lakukan sepanjang perjalanan selain memandangi pohon-pohon yang seakan bergerak pesat tertinggal jauh dari penglihatannya seraya menggigiti kuku-kukunya. Dalam hatinya gadis itu terus merapalkan doa yang sekiranya dapat menenangkan detak jantungnya yang terdengar hingga rungunya sendiri. Siapapun yang melihatnya saat ini pasti dapat mengerti bahwa Yasmine sedang gelisah bukan main.

Ayah melirik Yasmine dari kaca yang bertengger di dekat keningnya, “Kenapa, Adek?”

Kaget, Yasmine berjengit. Setelahnya ia menggeleng cepat seraya berusaha kembali menormalkan ekspresinya. “Nggak, nggak pa-pa kok, Yah!” Gadis itu membalas dengan senyum dibuat-buat.

Di sebelahnya, Azriel yang sedari tadi hanya duduk santai seraya menikmati lagu yang terputar di radio itu pun turut menoleh. Memandang sang adik yang meskipun berkata baik-baik saja, tetap masih menunjukkan gelagat gelisahnya. Yasmine kini memilin jarinya sendiri, membuat Azriel ngeri jari adiknya itu akan terpelintir. Maka pemuda itu menepuk punggung tangan Yasmine pelan, “Ngapain, sih?”

Yasmine hanya tersenyum tipis seraya menggeleng. Azriel tak banyak bicara, pemuda itu memilih untuk menggenggam tangan adiknya yang terasa dingin. Menyalurkan kehangatan serta ketenangan pada Yasmine. Pula sedikit keberanian dalam dirinya agar Yasmine tak lagi takut. Melalui tatapannya, Azriel seakan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Azriel paham bahwa adiknya itu gelisah, sejujurnya sama dengan dirinya. Ayah memang sudah bicara dengan Eyang Putri, tetapi apakah perubahan sudah benar-benar terjadi?

Selang beberapa lama, Yasmine dan keluarganya sampai pada rumah besar bernuansa klasik yang cukup sering mereka datangi setiap akhir pekan. Keluarganya itu memang sering mengadakan pertemuan bersama, yang sejujurnya tidak Azriel dan Yasmine sukai sebab penuh dengan kepura-puraan. Keluarganya memang berkumpul dan saling memasang senyum manis serta melontarkan sapaan paling hangat, yang jika dilihat oleh orang lain membuat keluarganya terkesan rukun. Namun nyatanya mereka hanya berkumpul untuk saling memamerkan tahta atau jabatan.

Berkali-kali Azriel menyayangkan, dan mencibir dalam hati. Semuanya berubah semenjak Eyang Kakung meninggalkan mereka semua. Persaingan semakin menjadi, tak ada yang dapat menjadi penengah.

Ayah memimpin keluarganya untuk memasuki rumah besar yang telah dipenuhi keluarga besarnya yang lain. Disusul Bunda yang setia mendampinginya, dan Azriel beserta Yasmine yang bersembunyi di balik punggung kekar sang kakak. Sekon berikutnya tangan Ayah tergerak untuk mengetuk pintu kayu yang sebelah bilahnya sudah terbuka itu.

Suara ketukan pintu itu otomatis membuat Ayah dan keluarganya menjadi pusat perhatian lantaran semua tamu yang hadir menoleh ke arah pintu. Melihat Ayah yang datang, mereka semua lantas bangkit dan menyambut Ayah dengan sukacita. Termasuk Eyang Putri yang berdiri dari singgasananya dan menyambut Ayah dengan rentang tangan paling lebar, siap untuk memeluknya.

Yasmine, di belakang Azriel, gadis itu berusaha untuk tetap tidak terlihat. Tangannya tak henti-henti mencengkeram kemeja merah marun Azriel hingga kusut.

Selesai bercengkrama dengan Ayah, Eyang lanjut memeluk Bunda singkat. Setelahnya wanita itu melirik ke arah Azriel yang berada tak jauh darinya. “Yang ikut cuma Azriel?” tanyanya, melirik Bunda dan Ayah secara bergantian.

Ayah, Bunda, dan Azriel saling bertukar pandang. Sementara Yasmine semakin meringkuk di balik tubuh Azriel. Bersembunyi agar Eyang tak menemukannya. Jantungnya berdegup semakin kencang, mungkin Azriel turut dapat merasakan detaknya.

Namun, Ayah selalu mengambil jalan berlawanan dengan yang diharapkan Yasmine. Seraya tersenyum, Ayah menjawab pertanyaan Eyang. “Yasmine juga ikut, Bu.”

Eyang mendelik bingung, “Mana?”

Ayah menoleh ke arah Azriel. Sadar bahwa ia menyembunyikan adiknya, Azriel menyingkir. Membuat Yasmine yang hari itu memakai gaun keunguan bermotif floral itu pada akhirnya terekspos. Gadis itu menunduk, menghindari tatapan mata Eyang yang kini tertuju padanya.

Gadis itu menunduk hormat sebab tahu adab terhadap yang lebih tua, lebih-lebih Eyang adalah seseorang yang dituakan. Pun, Yasmine tak ingin membuat kesalahan lagi. Selama ini telah menumpahkan seluruh hormatnya terhadap eyang saja masih salah, apalagi kalau ia kurang ajar.

