raranotruru

Saya suka sama kamu, Anggia.

Tepat setelah kalimat itu meluncur dari bibir Haris, yang bisa Gia lakukan hanyalah menoleh sebelum akhirnya terpaku menatap wajah Haris yang masih menghadapnya. Napasnya tertahan, pikirannya melayang meninggalkan tubuhnya. Sementara dadanya bergemuruh bagaikan ditabuhi genderang perang.

Matanya berkali-kali mengerjap, namun sama sekali tak luput dari dua bola mata Haris yang masih setia memandanginya. Berusaha mencari tahu kebohongan macam apa yang coba Haris tutupi, namun sayang, pikirannya tak bisa benar-benar fokus untuk mengidentifikasi apakah ucapan Haris barusan adalah sebuah kejujuran atau hanya kebohongan belaka.

Gia benar-benar tak tahu harus melakukan apa. Serasa tubuhnya benar-benar di luar kendalinya sendiri. Kedua bahunya menegang tanpa bahkan bisa ia gerakkan. Lidahnya pun kelu, tak peduli seberapa besar hasrat gadis itu untuk membalas perkataan Haris. Gadis itu hanya bersyukur dalam hati sebab sekarang ia tak sedang berdiri, sebab Gia bisa langsung jatuh terduduk saat itu juga karena kedua kakinya yang melemas.

Gia tahu harusnya ia menjawab, bahwa dirinya memiliki perasaan yang sama. Namun sebagaimana Tuhan menggagalkan rencana Haris, Tuhan menggagalkan pula rencana Gia. Dengan membuat satu-satunya hal yang muncul di kepalanya hanyalah ucapan Zahra yang menyuruhnya untuk.. lari.


“Saya suka sama kamu, Anggia.”

Entah sudah berapa kali kalimat itu menghantui pikirannya. Setiap hari, setiap malam, setiap jam, menit, detik. Gia tak akan pernah bisa lupa. Terlebih perihal tindakannya sendiri.

Pun, tak terhitung sudah berapa kali Gia mengutuk dan menyalahkan dirinya sendiri. Sebab tak hanya Zahra, Gia pun membenci apa yang ia lakukan. Gia pun membenci dirinya sendiri yang tak pernah miliki keberanian untuk mengatakan apa yang benar-benar ia inginkan.

Gia menyalahkan dirinya sendiri. Karena telah meninggalkan Haris tanpa kejelasan, karena telah membiarkan Haris memikirkan sendiri teka-teki yang tak seharusnya ada. Setiap kali ia berhasil menghindari Haris, yang pertama kali ia lakukan adalah merutuki dirinya yang selalu terpaku, keringat dingin, dan berujung gemetar setiap kali ia mendengar suara Haris dari kejauhan atau ketika ia melihat Haris berjalan ke arahnya. Gadis itu tak lagi bisa berpikir jernih sejak sore itu.

Gia merebahkan tubuhnya di kasur, entah sudah kali ke berapa ia membaca pesan yang terakhir kali Haris tinggalkan untuknya. Entah sudah kali ke berapa pula Gua membiarkan air matanya lolos dari pertahanannya. Seharusnya ini membahagiakan.

Seharusnya, jika tak ada semua pertanyaan yang turut menghantuinya sesaat setelah Haris menyatakan perasaannya.

Do i deserve him?

Sejak dulu, Gia sangat tahu bahwa dirinya bukanlah orang yang mencolok di tengah keramaian. Rasanya kata 'paling' tak pernah menjadi sematan yang bersahabat dengan namanya.

Anggia bukan yang paling cantik, bukan juga yang paling jelek sebab ia masih memiliki beberapa fitur dalam dirinya yang bisa disyukuri dengan sangat. Anggia bukan yang paling pandai, bukan juga yang paling bodoh sebab toh, ia pun masih bisa menangkap semua pelajaran di sekolahnya dengan baik. Anggia bukan yang paling dikagumi sebagaimana seorang primadona, bukan juga yang paling dibuang.

Anggia adalah seorang yang biasa saja. Dan fakta ini justru melukainya jauh lebih parah. Sebab berada di tengah-tengah membuatnya tak kasat mata.

Jauh berbeda dengan Haris yang bisa dibilang, terpandang.

Wajah yang rupawan? Check!

Kepandaian luar biasa? Check!

Dikenal hampir seluruh warga sekolah? Check!

Aktif dalam organisasi? Check!

Lihatlah, Haris bukan orang sembarangan. Pemuda itu rasanya mengantungi dunia dalam saku celana abu-abunya. Itulah yang membuat Anggia sadar diri sejak awal, bahwa ia hanya ingin menyukai Haris tanpa pernah mengharapkan balasan apapun. Tak peduli seberapa nyata bukti yang menunjukkan bahwa pemuda itu memiliki perasaan yang sama.

Sejak awal, bagi Gia, Haris adalah sesosok cinta pertama dengan kegagalan di depan mata. Maka selama ini Gia hanya membiarkan perasaannya mengalir, menikmati setiap interaksi yang semesta usahakan selama garis kehidupan keduanya bersinggungan seraya menanti waktunya untuk layu, kemudian merasakan patah hati pertamanya.

Namun kali ini lain lagi ceritanya. Membuat berbagai pertanyaan baru kerap bermunculan di kepalanya.

Why does he even fall for me?

Was it supposed to be this way?

Gia mengembuskan napasnya kasar. Gadis itu bahkan harus bernapas melalui mulutnya sebab hidungnya kini tersumbat lantaran terlalu lama menangis.

The tables have turned now, benaknya berbicara.

Benar, perkiraan Gia meleset. Rupanya Haris bukanlah sesosok cinta pertama dengan kegagalan di depan mata. Haris adalah sesosok cinta pertama yang seharusnya bisa menjadi miliknya kalau saja Gia lebih percaya diri dan berani.

Namun setelah hari ini, apakah pernyataan Haris sore itu masih berlaku? Sudah menyerah kah Kak Haris yang ia ketahui? Atau—masih adakah Kak Haris yang dulu pernah nyaris menjadi miliknya dalam sekejap mata?

Karena yang ada saat ini rasanya hanyalah Haris yang menepati janjinya. Entah sudah berapa lama, yang jelas Gua benar-benar tak menemukan Haris di sudut sekolah manapun. Gia bahkan tak menemukan Haris di gerbang sekolah setiap pagi meski ia kadang sengaja memperlambat kedatangannya.

Masih adakah kesempatan untuknya mengatakan bahwa perasaannya pun sama?

But then again, do i deserve him? batin Gia berbicara. Seakan tak habis-habis amunisinya untuk memerangi pikirannya sendiri.

Lagi-lagi Gia membuang napasnya gusar. Matanya lagi-lagi menatap nanar ke arah layar yang menampilkan pesan terakhir dari seseorang yang kontaknya ia simpan dengan nama 'Kak Haris'.

“I like you too, Kak Haris. But don't you wanna look for someone better? Why me?”

Haris menelungkupkan ponselnya di atas kasur setelah membalas pesan Hanum. Kedua matanya terjaga menatap langit-langit kamarnya yang seakan memiliki jawaban atas keresahannya.

Sudah sekitar satu minggu sejak terakhir kali ia membiarkan dirinya mati-matian untuk totalitas, berangkat sebelum bertemu matahari dan berjalan mengitari gedung sekolah yang akhirnya berujung sia-sia. Sudah sekitar satu minggu pula ia menepati janjinya. Tak mengganggu Gia dengan keberadaannya.

Haris tak lagi mengambil tugas piket pagi, tak pergi ke kantin setiap istirahat, tak lagi melakukan banyak kegiatan setelah pulang sekolah, juga tak lagi bersedia berurusan dengan segala hal yang melibatkan kelas 10.

Pria itu bahkan mengabaikan seluruh kegiatan ekskul dan OSIS yang entah sudah berapa kali membuatnya kena tegur. Kehidupannya sekarang seolah diatur oleh peraturan seketat mungkin yang hanya memperbolehkannya sekolah, lalu kembali pulang ke rumah. Haris bahkan tak pernah ikut kala teman-temannya berkumpul.

Males, gue lagi nggak pengen ngapa-ngapain.

Selalu alasan yang sama yang ia lontarkan pada semua orang yang mengajaknya bergabung untuk turun ke kantin atau untuk berkumpul seperti biasanya. Hampir seluruh ambisi dan semangatnya memadam begitu saja. Ada sebagian yang mati dalam dirinya. Haris bahkan rasanya tak berminat melakukan apapun. Kalau bisa, ia hanya ingin menghabiskan waktu di dalam kamarnya. Berlindung dalam kesendirian tanpa diganggu siapapun.

Haris kembali menjadi dirinya yang sudah lama tak ia jumpai. Cold, untouchable. Haris tanpa sadar kembali membangun dinding tebal untuk menjauh dari siapapun yang mencoba menggapainya. Kembali menelan semuanya mentah-mentah sebab perasaan dan pemikiran yang sama, yang telah lama ia tenggelamkan itu kembali berenang di kepalanya.

Was i ever worth it to feel love?

Jauh sebelum hari ini, dimana keluarganya yang hangat itu pecah berantakan, tergores luka yang begitu dalam di relung Haris. Membuat Haris memutuskan untuk membentengi dirinya sendiri untuk sebuah hal bernama cinta. Bukan bermaksud sombong, melainkan ia terlalu takut. Haris takut kisahnya akan berakhir sama dengan yang kedua orang tuanya miliki.

Haris tak pernah setuju setiap kali ada yang mengatakan bahwa mencintai itu begitu membahagiakan. Hingga tiba-tiba Gia hadir dan mengubah segalanya. Membuat Haris mengerti alasan hampir seluruh dunia mengatakan hal yang sama.

Hingga tiba-tiba orang yang sama turut membuktikan pemikirannya. Bahwa mencintai nyatanya tidak membahagiakan sebagaimana yang mereka katakan.

Entah kesalahan siapa. Yang jelas Haris hanya bisa diam dan membiarkan dirinya merasakan luka yang sama. Mungkin ini adalah balasan untuk Papa yang sampai kepadanya. Mungkin ini adalah balasan untuk Papa atas segala goresan yang ia torehkan di hati Mama. Biarlah, malah bagus seperti ini. Limpahkan saja semua luka yang harus dirasakan keluarganya bertahun-tahun ke depan padanya. Agar Hanum dan Haura tak perlu lagi mendapat balasan atas kesalahan Papa dulu. Biarlah Haris yang merasakan semuanya.

Crazy how a person can change you a lot, benak Haris.

Pertama Papa, yang membuatnya menutup diri dan melupakan dirinya sendiri. Kemudian Ojan yang membuatnya kembali meruntuhkan seluruh dinding tebal yang ia bangun sejak lama, membuatnya merasakan kehangatan rangkulan kasih sayang dari seseorang yang terasa seperti saudara sendiri. Ditambah kedatangan Damar dan Dhimas yang membuat Haris mengubur dalam-dalam dirinya yang dingin dan tak tersentuh.

Sampai Gia. Yang berhasil membuatnya berani terjun mengambil risiko untuk mengambil bagiannya dalam mencintai. Hingga gadis yang sama mematahkan hatinya dan membuat Haris menyesali keputusannya.

Haris tahu sejak dulu harusnya ia tahu diri. Dalam hal romansa dan asmara, keluarganya memang tak pernah beruntung. Atau mungkin justru keluarganya memang tak pernah pantas merasakan kedua hal itu.

Should i give up on love?” ucapnya. Bertanya pada langit-langit kamarnya yang nampak enggan menjadi teman bicaranya.

I might get the chance to feel it,” ucapnya lagi.

Haris menggantung kalimatnya seiring ia mengembuskan napas kasar. Berharap semua nyeri di dalam dadanya turut hilang seiring terjadinya pertukaran udara di paru-paru miliknya.

But probably i'll never get the chance to win it.

Hari ini adalah hari terakhir Haris mengizinkan dirinya untuk tetap mengusahakan hubungan baik dengan Anggia. Pria itu bahkan sengaja berangkat pagi-pagi buta untuk menunggu Gia di depan gerbang, berusaha agar tak melewatkan kedatangan gadis yang beberapa waktu ini sengaja berangkat sangat pagi untuk menghindarinya.

Namun Haris berencana untuk tetap beraksi natural. Setelah rela berangkat sebelum mentari terbit, Haris rela untuk memarkirkan motornya di parkiran luar yang terletak di belakang bangunan sekolah—membuatnya harus jalan kaki memutar hingga sampai kembali ke sekolah. Biarlah seragamnya sudah bercampur keringat meski masih pagi. Ini adalah hari terakhir ia mencoba peruntungannya, maka totalitas adalah yang menjadi tekadnya.

Setelah menunggu selama kurang lebih setengah jam dari jarak yang cukup jauh dengan gerbang agar tubuh jangkungnya tetap tersembunyi, bola mata Haris akhirnya menangkap sosok yang ia nantikan. Gia akhirnya tiba di sekolah. Haris melirik jam digital di layar ponselnya sebelum akhirnya berlari menuju gerbang. Kedua alisnya bertautan, “Buset, dah! Jam 6 kurang udah dateng dia sekarang!”

Diam-diam Haris berjanji dalam hati, akan lebih sering bersyukur dan memuja Tuhan yang memberinya kaki super jenjang sehingga ia dapat mengikis jarak lebih cepat. Haris berhenti berlari ketika sudah mendekati gerbang, kemudian otomatis berjalan cepat seraya merapikan seragamnya yang entah sudah seperti apa wujudnya sekarang.

Pemuda jangkung itu menyugar rambutnya karena gerah. Kemudian memilih untuk menjinjing ranselnya agar tak memberatkan bahunya supaya ia bisa berjalan lebih cepat. Fokusnya hanya satu sekarang, mengejar Gia agar setidaknya dapat berbicara dengan gadis itu.

Haris mempercepat langkahnya. Sengaja mendekatkan dirinya dengan Gia, memotong jalan gadis itu dengan berjalan ke arah berlawanan dengan yang ingin dituju Gia. Membuat keduanya otomatis bertabrakan dan langsung menghentikan langkah masing-masing.

