Night Of Realization

Panji mengusap wajahnya gusar. Tubuhnya itu berguling kesana dan kemari di atas kasur empuk berbalut sprei berwarna abu-abu. Diliriknya jam digital yang memancar memberi tahu waktu melalui layar ponsel canggihnya. Pukul setengah dua pagi, kedua mata Panji masih segar seakan disiram oleh air dingin. Belum digandrungi kantuk sama sekali.

Gara-gara Kiara mengiriminya pesan tadi, Panji jadi tidak bisa tidur. Ia memikirkan segala sesuatu yang menyangkut dirinya dan Kiara.

Beban yang sejak dulu menghimpit hatinya hingga membuatnya pecah berkeping-keping itu, masihkah di sana?

Isi kepalanya yang dulu selalu dikuasai oleh Kiara, memutar semua rekaman memorinya dengan Kiara setiap kali dirinya melihat lokasi yang pernah keduanya kunjungi, masihkah sama?

Sudah hampir dua bulan Panji menghabiskan waktu liburnya di kampung halaman. Kembali bercengkerama dengan segala hal yang ia tinggalkan di masa lalunya. Namun, kalau dipikir-pikir, sudah lama pula rasanya Panji mengabaikan segala hal tentang hubungan Kiara dan Juna. Hatinya pun rasanya sudah lama hampa. Tak ada lagi degupan kencang ketika telinganya mendengar nama Kiara, tak ada lagi rasa cintanya yang mengalir begitu deras untuk seorang Kiara.

Yang menjadi pertanyaan Panji adalah—apakah sudah benar-benar hilang, atau hanya bersembunyi di suatu tempat dalam relung hatinya?

Pikirannya kini bergulir pada seseorang lain yang belakangan ini sering berurusan dengannya. Tanpa disadari sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah lengkungan. Galuh, seseorang yang berhasil membuat Panji memusatkan pandangan padanya. Menjadikan Galuh seakan-akan poros tempat dunianya berputar. Galuh dan Kiara adalah dua orang yang sama cantiknya. Namun entah mengapa Panji merasakan ada sesuatu yang berbeda dari kecantikan yang bersemayam dalam diri Galuh.

Senyuman Panji luntur. Cukupkah itu untuk memikat hatinya yang sudah lama terpaut pada Kiara? Bisakah Galuh mengambil alih daerah kekuasaan Kiara dalam hatinya? Benarkah ia menyukai Galuh?

“Ah, pusing amat dah mikirin ginian!” umpat Panji. Pria itu memutuskan bangkit dan menyugar rambutnya yang sudah berantakan. Mengusap wajahnya sekali lagi, Panji memilih untuk berjalan menuju balkon kamarnya. Mencari udara segar yang siapa tahu dapat menyegarkan pikirannya, juga menenangkan hatinya.

Kepalanya sontak tertoleh kala ia mendengar suara perempuan dari suatu tempat yang tak jauh. Sebelah alisnya terangkat ketika menangkap sosok Galuh dengan piyama biru muda berlengan panjang yang membalut tubuhnya. Gadis itu juga terlihat sedang bersandar pada teralis balkon rumahnya seraya sebelah tangannya menempelkan ponselnya pada telinga, entah berbincang dengan siapa di seberang sana.

Panji pun memilih diam dan memperhatikan. Tak ingin mengganggu perbincangan Galuh. Setelah gadis itu menutup teleponnya, barulah Panji menyapanya.

“Sst sst!” ucapnya lumayan keras hingga terdengar pada Galuh yang tinggal di sebelah rumahnya. Balkon keduanya pun cukup dekat. Bahkan rasanya Panji dapat hanya loncat jika ingin mengunjungi Galuh ke rumahnya.

Galuh terlonjak, sekon berikutnya gadis itu pun tersenyum ramah setelah mengetahui Panji-lah yang memanggilnya. “Hai! Kok belom tidur?”

