raranotruru

Tentu saja kedatangan Haris dan Vanessa sebagai pasangan prom night kala itu menjadi perbincangan hangat dan pusat perhatian bagi seluruh pasang mata yang hadir. Tetapi keduanya cuek. Sebab hanya mereka yang tahu apa yang terjadi di balik itu semua. Acara perpisahan sekolah dibagi menjadi dua hari itu. Pagi sampai siang adalah perpisahan biasa di sekolah, lengkap dengan guru-guru dan orang tua. Kemudian dilanjut sore hingga malam, khusus untuk siswa dan beberapa perwakilan komite yang hadir.

Jujur saja, Vanessa terlihat cantik dan anggun dalam balutan long dress putih keemasan bermanik meriah namun tak berlebihan. Lengan panjang dengan cutting yang menyerupai mermaid itu membingkai postur tubuhnya dengan baik. Surai panjangnya dibiarkan terurai dengan style bergelombang. Ditambah polesan riasan wajah yang secukupnya, membuat Vanessa lantas merebut tahta perempuan paling cantik yang hadir di sana.

Gadis itu duduk dengan tegap di sebelah Haris, pemuda yang mengenakan setelan tuxedo hitam yang lebih mirip blazer. Kemeja putihnya tak polos, ada sedikit motif hitam di pojok kanan bawah yang sesekali mengintip dari balik balutan jas empunya. Ah, pilihan baju mama memang tak akan pernah gagal untuk membuatnya menawan.

“Lu, kok, akhirnya dateng?” bisik Ojan dari sebelah kanan Haris. Mendengar pertanyaan itu, Haris otomatis berdecak. “Lo, mah, gue dateng salah, nggak dateng salah!”

Ojan hanya terkekeh. “Lo takut kalah saing sama gue-Sesil, kan?”

“Ah, kita, mah, nggak usah saingan. Orang-orang juga udah tau siapa yang menang.”

“SONGONG LU!” seru Ojan seraya memukul pundak Haris penuh sayang. Membuat Haris mengaduh kesakitan dengan tatapan penuh emosi. Di sebelah keduanya, Vanessa dan Sesil hanya bisa tertawa menanggapi keributan kedua belahan jiwa itu.

“Eh, lo pada mau lanjut ke mana?” tanya Sesil.

“Gue kayaknya ngikut Haris, deh,” ucap Ojan. Lagi-lagi Haris berdecak, “Jangan ngintilin gue mulu, sih! Bosen gue liat muka lu dari pagi sampe sore! Mana tiga tahun sekelas mulu lagi.”

“Kenapa, sih, Ris? Lo ngeri naksir gue ya?”

“Ih, amit-amit jabang bayi ya Allah!” seru Haris, buru-buru memukul-mukul meja di hadapannya.

“Emang kamu mau lanjut ke SMA mana, Ris?” Pada akhirnya Vanessa memberanikan diri untuk bertanya. Haris akhirnya menoleh pada gadis itu setelah mati-matian menghindari tatapannya. “Hm? Gue? Belom tau.”

“Ngibul dia, Nes! Emangnya lo nggak jadi ke SMA yang waktu itu kita bilang itu?” tanya Ojan. Duh, si mulut ember. Gagal sudah rencana Haris memperhalus aksinya untuk merahasiakan SMA tujuannya pada Vanessa.

“Ya, tapi, kan, masih belom tau jadi ke sana atau enggak,” balas Haris. Berusaha tetap tenang. Beruntung setelah itu Ojan pun segera menangkap maksud Haris. “Oh—OOOHHHH, iya juga, sih. Bener, bener.”

Sayangnya, Vanessa pun tidak bodoh untuk menangkap maksud keduanya. Bahwa Haris tak ingin lagi bertemu dengannya. Merahasiakan SMA tujuannya adalah salah satu upaya untuk mencegah Vanessa bertemu dengannya, kan?


Selang dua jam, acara itu akhirnya selesai juga. Haris memilih untuk menemani Vanessa hingga jemputannya tiba. Meskipun hari belum terlalu malam, tetap menjadi tanggung jawabnya untuk menjaga Vanessa hingga pulang dengan selamat.

“Makasih banyak ya, Ris. Udah mau dateng hari ini,” ucap Vanessa tulus.

“Santai.”

Hening menyelimuti. Keduanya kini sama-sama menunduk menatap alas kaki yang melindungi telapak masing-masing. “Jadi, kamu sebenernya udah tau mau lanjut ke SMA mana atau belum, Ris?”

“Hm?” Haris sontak mendongak, kemudian ia mengulum bibirnya sebelum terkekeh pelan. “I won't tell you that. Tapi lo boleh nebak. Jadi, kalo nanti ternyata kita satu SMA lagi, berarti emang ada campur tangan Tuhan.”