Gia sempat berjengit sesaat sebelum mendongak dan mendapati yang di hadapannya kini adalah Haris, seseorang yang selama ini ia hindari. Lagi-lagi Gia terpaku di tempatnya, memandangi Haris yang juga menatap ke arahnya. Gadis itu pun mengernyit keheranan, mengapa pria di hadapannya sudah dibanjiri peluh disaat bahkan kegiatan sekolah belum ada satupun yang dimulai.

Suara dehaman Haris yang kembali memecah keheningan di antara keduanya membuat Gia kembali tersadar dari lamunannya. “Maaf,” ucap Haris.

Alih-alih membalas, Gia justru mengalihkan wajahnya. Memutus kontak mata dengan Haris yang tak melepaskan pandangan darinya sedikitpun. Menutupi kecanggungannya, Gia menyingkirkan helaian anak rambutnya yang menghalangi wajah. Namun Haris tak kenal kata menyerah, setidaknya untuk hari ini.

“Kamu datengnya pagi banget, ada tugas yang mau dikumpulin?” tanya Haris, basa-basi.

Tahu tak akan mendapat jawaban, Haris merogoh saku celananya guna mengambil satu bungkus biskuit cokelat yang biasa ia berikan pada Gia. Namun entah gerakannya terlalu lama atau gadis itu yang tak ingin menunggu, Gia melenggang pergi sebelum Haris sempat menyelesaikan gerakannya.

Haris hanya diam ketika Gia kembali menghindarinya. Tangan kanannya menganggur di udara, memegangi sebungkus biskuit cokelat yang hendak ia serahkan pada Gia. Kedua matanya menatap nanar Gia yang kini berjalan terburu-buru menjauhinya. Haris mengembuskan napasnya kasar, terasa nyeri di dadanya yang sebelumnya tak pernah ada.

Haris menatap ke arah biskuit cokelat di tangannya. Seharusnya ia bisa menyelundupkan biskuit itu ke dalam tas Gia seperti biasa, namun tidak hari ini. Haris memilih untuk melangkahkan kakinya, kemudian melemparkan biskuit cokelat yang biasanya menjadi hadiah kecil darinya untuk Gia itu ke tempat sampah.

Persetan. Terserah akan ada kepastian atau tidak.

Haris menyatakan usahanya selesai sampai di sini.

Entah semanis apa mulut seorang Satria Daffa Perwira hingga Ayah berhasil terbujuk dengan mudah untuk mengizinkan Yasmine pergi bersama pemuda itu. Pagi tadi Bunda membangunkan Yasmine sebab katanya, Satria sudah menjemputnya. Dan pemuda itu kini tengah mengobrol dengan Ayah di teras rumah, seperti biasa. Membuat dengan cepat Yasmine melesat ke kamar mandi dan bersiap untuk pergi.

Maka di sinilah seorang Yasmine Arthawidya Cantika sekarang. Duduk manis di boncengan motor seorang Satria Daffa Perwira yang akan mengajaknya entah ke mana.

“Diem aja, Neng?”

Satria memulai obrolan dengan suara agak keras sembari melirik Yasmine dari kaca spion. Gadis itu memutar matanya, “Kamu juga diem aja!”

“Hah??”

“KAMU JUGA DIEM AJAAAAA!” balas Yasmine. Suaranya ia keraskan kali ini. Ah, Satria. Sudah benar saling diam. Sebab berbicara di motor pun tak ada gunanya, keduanya sama-sama akan kesulitan mendengar sebab suaranya harus bersaing dengan angin.

“NGGAK DENGERR!” balas Satria.

Yasmine mengembuskan napasnya kasar, setelahnya gadis itu memajukan tubuhnya mendekat ke arah telinga Satria yang tertutup helm.

“Kita mau ke mana?” tanyanya, mengubah pembicaraan.

Satria mengulum senyum, “Ada, deh!”

“Loh? Kamu tuh dari tadi sebenernya denger aku ngomong ya? Tapi pura-pura nggak denger?!” Yasmine menginterogasi pemuda di depannya. Sementara yang dituding hanya tertawa jahil. Membuat Yasmine mengerucutkan bibir dan segera menghadiahkan pukulan pelan pada bahu Satria.

“Kan udah dibilang, mau ngelukis,” ucap Satria santai. Maka Yasmine memilih untuk diam dan menikmati perjalanan daripada harus berdebat dengan Satria.

Selang beberapa menit perjalanan, tibalah mereka pada sebuah gedung Art and Studio di daerah Jakarta Selatan. Satria memarkirkan kendaraannya dengan rapi, setelahnya menuntun Yasmine memasuki ruangan. Sepertinya pemuda itu sudah mem-booking jadwal untuk mereka berdua sehingga keduanya tak perlu lagi mendaftar dan menunggu lama.

Satria dan Yasmine kemudian dituntun oleh salah satu staff di sana menuju sebuah ruangan berisikan kanvas dan segala perlengkapan melukis. Gadis itu kemudian memakai apron yang akan melindungi pakaiannya dari noda cat nantinya. Disusul oleh Satria yang melakukan hal yang sama di sebelahnya. Keduanya kini duduk berdampingan dan mendengarkan instruksi dari staff yang bertugas.

“Baik saya jelaskan dulu ya, Kak. Silakan untuk memilih gambar apa yang akan dilukis, contoh-contohnya ada di sebelah sana. Nanti Kakak akan mendapat color palette beserta set kuas yang akan digunakan. Untuk kelas melukis ini akan disediakan guide book-nya ya, Kak. Durasinya 3 jam dan setelah lukisannya jadi boleh dibawa pulang. Apakah sudah jelas?”

Satria dan Yasmine tak melakukan apapun selain mengangguk dengan kompak. Setelahnya keduanya bergegas memilih gambar yang akan mereka lukis. Yasmine memilih gambar yang cenderung simple dan tidak memerlukan banyak teknik sebab ia pun tak begitu pandai melukis.

Gadis itu memilih lukisan rangkaian bunga mawar merah yang diletakkan di dalam vas bunga cantik dengan dedaunannya yang turut menghiasi. Lukisan yang sederhana namun tetap Bisa terlihat indah bila ia dapat mengeksekusinya dengan baik.

Sementara Satria, pria penuh ambisi dan gemar mencari tantangan itu memilih lukisan dengan tema Up In The Air. Lukisan langit jingga beserta awan putih yang dilihat melalui jendela sebuah pesawat. Yasmine bahkan terkejut ketika Satria memutuskan untuk memilih untuk melukis gambar itu. Sebab lukisannya akan memerlukan banyak teknik. Gradasi dalam pewarnaannya, belum lagi detail-detail kecil seperti bentuk awan, bentuk sayap pesawat yang terlihat, bentuk jendela, dan lain-lain. Namun, Satria cuek. Pria itu setia dengan kepercayaan dirinya.

Maka keduanya mulai melukis. Yasmine memulai dari mencampur warna merah dengan sedikit putih agar menjadi merah muda. Gadis itu kemudian menggoreskan cat sedikit demi sedikit untuk membentuk kelopak-kelopak bunga mawar.

Di sebelahnya Satria justru belum memulai sama sekali. Pemuda itu memilih untuk memandangi wajah Yasmine dengan seksama. Sejak pertama keduanya jumpa, Satria tahu bahwa Yasmine memang pantas menyandang nama Cantika sebagai nama belakangnya. Sebab kecantikannya selalu terpancar setiap kali gadis itu melakukan apapun.

Seperti sekarang. Ketika surai hitam panjangnya diikat satu hingga rapi. Beberapa helainya jatuh, membingkai wajah tirusnya dengan sempurna. Tangannya bahkan bergerak dengan anggun melukis sebuah kelopak yang—menurut Satria—mewakili gadis itu.

Tanpa disangka, Yasmine menoleh tiba-tiba. Alhasil, Satria gelagapan dibuatnya. Namun pria itu berdeham guna menutupi salah tingkahnya akibat tertangkap basah. “Ngapain malah ngeliatin aku gitu?” tanya Yasmine. Setelahnya gadis itu menunjuk kanvas Satria dengan kuasnya, “Tuh, kanvasmu masih kosong.”

“Ini gue lagi ngumpulin inspirasi, Yas,” balas Satria santai. Rasanya pemuda itu memang benar-benar terlatih untuk selalu mengeluarkan kata-kata manis dari mulutnya.

Yasmine memutar matanya malas, menutupi kebun bunga yang bersemi dalam relungnya. “Cepet, mulai! Kalo nggak nanti aku pulang sendiri ya, aku nggak mau nungguin kamu kalo belom selesai!” ancam Yasmine.

Satria tertawa pelan, setelahnya pemuda itu memutar badannya menghadap kavas miliknya yang masih putih bersih belum tersentuh. Dan mulai menorehkan cat jingga di sana. “Kenapa milih lukis mawar, Yas?” tanya Satria.

“Nggak tau, tiba-tiba keinget mawarnya Beauty and The Beast,” balas Yasmine. Pandangannya masih fokus pada lukisannya. Gadis itu bertekad membuatnya seapik mungkin agar dapat dipajang di ruang tamu.

Di sebelahnya, Satria mendelik tak suka. “Maksudnya gue Beast-nya?”

Yasmine menahan senyumnya untuk berkembang lebih besar, “Iya, kali ya?”

“Jahat lo, Yas! Gue seganteng ini dibilang buruk rupa!”

“Kan ujungnya dia jadi pangeran juga, Daf,” sahut Yasmine tenang.

“Iya, ya? Lo princess-nya?”

“Enggak.”

“Yah, nggak mau ah kalo gitu!” balas Satria. Yasmine hanya membalasnya dengan sebuah kikikan geli. Yasmine memang sengaja membuat Satria kesal.

“Kamu kenapa milih itu?” kini Yasmine bertanya balik.

Satria menoleh ke arah Yasmine sebelum menjawab. “Ini?” tanyanya. Sekon berikutnya Satria menggeleng, “Nggak pa-pa. Biar kayak lagi di magic carpet ride aja.”

Yasmine menahan tawanya, “Magic carpet terus! Kamu mau jadi Aladdin?”

“Boleh, kalo Yasmine-nya lo,” sahut Satria. Lagi-lagi melancarkan serangannya. Namun, kali ini Yasmine sudah tak lagi dapat membendung tawanya. Membuat Satria pun turut tergelak.

“Mana ada lagian, magic carpet ride naik pesawat gitu?” ucap Yasmine.

“Loh,” balas Satria. “Asal sama lo, mah, jalan kaki juga rasanya kayak lagi magic carpet ride. Soalnya serasa berada di a whole new world gituuh!”

“Gombal!!” sebal Yasmine. “Kamu jadi Abu aja, dehh! Nggak cocok jadi Aladdin,” candanya kemudian. Satria jelas melayangkan tatapan protesnya, sebab disamakan dengan karakter monyet peliharaan Aladdin yang bernama Abu itu.

“Enak aja! Gue bilangin Ayah lo ya!?”

“Bilangin aja. Nanti aku aduin balik kamu tukang gombal!”

“Emang Ayah lo bakal belain lo gitu?” tantang Satria. “Gini-gini gue temen nongkrongnya, Yas, jangan macem-macem lo!”

Yasmine memandang Satria tidak terima. “Yang anaknya Ayah kan aku!”

Satria terkekeh, “Oohh, Princess-nya Ayah?”

“Kata Ayah sih, begitu,” balasnya bangga. Kemudian Satria tak lagi membalas. Pria itu membiarkan Yasmine kembali fokus pada lukisannya yang sudah hampir selesai membentuk tiga kelopak bunga mawar. Meninggalkan Satria jauh, sebab lukisannya baru menampakkan gradasi sejak tadi.

Kini Satria lagi-lagi termangu memandangi Yasmine. Tanpa gadis itu ketahui, di dalam relung pemuda yang sedang menatap ke arahnya itu penuh akan gemuruh. Detak jantungnya bahkan terdengar hingga sudut ruangan.

Satria sedang bertanya-tanya, haruskah ia menyatakannya sekarang? Pantaskah dirinya, untuk seorang perempuan di hadapannya?

Hening mengisi cukup lama. Dan Yasmine bukan tak menyadari bahwa sejak tadi sepasang mata menatap ke arahnya. Hanya saja ia berusaha fokus dan mengabaikan Satria, sebab tanpa pemuda itu ketahui, Yasmine pun merasakan gemuruh yang sama.

“Yas,” panggilnya. Akhirnya memecah keheningan yang sejak tadi menyelimuti keduanya.

Yasmine menoleh. Satria sudah tak menatap ke arahnya, melainkan mulai menorehkan cat berwarna putih untuk membentuk awan-awan yang menjadi teman sang senja yang ia lukiskan. Bagus lah, Yasmine jadi tak perlu repot-repot mengatur ekspresinya agar terlihat gugup, kan?

“Udah mau satu tahun kita sekolah, ya?” tanya Satria.

Yasmine mengingat-ingat sejenak, “Iya. Kenapa? Nggak berasa ya? Pasti karena kamu pergi lama banget. Sama tuh, Mas Jiel juga gitu.”

Sudut bibir Satria terangkat sedikit, namun kembali ditahan oleh sang empunya. Bukan itu maksudnya. Bukan ke sana arah pembicaraannya.

“Iya, kayaknya baru kemaren rasanya gue ikut MOS,” sahut Satria.

Oh, Masa Orientasi Sekolah. Yasmine meneguk ludah mengingatnya, pula ia merasakan kedua pipinya menghangat. Sebab pada masa itu, pertama kalinya ia bertemu dengan pemuda yang kini berada di dekatnya hanya dengan jarak beberapa jengkal.

Pertama kalinya, Yasmine merasa ada yang berhasil menyusupi relung hatinya.

“Nama lo udah kayak princess gitu, nggak mau sekalian jadi princess gue juga?”

Bahkan satu kalimat yang Satria lontarkan saat itu masih terekam jelas dalam ingatannya. Ralat, Yasmine memang memilih untuk menyimpannya di dalam hati. Meskipun ia tahu, itu hanya hasil keisengan sang kakak yang kebetulan menjabat sebagai ketua OSIS dan kebetulan memimpin kegiatan MOS saat itu. Meskipun ia tahu, Satria tak benar-benar serius menyatakannya.