Yasmine semakin menundukkan pandangannya kala Eyang mengambil satu langkah maju ke arahnya. Takut. Yasmine selalu takut jika harus berhadapan dengan Eyang. Akankah ada tamparan keras lagi hari ini? Akankah seluruh keluarganya akan kembali menyaksikan sinetron dengan rating paling tinggi lagi di depan matanya hari ini?

Eyang terus mengikis jarak antara dirinya dengan Yasmine. Diam-diam, Azriel pun merasa ketar-ketir. Sebelah tangannya ia gunakan untuk menjaga Yasmine dari belakang. Takut-takut gadis itu terhuyung ke belakang tanpa penjagaan sebab serangan Eyang.

Namun, syukurnya—dan anehnya, segala hal buruk yang sebelumnya tercetus menjadi sebuah prediksi justru tidak terjadi. Azriel makin merasakan peluh yang merambati dahinya. Entah karena gerah terkepung banyak orang atau karena situasi yang memang membuatnya panas. Sebab sekarang, Eyang berhenti tepat di hadapan wajah Yasmine. Jaraknya hanya beberapa centi jika dihitung-hitung.

Eyang tak bicara apapun. Bibirnya tertutup rapat, begitu pula dengan Yasmine. Gadis itu memilih untuk terus menunduk dan memainkan jemarinya sendiri. Eyang dengan wibawanya memang selalu mendominasi. Selayaknya seorang priyayi, penampilan selalu rapi bagai tanpa cela. Rambut Eyang selalu digelung ke atas, jalannya tegak seakan tak ada yang dapat menjatuhkan harga dirinya.

Sejujurnya, jika hubungan keduanya baik, jika Eyang menerima Yasmine, gadis itu akan dengan senang hati menjadikan Eyang seorang panutan. Dulu, jauh sebelum Yasmine mengerti kebencian yang dilontarkan Eyang padanya, Yasmine selalu merasa Eyang adalah 'Kartini'-nya. Sebab kehadiran Eyang baginya terlihat seperti para pahlawan wanita yang dipajang di dinding kelas sekolahnya dulu.

Eyang berani, pikirannya selalu kritis akan sesuatu, bicaranya lugas, berwibawa, dan merupakan seorang pemimpin yang mumpuni bagi keluarganya. Lihat, kan, betapa hebat Eyang Putrinya?

Namun sayang, semua gambaran itu harus tercoreng dan musnah sebab sikap Eyang yang memihak patriarki.

Yasmine melirik Eyang sekilas. Tatapannya masih sama, tajam. Sebelah alis Eyang terangkat sembari menatapnya, “Ini, adiknya Azriel?”

“Iya, Eyang,” jawab Azriel.

“Eyang nggak nanya kamu, Mas. Eyang tanya orang yang ada di hadapan Eyang,” balas Eyang tajam. Membuat nyali Azriel menciut bagaikan botol plastik yang diremas hingga habis pasokan udara di dalamnya.

Maka Yasmine meneguk ludahnya. Mengumpulkan segenggam keberanian yang ia punya, Yasmine kembali menatap wajah Eyang. Sekon berikutnya ia mengangguk sebelum akhirnya menjawab dengan suara bergetar. “I-iya, Eyang.”

Eyang berdecak.

Saat itu, tak ada seorang pun di ruangan itu yang berani berkata apapun. Terutama Yasmine yang berdiri tak jauh dari Eyang. Gadis itu bahkan merasakan tubuhnya mulai gemetar, ia hanya berharap agar tubuhnya tidak limbung saat itu.

Hening menguasai cukup lama. Dengan semua tatapan mata yang tegang, menanti apa yang akan terjadi antara Yasmine dan Eyang di tengah ruang keluarga saat itu.

“Ini adiknya Azriel?” tanga Eyang sekali lagi.

Yasmine bingung. Pun seluruh anggota keluarganya yang lain. Namun, kali ini Yasmine memilih untuk menatap wajah Eyang sepenuhnya. Sejelas-jelasnya. Menelisik netra Eyang yang selalu menatap tajam ke arahnya. Berbekal pesan Ayah, yang menyatakan bahwa kali ini mereka adalah keluarga yang takkan meninggalkan Yasmine sendirian, Yasmine menatap Eyang balik dengan tegas. Setelahnya Yasmine kembali memecah keheningan.

“Iya. Saya adiknya Azriel, Eyang,” balas Yasmine. Lugas, namun tetap tersampaikan dengan sopan.

Kini, giliran Eyang yang menatapnya dari atas sampai bawah. Ujung kepala hingga ujung kaki, tak ada satu pun anggota tubuhnya yang terlewat dari penilaian Eyang kala itu. Sesekali Eyang menatapnya remeh, namun Yasmine tak akan gentar lagi kali ini. Sekarang kekuatannya bertambah. Tak hanya Azriel, tapi ia juga punya Bunda, dan Ayah.