Vanessa tersenyum tipis—miris, lebih tepatnya. “So, is this a good bye or is this a see you later?”

Kedua mata Haris menerawang ke udara untuk sesaat. Sekon berikutnya ia kembali menatap ke arah Vanessa. “Let's make it a good bye. Gue udah bilang, kan? Setelah lulus, lo harus ninggalin gue di sini, Ness. Jangan simpen gue di hati atau pikiran lo lagi. Lo harus lanjutin hidup tanpa gue, Vanessa.”

Lagi-lagi Vanessa menunduk dalam. Tidak, ia tak akan menangis lagi di hadapan Haris. Orang seperti Haris tidak pantas untuk ia tangisi, kan? Maka Vanessa mengangguk pasti.

I will.

Good.

Canggung mendominasi di antara keduanya. Lebih-lebih dari ketika keduanya harus sedikit bercengkerama di dalam gedung tadi. Beruntung supir Vanessa telah tiba, membuat gadis itu mau tak mau harus segera pamit pulang.

“Itu jemputanku udah dateng,” ucap Nessa. Dan Haris mengangguk menanggapinya. “Iya, hati-hati pulangnya.”

Namun Nessa masih belum beranjak. Masih ada yang ingin ia sampaikan, namun lidahnya kelu seiring batin dan pikirannya bergejolak di dalam dirinya. Di hadapannya, Haris masih menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Menunggunya entah untuk bicara atau untuk pergi. Dan Nessa memilih untuk—

I love you.

—mengutarakannya.

Ah, untuk ketiga kalinya, Haris menatapnya datar. Sama sekali tak ada keterkejutan ketika mendengar Vanessa menyatakan perasaannya secara gamblang. Pemuda itu membiarkan sudut bibirnya sedikit naik membentuk lekukan senyum kecil, setelahnya ia mengangguk pelan.

I know.

Lagi-lagi jawaban yang tidak sesuai harapan. Maka Nessa resmi menyerah malam ini. Gadis itu memaksakan senyum manis di wajahnya sebelum mengucap pamit terakhirnya pada pemuda dambaannya.

Bye, Ris.”

Bye.

Tepat setelah Haris membalas, Nessa segera melenggang pergi. Sementara Haris? Menatap punggung gadis itu menjauh. Dan malam itu, resmi menjadi terakhir kali keduanya bertemu.

Setelah sekian lama, dua orang yang dulu berpisah di pertengahan antara lapangan sekolah dan gerbang itu kembali bertemu di tempat yang sama. Wajah-wajah yang sama, dengan sedikit perubahan akibat pertambahan usia, persiapan menuju masa putih abu-abu yang selalu ditunggu.

Haris menyapa ketika menemukan sesosok perempuan dengan rambut terurai dengan ujung-ujungnya yang ikal. Pemuda itu sedikit mengulum senyum, Nessa nampak sedikit berubah dengan yang biasa menghampirinya dulu. Surainya masih sehat dan lebat, hanya saja kini berubah warna menjadi sedikit kecokelatan. Rasanya Haris pun dapat menangkap sedikit polesan bedak dan liptint pada wajah gadis itu. Sementara Nessa menatap pada Haris yang masih sama. Yang berbeda hanyalah Haris bertambah tinggi, suaranya kian memberat, dan di wajahnya kini terdapat kumis tipis yang justru menambah manis wajahnya.

“Kenapa, Nes?”

I failed.

Satu jawaban dari mulut Nessa sukses membuat Haris mengerutkan keningnya intens. “Apanya?”

Jelas saja Haris bingung. Sebab sudah nyaris satu tahun pria itu tak lagi berinteraksi dengan Nessa, dan tiba-tiba hari ini gadis itu mengajaknya bicara dengan sebuah pembukaan yang menyatakan dirinya gagal?

“Aku putus sama Kak Wisnu,” pungkas Nessa. Kemudian Haris mengangguk, “Iya, gue tau. Sebulan yang lalu ya?”

Nessa mengangguk, sekon berikutnya gadis itu menghela napasnya lelah. “Satu tahun setengah, aku pikir aku bisa suka sama Kak Wisnu,” ucap Nessa, membuat Haris sontak menoleh dan terperangah. Ia tahu ke mana pembicaraan ini akan berlabuh. “Tapi ternyata enggak, Ris.”

“Aku nggak bisa.... I can't stop making you the luckiest man alive.

“Nes—”

I fell too hard already, Haris. Aku nggak bisa balik lagi, aku nggak bisa berhenti,” potong Nessa. Haris menatapnya intens, namun tetap dengan tenangnya. Sementara Vanessa sudah kembali meloloskan air matanya yang tak lagi bisa dibendung—seperti perasaannya yang mengalir deras pada pemuda di hadapannya.