“Pertanyaan gue waktu itu—kayaknya masih lo gantung deh, Yas,” ujar Satria.

Yasmine sontak mendongak, menatap wajah Satria yang masih tak menatap ke arahnya. Yasmine tahu, Satria juga menghindari tatapannya. Gugup, Yasmine memilih untuk pura-pura lupa. “Pertanyaan yang mana, Daf?”

Sejenak, Satria menghentikan gerak kuasnya. Namun wajahnya tetap tak teralihkan dari kanvas miliknya. Pemuda itu mengembuskan napas halus, dan setelahnya..

“Yasmine Arthawidya Cantika, nama lo udah kayak princess gitu, nggak mau sekalian jadi princess gue juga?”

Satria mengulangi pertanyaannya. Pemuda itu mengulanginya pada waktu yang berbeda, tempat yang berbeda. Namun yang harus Yasmine ketahui, Satria mengulanginya dengan isi yang sama. Perasaan yang selalu sama.

Gadis itu terpaku setelah mendengar kalimat yang baru saja meluncur dari bibir lelaki di hadapannya. Yasmine menahan napasnya. Ia bahkan meneguk ludahnya sesaat setelah memutuskan untuk berusaha kembali fokus dengan lukisannya.

Namun, ucapan Satria selanjutnya berhasil menahan gerakan tangannya.

“Gue suka sama lo, Yas,” ucap Satria. “Gue nggak bercanda. Well—mungkin waktu itu, iya, gue cuma asal. Tapi semenjak hari itu, mendadak gue jadi pengen kenal sama lo lebih jauh. Lama-lama, pertanyaan gue yang cuma asal itu jadi sesuatu yang gue seriusin, Yas,” lanjutnya.

Tak ada yang Yasmine lakukan selain mematung. Ia benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Darahnya berdesir ke sekujur tubuh, membuat seluruh tubuhnya terasa panas. Yasmine yakin sekarang wajahnya pasti terlihat seperti Sebastian, si kepiting merah dari film The Little Mermaid. Lebih-lebih ketika Satria akhirnya kembali memutar tubuh ke arahnya.

“Jadi princess-nya Bang Jiel udah. Princess-nya Ayah udah,” ucap Satria. “Now, would you be my princess too, and make me the happiest prince in this land of far far away?

Yasmine bersumpah dalam hatinya. Demi Tuhan, tak ada lagi manusia yang lebih cheesy dari seorang Satria Daffa Perwira. Mendadak Yasmine tak lagi salah tingkah sebab mendengar penuturan Satria yang justru terdengar kocak baginya. Gadis itu kini tertawa hingga harus memegangi perutnya yang kesakitan.

“Kamu cheesy banget! Emang harus kayak gitu apa ngomongnya?” tanya Yasmine di sela tawanya. Wajahnya benar-benar memerah sekarang. Bercampur antara geli karena tertawa dengan seluruh perasaan malunya.

Satria hanya menipiskan bibir, tersenyum melihat Yasmine tertawa selepas itu untuk pertama kalinya. Biarlah ia menanggung malunya, toh, semua temannya juga sering menertawakan dirinya karena ulahnya sendiri. Yang paling penting, Yasmine tertawa karenanya.

“Dijawab dong, masa diketawain doang?” pinta Satria.

Akhirnya, Yasmine meredakan tawanya. Gadis itu sampai harus berkali-kali menghela napasnya sebab sudah merasa terlalu sesak lantaran terlalu banyak tertawa. Sekon berikutnya, gadis itu meraih kuas milik Satria. “Pinjem sini kuasnya!”

Meski bingung, Satria tetap membiarkan Yasmine merebut kuasnya. Gadis itu kemudian mencelupkan ujung kuas pada cat putih yang berada di palette milik Satria. Mengarahkannya pada kanvas, Yasmine menuliskan sesuatu pada bagian kanvas yang nantinya akan tertutup menjadi lukisan awan putih.

Satria hanya menyaksikan Yasmine merusak lukisannya dengan tatapan bingung. Namun rupanya, Yasmine menuliskan jawabannya.

Y-E-S

Satria termangu. Memandangi tiga huruf yang berbaris membentuk sebuah kata yang menjadi jawaban Yasmine akan pernyataan perasaannya. Kedua bola matanya mengerjap berkali-kali, memastikan bahwa dirinya tidak salah melihat.

“Yas? Ini beneran?” tanya Satria.

Yasmine tak menjawab, gadis itu segera mengembalikan kuas yang ia pegang pada pemiliknya. Kemudian melesat berlari meninggalkan Satria, yang.. baru saja menjadi kekasihnya. Sementara Satria? Pemuda itu senang bukan main. Terlihat dari senyumnya yang mengembang penuh, pula sebuah reaksi tertahan yang mewakilkan bahagianya.

That's how the story goes. Yasmine merasakan kebahagiaan semakin membuncah dalam dadanya. Tuhan yang mahatahu memang benar adanya. Tuhan tahu, betapa Yasmine tak pernah mengeluh akan semua ujian yang menghujaninya.

Maka ganjaran yang pantas atas semua perjuangannya untuk bertahan adalah segala bentuk kebahagiaan yang ada di dunia.

Dulu, Yasmine mungkin harus beradaptasi dengan setiap orang yang memandangnya rendah. Terus menghinanya, mencaci makinya, hingga menginjak kepalanya agar ia tetap berada pada posisi paling bawah.

Sekarang, Yasmine nampaknya harus mulai beradaptasi kembali. Sebab dunianya berubah sekarang. Harapan yang dulu hanya bisa dipendamnya dalam hati kini terwujud satu persatu. Seakan Yasmine memiliki seorang peri pelindung yang selama ini diam-diam mendengar semua permohonannya kemudian mengubah hidupnya hanya dengan satu ayunan tongkat sihir.

Dan sebagaimana dongeng para putri kerajaan berakhir, kisah Yasmine berakhir sama bahagianya.

Ketika Sang Putri akhirnya kembali pulang ke istananya, merasakan dekapan hangat dari kedua orang tua dan keluarga yang menyayanginya, pula merasakan cinta dari seluruh dunia yang menerima keberadaannya.

Terakhir, ketika Sang Putri pada akhirnya menemukan seorang ksatria berkuda putih yang hadir untuknya. Seorang pangeran yang membuatnya merasa dicintai sebagaimana dirinya.

Dan sebagaimana dongeng para putri kerajaan berakhir,

.

.

.

.

She lived happily ever after.

– The End -

Entah semanis apa mulut seorang Satria Daffa Perwira hingga Ayah berhasil terbujuk dengan mudah untuk mengizinkan Yasmine pergi bersama pemuda itu. Pagi tadi Bunda membangunkan Yasmine sebab katanya, Satria sudah menjemputnya. Dan pemuda itu kini tengah mengobrol dengan Ayah di teras rumah, seperti biasa. Membuat dengan cepat Yasmine melesat ke kamar mandi dan bersiap untuk pergi.

Maka di sinilah seorang Yasmine Arthawidya Cantika sekarang. Duduk manis di boncengan motor seorang Satria Daffa Perwira yang akan mengajaknya entah ke mana.

“Diem aja, Neng?”

Satria memulai obrolan dengan suara agak keras sembari melirik Yasmine dari kaca spion. Gadis itu memutar matanya, “Kamu juga diem aja!”

“Hah??”

“KAMU JUGA DIEM AJAAAAA!” balas Yasmine. Suaranya ia keraskan kali ini. Ah, Satria. Sudah benar saling diam. Sebab berbicara di motor pun tak ada gunanya, keduanya sama-sama akan kesulitan mendengar sebab suaranya harus bersaing dengan angin.

“NGGAK DENGERR!” balas Satria.

Yasmine mengembuskan napasnya kasar, setelahnya gadis itu memajukan tubuhnya mendekat ke arah telinga Satria yang tertutup helm.

“Kita mau ke mana?” tanyanya, mengubah pembicaraan.

Satria mengulum senyum, “Ada, deh!”

“Loh? Kamu tuh dari tadi sebenernya denger aku ngomong ya? Tapi pura-pura nggak denger?!” Yasmine menginterogasi pemuda di depannya. Sementara yang dituding hanya tertawa jahil. Membuat Yasmine mengerucutkan bibir dan segera menghadiahkan pukulan pelan pada bahu Satria.

“Kan udah dibilang, mau ngelukis,” ucap Satria santai. Maka Yasmine memilih untuk diam dan menikmati perjalanan daripada harus berdebat dengan Satria.

Selang beberapa menit perjalanan, tibalah mereka pada sebuah gedung Art and Studio di daerah Jakarta Selatan. Satria memarkirkan kendaraannya dengan rapi, setelahnya menuntun Yasmine memasuki ruangan. Sepertinya pemuda itu sudah mem-booking jadwal untuk mereka berdua sehingga keduanya tak perlu lagi mendaftar dan menunggu lama.

Satria dan Yasmine kemudian dituntun oleh salah satu staff di sana menuju sebuah ruangan berisikan kanvas dan segala perlengkapan melukis. Gadis itu kemudian memakai apron yang akan melindungi pakaiannya dari noda cat nantinya. Disusul oleh Satria yang melakukan hal yang sama di sebelahnya. Keduanya kini duduk berdampingan dan mendengarkan instruksi dari staff yang bertugas.

“Baik saya jelaskan dulu ya, Kak. Silakan untuk memilih gambar apa yang akan dilukis, contoh-contohnya ada di sebelah sana. Nanti Kakak akan mendapat color palette beserta set kuas yang akan digunakan. Untuk kelas melukis ini akan disediakan guide book-nya ya, Kak. Durasinya 3 jam dan setelah lukisannya jadi boleh dibawa pulang. Apakah sudah jelas?”

Satria dan Yasmine tak melakukan apapun selain mengangguk dengan kompak. Setelahnya keduanya bergegas memilih gambar yang akan mereka lukis. Yasmine memilih gambar yang cenderung simple dan tidak memerlukan banyak teknik sebab ia pun tak begitu pandai melukis.

Gadis itu memilih lukisan rangkaian bunga mawar merah yang diletakkan di dalam vas bunga cantik dengan dedaunannya yang turut menghiasi. Lukisan yang sederhana namun tetap Bisa terlihat indah bila ia dapat mengeksekusinya dengan baik.

Sementara Satria, pria penuh ambisi dan gemar mencari tantangan itu memilih lukisan dengan tema Up In The Air. Lukisan langit jingga beserta awan putih yang dilihat melalui jendela sebuah pesawat. Yasmine bahkan terkejut ketika Satria memutuskan untuk memilih untuk melukis gambar itu. Sebab lukisannya akan memerlukan banyak teknik. Gradasi dalam pewarnaannya, belum lagi detail-detail kecil seperti bentuk awan, bentuk sayap pesawat yang terlihat, bentuk jendela, dan lain-lain. Namun, Satria cuek. Pria itu setia dengan kepercayaan dirinya.

Maka keduanya mulai melukis. Yasmine memulai dari mencampur warna merah dengan sedikit putih agar menjadi merah muda. Gadis itu kemudian menggoreskan cat sedikit demi sedikit untuk membentuk kelopak-kelopak bunga mawar.

Di sebelahnya Satria justru belum memulai sama sekali. Pemuda itu memilih untuk memandangi wajah Yasmine dengan seksama. Sejak pertama keduanya jumpa, Satria tahu bahwa Yasmine memang pantas menyandang nama Cantika sebagai nama belakangnya. Sebab kecantikannya selalu terpancar setiap kali gadis itu melakukan apapun.

Seperti sekarang. Ketika surai hitam panjangnya diikat satu hingga rapi. Beberapa helainya jatuh, membingkai wajah tirusnya dengan sempurna. Tangannya bahkan bergerak dengan anggun melukis sebuah kelopak yang—menurut Satria—mewakili gadis itu.

Tanpa disangka, Yasmine menoleh tiba-tiba. Alhasil, Satria gelagapan dibuatnya. Namun pria itu berdeham guna menutupi salah tingkahnya akibat tertangkap basah. “Ngapain malah ngeliatin aku gitu?” tanya Yasmine. Setelahnya gadis itu menunjuk kanvas Satria dengan kuasnya, “Tuh, kanvasmu masih kosong.”

“Ini gue lagi ngumpulin inspirasi, Yas,” balas Satria santai. Rasanya pemuda itu memang benar-benar terlatih untuk selalu mengeluarkan kata-kata manis dari mulutnya.

Yasmine memutar matanya malas, menutupi kebun bunga yang bersemi dalam relungnya. “Cepet, mulai! Kalo nggak nanti aku pulang sendiri ya, aku nggak mau nungguin kamu kalo belom selesai!” ancam Yasmine.

Satria tertawa pelan, setelahnya pemuda itu memutar badannya menghadap kavas miliknya yang masih putih bersih belum tersentuh. Dan mulai menorehkan cat jingga di sana. “Kenapa milih lukis mawar, Yas?” tanya Satria.

“Nggak tau, tiba-tiba keinget mawarnya Beauty and The Beast,” balas Yasmine. Pandangannya masih fokus pada lukisannya. Gadis itu bertekad membuatnya seapik mungkin agar dapat dipajang di ruang tamu.

Di sebelahnya, Satria mendelik tak suka. “Maksudnya gue Beast-nya?”

Yasmine menahan senyumnya untuk berkembang lebih besar, “Iya, kali ya?”

“Jahat lo, Yas! Gue seganteng ini dibilang buruk rupa!”

“Kan ujungnya dia jadi pangeran juga, Daf,” sahut Yasmine tenang.

“Iya, ya? Lo princess-nya?”

“Enggak.”

“Yah, nggak mau ah kalo gitu!” balas Satria. Yasmine hanya membalasnya dengan sebuah kikikan geli. Yasmine memang sengaja membuat Satria kesal.

“Kamu kenapa milih itu?” kini Yasmine bertanya balik.

Satria menoleh ke arah Yasmine sebelum menjawab. “Ini?” tanyanya. Sekon berikutnya Satria menggeleng, “Nggak pa-pa. Biar kayak lagi di magic carpet ride aja.”

