Small Talks
Suatu sore yang cerah, keempat remaja suntuk berkumpul di ruang tengah rumah Damar. Menikmati semilir angin yang berembus menerpa kulit wajah tampan keempatnya yang kini sama-sama termenung. Sibuk bergelut dengan pikiran kosong masing-masing. Hingga tiba-tiba Ojan berceletuk random.
“Eh, lo kalo udah jadi bapak mau dipanggil apa?” tanyanya. Seketika dirinya menjadi pusat perhatian ketiga temannya.
Kini Damar, Dhimas, dan Haris pun tak lagi melamun. Ketiganya mulai mengerutkan kening dan menautkan alis, menggunakan otaknya untuk berpikir guna menjawab pertanyaan sederhana.
“Gue menyesuaikan pasangan aja deh,” balas Damar santai. Ojan mengangguk-angguk, paham bahwa beliau ini—Damar—memang bukan orang yang terlalu memikirkan hal-hal seperti ini.
“Gue Papi,” balas Dhimas yakin.
“Kalo pasangan lo nggak mau?” tanya Haris.
“Ya bodo amat, kan gue yang dipanggil papi. Bukan dia. Nanti terserah dia mau dipanggil apa,” balas Dhimas.
“Lah kocak, terus nggak sepasang dong? Biasanya kan Ibu-Bapak, Ayah-Bunda, lah masa lu Papi terus bini lo lain?” protes Ojan.
“Lah, gue aja manggil ortu gue Mama-Ayah. Aghni juga -Papaji-Bunay. Break the rules, broh!” balas Dhimas sok keren, tapi masuk akal. Ketiga temannya bahkan mengangguk menyetujui pada akhirnya.
“Lo apa, Ris?” tanya Ojan kemudian.
“Ayah.”
“AYAH?! Gue kira lo mau dipanggil Papa gitu, Ris?” tanya Dhimas.
Haris menggeleng, “Enggak, gue dari dulu maunya dipanggil Ayah.”
“Kenapa?” tanya Damar.
“Nggak tau, menurut gue 'ayah' tuh satu kata yang mewakili sosok yang merangkul aja. Adem aja gue denger orang manggil bapaknya Ayah. Apalagi kalo anak perempuan yang bilang,” ucapnya. Haris bahkan menceritakannya dengan berbinar-binar, besar harapnya untuk hal yang sama terjadi padanya di masa depan.
“Make sense,” balas Damar. “Cocok juga sih lo dipanggil Ayah,” lanjutnya.
“Semoga anak lo nggak nanya Ayah Mengapa Aku Berbeda? ya, Ris,” canda Dhimas.
“Yehh, sinetron kali, ah!”
“Lu apa lu? Nanya doang nggak mau memberi jawaban,” tanya Damar pada Ojan.
Saat itulah Ojan menghela napasnya. Ekspresinya mendadak khawatir, “Nah.. itu dia..”
“Kenapa?” tanya Haris.
“Gue tuh—sebenernya takut karma. Gue kan muda badung banget begini yak, sampe Emak Bapak gue tuh sering banget bilang NTAR LU RASAIN LU ANAK LU BANGOR!!!” ucapnya bercerita. “Gue takut anak gue iseng, nanti gue dipanggil Om gimana.....”
Tawa teman-temannya menyembur seketika. “Ya, makanya lu tobat dari sekarang!” ucap Haris.
“Iya, ya?”
“Iya. Biar paling nggak ada perubahan lah. Nanti anak lo nggak manggil Om,” ujar Dhimas.
“Tapi?” tanya Ojan.
“AYEAHH! Versi lebih metal dari Ayah soalnya pasti lo menjadi bapak-bapak yang metaaaal!!!” ucap Dhimas seraya tertawa. Mengundang raut cembetut dari Ojan dan gelak tawa yang lebih ramai dari Damar dan Haris.
Sore itu akhirnya tak lagi sepi. Kemudian siapa yang tahu apa yang terjadi di masa depan? Mungkin ucapan asal keempatnya tadi benar-benar menjadi nyata. Tak ada yang benar-benar tahu kapan Tuhan mengaminkan doa-doa makhluk-Nya, kan?