Why can't you take a chance with me?

Haris mendengus pelan, “Nggak bisa, Nes.”

“Kenapa, Ris?” isaknya. Ah, Haris sampai prihatin. Ia tahu rasanya mendambakan sesuatu yang tak akan pernah bisa ia miliki. Rasanya memang menyakitkan, tapi tak ada yang benar-benar bisa dilakukan untuk melawannya, kan? Dunia memang tak akan selalu memenuhi keinginan manusia, dan akan selalu begitu.

“Nggak bisa,” pungkas Haris. “Gue masih nggak bisa melihat diri gue mulai hubungan sama orang lain, Nes. Gue nggak mau kerusakan yang ada di diri gue, pada akhirnya ikut ngerusak orang lain,” lanjutnya.

Besidesi don't see which part of you that i have to fill,” ungkap Haris. Kedua mata Nessa yang sudah basah itu kini mengerjap menatap Haris yang sedikit lebih tinggi darinya. “Kita, tuh, sama, Ness. Karakter kita, tuh, sama. Kita sama-sama tau apa yang kita mau. Tapi di situ juga letak bedanya, Nes. Lo tau lo mau sama gue, tapi gue tau—kalo gue mau sendiri.”

“Gue, kan, udah bilang, Nes. Jangan gue, jangan tunggu gue. Gue nggak bisa ngasih lo akhir yang lebih baik dari ini,” pungkas Haris lagi. “Sekeras apapun lo nyoba, gue tetep nggak menemukan peran yang harus gue isi di hidup lo, Vanessa. Lo udah lengkap tanpa gue, dan lo bisa tanpa gue.”

Vanessa hanya bisa terperangah. Apa yang diucapkan Haris barusan itu—sangat tajam. Seakan pria di hadapannya itu membawakannya sebuket bunga mawar, lengkap dengan duri-durinya. Bisa, Vanessa memang bisa. Gadis itu hanya enggan melanjutkan hidupnya tanpa Haris.

“Ris.... They said we could've made a perfect couple.

I know. Tapi dunia ini bukan tempat buat segala sesuatu yang sempurna, Nes. Maybe that's why we're not together.”

Satu lagi isakan yang lolos dari bibir Nessa akibat ucapan Haris yang terlalu jujur dan realistis. “Jangan nangis, Nes. Orang kayak gue nggak pantes lo tangisin.”

Ah, andai saja Haris tahu bahwa Nessa bahkan akan melakukan apapun untuk membuat Haris merasa dirinya pantas.

Haris sedikit menundukkan wajahnya guna menatap Nessa tepat di wajahnya. Sebelah tangannya ia daratkan pada bahu gadis itu, mengusapnya sedikit agar berhenti bergetar menyalurkan isakannya. Ada gelengan kecil sebelum Haris mengeluarkan suaranya halus. “Jangan tunggu gue lagi ya, Nes. Buang-buang waktu,” ucap Haris.

“Tinggalin gue di sini. Buang semua memori dan perasaan lo buat gue di sini. Lulus SMP nanti, lo harus mulai hidup yang baru lagi. Yang nggak ada bayang-bayang gue sama sekali,” pungkas pemuda itu lagi. “Gue harap lo bisa nemu orang lain yang bisa nemuin perannya dalam hidup lo.”

Melihat Nessa masih terdiam di hadapannya. Haris menghela napasnya dan segera memilih untuk menjauh. “Gue pulang ya, Nes?”

“Haris tunggu!” ucap Nessa. Pemuda itu mau tak mau menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Vanessa yang kini memilin jemarinya.

“Ya?”

Can we at least be a couple at prom? I promise that would be my last attempt.

Haris terpaku di tempatnya. Kedua bola mata hitamnya tak beranjak dari Vanessa yang menatapnya penuh harap. Selang pertimbangan dalam hitungan sekon, Haris mengangguk pelan.

I'll be there.

Tok, tok!

Suara ketukan pintu berhasil membuat Vanessa menoleh terkejut. Jantungnya yang belum berhasil kembali tenang itu kian mempercepat denyutnya kala mata bonekanya menangkap sesosok pemuda jangkung di ambang pintu.

“Ayo,” ajaknya, “gue temenin ke depan.”

Nessa tidak mau berharap, ia tahu Haris tidak menyukainya. Namun apa maksud pertolongannya hari ini? Apakah semua lelaki akan selalu membuat permainannya sendiri? Dan apakah semua perempuan akan jatuh ke dalamnya semudah ini? Tanpa berpikir panjang, Nessa kembali menyambar ransel Jansport putih miliknya dan berjalan menghampiri Haris ragu-ragu.