Yasmine menahan tawanya, “Magic carpet terus! Kamu mau jadi Aladdin?”

“Boleh, kalo Yasmine-nya lo,” sahut Satria. Lagi-lagi melancarkan serangannya. Namun, kali ini Yasmine sudah tak lagi dapat membendung tawanya. Membuat Satria pun turut tergelak.

“Mana ada lagian, magic carpet ride naik pesawat gitu?” ucap Yasmine.

“Loh,” balas Satria. “Asal sama lo, mah, jalan kaki juga rasanya kayak lagi magic carpet ride. Soalnya serasa berada di a whole new world gituuh!”

“Gombal!!” sebal Yasmine. “Kamu jadi Abu aja, dehh! Nggak cocok jadi Aladdin,” candanya kemudian. Satria jelas melayangkan tatapan protesnya, sebab disamakan dengan karakter monyet peliharaan Aladdin yang bernama Abu itu.

“Enak aja! Gue bilangin Ayah lo ya!?”

“Bilangin aja. Nanti aku aduin balik kamu tukang gombal!”

“Emang Ayah lo bakal belain lo gitu?” tantang Satria. “Gini-gini gue temen nongkrongnya, Yas, jangan macem-macem lo!”

Yasmine memandang Satria tidak terima. “Yang anaknya Ayah kan aku!”

Satria terkekeh, “Oohh, Princess-nya Ayah?”

“Kata Ayah sih, begitu,” balasnya bangga. Kemudian Satria tak lagi membalas. Pria itu membiarkan Yasmine kembali fokus pada lukisannya yang sudah hampir selesai membentuk tiga kelopak bunga mawar. Meninggalkan Satria jauh, sebab lukisannya baru menampakkan gradasi sejak tadi.

Kini Satria lagi-lagi termangu memandangi Yasmine. Tanpa gadis itu ketahui, di dalam relung pemuda yang sedang menatap ke arahnya itu penuh akan gemuruh. Detak jantungnya bahkan terdengar hingga sudut ruangan.

Satria sedang bertanya-tanya, haruskah ia menyatakannya sekarang? Pantaskah dirinya, untuk seorang perempuan di hadapannya?

Hening mengisi cukup lama. Dan Yasmine bukan tak menyadari bahwa sejak tadi sepasang mata menatap ke arahnya. Hanya saja ia berusaha fokus dan mengabaikan Satria, sebab tanpa pemuda itu ketahui, Yasmine pun merasakan gemuruh yang sama.

“Yas,” panggilnya. Akhirnya memecah keheningan yang sejak tadi menyelimuti keduanya.

Yasmine menoleh. Satria sudah tak menatap ke arahnya, melainkan mulai menorehkan cat berwarna putih untuk membentuk awan-awan yang menjadi teman sang senja yang ia lukiskan. Bagus lah, Yasmine jadi tak perlu repot-repot mengatur ekspresinya agar terlihat gugup, kan?

“Udah mau satu tahun kita sekolah, ya?” tanya Satria.

Yasmine mengingat-ingat sejenak, “Iya. Kenapa? Nggak berasa ya? Pasti karena kamu pergi lama banget. Sama tuh, Mas Jiel juga gitu.”

Sudut bibir Satria terangkat sedikit, namun kembali ditahan oleh sang empunya. Bukan itu maksudnya. Bukan ke sana arah pembicaraannya.

“Iya, kayaknya baru kemaren rasanya gue ikut MOS,” sahut Satria.

Oh, Masa Orientasi Sekolah. Yasmine meneguk ludah mengingatnya, pula ia merasakan kedua pipinya menghangat. Sebab pada masa itu, pertama kalinya ia bertemu dengan pemuda yang kini berada di dekatnya hanya dengan jarak beberapa jengkal.

Pertama kalinya, Yasmine merasa ada yang berhasil menyusupi relung hatinya.

“Nama lo udah kayak princess gitu, nggak mau sekalian jadi princess gue juga?”

Bahkan satu kalimat yang Satria lontarkan saat itu masih terekam jelas dalam ingatannya. Ralat, Yasmine memang memilih untuk menyimpannya di dalam hati. Meskipun ia tahu, itu hanya hasil keisengan sang kakak yang kebetulan menjabat sebagai ketua OSIS dan kebetulan memimpin kegiatan MOS saat itu. Meskipun ia tahu, Satria tak benar-benar serius menyatakannya.

“Pertanyaan gue waktu itu—kayaknya masih lo gantung deh, Yas,” ujar Satria.

Yasmine sontak mendongak, menatap wajah Satria yang masih tak menatap ke arahnya. Yasmine tahu, Satria juga menghindari tatapannya. Gugup, Yasmine memilih untuk pura-pura lupa. “Pertanyaan yang mana, Daf?”

Sejenak, Satria menghentikan gerak kuasnya. Namun wajahnya tetap tak teralihkan dari kanvas miliknya. Pemuda itu mengembuskan napas halus, dan setelahnya..

“Yasmine Arthawidya Cantika, nama lo udah kayak princess gitu, nggak mau sekalian jadi princess gue juga?”

Satria mengulangi pertanyaannya. Pemuda itu mengulanginya pada waktu yang berbeda, tempat yang berbeda. Namun yang harus Yasmine ketahui, Satria mengulanginya dengan isi yang sama. Perasaan yang selalu sama.

Gadis itu terpaku setelah mendengar kalimat yang baru saja meluncur dari bibir lelaki di hadapannya. Yasmine menahan napasnya. Ia bahkan meneguk ludahnya sesaat setelah memutuskan untuk berusaha kembali fokus dengan lukisannya.

Namun, ucapan Satria selanjutnya berhasil menahan gerakan tangannya.

“Gue suka sama lo, Yas,” ucap Satria. “Gue nggak bercanda. Well—mungkin waktu itu, iya, gue cuma asal. Tapi semenjak hari itu, mendadak gue jadi pengen kenal sama lo lebih jauh. Lama-lama, pertanyaan gue yang cuma asal itu jadi sesuatu yang gue seriusin, Yas,” lanjutnya.

Tak ada yang Yasmine lakukan selain mematung. Ia benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Darahnya berdesir ke sekujur tubuh, membuat seluruh tubuhnya terasa panas. Yasmine yakin sekarang wajahnya pasti terlihat seperti Sebastian, si kepiting merah dari film The Little Mermaid. Lebih-lebih ketika Satria akhirnya kembali memutar tubuh ke arahnya.

“Jadi princess-nya Bang Jiel udah. Princess-nya Ayah udah,” ucap Satria. “Now, would you be my princess too, and make me the happiest prince in this land of far far away?

Yasmine bersumpah dalam hatinya. Demi Tuhan, tak ada lagi manusia yang lebih cheesy dari seorang Satria Daffa Perwira. Mendadak Yasmine tak lagi salah tingkah sebab mendengar penuturan Satria yang justru terdengar kocak baginya. Gadis itu kini tertawa hingga harus memegangi perutnya yang kesakitan.

“Kamu cheesy banget! Emang harus kayak gitu apa ngomongnya?” tanya Yasmine di sela tawanya. Wajahnya benar-benar memerah sekarang. Bercampur antara geli karena tertawa dengan seluruh perasaan malunya.

Satria hanya menipiskan bibir, tersenyum melihat Yasmine tertawa selepas itu untuk pertama kalinya. Biarlah ia menanggung malunya, toh, semua temannya juga sering menertawakan dirinya karena ulahnya sendiri. Yang paling penting, Yasmine tertawa karenanya.

“Dijawab dong, masa diketawain doang?” pinta Satria.

Akhirnya, Yasmine meredakan tawanya. Gadis itu sampai harus berkali-kali menghela napasnya sebab sudah merasa terlalu sesak lantaran terlalu banyak tertawa. Sekon berikutnya, gadis itu meraih kuas milik Satria. “Pinjem sini kuasnya!”

Meski bingung, Satria tetap membiarkan Yasmine merebut kuasnya. Gadis itu kemudian mencelupkan ujung kuas pada cat putih yang berada di palette milik Satria. Mengarahkannya pada kanvas, Yasmine menuliskan sesuatu pada bagian kanvas yang nantinya akan tertutup menjadi lukisan awan putih.

Satria hanya menyaksikan Yasmine merusak lukisannya dengan tatapan bingung. Namun rupanya, Yasmine menuliskan jawabannya.

Y-E-S

Satria termangu. Memandangi tiga huruf yang berbaris membentuk sebuah kata yang menjadi jawaban Yasmine akan pernyataan perasaannya. Kedua bola matanya mengerjap berkali-kali, memastikan bahwa dirinya tidak salah melihat.

“Yas? Ini beneran?” tanya Satria.

Yasmine tak menjawab, gadis itu segera mengembalikan kuas yang ia pegang pada pemiliknya. Kemudian melesat berlari meninggalkan Satria, yang.. baru saja menjadi kekasihnya. Sementara Satria? Pemuda itu senang bukan main. Terlihat dari senyumnya yang mengembang penuh, pula sebuah reaksi tertahan yang mewakilkan bahagianya.

That's how the story goes. Yasmine merasakan kebahagiaan semakin membuncah dalam dadanya. Tuhan yang mahatahu memang benar adanya. Tuhan tahu, betapa Yasmine tak pernah mengeluh akan semua ujian yang menghujaninya.

Maka ganjaran yang pantas atas semua perjuangannya untuk bertahan adalah segala bentuk kebahagiaan yang ada di dunia.

Dulu, Yasmine mungkin harus beradaptasi dengan setiap orang yang memandangnya rendah. Terus menghinanya, mencaci makinya, hingga menginjak kepalanya agar ia tetap berada pada posisi paling bawah.

Sekarang, Yasmine nampaknya harus mulai beradaptasi kembali. Sebab dunianya berubah sekarang. Harapan yang dulu hanya bisa dipendamnya dalam hati kini terwujud satu persatu. Seakan Yasmine memiliki seorang peri pelindung yang selama ini diam-diam mendengar semua permohonannya kemudian mengubah hidupnya hanya dengan satu ayunan tongkat sihir.

Dan sebagaimana dongeng para putri kerajaan berakhir, kisah Yasmine berakhir sama bahagianya.

Ketika Sang Putri akhirnya kembali pulang ke istananya, merasakan dekapan hangat dari kedua orang tua dan keluarga yang menyayanginya, pula merasakan cinta dari seluruh dunia yang menerima keberadaannya.

Terakhir, ketika Sang Putri pada akhirnya menemukan seorang ksatria berkuda putih yang hadir untuknya. Seorang pangeran yang membuatnya merasa dicintai sebagaimana dirinya.

Dan sebagaimana dongeng para putri kerajaan berakhir,

.

.

.

.

She lived happily ever after.

– The End -

Sabtu yang dinanti pun tiba, Yasmine bangun lebih pagi dari biasanya. Sejak semalam gadis itu bahkan tak bisa tidur sebab hatinya terlalu tak sabar untuk menyambut pagi.

Foto keluarga?

Ah, dulu bahkan Yasmine tak pernah berani untuk memintanya pada Tuhan. Rasanya itu adalah keinginannya yang paling sulit untuk menjadi nyata. Dan Yasmine tak ingin membiarkan mimpinya terkubur lagi, maka gadis itu memilih untuk melupakannya. Biarlah hanya Azriel yang memiliki kesempatan untuk merasakan memiliki sebuah potret keluarga, bukan dirinya.

Namun hari ini pada akhirnya tiba jua. Tentu saja gadis itu serasa melayang ke langit ke tujuh. Rupanya mimpinya tak terkubur, melainkan meninggi hingga menjadi bintang paling terang di atas sana. Dijaga dengan baik oleh Sang Pemilik Bumi untuk Yasmine jemput suatu hari nanti. Dan hari ini adalah saatnya.

Yasmine sudah mandi dan hanya tinggal mengganti pakaiannya ketika kedua orang tua dan kakaknya telah siap. Kini Yasmine memilih untuk turun, menuju ruang keluarganya yang selama ini memajang potret keluarga yang hanya ada Ayah, Bunda, dan Azriel di tengah-tengahnya. Bukan, bukan Yasmine belum lahir. Ayah yang melarangnya ikut kala itu.

Yasmine tersenyum geli ketika memandangi wajah Azriel. Kakaknya itu bilang, saat foto itu diambil dirinya sama sekali tak bahagia sebab Yasmine tak turut hadir. Dan ucapannya terbukti benar. Terlihat dari wajah Azriel yang sama sekali tak menunjukkan senyumnya pada foto itu. Entah mengapa Yasmine justru merasa foto keluarga yang kini dipandanginya itu hanyalah bentuk sebuah formalitas.

Yasmine masih fokus pada kegiatannya. Hingga suara seseorang yang tengah menuruni tangga rumahnya berhasil membuatnya menoleh.

“Eh—Adek udah bangun?”

Rupanya Ayah, yang nampak baru saja bangun tidur. Ayah bahkan turun dengan setelan kaus dan sarungnya. Yasmine mengangguk, setelahnya mengikuti langkah Ayah yang pasti menuju dapur. Gadis itu hapal kebiasaan sang Ayah. Setiap pagi pasti Ayah akan menuju dapur dan membuat sendiri kopi hitam untuknya.

Gadis itu kini duduk di sebuah mini bar dapur rumahnya, menyaksikan Ayah meracik kopi. “Ayah mau bikin kopi, Adek mau?” tawar Ayah.

“Enggak, Adek nggak bisa minum kopi pagi-pagi. Nanti sakit perut,” jawab Yasmine seraya terkekeh. Sementara Ayah hanya mengangguk-angguk seraya menahan senyumnya.

“Adek ngapain sendirian di bawah? Yang lain belum pada bangun juga,” ucap Ayah. Pria paruh baya itu kini mengambil sendok kecil untuk mengaduk kopinya.

“Hm? Enggak, aku liat itu,” jawab Yasmine, mengarahkan telunjuknya kepada figura besar memampang potret keluarga yang terpajang di ruang tengah. Membuat Ayah tersenyum getir.