Galuh berjalan mendekat ke arah balkon rumahnya yang bersebelahan dengan milik Panji, membuat keduanya dapat berbicara dengan satu sama lain dalam jarak yang lebih dekat agar tak perlu berteriak sehingga mengganggu yang lain. Mengingat ini sudah dini hari, semua orang pasti sedang terlelap beristirahat dari hari yang penat.

Panji balas tersenyum, pemuda itu pun balas berjalan mendekati Galuh, “Tau, nih. Nggak bisa tidur. Lo abis ngapain?”

Galuh menunjukkan ponselnya pada Panji, “Ini, abis teleponan sama temen gue. Curhat dia, abis diputusin cowoknya.”

“Jam segini?” tanya Panji terkejut.

Galuh mengangguk pelan seraya terkekeh, “Jam segini.”

Mendadak Galuh teringat sesuatu, “Eh, lo kapan balik ke Yogya?”

“Minggu depan, Gal,” jawab Panji.

Kedua bola mata Galuh sedikit membulat, “Oh? Cepet ya.. nggak kerasa.”

Setelahnya gadis itu menunduk. Dan Panji dapat dengan jelas menangkap kekecewaan datang dari Galuh. Ah, andai gadis itu tahu. Panji pun rasanya ingin membekukan waktu untuk tinggal dalam momen ini selamanya. Entah mengapa rasanya Panji yang selalu enggan pulang itu kali ini justru tak ingin meninggalkan rumahnya lagi meskipun harus.

Panji terkekeh, “Iya, ya? Nggak berasa tiba-tiba udah harus balik lagi. Mungkin karena kitanya nikmatin waktu, jadi nggak berasa.”

Galuh hanya membalasnya dengan seulas senyum serta anggukan kecil. “Kenapa sih lagian lo nggak pulang-pulang? Kasian Tante Tiur kesepian, kangen sama anaknya.”

“Ah itu.. yaa, ada lah. Personal reasons aja,” balas Panji. “Lo kok bisa deket banget sama Mama?”

“Ah itu.. yaa, ada lah. Personal reasons aja,” canda Galuh, mengulangi perkataan Panji barusan. Keduanya kemudian terkekeh bersama.

“Awalnya ya karena mama lo duluan, Tante Tiur baik banget semenjak awal kepindahan gue ke sini. Beliau yang paling sering bantu dan mastiin apakah gue butuh sesuatu. Tante Tiur juga paling sering bagi lauk masakannya ke gue, sering ngajak gue makan siang bareng juga. Ya.. karena itu tadi, sebenernya mama lo kesepian,” jelas Galuh pada akhirnya. “Waktu itu gue nggak sengaja liat mama lo ngelamun di depan teras, sering banget kayak gitu, Ji. Akhirnya waktu gue mau pergi beli tanaman, gue ajak deh. Eh, ternyata beliau suka juga. Ya udah deh, dari situ kita nyambung.”

Panji manggut-manggut, “I see. Makasih ya, Gal, udah nemenin Mama. Maaf kalo Mama jadi banyak ngerepotin lo. Besok-besok kalo Mama nitip tanaman lagi, bilang aja ke gue. Biar gue ganti.”

Galuh menggeleng pelan seraya bibirnya menampilkan seulas senyum. “Nggak usah, Ji. Tante Tiur sama sekali nggak pernah ngerepotin gue, kok. Gue malah yang sering ngerepotin beliau. Jadi, lo tenang aja. Apa yang gue lakuin untuk mama lo itu hasil dari keringanan tangan beliau juga yang nolongin gue setiap hari.”

Ah, dengar itu. Jawaban Galuh berhasil memantik sebuah kehangatan dalam dada pemuda di hadapannya. Membuat Panji tak lagi dapat menahan sudut bibirnya yang berkedut. Lagi-lagi pemuda itu terpana. Sudah Panji katakan sebelumnya, ada sesuatu yang berbeda tersimpan dalam kecantikan Galuh.

Thank you, Gal,” ucap Panji tulus.