Tak lama Eyang mengangguk-angguk, seakan selesai menilai Yasmine secara keseluruhan. Wanita dengan kacamata antik di hadapan Yasmine itu menipiskan bibir, tersenyum miring ke arahnya. Entah mencibir atau memuji, Yasmine tidak terlalu tahu.

Namun jawabannya segera ia temukan ketika suara tegas namun halus milik Eyang mengalun di telinganya. “Iya, baru saya percaya ini adiknya Azriel. Pemberani. Kalau yang pertama tadi ndak percaya, penakut!”

Yasmine terperangah, terlebih ketika melihat Eyang tersenyum tipis ke arahnya. Sementara Azriel di sebelahnya, pemuda itu berjongkok melepas lega. Pula Ayah dan Bunda yang turut menatap Yasmine dengan tatapan yang sarat akan bahagia yang melimpah ruah.

Sekon berikutnya, mengabaikan semua anggota keluarga lain yang masih mencerna apa yang terjadi saat ini, Eyang langsung menarik Yasmine ke dalam sebuah dekapan hangat yang selalu menjadi dambaannya setiap kumpul keluarga.

Yasmine tak langsung membalas, gadis itu masih mencerna sebab semuanya masih terasa seperti mimpi. Lebih dari sebuah mimpi. Usapan halus Eyang pada punggungnya akhirnya menyadarkan Yasmine, membuat gadis itu segera membalas Eyang dengan dada yang menghangatkan serta bahagia yang membuncah.

Setitik air mata bahagia akhirnya mengalir dari kedua netranya yang selama ini sudah terlalu lelah meluruhkan tangisan Yasmine yang tak pernah cukup untuk mewakili semua bebannya. Dekapannya dilepas Eyang. Namun kedua tangan Eyang beralih pada bahunya.

Yasmine menggenggamnya erat, merasakan sebelah tangan Eyang yang kasar. Mungkin hasil kerja keras Eyang dulu saat membesarkan semua anaknya. Hari ini bola mata Yasmine berkilat cantik, berbalas bahasa dengan milik Eyang yang rupanya persis dengan miliknya. Yasmine terkekeh ketika melihat wajah Eyang, malu sebab hanya dirinya yang menangis. Ah, lihat itu, Eyang bahkan jauh lebih tegar dan kuat darinya.

Eyang kemudian melihat ke arah sekeliling. Menatap satu persatu anak dan cucunya. Setelahnya Eyang memecah keheningan dengan suaranya yang lantang seraya menunjuk Yasmine, “Ini cucu Eyang, paling Eyang sayang karena perempuan satu-satunya. Awas ya, kalo ada yang nakalin! Nanti Eyang tarik jambang rambutnya! Terutama kamu, Jiel!”

“LHA KOK JIEL?!?” balas Azriel tersinggung. Sebab sedari tadi ia tak melakukan apa-apa. Terima kasih kepada Azriel, karena pada akhirnya ia berhasil mencairkan suasana. Gelak tawa yang sedari tadi tak memunculkan tanda untuk turut hadir kini pecah memenuhi ruangan.

Setelah reda, Eyang kembali bicara. “Habis ini, Eyang minta ndak usah ada lagi yang saling membandingkan. Kalian semua itu saudara, betul kata Eyang Kakung dulu, harusnya saling bahu-membahu. Bukan saling menginjak bahu satu sama lain untuk berebut jadi yang paling tinggi,” ucap Eyang.

Bola matanya kini menatap Yasmine teduh, “Cah ayu.. maafin Eyang, nggih? Harusnya dari dulu Eyang jaga kamu, bukannya meninggalkan kamu sendirian.”

Yasmine hanya diam dan mendengarkan Eyang dengan seksama seiring Eyang mengembuskan napasnya. Menyesal. “Ayah kamu ke sini, cerita semuanya. Ayah bilang sama Eyang kalau dia nyesel, punya putri yang cantik, pinter, tapi dia sia-siakan. Ayah kamu benar-benar menyadarkan Eyang,” jelas Eyang. Yasmine kemudian merasakan kehangatan menjalar menggenggam kedua tangannya, rupanya itu berasal dari Eyang. “Eyang Putri janji, habis ini ndak akan lagi begitu sama Yayas, ya? Pegang ucapan Eyang, ya, Nduk? Ini berlaku juga untuk kalian semua, ini—amanahnya Eyang Kakung.”

Yasmine hanya mengangguk. Setelahnya Eyang pun mengajak seluruh tamu yang hadir untuk mengisi meja makan yang luasnya cukup untuk menampung seluruh makanan untuk seluruh tamu yang hadir. Pun, kursinya cukup untuk seluruh anggota keluarga. Jika biasanya ada satu kursi yang kosong tanpa penghuni, kini seluruhnya terisi penuh. Sebab kini Yasmine bergabung di dalamnya.

Gadis itu tak lagi tenggelam, Yasmine kini turut naik ke sebuah sekoci besar yang tiba-tiba datang menyelamatkannya. Sekoci besar yang berisi seluruh keluarganya.

Yasmine tersenyum penuh arti, sebab hari ini ia menjadi bagian dari lingkaran keluarga yang lebih besar.

Ini dia. Inilah keluarga yang selama ini Yasmine impikan.