“Nanti yang itu rencananya Ayah copot, terus masukin gudang. Ayah mau ganti sama foto kita yang baru, yang ada Adeknya juga,” balas Ayah.

“Iya, ganti aja, Yah. Mas Jiel-nya jelek di foto itu. Nggak enak diliatnya,” canda Yasmine. Ayah tergelak kemudian.

“Adek udah mandi, ya?” tanya Ayah. Yasmine hanya mengangguk menjawabnya.

“Ya udah, Mamasnya dibangunin, ya, Sayang. Nanti Ayah sama Bunda siap-siap juga,” titah Ayah halus.

“OKE!”

Jawaban Yasmine yang berapi-api lantas membuat Ayah kembali terkekeh. Setelahnya gadis itu melesat untuk menggedor kamar sang kakak. Mengganggunya hingga terbangun dari tidurnya.


“Coba adeknya agak ke tengah, kepalanya dimiringkan sedikit!”

“Masnya agak geser, Mas!”

“Okee, mulai ya. Tahan, 1..2..”

Ckrek!

Entah sudah kali ke berapa kamera memotret Yasmine dan keluarganya. Sudah seringkali terdengar embusan napas lelah dari Azriel yang harus berdiri tegak di belakang Yasmine. Namun gadis itu sama sekali tak merasa lelah. Yasmine justru merasa ketagihan, bahkan kalau bisa, gadis itu ingin terus berfoto bersama keluarganya.

Yasmine tak henti-hentinya tersenyum. Dadanya membuncah merasakan bahagia yang tak ada bandingnya. Sejak tadi benaknya tak berhenti bicara. Yasmine tak henti-hentinya berbahagia. Terlebih sejak tadi ketika Ayah bahkan turut membenahi anak rambutnya yang menghalangi wajahnya.

Selesai berfoto, Yasmine memilih untuk menghampiri Ayah yang nampak sudah lelah dan tengah mengipasi dirinya sendiri. Mungkin kostum berfoto kali ini membuat Ayah kegerahan, ditambah lagi paparan lampu yang juga panas selama berfoto. Gadis itu mengambil tempat di sebelah Ayah, kemudian mengajaknya bicara.

“Ayah,” panggilnya.

Ayah yang tadinya bersandar otomatis bangkit dan duduk dengan posisi tegak. “Ya?”

Yasmine menggeleng seraya tersenyum, setelahnya ia justru memeluk sang ayah. Bingung, Ayah tak langsung membalas peluknya hingga Yasmine menjelaskan maksudnya. “Makasih udah ngajak Yayas foto keluarga ya, Ayah! Yayas seneng banget pokoknya!”

Ayah tersenyum, setelahnya mengusap pucuk kepala Yasmine. “Justru Ayah harusnya minta maaf sama Adek. Maaf baru ngajak Adek foto keluarga sekarang.”

Yasmine menggeleng cepat, “Nggak pa-pa. Kapanpun itu, Yayas akan selalu seneng. Sekali lagi makasih ya, Ayah! Seneng banget akhirnya nanti Yayas bisa liat foto Yayas di ruang tamu, hehe.”

Ayah mengangguk bangga, “Oh, iya dong! Nanti foto Adek akan Ayah pajang paling besar. Pokoknya foto Princess Ayah harus paling kelihatan!”

Yasmine terkekeh, “Ayah kebanyakan main sama Daffa, tuh, jadi ikutan princess-princess!”

“Loh, Adek kan emang princess-nya Ayah!”

Yasmine mendongak menatap wajah Ayah. Setelahnya, sembari tersenyum gadis itu menjawab, “Then that makes you a king.

Yasmine bernapas lega setelahnya. Ternyata begini rasanya, berfoto dengan dihimpit oleh kedua orang tua yang menyayanginya. Ternyata begini rasanya, berada di dalam sebuah keluarga lengkap dimana dirinya termasuk sebagai anggotanya. Ternyata begini rasanya, menjadi seseorang yang juga turut diprioritaskan oleh Ayah. Tak ada lagi yang bisa Yasmine lakukan selain menumpahkan rasa syukur sebanyak-banyaknya dalam hatinya.

Sebab hari itu, sebuah potret keluarga berhasil diabadikan. Sebagaimana Yasmine mengabadikan momen sederhana yang akan selamanya berharga. Sebagaimana Yasmine akhirnya memiliki sebuah potret keluarga baru dalam benaknya.

Potret keluarga yang kini akan selamanya menjadi rumah yang nyaman untuk tempatnya pulang.

Sesuai perjanjian, Azriel akhirnya mengajak Yasmine untuk mengunjungi saudara kembarnya. Seorang adiknya yang lain, yang selama ini keberadaannya harus disembunyikan dan namanya tak pernah dibiarkan untuk menyentuh mulut siapapun di rumah.

Keduanya kini berdiri di hadapan sebuah batu nisan yang bertuliskan sebuah nama yang susunannya mirip dengan milik Yasmine.

Yazid Arthawirya Saputra

Bola mata Yasmine memindai setiap barisan huruf yang terukir di sana. Mematri nama itu dalam hati supaya setiap hari dapat ia titipkan doa yang senantiasa mengudara untuk saudaranya itu.

Azriel dengan sigap mengambil langkah lebih dulu. Pria itu menyiramkan air mawar ke atas batu nisan di hadapannya, mengusapnya sedikit kasar agar semua kotoran yang menempel di sana hilang. Tak lupa mencabuti rumput liar yang memenuhi makam adik laki-lakinya. Setelahnya pria itu menyerahkan sekeranjang bunga tabur kepada Yasmine. Membiarkan gadis itu setidaknya menumpahkan afeksi pada saudara kembarnya yang belum pernah gadis itu temui sama sekali.

Selesai dengan semua kegiatan, Azriel dan Yasmine kini duduk berdampingan. “Yazid dulu mukanya kayak gimana, Mas?”

“Ya kamu ngaca aja coba, mirip—ADUH!”

Azriel mengaduh dan memegangi lengannya yang dicubit Yasmine sebab mengeluarkan jawaban menyebalkan yang sebenarnya masuk akal. Namun setelahnya ia hanya terkekeh dan mulai memberi gambaran tentang Yazid—yang sebenarnya tak terlalu pemuda itu ketahui pula. Sebab Yazid pergi terlalu cepat, bahkan sebelum Azriel sempat menyentuhnya.

“Mamas juga nggak tau sih, soalnya Yazid itu pas lahir langsung dibawa sama dokternya, abis itu ya.. gitu deh. Mamas juga belom sempet liat,” jawab Azriel getir. “Tapi kata Bunda sih, Yazid waktu itu persis Mamas waktu baru lahir. Beratnya juga sama.”

Yasmine hanya mengangguk mendengarkannya. “Kenapa ya, Mas, Yazid perginya cepet banget?”

“Tau, tuh. Padahal Mamas udah capek-capek ngedekor kamar kalian. Mamas yang ngecat, Mamas yang pasang stiker-stiker gitu. Eh, dianya nggak mau nempatin,” canda Azriel. Membangun pertahanannya sendiri agar air matanya tak meluruh di depan Yasmine.

Sementara adiknya itu hanya mengukir senyum, pikirannya kini berandai-andai. “Kalo misalnya Yazid waktu itu tetep sama kita, Mamas mau ngapain?”

Azriel tertawa miris, kemudian menggeleng. “Nggak boleh berandai kayak gitu. Apapun yang terjadi sekarang di dunia ini, pasti udah jalan yang paling baik. Buat Yazid, buat keluarga kita.”

“Bukannya nggak sayang Yazid, tapi Mas bersyukur seenggaknya masih ada kamu, Yas.”

Azriel berucap pelan. Namun wajahnya memandang kosong ke arah rerumputan yang menumbuhi tanah yang bertahun-tahun mengubur Yazid. Sedang Yasmine memandangi wajah sang kakak dengan seksama. Yasmine tahu, sejak lama Azriel adalah orang yang paling menyayanginya dalam keluarga. Setelah Eyang Kakung, tentunya. Sebab menyayangi Yasmine dan melindunginya adalah wujud rasa syukurnya, atas masih tersisanya satu adik kembarnya yang sehat dan sempurna untuk terlahir ke dunia.

“Yazid tapi untung kamu nggak ketemu Mas Jiel,” celetuk Yasmine. Menyadarkan Azriel dari lamunannya. “Dia suka nakal. Suka ngunciin aku di kamar mandi, suka marahin aku, suka nyuruh aku ngambil ini-itu! Dia jahat, Yazid!”

“Boong! Mas Jiel baik tau, Yazid. Suka beliin Yayas nasi goreng, suka nemenin Yayas, nganterin Yayas ke mana-mana. Yayas mau pacaran sama Satria juga Mamas bole—DUH SAKIT! Tuh, kan, Zid, Yayas yang jahat. Mas Jiel dicubitin terus!” balas Azriel sengit.

“Jangan gitu dong! Masa nanti Yazid taunya aku jelek gitu sifatnya?”

“Kan emang iya!”

“NGGAK!”

Azriel menghela napasnya, “Ya udah cerita yang lain.”

“Yazid, Mas Jiel suka sama cewek tapi nggak pernah berani ngomong tau,” celetuk Yasmine. Yang kemudian mendapat dorongan pelan di bahunya oleh Azriel.

Gadis itu terkekeh, sementara Azriel membalas candaan Yasmine. “Yayas lagi dideketin cowok tuh, Zid. Coba seleksi dulu cowoknya boleh nggak jadi pacarnya Yayas!”

“Ngarangg!”

“Nggak ngarang, emang iya, kan?” tanya Azriel. Yasmine kemudian hanya diam tanpa menjawabnya. Gadis itu memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.

“Ayah suka ke sini juga ya, Zid? Ngobrolin apa sama Ayah? Seru ya, pasti?” Yasmine mulai bermonolog. Sementara Azriel memilih untuk diam dan membiarkan Yasmine berbicara sendiri. “Aku baru beberapa bulan ini aja ngobrol sama Ayah, Zid. Ternyata Ayah lucu juga ya? Aku baru tau.”

Yasmine menghela napasnya. Sementara Azriel memperhatikan dengan tatapannya yang mewakili haru yang turut menghangatkan hatinya. Melihat Yasmine berbicara pada Yazid, meskipun keduanya tak benar-benar berhadapan, entah mengapa terasa seperti melihat kedua adiknya sedang benar-benar bermain bersama sebagaimana mestinya.

“Aku nggak tau alasan apa yang bikin kamu ngebiarin aku keluar duluan dari perut Bunda, Zid. Entah karena kamu merasa aku yang lebih kuat untuk lahir atau karena kamu sebenernya udah tau kalau tinggal di surga itu jauh lebih enak,” ujar Yasmine. “yang jelas, aku selamanya berterima kasih sama kamu karena udah ngasih aku kesempatan untuk liat dunia ini. Walaupun kamu nggak ada sama aku di sini sekarang, aku yakin kamu nggak pernah ninggalin aku. Aku tau kamu selalu nemenin aku, makanya aku bisa bertahan sampe sekarang.”

Air mata Azriel menetes juga pada akhirnya. Namun pemuda itu cepat-cepat menghapusnya. Terbesit dalam benaknya bayangan angan yang sejak dulu ia rancang. Seandainya Yazid terselamatkan, mungkin Azriel dan Yazid akan menjadi dua orang paling protektif terhadap Yasmine. Mungkin keduanya akan berebut untuk menjadi seseorang yang mengantarkan Yasmine ke manapun. Mungkin keduanya akan menjadi orang paling gencar untuk mengejek Yasmine ketika ada seorang pria yang mendekat. Mungkin.. Yasmine tak perlu melalui kehidupan yang begitu berat.

Terbayang dalam benaknya betapa hangat suasana rumah ketika Azriel dapat benar-benar bertukar canda dengan kedua adik kembarnya. Berlari kesana dan kemari, menguar tawa di setiap sudut rumah hingga entah berapa kali tubuhnya menabrak sudut meja. Hingga salah satu dari adik kembarnya menangis dan Azriel akan memeluknya suka rela. Kemudian kembali berlarian hingga suara lembut Bunda menegurnya.

Namun Azriel tahu ia harus merelakan itu semua menjadi sebuah angan yang tak pernah sampai, perihal masa kecil yang benar-benar ingin ia habiskan. Lagipula, bagaimanapun juga, itu hanya rencananya. Bukan bagian dari rencana yang telah Tuhan susun dengan baik.

Yang jelas, bersamanya atau tidak, Yazid tetap adiknya. Dan Azriel menyayangi Yazid sama besarnya dengan ia menyayangi Yasmine.

Paparan sinar matahari yang tak lagi jingga menandakan bahwa hari semakin sore. Maka Azriel terpaksa harus menghentikan kegiatan Yasmine yang nampaknya masih ingin berbicara banyak dengan Yazid. “Yayas, udah sore. Pulang, yuk? Nanti Ayah nyariin.”

Gadis itu menoleh. Sesaat memandangi wajah Azriel sebelum akhirnya melihat sekeliling. Sekon berikutnya Yasmine mengangguk, “Oh, iya. Yuk!”

Azriel bangkit lebih dulu, mengamit ransel hitamnya sebelum akhirnya ia sandarkan pada sebelah bahunya. Diikuti Yasmine yang turut berdiri di sebelahnya. “Yazid, Mas Jiel sama Yayas pulang dulu ya? Nanti kita ke sini lagi,” ucap Azriel.

“Yazid Arthawirya Saputra, nanti kalau kita ketemu lagi, pokoknya kamu harus kenal sama aku. Saudara kembar kamu, Yasmine Arthawidya Cantika,” ujar Yasmine tegas. Membuat Azriel terkekeh sebelum akhirnya pemuda itu berjalan mendahului Yasmine, memimpin jalan untuk keduanya kembali.

Sementara Yasmine hanya diam. Sebelum akhirnya ia melangkah mengikuti Azriel. Yasmine mengusap nisan makam Yazid untuk terakhir kalinya hari itu. Setelahnya ia membisikkan sesuatu untuk saudara kembarnya.

“Enjoy your life up there, Yazid. I'll cherish mine down here. See you when i see you!”