Sekon berikutnya, Nessa langsung menemukan hipotesisnya sendiri. Bahwa Haris mungkin bukan memberi harapan, melainkan dirinya hanyalah seorang pure gentleman. Terlihat dari caranya menutupkan pintu kelas untuk Nessa setelah gadis itu keluar, atau cara Haris kini berjalan di sampingnya dengan jarak cukup dekat—jelas menunjukkan bahwa ia ingin melindungi Nessa dari godaan-godaan setan yang terkutuk.

“Kalo belom dijemput, tunggu di pos satpam aja, Ness. Daripada sendirian, bahaya nggak ada yang tau,” cetus Haris. Nessa sontak mendongak, menatap wajah Haris yang miliki rahang tegas. “H-hah? I-iya.”

“Temen-temen lo pada ke mana emang? Bukannya biasa rame-rame?” tanya Haris lagi. Ah, andai saja pemuda itu tahu bahwa Nessa mengalami disfungsi otak akibat parfum maskulin Haris yang begitu menyeruak meskipun hari sudah hampir sore. Belum lagi penampilannya yang begitu memabukkan. Seragam sekolah berpadu dengan sweater hitam? Ayolah, semua orang setuju bahwa Haris terlalu tampan.

“Ehm, itu—tadi pada mau hang out. Aku juga diajak, sih, tapi aku ada jadwal les piano hari ini.”

Haris mendadak menoleh terkejut, ada setitik kekaguman di wajahnya yang membuat Nessa berbangga dalam hati. “Lo les piano? Keren juga. Gue dulu sempet les drum, sih, tapi nggak lama. Soalnya lama-lama nggak minat.”

Nessa hanya menanggapinya dengan senyum. Bukan karena tak ingin membalas, melainkan ia masih harus mengendalikan dirinya agar tak berteriak kegirangan di sebelah Haris. Ada jeda cukup lama setelahnya, sebab keduanya memilih diam hingga terdengar sorakan-sorakan merdu dari lapangan.

Phiwitt!! “Nessaaa, pulang bareng aku aja kaliiik!”

“Yah, Nessa udah ada pawangnyaaa!!”

Nessa hanya bisa menunduk, sementara Haris kian mempertegas wajahnya. Pemuda itu tak lupa terus menegakkan wajahnya. “Sorry about that, Haris.”

Haris menoleh sekilas dan menggeleng setelahnya, “Bukan salah lo, Ness. They're basically insecure and it shows. Tapi itu bukan tanggung jawab kita. Cuekin aja, jalan terus.” Dan yang bisa Nessa lakukan hanyalah menuruti ucapan Haris.

“Lo ditembak lagi sama salah satu dari mereka ya, Ness?” tanya Haris, “terus lo tolak lagi makanya digangguin?”

“Iya.”

“Yang mana lagi kali ini?”

“Yang pake behel.”

Haris melirik sekilas pada gerombolan lelaki yang mengaku anak tongkrongan. Tidak berkelas, pikir Haris. Entah nongkrong di mana, yang jelas Haris akan selalu mencibir rambut-rambut yang sengaja dipirangkan dan behel yang entah terpasang di dokter atau tukang gigi itu. Sepersekian detik, matanya menangkap sesosok lelaki dengan rambut berjambul dengan pomade yang seakan tumpah di kepala. Benar kata Vanessa, pemuda itu berbehel dan di lengan kanannya memakai aksesoris gelang rantai.

Norak, pikir Haris.

Pfft.” Sebuah tawa berhasil menyembur dari pertahanan Haris. Membuat Nessa sontak mendongak menatapnya dan memukul lengan Haris pelan. “Heh, kok diketawain?”

Raut wajah Haris kembali datar dalam hitungan sekon, “Hah? Siapa yang ketawa? Enggak. Barusan gue batuk.”

“Haris.... Parah banget!”

“Nggak ketawa, Nessa. Itu tadi batuk,” ucap Haris. Mereka berdua lalu terpingkal bersamaan. Sekon berikutnya Haris kembali bicara, “Sekali-kali terima aja, Nes. Siapa tau nanti dia gedenya jadi pengusaha batu bara.”

Ada kekehan lolos dari bibir Nessa sebelum gadis itu membalas, “No. Aku nggak mau nerima orang lain asal-asalan, atau cuma karena kasihan. I wanna be in a relationship with the one i truly love.

Mendadak Haris menghela napasnya. Siapa yang tidak tahu orang yang dimaksud Vanessa? “Kalo orang yang lo suka nggak bisa bales perasaan lo gimana?” tanya Haris.

I can wait.