Hening menyelimuti seiring keduanya memilih untuk diam. Baik Panji dan Galuh sama-sama mendongak, memilih untuk melihat ke arah bulan yang memancar terang dari langit gelap. Seakan menyaksikan keduanya bercengkerama dari singgasananya. Selang beberapa menit, barulah Panji membuka suaranya.

“Gue tuh sebenernya bukan nggak mau pulang, Gal. Tapi karena—”

“Kiara?” potong Galuh.

“Hah?”

Galuh mengembuskan napasnya seraya tersenyum miring menjawab keterkejutan sekaligus kebingungan Panji. “Juna cerita semuanya sama gue, Ji. Mungkin dia tau gue bingung waktu liat ada kecanggungan antara lo sama Kiara, makanya dia cerita. Udah lama sih, dari waktu kita temu kangen di rumah lo,” jelas Galuh.

“Maaf ya, Ji, kalo candaan atau omongan gue ada yang bikin luka lama lo jadi kerasa lagi. Waktu itu gue bener-bener nggak tau,” ucap Galuh lagi.

Panji mengerjapkan matanya. Sesaat kemudian ia mengibaskan tangannya di depan wajah, “Nggaak, nggak pa-pa, Gal. Gue ngerti kok lo nggak tau. Santai aja, santai!”

Setelahnya Panji terkekeh, entah menertawakan dirinya sendiri atau ekspresi Galuh yang panik seketika. “Pengecut banget ya, gue?”

Kini giliran Galuh yang mengerutkan keningnya, “Kenapa?”

“Kabur dari masalah,” balas Panji lesu.

Alih-alih menyetujui, Galuh justru menertawakan jawaban Panji. Membuat pemuda itu menoleh cepat ke arahnya. Sadar sedang ditatap oleh Panji, Galuh menghentikan tawanya. “Sorry,” ucap Galuh.

“Enggak kok, bukan pengecut,” Galuh berbicara lagi. “Emang ada masanya kok kita perlu jauh-jauh dulu dari apa yang bikin kita marah, sakit hati, kecewa. Kalo kata anak sekarang, healing.”

Panji ikut tergelak mendengar jawaban Galuh. “Bukan pengecut selama lo masih balik lagi ke sini, Ji. Gue tau pasti nggak gampang buat lo pulang, tapi lo berhasil pulang,” ucap Galuh seraya tersenyum. Rasanya Panji ingin protes, gadis itu seakan tahu apa kelemahannya saat ini.

“Kalo lo masih merasa canggung sama Kiara, berarti mungkin emang masih ada yang perlu diselesain. Ngobrol aja coba, sebelum lo balik ke Yogya,” saran Galuh. “Kalo udah nggak ada apa-apa, harusnya udah nggak canggung lagi dong?”

Panji menahan senyumnya, sekon berikutnya ia mengangguk. “Iya, nanti gue ngobrol sama Kiara. Thank you, Gal!”

Gadis itu hanya mengangguk dengan mata terpejam dan kedua tangan yang kini terlipat di depan dada. Sepertinya Galuh sudah ngantuk berat, Panji pun memakluminya. Lagi-lagi pemuda itu tak lagi mampu menahan senyumnya, “Tidur, gih! Jangan sampe ketiduran di sini, Gal!”

Galuh menguap, menutup mulutnya yang terbuka dengan sebelah tangannya. Setelahnya ia mengangguk, “Duluan ya, Ji? Ngantuk banget. Lo juga jangan lama-lama di sini, nanti masuk angin!”

Panji hanya membalasnya dengan anggukan gemas. “Iyaa, masuk sana!”

Byee!” ucap Galuh seraya melambaikan tangannya pelan. Kemudian melenggang masuk dan mengunci jendela kamarnya. Sementara Panji baru beranjak dari tempatnya setelah melihat Galuh sudah mematikan lampu kamarnya.

Pria berbadan kekar itu memasuki kamarnya dengan senyum mengembang. Terima kasih pada Galuh, akhirnya Panji menemukan jawaban dari pertanyaan yang membuatnya tak bisa tidur.

Galuh jawabannya.