Seperti biasa yang ia lakukan ketika berada di rumah Eyang, Yasmine memilih menghabiskan waktu di dekat kolam ikan milik Eyang yang masih terawat meski sudah ditinggalkan pemiliknya—Eyang Kakung, setelah bertahun-tahun. Kolam ikan sederhana berpenghuni ikan-ikan koi dengan corak warna yang cantik yang selalu menarik mata Yasmine sejak kecil, selalu menjadi tempat pelariannya acap kali diundang ke sini. Sebab dahulu, Yasmine sering sekali menghabiskan waktu dengan Eyang Kakung di sana. Bertukar cerita sembari menebar makanan ikan yang langsung jadi rebutan untuk disantap dan sesekali cipratannya mengenai gaun bermotif floral yang dikenakan oleh Yasmine kecil.

De javu, hari ini pun Yasmine mengenakan gaun bermotif floral. Gadis itu tekekeh, mungkin sejak dulu ia telah menemukan selera busana miliknya sendiri. Sering kali Yasmine menjadikan kolam ikan itu sebagai tempatnya menumpahkan keluh, kemudian bersamaan dengan makanan ikan yang disebarnya ia berharap berhamburan pula semua lelahnya ke dalam sana. Bertukar menjadi kebahagiaan sederhana seperti ketika air kolam menyiprati gaunnya.

Entah mengapa bagi Yasmine, kolam ikan adalah tempat yang sangat dekat dengan Eyang Kakung. Gadis itu merasa bahwa Eyang Kakung tak pernah benar-benar meninggalkan kolam itu, rasanya Eyang Kakung selalu menanti Yasmine di sana. Duduk bersila dengan tenang seraya menatap pada ikan-ikan yang dipeliharanya dengan penuh kasih sayang.

“Ada cerita apa hari ini, Nduk?”

Begitu. Selalu seperti itu Yasmine membayangkan Eyang Kakung menatapnya di dekat kolam ikan dengan senyum hangatnya, kerutan-kerutan pada sudut matanya yang semakin terlihat jelas ketika Yasmine menatap ke arah bola mata Eyang Kakung yang selalu ramah, suara serak namun halus yang selalu membuat hati Yasmine tenang, rambut tipisnya yang memutih namun tak sekalipun membuat ketampanan Eyang Kakung hilang ditelan waktu, dan setelan sederhana Eyang Kakung yang tak pernah berubah. Kaus polo berkerah dengan celana bahan hitamnya yang selalu digulung sebatas betis setiap kali menemaninya di kolam ikan.

“Yang Kung,” Yasmine bermonolog. Berucap memanggil Eyang Kakung yang seakan-akan berada di dekatnya. “Hari ini Yayas ke sini. Tapi tau apa yang beda, Yang? Hari ini Yang Ti nggak marahin Yayas lagi. Tadi Yang Ti meluk Yayas—”

Ucapannya terhenti. Rupanya dirinya masihlah Yasmine yang sama. Yang selalu kalah pada akhirnya, yang selalu menangis pada akhirnya setiap kali mengadu pada Yang Kung. Yasmine menarik napas panjang yang lebih terdengar seperti sebuah isakan. Kemudian dengan ibu jarinya ia menghapus air matanya sendiri, menggantikannya dengan sebuah senyuman sebab yang ingin ia sampaikan pada Eyang Kakung adalah sebuah berita bahagia.

“Tadi Yang Ti meluk Yayas. Yang Ti bilang Yayas cucunya Yang Ti,” ucapnya. Menyelesaikan apa yang ingin ia utarakan sebelumnya. Kini sebelah tangannya terulur untuk menyentuh air kolam yang tak terlalu dingin, juga tak terlalu hangat. “Yang Kung, makasih banyak ya.. selama ini selalu jagain Yasmine, selalu nemenin Yasmine, selalu memperlakukan Yasmine sebaik mungkin supaya Yasmine selalu merasa setara..”

Yasmine mengembuskan napasnya untuk kesekian kali. Tak lupa kini ia menjaga agar air matanya tak kembali bersatu dengan air kolam. “Yang Kung.. sekarang istirahatnya tenang aja ya! Kalo dulu Yayas cuma punya Bunda, Mas Jiel, sama Yang Kung, sekarang Yayas udah bisa bergabung sama yang lain, Eyang. Yayas nggak sendirian lagi sekarang. Ada Ayah, Bunda, Mas Jiel, Yang Ti, semua. Yayas punya semua sekarang. You can rest easily, now. Tapi Yayas akan ke sini terus, cerita terus sama Yang Kung. Biar nggak kangen, hehe.”

I'll love you forever, Yang Kung, Thank you for always treating me like a princess even when no one considered me as one,” tutupnya.

Lega. Hilang sudah semua gumpalan yang selama ini menyimpan semua kata yang tak terucap sebab hak bicaranya dicabut seluruhnya. Yasmine membuang napasnya kasar, membuang pula segala keresahan dan semua luka di hatinya. Hari itu, seperti keluarganya yang bersedia membuka lembaran baru, Yasmine pun memutuskan untuk meninggalkan semua lukanya di masa lalu dan memulai semuanya dari awal.

Yasmine mengeringkan tangannya yang sedari tadi ia gunakan untuk memainkan air. Menyapu sedikit ujung gaunnya yang mencapai lutut, membersihkan kotoran yang mungkin menempel di sana. Sekon berikutnya gadis itu bangkit, berniat kembali bergabung dengan sang kakak yang kini turut berbincang di ruang tengah. Namun Eyang Putri justru menghampirinya, membuat Yasmine mau tak mau mengurungkan niatnya.

“Eyang?” ucap Yasmine bingung. “Kenapa di sini?”

“Kamu sering ke sini, ya, Nduk?” tanya Eyang Putri, yang kini justru malah duduk di tepi kolam ikan. Seperti yang Yasmine lakukan sebelumnya.

Mau tak mau, Yasmine pun kembali duduk. Kali ini gadis itu mengisi tempat di sebelah Eyang Putri. “Iya, Yayas selalu ke sini kalo lagi di rumah Eyang.”

Eyang Putri mengangguk paham, “Yang Kung yang suka ajak kamu ke sini, ya?”

Lagi-lagi Yasmine mengangguk. “Mamas juga,” balasnya menambahkan.

Eyang tersenyum getir seraya menunduk. “Yasmine pasti nggak pernah suka, ya, kalo ada acara kumpul keluarga?”

Tak menjawab, Yasmine hanya tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Eyang. Sekon berikut, diraihnya kedua tangan Yasmine sebelum akhirnya digenggam erat oleh Eyang Putri. Membuat gadis itu kembali mendongakkan wajahnya menatap Eyang.

“Yang Ti minta maaf ya, Nduk. Yang Ti betul-betul minta maaf,” ucapnya tulus. Yasmine dapat merasakannya dengan jelas melalui pancaran mata Eyang. Tersirat penyesalan dan luka yang begitu besar dalam diri Eyang Putri yang dapat Yasmine temukan kala itu. Setelahnya Eyang Putri mulai bercerita.

Perihal masa kecilnya. Perihal—luka yang membuatnya turut menghancurkan dunia Yasmine.

“Dulu, Yang Ti punya ambisi besar. Yang Ti mau sekolah yang tinggi, karena Yang Ti suka belajar. Senang gitu rasanya ya, kalau pergi ke sekolah terus ketemu teman. Belajar banyak hal baru, terus diselesaikan di rumah kalau masih penasaran karena belum ketemu jawabannya,” Eyang mulai bercerita. Namun kemudian ia jeda sejenak, “Yasmine mau jadi apa kalau sudah besar?”

Yasmine membiarkan sudut bibirnya tersungging manis, “Dokter, Eyang.”

Sesaat, Eyang Putri terperangah mendengar jawabannya. Tubuhnya bahkan sedikit menegang, seakan ucapan Yasmine begitu menamparnya dengan keras. Namun sesaat kemudian senyuman teduh Eyang kembali menghiasi wajahnya yang meski sudah tua, tetap ayu layaknya selalu dirawat dengan baik.

“Dulu, cita-cita Yang Ti persis seperti punya Yasmine,” ucapnya getir. Ah, rupanya benar apa yang diucapkan orang-orang. Mimpi yang tak pernah terwujud itu rupanya tak akan pernah mati, melainkan hanya mendekam di bagian hati paling dalam. Membuat sang empunya menjadi seorang punuk yang merindukan bulan, selamanya.

“Dulu, Yang Ti juga mau jadi dokter. Yang Ti bilang sama Mbah Buyut, mau sekolah yang tinggi karena mau jadi dokter. Supaya bisa mengobati langsung Mbah Buyut kalau lagi sakit, karena dulu Mbah Buyut itu sakit paru-parunya, Yas. Kalau napas susah, Yang Ti nggak tega. Mau berobat bukan nggak punya uang, tapi Yang Ti kasihan karena Mbah Buyut harus bolak-balik ke rumah sakit dan nunggu lama di sana sementara beliau udah kesusahan,” tutur Eyang. Yasmine manggut-manggut memahami cerita Eyang. Paham, sebab tujuannya menjadi seorang dokter pun sama. Ingin turut mengulurkan tangannya pada dunia, tentu dimulai dari yang terdekat yakni keluarganya.

“Tapi waktu Yang Ti cerita ke Mbah Buyut, Yang Ti langsung dimarahin abis-abisan. Katanya, yang boleh sekolah tinggi-tinggi itu cuma laki-laki. Perempuan kalau disekolahin tinggi-tinggi itu justru percuma, cuma bakal ngabisin uang. Karena ujungnya di dapur, ujungnya ngikut suami, ujungnya cuma di rumah, nggak bakal jadi apa-apa,” jelasnya. “Bahkan dulu Eyang nggak boleh masuk SMA, Mbah Buyut maunya Eyang berhenti sampai SMP aja terus menikah. Tapi Eyang berontak, cuma.. ya.. bayarannya jadi mimpi Eyang yang harus dikorbankan.”

Yasmine menelisik wajah Eyang dengan seksama seraya menyimak ceritanya. Kini mata Eyang berkaca-kaca. Rupanya Eyang juga sama dengannya, memiliki kelemahan yang membuat air matanya luruh seketika. “Waktu itu kami, Mbah Buyut sama Eyang, akhirnya bertukar syarat. Eyang boleh sekolah sampai tamat SMA, asal setelah itu nggak ada lagi permintaan untuk menjadi dokter. Eyang harus menikah. Begitu pinta Mbah Buyut.”

Ah, Yasmine mengerti sekarang. Rupanya kebencian Eyang Putri terhadapnya bukan tercipta akibat pemikirannya sendiri. Melainkan karena luka masa lalu akibat pergerakannya dibatasi. Sayap-sayapnya untuk terbang tinggi dan menggapai mimpinya yang tersimpan di balik bintang itu dipatahkan secara paksa oleh seseorang yang selalu berlindung dibalik kewajibannya untuk dihormati, ayahnya sendiri.

“Eyang bersyukur semua anak dan cucu Eyang laki-laki, karena entah kenapa rasanya seperti dendam yang terbalaskan terhadap Mbah Buyut. Sebab pion keluarga Eyang lebih banyak. Tapi pas lahir kamu, rasanya jantung Eyang kayak ditusuk. Karena sudah terpatri di kepala Eyang kalau anak perempuan itu cuma sampah keluarga,” ucap Eyang lagi. “Padahal Yang Kung dulu sudah bilang, kamu nggak akan jadi sampah keluarga kalau kami nggak memperlakukan kamu begitu. Tapi susah, Nduk, Yang Ti selalu marah—”

Eyang Putri menangis semakin deras. Membuat Yasmine dengan sigap merangkul Eyang Putri dan menariknya ke dalam dekapannya. Yasmine mengusap bahu Eyang pelan. Berusaha meredakan tangis sang nenek. “Yang Ti selalu marah kalau lihat kamu. Karena Yang Ti merasa nggak adil, kenapa kamu bisa melakukan apa yang kamu suka? Kenapa kamu bisa terus berprestasi begitu? Yang Ti iri.. dulu Eyang nggak bisa sebebas kamu sekarang..”

Yasmine kini turut menitikkan air matanya. Hatinya sakit sekali, kali ini bukan lagi karena mendengar pernyataan Eyang yang membencinya. Melainkan karena mendengar betapa Eyang mendambakan dunia yang ia miliki sekarang.

“Eyang masih marah, kah, sama Yasmine sekarang?”

Eyang Putri menggeleng, “Yo, Ndak, Cah Ayu!

“Kenapa, Yang?” tanya Yasmine. Yasmine menggeleng cepat sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. Mencegah kesalahpahaman, dengan bola matanya yang berkilat menahan tangisnya agar jatuh lebih deras, Yasmine menjelaskan. “Yayas cuma mau tau kenapa, Eyang. Soalnya ini semua juga rasanya masih tiba-tiba buat Yayas.”

Eyang Putri kini tersenyum seiring setitik air matanya membasahi pipi. Ditangkupnya wajah cucu perempuan satu-satunya dengan kedua tangan. Ibu jari Eyang pun mengusap-usap pipi tembam Yasmine yang mulus, sekaligus menghapus jejak air mata gadis itu. Keduanya saling menatap, seolah ingin menjalin sebuah ikatan yang lebih kuat. Sekon berikutnya ketika Yasmine menatap lurus ke dalam netra Eyang yang persis dengan miliknya itu, Eyang Putri memecah keheningan di antara keduanya.

Nduk, dulu Eyang pikir kamu lahir di keluarga ini sebagai simbol kekalahan bagi Eyang. Karena akhirnya ada seorang lagi dalam keluarga yang pada akhirnya nggak akan jadi apa-apa,” tutur Eyang. “Tapi sekarang Eyang tau, Cah Ayu ini lahir di keluarga ini, sebagai simbol kemenangan bagi Eyang. Karena ada yang akan meneruskan mimpi Eyang,” tutupnya.