Langkah Haris terhenti. Membuat Nessa turut menghentikan langkahnya. Gerbang sekolah sudah tinggal beberapa langkah lagi, namun keduanya memilih untuk terpaku dan berdiri berhadapan. Kedua tangan Haris masih setia bertengger di saku celananya dengan angkuh. Sementara kedua tangan Nessa bertengger pada strap ransel, meremasnya guna menyalurkan gugup yang mendadak menguasai.

“Masih ya, Ness?”

It shows, doesn't it?” lirih Nessa, namun masih terdengar jelas oleh telinga Haris. Membuat pemuda itu membuang napas untuk kesekian kali. Kini Haris menunduk dalam, menatap sepatu hitam putih dengan logo centang pilihannya.

“Jangan tunggu gue, Ness,” ucap Haris, masih menunduk. Menghindari tatapan Nessa yang kini membulat. Cantik, Haris tahu itu. Haris menyetujuinya, setiap pujian yang tertuju pada gadis di hadapannya. Vanessa sempurna. Wajahnya kecil dengan pipi tembam, kedua matanya selalu berbinar layaknya boneka favorit Haura, surai hitam sehatnya yang selalu berkilau—Haris tahu dirinya mungkin adalah pria paling beruntung di dunia karena berhasil mendapatkan hati seorang Vanessa tanpa perlu mencoba. Tapi masih banyak yang perlu dibenahi.

“Jangan tunggu gue,” tegasnya lagi, “gue—nggak bisa bales perasaan lo sekarang-sekarang ini. Dan mungkin dalam jangka waktu yang lama. Karena gue pun nggak tau kapan gue bisa siap untuk buka hati lagi. Gue juga nggak tau apakah bisa kebuka lagi.”

Hening. Suara bariton Haris kini memasuki indra pendengaran Nessa sekaligus menjajah pertahanannya. Sekuat apapun gadis itu berusaha menutupi nyeri dadanya, air mata di pelupuk matanya itu lebih gencar membocorkan rahasianya.

“Lo mungkin bisa nunggu, tapi gue nggak bisa jamin kalo gue akan kasih akhir yang baik di ujung penantian lo. Lo mungkin bisa nunggu sampe gue siap, tapi gue nggak bisa jamin ketika gue siap nanti orangnya akan pasti lo,” ujar Haris.

“Dunia nggak berjalan se-sempurna apa yang ada di pikiran lo, Nes,” pungkas Haris lagi. “Dulu juga gue mendambakan banyak hal, tapi sekarang udah ancur semua. Masih banyak yang harus gue benahi di diri gue sendiri, di rumah. Masih banyak yang harus gue mulai dari awal, dan masalah gini-ginian itu—nggak masuk list gue sama sekali.”

“Gue berterima kasih banget karena perasaan lo tertuju buat gue, apalagi di saat semua orang mengharapkan lo untuk jadi pasangan mereka. That makes me the luckiest man alive, tapi juga orang paling berengsek di dunia. Lo pantes dapetin yang lebih baik dari gue, Nes. Jangan gue....”

Detik itu, Haris baru berani mengangkat wajahnya. Yang pertama kali menjadi pemandangannya adalah, wajah Nessa yang kini sudah dibanjiri air mata. Ya, Haris tahu, gadis itu pasti akan menangis. Tapi yang ia katakan adalah yang sejujurnya. Well, truth hurts and it's just the way it is.

Haris mengulum sedikit senyumnya, kemudian menggeleng. “Jangan nangis, Nes. Orang kayak gue nggak pantes lo tangisin. Jangan juga pernah terbesit di otak lo kalo lo jelek atau nggak pantes dapetin siapapun. You're fine. It's just—me.

Masih tak ada jawaban sebab Nessa masih sibuk menghapus air matanya sendiri dan meredam tangisannya. “Don't fall any harder, Nessa.”

“Semua orang aja bilang gue orang gila. Masa lo mau sama gue?” canda Haris, yang pada akhirnya berhasil membuat Vanessa terkekeh di sela tangisannya. Sekon berikutnya Nessa mengangguk. Ia paham, lagipula Ojan sudah bilang alasan Haris menutup diri hingga menolaknya berkali-kali. Pemuda itu, selalu kokoh dengan pendiriannya sendiri.

“Ayo, gue temenin ke luar,” ajak Haris. Namun Nessa menggeleng pada akhirnya, “No, no, it's fine. Aku sendiri aja, udah tinggal ke depan aja, kok. Aman. Makasih banyak udah nemenin aku, Ris.”

“Serius nggak pa-pa?”

“Iya.”

Maka Haris mengangguk dan membiarkan Nessa melanjutkan langkahnya hingga gadis itu menghilang di balik pintu mobil Alphard berwarna hitam mengkilapnya. Setelah memastikan Nessa aman, barulah Haris melenggang pergi, melanjutkan langkahnya untuk pulang menggunakan angkutan umum.

Ah, andai saja Haris tahu bahwa seiring pintu mobil mewah itu tertutup rapat, ada seorang gadis yang hanya bisa bersandar lemas seiring air matanya kian meluruh. Sepertinya Nessa harus mencari alasan untuk ia sampaikan pada mami lantaran bolos les piano hari ini. Dari spion mobil, sekilas Nessa menangkap punggung Haris yang menjauh, berjalan ke arah berlawanan dengan yang ia tuju.

Haris bilang jangan jatuh lebih dalam lagi? Terlambat. Nessa bahkan sudah di dasar jurang sebelum pemuda itu berhasil memikirkan kalimatnya.

Tok, tok,

Suara ketukan pintu berhasil membuat Vanessa menoleh terkejut. Jantungnya yang belum berhasil kembali tenang itu kian mempercepat denyutnya kala mata bonekanya menangkap sesosok pemuda jangkung di ambang pintu.

“Ayo,” ajaknya, “gue temenin ke depan.”

Nessa tidak mau berharap, ia tahu Haris tidak menyukainya. Namun apa maksud pertolongannya hari ini? Apakah semua lelaki akan selalu membuat permainannya sendiri? Dan apakah semua perempuan akan jatuh ke dalamnya semudah ini? Tanpa berpikir panjang, Nessa kembali menyambar ransel Jansport putih miliknya dan berjalan menghampiri Haris ragu-ragu.

Sekon berikutnya, Nessa langsung menemukan hipotesisnya sendiri. Bahwa Haris mungkin bukan memberi harapan, melainkan dirinya hanyalah seorang pure gentleman. Terlihat dari caranya menutupkan pintu kelas untuk Nessa setelah gadis itu keluar, atau cara Haris kini berjalan di sampingnya dengan jarak cukup dekat—jelas menunjukkan bahwa ia ingin melindungi Nessa dari godaan-godaan setan yang terkutuk.

“Kalo belom dijemput, tunggu di pos satpam aja, Ness. Daripada sendirian, bahaya nggak ada yang tau,” cetus Haris. Nessa sontak mendongak, menatap wajah Haris yang miliki rahang tegas. “H-hah? I-iya.”

“Temen-temen lo pada ke mana emang? Bukannya biasa rame-rame?” tanya Haris lagi. Ah, andai saja pemuda itu tahu bahwa Nessa mengalami disfungsi otak akibat parfum maskulin Haris yang begitu menyeruak meskipun hari sudah hampir sore. Belum lagi penampilannya yang begitu memabukkan. Seragam sekolah berpadu dengan sweater hitam? Ayolah, semua orang setuju bahwa Haris terlalu tampan.

“Ehm, itu—tadi pada mau hang out. Aku juga diajak, sih, tapi aku ada jadwal les piano hari ini.”

Haris mendadak menoleh terkejut, ada setitik kekaguman di wajahnya yang membuat Nessa berbangga dalam hati. “Lo les piano? Keren juga. Gue dulu sempet les drum, sih, tapi nggak lama. Soalnya lama-lama nggak minat.”

Nessa hanya menanggapinya dengan senyum. Bukan karena tak ingin membalas, melainkan ia masih harus mengendalikan dirinya agar tak berteriak kegirangan di sebelah Haris. Ada jeda cukup lama setelahnya, sebab keduanya memilih diam hingga terdengar sorakan-sorakan merdu dari lapangan.

Phiwitt!! “Nessaaa, pulang bareng aku aja kaliiik!”

“Yah, Nessa udah ada pawangnyaaa!!”

Nessa hanya bisa menunduk, sementara Haris kian mempertegas wajahnya. Pemuda itu tak lupa terus menegakkan wajahnya. “Sorry about that, Haris.”

Haris menoleh sekilas dan menggeleng setelahnya, “Bukan salah lo, Ness. They're basically insecure and it shows. Tapi itu bukan tanggung jawab kita. Cuekin aja, jalan terus.” Dan yang bisa Nessa lakukan hanyalah menuruti ucapan Haris.

“Lo ditembak lagi sama salah satu dari mereka ya, Ness?” tanya Haris, “terus lo tolak lagi makanya digangguin?”

“Iya.”

“Yang mana lagi kali ini?”

“Yang pake behel.”