Yasmine tak bisa merasakan apapun selain pipi beserta dadanya yang memanas. Seakan seluruh darahnya mengalir dan mendidih di dalam arteri. Baru ia mengenal Eyang, rupanya ambisinya sama. Menjadi seorang dokter, atau setidaknya, menjadi seorang perempuan yang dihormati. Yang tak dipandang sebelah mata, yang tak dianggap sampah dalam keluarga, yang tak dianggap sebagai simbol kekalahan—apalagi aib bagi keluarga.

Kedua bola mata Yasmine menajam menafsirkan seluruh ambisi dalam dirinya yang selama ini memadam. Perempuan itu mengangguk mantap. Ambisinya sudah kembali membara sekarang, sebab tak ada lagi yang akan berusaha menginjaknya agar tetap berada di posisi paling bawah.

Yang Ti, dialah sayapmu sekarang. Mereka tak pernah benar-benar patah, hanya tergantikan dalam bentuk yang paling baru. Yang jauh lebih kuat untuk menerpa badai sekalipun. Yang jauh lebih kokoh untuk menukik menghindari segala rintangan yang mencoba menghalanginya untuk terbang lebih tinggi.

“Kejar pendidikanmu yang betul, ya, Nduk, Cah Ayu? Nggak harus jadi dokter, kalaupun Yasmine berubah pikiran di tengah jalan, ndak apa-apa, Nduk. Apapun itu, nanti ceritakan sama Eyang apapun mimpi Yasmine. Ya?”

Yasmine mengangguk semangat, setelahnya gadis itu kembali menghamburkan diri ke dalam pelukan Eyang untuk menangis sejadi-jadinya. “Pasti, Eyang. Pasti.”

Hari itu otomatis menjadi hari yang paling membahagiakan bagi Yasmine. Dan kolam ikan, bagi Yasmine akan selamanya menjadi sesuatu yang identik dengan Eyang. Entah karena sihirnya atau bagaimana, kolam ikan di rumah Eyang adalah satu-satunya tempat yang seakan selalu meminjamkannya waktu untuk berbahagia sejenak dalam hidupnya. Dan Yasmine bersumpah ia akan segera ke rumah Eyang untuk menuju kolam ikan ketika kesibukannya mulai mengganggu pikiran suatu saat nanti.

Memang tak ada lagi Eyang Kakung yang menemaninya di sana. Namun ada Eyang Putri, yang mulai saat ini, akan selamanya menyambut Yasmine dengan pelukan hangat—sehangat sweater rajut yang biasa ia buat untuk semua cucunya. Kemudian menemaninya duduk manis di dekat kolam ikan, menukar kesedihan dengan kebahagiaan sederhana seperti ketika air kolam menyiprati gaunnya.

Tak ada yang Yasmine lakukan sepanjang perjalanan selain memandangi pohon-pohon yang seakan bergerak pesat tertinggal jauh dari penglihatannya seraya menggigiti kuku-kukunya. Dalam hatinya gadis itu terus merapalkan doa yang sekiranya dapat menenangkan detak jantungnya yang terdengar hingga rungunya sendiri. Siapapun yang melihatnya saat ini pasti dapat mengerti bahwa Yasmine sedang gelisah bukan main.

Ayah melirik Yasmine dari kaca yang bertengger di dekat keningnya, “Kenapa, Adek?”

Kaget, Yasmine berjengit. Setelahnya ia menggeleng cepat seraya berusaha kembali menormalkan ekspresinya. “Nggak, nggak pa-pa kok, Yah!” Gadis itu membalas dengan senyum dibuat-buat.

Di sebelahnya, Azriel yang sedari tadi hanya duduk santai seraya menikmati lagu yang terputar di radio itu pun turut menoleh. Memandang sang adik yang meskipun berkata baik-baik saja, tetap masih menunjukkan gelagat gelisahnya. Yasmine kini memilin jarinya sendiri, membuat Azriel ngeri jari adiknya itu akan terpelintir. Maka pemuda itu menepuk punggung tangan Yasmine pelan, “Ngapain, sih?”

Yasmine hanya tersenyum tipis seraya menggeleng. Azriel tak banyak bicara, pemuda itu memilih untuk menggenggam tangan adiknya yang terasa dingin. Menyalurkan kehangatan serta ketenangan pada Yasmine. Pula sedikit keberanian dalam dirinya agar Yasmine tak lagi takut. Melalui tatapannya, Azriel seakan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Azriel paham bahwa adiknya itu gelisah, sejujurnya sama dengan dirinya. Ayah memang sudah bicara dengan Eyang Putri, tetapi apakah perubahan sudah benar-benar terjadi?

Selang beberapa lama, Yasmine dan keluarganya sampai pada rumah besar bernuansa klasik yang cukup sering mereka datangi setiap akhir pekan. Keluarganya itu memang sering mengadakan pertemuan bersama, yang sejujurnya tidak Azriel dan Yasmine sukai sebab penuh dengan kepura-puraan. Keluarganya memang berkumpul dan saling memasang senyum manis serta melontarkan sapaan paling hangat, yang jika dilihat oleh orang lain membuat keluarganya terkesan rukun. Namun nyatanya mereka hanya berkumpul untuk saling memamerkan tahta atau jabatan.

Berkali-kali Azriel menyayangkan, dan mencibir dalam hati. Semuanya berubah semenjak Eyang Kakung meninggalkan mereka semua. Persaingan semakin menjadi, tak ada yang dapat menjadi penengah.

Ayah memimpin keluarganya untuk memasuki rumah besar yang telah dipenuhi keluarga besarnya yang lain. Disusul Bunda yang setia mendampinginya, dan Azriel beserta Yasmine yang bersembunyi di balik punggung kekar sang kakak. Sekon berikutnya tangan Ayah tergerak untuk mengetuk pintu kayu yang sebelah bilahnya sudah terbuka itu.

Suara ketukan pintu itu otomatis membuat Ayah dan keluarganya menjadi pusat perhatian lantaran semua tamu yang hadir menoleh ke arah pintu. Melihat Ayah yang datang, mereka semua lantas bangkit dan menyambut Ayah dengan sukacita. Termasuk Eyang Putri yang berdiri dari singgasananya dan menyambut Ayah dengan rentang tangan paling lebar, siap untuk memeluknya.

Yasmine, di belakang Azriel, gadis itu berusaha untuk tetap tidak terlihat. Tangannya tak henti-henti mencengkeram kemeja merah marun Azriel hingga kusut.

Selesai bercengkrama dengan Ayah, Eyang lanjut memeluk Bunda singkat. Setelahnya wanita itu melirik ke arah Azriel yang berada tak jauh darinya. “Yang ikut cuma Azriel?” tanyanya, melirik Bunda dan Ayah secara bergantian.

Ayah, Bunda, dan Azriel saling bertukar pandang. Sementara Yasmine semakin meringkuk di balik tubuh Azriel. Bersembunyi agar Eyang tak menemukannya. Jantungnya berdegup semakin kencang, mungkin Azriel turut dapat merasakan detaknya.

Namun, Ayah selalu mengambil jalan berlawanan dengan yang diharapkan Yasmine. Seraya tersenyum, Ayah menjawab pertanyaan Eyang. “Yasmine juga ikut, Bu.”

Eyang mendelik bingung, “Mana?”

Ayah menoleh ke arah Azriel. Sadar bahwa ia menyembunyikan adiknya, Azriel menyingkir. Membuat Yasmine yang hari itu memakai gaun keunguan bermotif floral itu pada akhirnya terekspos. Gadis itu menunduk, menghindari tatapan mata Eyang yang kini tertuju padanya.

Gadis itu menunduk hormat sebab tahu adab terhadap yang lebih tua, lebih-lebih Eyang adalah seseorang yang dituakan. Pun, Yasmine tak ingin membuat kesalahan lagi. Selama ini telah menumpahkan seluruh hormatnya terhadap eyang saja masih salah, apalagi kalau ia kurang ajar.

Yasmine semakin menundukkan pandangannya kala Eyang mengambil satu langkah maju ke arahnya. Takut. Yasmine selalu takut jika harus berhadapan dengan Eyang. Akankah ada tamparan keras lagi hari ini? Akankah seluruh keluarganya akan kembali menyaksikan sinetron dengan rating paling tinggi lagi di depan matanya hari ini?

Eyang terus mengikis jarak antara dirinya dengan Yasmine. Diam-diam, Azriel pun merasa ketar-ketir. Sebelah tangannya ia gunakan untuk menjaga Yasmine dari belakang. Takut-takut gadis itu terhuyung ke belakang tanpa penjagaan sebab serangan Eyang.

Namun, syukurnya—dan anehnya, segala hal buruk yang sebelumnya tercetus menjadi sebuah prediksi justru tidak terjadi. Azriel makin merasakan peluh yang merambati dahinya. Entah karena gerah terkepung banyak orang atau karena situasi yang memang membuatnya panas. Sebab sekarang, Eyang berhenti tepat di hadapan wajah Yasmine. Jaraknya hanya beberapa centi jika dihitung-hitung.

Eyang tak bicara apapun. Bibirnya tertutup rapat, begitu pula dengan Yasmine. Gadis itu memilih untuk terus menunduk dan memainkan jemarinya sendiri. Eyang dengan wibawanya memang selalu mendominasi. Selayaknya seorang priyayi, penampilan selalu rapi bagai tanpa cela. Rambut Eyang selalu digelung ke atas, jalannya tegak seakan tak ada yang dapat menjatuhkan harga dirinya.

Sejujurnya, jika hubungan keduanya baik, jika Eyang menerima Yasmine, gadis itu akan dengan senang hati menjadikan Eyang seorang panutan. Dulu, jauh sebelum Yasmine mengerti kebencian yang dilontarkan Eyang padanya, Yasmine selalu merasa Eyang adalah 'Kartini'-nya. Sebab kehadiran Eyang baginya terlihat seperti para pahlawan wanita yang dipajang di dinding kelas sekolahnya dulu.

Eyang berani, pikirannya selalu kritis akan sesuatu, bicaranya lugas, berwibawa, dan merupakan seorang pemimpin yang mumpuni bagi keluarganya. Lihat, kan, betapa hebat Eyang Putrinya?

Namun sayang, semua gambaran itu harus tercoreng dan musnah sebab sikap Eyang yang memihak patriarki.

Yasmine melirik Eyang sekilas. Tatapannya masih sama, tajam. Sebelah alis Eyang terangkat sembari menatapnya, “Ini, adiknya Azriel?”

“Iya, Eyang,” jawab Azriel.

“Eyang nggak nanya kamu, Mas. Eyang tanya orang yang ada di hadapan Eyang,” balas Eyang tajam. Membuat nyali Azriel menciut bagaikan botol plastik yang diremas hingga habis pasokan udara di dalamnya.

Maka Yasmine meneguk ludahnya. Mengumpulkan segenggam keberanian yang ia punya, Yasmine kembali menatap wajah Eyang. Sekon berikutnya ia mengangguk sebelum akhirnya menjawab dengan suara bergetar. “I-iya, Eyang.”

Eyang berdecak.

Saat itu, tak ada seorang pun di ruangan itu yang berani berkata apapun. Terutama Yasmine yang berdiri tak jauh dari Eyang. Gadis itu bahkan merasakan tubuhnya mulai gemetar, ia hanya berharap agar tubuhnya tidak limbung saat itu.

Hening menguasai cukup lama. Dengan semua tatapan mata yang tegang, menanti apa yang akan terjadi antara Yasmine dan Eyang di tengah ruang keluarga saat itu.

“Ini adiknya Azriel?” tanga Eyang sekali lagi.

Yasmine bingung. Pun seluruh anggota keluarganya yang lain. Namun, kali ini Yasmine memilih untuk menatap wajah Eyang sepenuhnya. Sejelas-jelasnya. Menelisik netra Eyang yang selalu menatap tajam ke arahnya. Berbekal pesan Ayah, yang menyatakan bahwa kali ini mereka adalah keluarga yang takkan meninggalkan Yasmine sendirian, Yasmine menatap Eyang balik dengan tegas. Setelahnya Yasmine kembali memecah keheningan.

“Iya. Saya adiknya Azriel, Eyang,” balas Yasmine. Lugas, namun tetap tersampaikan dengan sopan.

Kini, giliran Eyang yang menatapnya dari atas sampai bawah. Ujung kepala hingga ujung kaki, tak ada satu pun anggota tubuhnya yang terlewat dari penilaian Eyang kala itu. Sesekali Eyang menatapnya remeh, namun Yasmine tak akan gentar lagi kali ini. Sekarang kekuatannya bertambah. Tak hanya Azriel, tapi ia juga punya Bunda, dan Ayah.

Tak lama Eyang mengangguk-angguk, seakan selesai menilai Yasmine secara keseluruhan. Wanita dengan kacamata antik di hadapan Yasmine itu menipiskan bibir, tersenyum miring ke arahnya. Entah mencibir atau memuji, Yasmine tidak terlalu tahu.

Namun jawabannya segera ia temukan ketika suara tegas namun halus milik Eyang mengalun di telinganya. “Iya, baru saya percaya ini adiknya Azriel. Pemberani. Kalau yang pertama tadi ndak percaya, penakut!”

Yasmine terperangah, terlebih ketika melihat Eyang tersenyum tipis ke arahnya. Sementara Azriel di sebelahnya, pemuda itu berjongkok melepas lega. Pula Ayah dan Bunda yang turut menatap Yasmine dengan tatapan yang sarat akan bahagia yang melimpah ruah.

Sekon berikutnya, mengabaikan semua anggota keluarga lain yang masih mencerna apa yang terjadi saat ini, Eyang langsung menarik Yasmine ke dalam sebuah dekapan hangat yang selalu menjadi dambaannya setiap kumpul keluarga.

Yasmine tak langsung membalas, gadis itu masih mencerna sebab semuanya masih terasa seperti mimpi. Lebih dari sebuah mimpi. Usapan halus Eyang pada punggungnya akhirnya menyadarkan Yasmine, membuat gadis itu segera membalas Eyang dengan dada yang menghangatkan serta bahagia yang membuncah.

Setitik air mata bahagia akhirnya mengalir dari kedua netranya yang selama ini sudah terlalu lelah meluruhkan tangisan Yasmine yang tak pernah cukup untuk mewakili semua bebannya. Dekapannya dilepas Eyang. Namun kedua tangan Eyang beralih pada bahunya.