Haris melirik sekilas pada gerombolan lelaki yang mengaku anak tongkrongan. Tidak berkelas, pikir Haris. Entah nongkrong di mana, yang jelas Haris akan selalu mencibir rambut-rambut yang sengaja dipirangkan dan behel yang entah terpasang di dokter atau tukang gigi itu. Sepersekian detik, matanya menangkap sesosok lelaki dengan rambut berjambul dengan pomade yang seakan tumpah di kepala. Benar kata Vanessa, pemuda itu berbehel dan di lengan kanannya memakai aksesoris gelang rantai.

Norak, pikir Haris.

Pfft.” Sebuah tawa berhasil menyembur dari pertahanan Haris. Membuat Nessa sontak mendongak menatapnya dan memukul lengan Haris pelan. “Heh, kok diketawain?”

Raut wajah Haris kembali datar dalam hitungan sekon, “Hah? Siapa yang ketawa? Enggak. Barusan gue batuk.”

“Haris.... Parah banget!”

“Nggak ketawa, Nessa. Itu tadi batuk,” ucap Haris. Mereka berdua lalu terpingkal bersamaan. Sekon berikutnya Haris kembali bicara, “Sekali-kali terima aja, Nes. Siapa tau nanti dia gedenya jadi pengusaha batu bara.”

Ada kekehan lolos dari bibir Nessa sebelum gadis itu membalas, “No. Aku nggak mau nerima orang lain asal-asalan, atau cuma karena kasihan. I wanna be in a relationship with the one i truly love.

Mendadak Haris menghela napasnya. Siapa yang tidak tahu orang yang dimaksud Vanessa? “Kalo orang yang lo suka nggak bisa bales perasaan lo gimana?” tanya Haris.

I can wait.

Langkah Haris terhenti. Membuat Nessa turut menghentikan langkahnya. Gerbang sekolah sudah tinggal beberapa langkah lagi, namun keduanya memilih untuk terpaku dan berdiri berhadapan. Kedua tangan Haris masih setia bertengger di saku celananya dengan angkuh. Sementara kedua tangan Nessa bertengger pada strap ransel, meremasnya guna menyalurkan gugup yang mendadak menguasai.

“Masih ya, Ness?”

It shows, doesn't it?” lirih Nessa, namun masih terdengar jelas oleh telinga Haris. Membuat pemuda itu membuang napas untuk kesekian kali. Kini Haris menunduk dalam, menatap sepatu hitam putih dengan logo centang pilihannya.

“Jangan tunggu gue, Ness,” ucap Haris, masih menunduk. Menghindari tatapan Nessa yang kini membulat. Cantik, Haris tahu itu. Haris menyetujuinya, setiap pujian yang tertuju pada gadis di hadapannya. Vanessa sempurna. Wajahnya kecil dengan pipi tembam, kedua matanya selalu berbinar layaknya boneka favorit Haura, surai hitam sehatnya yang selalu berkilau—Haris tahu dirinya mungkin adalah pria paling beruntung di dunia karena berhasil mendapatkan hati seorang Vanessa tanpa perlu mencoba. Tapi masih banyak yang perlu dibenahi.

“Jangan tunggu gue,” tegasnya lagi, “gue—nggak bisa bales perasaan lo sekarang-sekarang ini. Dan mungkin dalam jangka waktu yang lama. Karena gue pun nggak tau kapan gue bisa siap untuk buka hati lagi. Gue juga nggak tau apakah bisa kebuka lagi.”

Hening. Suara bariton Haris kini memasuki indra pendengaran Nessa sekaligus menjajah pertahanannya. Sekuat apapun gadis itu berusaha menutupi nyeri dadanya, air mata di pelupuk matanya itu lebih gencar membocorkan rahasianya.

“Lo mungkin bisa nunggu, tapi gue nggak bisa jamin kalo gue akan kasih akhir yang baik di ujung penantian lo. Lo mungkin bisa nunggu sampe gue siap, tapi gue nggak bisa jamin ketika gue siap nanti orangnya akan pasti lo,” ujar Haris.

“Dunia nggak berjalan se-sempurna apa yang ada di pikiran lo, Nes,” pungkas Haris lagi. “Dulu juga gue mendambakan banyak hal, tapi sekarang udah ancur semua. Masih banyak yang harus gue benahi di diri gue sendiri, di rumah. Masih banyak yang harus gue mulai dari awal, dan masalah gini-ginian itu—nggak masuk list gue sama sekali.”

“Gue berterima kasih banget karena perasaan lo tertuju buat gue, apalagi di saat semua orang mengharapkan lo untuk jadi pasangan mereka. That makes me the luckiest man alive, tapi juga orang paling berengsek di dunia. Lo pantes dapetin yang lebih baik dari gue, Nes. Jangan gue....”