Yasmine menggenggamnya erat, merasakan sebelah tangan Eyang yang kasar. Mungkin hasil kerja keras Eyang dulu saat membesarkan semua anaknya. Hari ini bola mata Yasmine berkilat cantik, berbalas bahasa dengan milik Eyang yang rupanya persis dengan miliknya. Yasmine terkekeh ketika melihat wajah Eyang, malu sebab hanya dirinya yang menangis. Ah, lihat itu, Eyang bahkan jauh lebih tegar dan kuat darinya.

Eyang kemudian melihat ke arah sekeliling. Menatap satu persatu anak dan cucunya. Setelahnya Eyang memecah keheningan dengan suaranya yang lantang seraya menunjuk Yasmine, “Ini cucu Eyang, paling Eyang sayang karena perempuan satu-satunya. Awas ya, kalo ada yang nakalin! Nanti Eyang tarik jambang rambutnya! Terutama kamu, Jiel!”

“LHA KOK JIEL?!?” balas Azriel tersinggung. Sebab sedari tadi ia tak melakukan apa-apa. Terima kasih kepada Azriel, karena pada akhirnya ia berhasil mencairkan suasana. Gelak tawa yang sedari tadi tak memunculkan tanda untuk turut hadir kini pecah memenuhi ruangan.

Setelah reda, Eyang kembali bicara. “Habis ini, Eyang minta ndak usah ada lagi yang saling membandingkan. Kalian semua itu saudara, betul kata Eyang Kakung dulu, harusnya saling bahu-membahu. Bukan saling menginjak bahu satu sama lain untuk berebut jadi yang paling tinggi,” ucap Eyang.

Bola matanya kini menatap Yasmine teduh, “Cah ayu.. maafin Eyang, nggih? Harusnya dari dulu Eyang jaga kamu, bukannya meninggalkan kamu sendirian.”

Yasmine hanya diam dan mendengarkan Eyang dengan seksama seiring Eyang mengembuskan napasnya. Menyesal. “Ayah kamu ke sini, cerita semuanya. Ayah bilang sama Eyang kalau dia nyesel, punya putri yang cantik, pinter, tapi dia sia-siakan. Ayah kamu benar-benar menyadarkan Eyang,” jelas Eyang. Yasmine kemudian merasakan kehangatan menjalar menggenggam kedua tangannya, rupanya itu berasal dari Eyang. “Eyang Putri janji, habis ini ndak akan lagi begitu sama Yayas, ya? Pegang ucapan Eyang, ya, Nduk? Ini berlaku juga untuk kalian semua, ini—amanahnya Eyang Kakung.”

Yasmine hanya mengangguk. Setelahnya Eyang pun mengajak seluruh tamu yang hadir untuk mengisi meja makan yang luasnya cukup untuk menampung seluruh makanan untuk seluruh tamu yang hadir. Pun, kursinya cukup untuk seluruh anggota keluarga. Jika biasanya ada satu kursi yang kosong tanpa penghuni, kini seluruhnya terisi penuh. Sebab kini Yasmine bergabung di dalamnya.

Gadis itu tak lagi tenggelam, Yasmine kini turut naik ke sebuah sekoci besar yang tiba-tiba datang menyelamatkannya. Sekoci besar yang berisi seluruh keluarganya.

Yasmine tersenyum penuh arti, sebab hari ini ia menjadi bagian dari lingkaran keluarga yang lebih besar.

Ini dia. Inilah keluarga yang selama ini Yasmine impikan.

Panji bergegas keluar ketika Kiara mengabarkan gadis itu sudah berdiri di depan gerbang rumahnya pukul tiga sore. Katanya gadis itu membuat kue hari ini, dan membaginya dengan Panji dan mamanya merupakan hal yang biasa gadis itu lakukan.

Kiara sedikit berjengit ketika pintu kayu bercat putih itu terbuka dan menampakkan Panji yang nampaknya baru bangun tidur. Nampak dari penampilannya yang acak-acakan. Rambutnya tak disisir, lengan kaus putihnya tergulung asal, dan satu-satunya yang rapi adalah celana training hitamnya.

Sorry ya, Kir. Baru bangun, lo nunggu lama?” tanya Panji. Suara itu, suara serak khas orang bangun tidur yang sudah lama tak menghampiri rungu Kiara, berhasil membuat gadis itu menelan ludahnya.

Panji menyisir rambutnya menggunakan jari-jari. Di hadapannya, Kiara segera menggeleng pelan. Seraya tersenyum, Kiara menyerahkan sepiring bolu cokelat buatannya ke hadapan Panji. Yang segera pemuda itu terima dengan senang hati. Tahu ada , tak lupa Panji pun mengucap terima kasih.

“Tante Tiur lagi pergi?” tanya Kiara. Panji mengangguk, “Iya, lagi pergi sama Galuh.”

“Ohh,” balas Kiara. “Tante Tiur sama Galuh tuh beneran udah kayak ibu sama anak deh.”

Mendadak, kantuk Panji yang bersisa itu menguap. Bersatu dengan udara. Mendengar konfirmasi kedekatan Galuh dengan ibunya membuat Panji menahan senyumnya seraya menunduk. “Iya?” tanya Panji.

Kiara mengangguk, “Suka diledekin sama Juna. Mama lo lebih sayang Galuh daripada gue sama Juna. Yaa, wajar sih. Gue sama Juna emang jarang ada waktu buat mama lo. Galuh yang paling sering nemenin Tante Tiur.”

Panji hanya manggut-manggut menyimak ucapan Kiara. Setelahnya ia hanya diam. Menatap bolu cokelat hangat di tangannya, setelahnya tatapannya ia arahkan pada wajah Kiara. “Ini beli bahannya sama Juna?” tanya Panji.

Dulu, setiap kali Kiara ingin membuat kue, gadis itu akan membombardir ponselnya dengan ratusan pesan untuk membangunkannya. Meminta Panji untuk mengantarnya membeli semua bahan untuk membuat kue, pula membantunya untuk membuat kue yang pada akhirnya dibagikan pada beberapa tetangga terdekat.

“Enggak,” jawab Kiara. “Sendiri.”

Panji mengangkat sebelah alisnya, “Sendiri?”

“Sendiri,” Kiara mengangguk mantap.

“Kenapa nggak minta temenin Juna?” tanya Panji. Namun Kiara menggeleng, “Nggak mau. Kalo bikin kue seruan sama lo. Jadi gue selalu sendiri semenjak lo pergi.”

Hening.

Baik Panji dan Kiara sama-sama terdiam. Panji tahu, dirinya termasuk jahat sebab meninggalkan Kiara tanpa kabar. Dan membiarkan gadis itu satu-satunya orang yang tidak tahu perihal kepergiannya. Namun ini semua juga demi dirinya sendiri. Bagaimanapun juga harus ada yang mengambil tindakan. Kalau tidak Kiara, maka dirinya yang harus mengambil tindakan.

“Lo chat gue jam setengah tiga pagi, nggak ngigo kan, Ji?” tanya Kiara.

Benar juga, Panji baru ingat bahwa ia harus membicarakan sesuatu dengan Kiara.

Pemuda itu kemudian menggeleng, “Enggak. Beneran kok, itu.”

“Terus gimana?”

“Gimana apanya?” tanya Panji.

“Kita?”

Panji terkekeh pelan. “Ohh, kita,” ucapnya. “Lupain aja. Kali ini bener-bener lupain, secara damai. Kita bisa ngobrol lagi.”

Kiara mengulum bibirnya, “Gue minta maaf, Ji. Harusnya waktu itu gue ngasih lo kejelasan, nggak mainin perasaan lo kayak gitu.”

Netra Kiara berkaca-kaca, penyesalan itu rupanya masih bersemayam di dalam diri Kiara. Bedanya, Panji tak lagi merasakan ada yang terluka dalam hatinya.

Maka Panji tersenyum tipis, lebih kepada menertawakan dirinya sendiri. “Nggak pa-pa, Kir. Gue juga minta maaf, ninggalin lo tanpa kabar dan belakangan ini kasar sama lo. Makasih, btw, udah bawain gue bolu lo.”

“Sama-sama,” balas Kiara. “Can we be friends again?

Panji mengangguk singkat, “Ya. Tapi nggak kayak dulu.”

Kini giliran Kiara yang mengangguk paham, “I see, that's okay. I get it.

Benar, Panji dan Kiara bisa berteman lagi. Namun tidak seperti dulu di mana Panji akan selalu ada di depannya untuk melindunginya. Bagaimanapun juga Panji harus menghargai posisi Juna sebagai kekasih Kiara. Pemuda itu harus menjaga sedikit jaraknya agar tidak mendahului posisi Juna. Agar tak lancang mengambil alih posisi yang seharusnya diisi oleh Juna.

So, the lift has been lifted?” tanya Kiara lagi.

I guess so,” balas Panji seraya tersenyum.

Baru saja keduanya ingin lanjut berbincang, seseorang menginterupsi. “Heh, heh, ngapain, tuh? Ngapain tuh?!”

Panji melihat Galuh yang rupanya sudah pulang bersama sang ibu. Kedua tangan gadis itu membawa banyak sekali tas belanjaan berisi sayur-sayuran dan bahan makanan lainnya. Panji baru tahu, rupanya Galuh menemani ibunya berbelanja bulanan. Gadis itu bahkan tak mengizinkan ibunya membawa seluruh bawaan berat itu.

“Eh, Kiara,” sapa Tiur. Kiara mengangguk sopan membalas sapaan Tiur. “Udah lama, Kir?”

“Nggak kok, Tante. Aku baru, ini abis nganterin bolu aja buat Tante sama Panji. Aku yang buat tadi,” balas Kiara ramah.

“Waah, repot-repot. Makasih banyak ya, Nak!” balas Tiur. Setelahnya wanita paruh baya itu beralih menatap Panji.

“Ekhem, permioooss!” sapa Juna tiba-tiba. Pria berbahu lebar dengan proporsi tubuh sempurna itu bergabung dengan perkumpulan di depan rumah Panji. Siapapun yang melihatnya pun pasti tahu, Juna juga baru bangun tidur. “Ada apa nih, rame-rame? Ada yang mau hajatan, kah?”

“Sunatan lu, kan, Jun?” canda Panji. “Sembarangan!” protes Juna. Setelahnya netranya menangkap sepiring bolu cokelat yang berada di tangan Panji.

“Wuih, ada makanan, nih! Bagi, Ji!”

“Enak aja, ini punya gue! Minta tuh sama cewek lo!”

Panji dan Juna terus ribut, sementara Tiur dan Kiara sibuk menengahi. Keributan keduanya terhenti ketika Tiur mengambil alih bolu cokelat dan mengatakan bahwa mereka akan kembali melakukan temu kangen. Keputusan itu langsung disetujui mengingat Panji pun sebentar lagi harus kembali ke perantauannya.

“Ya udah, Panji. Kamu mending bantuin Galuh deh, bawain belanjaannya ke dalem. Kasian, dari tadi bawa-bawa pasti berat. Nggak mau gantian sama Mama dari tadi,” ucap Tiur.

Mendengar ucapan mamanya, dan juga nama Galuh tentunya, Panji langsung menurut. Dengan sigap ia melangkah keluar pagar dan menghampiri Galuh setelah memberikan sepiring bolu itu kepada sang ibu. “Sini, Gal. Gantian,” ucap Panji.

Galuh akhirnya memberikan separuh bawaannya kepada Panji. Meskipun Panji memintanya agar memberikan semua belanjaannya, Galuh menolak. Padahal kekuatan Panji pasti jauh lebih besar darinya, membawa belanjaan sebanyak ini pun pasti lebih mudah bagi pria itu. Namun biarlah ini menjadi kontribusi Galuh terhadap sang malaikat Tante Tiur sebab sudah turut membayarkan belanjaannya.

“Separo-separo aja, Ji! Bisa kok gue!” ucap Galuh. Panji akhirnya mengalah dan membawa setengah dari bawaan Galuh. Pemuda itu mengangkat tas belanjaan berisi berbagai macam makanan ringan dan segulung alumunium foil yang diletakkan mencuat dari dalam tas belanja. Membuat pinggiran benda itu tak sengaja mengenai bagian pinggir perut Galuh.

Gadis itu terkejut dan sedikit berjengit, membuat Panji menoleh heran. “Kenapa, Gal?”

“Ituuu, alumunium foilnya kena gue. Geli!” balas Galuh.

“Lah, gelian lu?”

“Ya iyalah, emang ada manusia nggak geli?” tanya Galuh.

Berbicara tentang kelemahan diri pada manusia paling jahil seantero dunia adalah kesalahan yang fatal. Dan Galuh baru saja melakukannya.

Alih-alih berhenti dan memindahkan posisi alumunium foil itu, Panji justru meletakkan tas belanjaan yang sempat dijinjingnya. Kemudian justru menggelitik Galuh pada tempat yang sama. Sekali, tiga kali, Galuh masih menepisnya dengan sabar.

Namun untuk yang kesekian kali—

“GELI ANJ—”

Galuh menoleh cepat. Dibiarkannya semua tas belanjaan itu berserakan di jalan. Setelahnya ia terpaksa berlari mengejar Panji yang baru saja menggelitiknya untuk kesekian kali. Sebab ketika ia menoleh dan bersiap memukulnya, pemuda itu sudah menghilang lantaran berlari dengan kecepatan tinggi.

Dari kejauhan Panji berlari mundur seraya mengejek Galuh dengan perangai jahilnya. Ada setitik perasaan menggelitik yang sudah lama tak Panji rasakan kala melihat Galuh dengan kekesalannya yang membara mengangkat tangannya di udara seraya berlari ke arahnya, siap untuk menghabisi nyawa Panji saat itu juga.

Sudah lama sekali sejak terakhir kali Panji tertawa selepas sore ini. Membuat kebahagiaan turut menyeruak dalam diri Juna yang menyaksikan sahabatnya kala itu.

The weight has been lifted. Sebab ketika Panji memutuskan untuk kembali ke rumah, hatinya pun menemukan rumah baru untuk tempatnya menetap.