Detik itu, Haris baru berani mengangkat wajahnya. Yang pertama kali menjadi pemandangannya adalah, wajah Nessa yang kini sudah dibanjiri air mata. Ya, Haris tahu, gadis itu pasti akan menangis. Tapi yang ia katakan adalah yang sejujurnya. Well, truth hurts and it's just the way it is.

Haris mengulum sedikit senyumnya, kemudian menggeleng. “Jangan nangis, Nes. Orang kayak gue nggak pantes lo tangisin. Jangan juga pernah terbesit di otak lo kalo lo jelek atau nggak pantes dapetin siapapun. You're fine. It's just—me.

Masih tak ada jawaban sebab Nessa masih sibuk menghapus air matanya sendiri dan meredam tangisannya. “Don't fall any harder, Nessa.”

“Semua orang aja bilang gue orang gila. Masa lo mau sama gue?” canda Haris, yang pada akhirnya berhasil membuat Vanessa terkekeh di sela tangisannya. Sekon berikutnya Nessa mengangguk. Ia paham, lagipula Ojan sudah bilang alasan Haris menutup diri hingga menolaknya berkali-kali. Pemuda itu, selalu kokoh dengan pendiriannya sendiri.

“Ayo, gue temenin ke luar,” ajak Haris. Namun Nessa menggeleng pada akhirnya, “No, no, it's fine. Aku sendiri aja, udah tinggal ke depan aja, kok. Aman. Makasih banyak udah nemenin aku, Ris.”

“Serius nggak pa-pa?”

“Iya.”

Maka Haris mengangguk dan membiarkan Nessa melanjutkan langkahnya hingga gadis itu menghilang di balik pintu mobil Alphard berwarna hitam mengkilapnya. Setelah memastikan Nessa aman, barulah Haris melenggang pergi, melanjutkan langkahnya untuk pulang menggunakan angkutan umum.

Ah, andai saja Haris tahu bahwa seiring pintu mobil mewah itu tertutup rapat, ada seorang gadis yang hanya bisa bersandar lemas seiring air matanya kian meluruh. Sepertinya Nessa harus mencari alasan untuk ia sampaikan pada mami lantaran bolos les piano hari ini. Dari spion mobil, sekilas Nessa menangkap punggung Haris yang menjauh, berjalan ke arah berlawanan dengan yang ia tuju.

Haris bilang jangan jatuh lebih dalam lagi? Terlambat. Nessa bahkan sudah di dasar jurang sebelum pemuda itu berhasil memikirkan kalimatnya.

VANESSA'S POV

People said—kalau aku sama Haris bisa pacaran beneran, we could make a perfect couple. I mean of course, siapa yang nggak berpikir begitu? Bahkan aku pun berpikiran sama. Bukan bermaksud sombong, tapi rasanya semua orang kenal aku—ya, karena terlalu sering nolak lelaki yang confess ke aku. Capek, sih, gimana dalam seminggu aku harus nerima banyak banget cokelat dan bunga—yang asli maupun palsu. Laci meja sekolahku sampe membludak, bukan karena barang-barangku, tapi karena barang pemberian mereka semua.

If i ever to create a fantasy of my own, it would officially be Haris and I, building our own castle on the hill away from anybody. Where he's the King and i'll be the queen. Tapi, siapa yang tau nantinya ini akan jadi kenyataan atau—berujung cuma jadi my greatest fantasy?

Aku nggak minta ini semua, aku juga nggak menikmati keadaanku yang begini. Tau kenapa? Karena aku jadi nggak bisa diliat sebagai diriku sendiri.

Aku sukanya Haris. Cowok tinggi yang entah gimana caranya nolongin aku di perpustakaan waktu itu. Padahal menurut orang-orang, tinggiku udah melebihi batas normal. Tapi, entah kenapa aku masih nggak sampai untuk ngambil kamus Oxford yang entah gimana caranya ada di rak paling tinggi itu. Aku juga nggak tau gimana Haris bisa ada di situ, selama ini pun aku nggak pernah kenal dia. But love really does come in mysterious ways, doesn't it?

Long story short, aku jadi cari tau dia siapa. Ternyata namanya Muhammad Haris dari kelas 7E. Pantesan Haris bilang kelasku jauh banget sama kelas dia waktu pertama kali aku chat. And then that's it, i spent my seventh grade having a crush on him.

Haris, tuh, keren. Banget. Caranya main basket setiap kali olahraga, caranya jalan, caranya ngelirik sinis ke setiap orang yang ngomongin dia, caranya bercanda sama Jauzan, dan lain-lain. Aku cuma nggak tau satu, aku belum pernah liat Haris ketawa selepas Jauzan. Setiap bercanda sama Jauzan, pasti dia cuma senyum tipis aja. Memang, sih, gosipnya Haris itu selalu dingin dan menyebalkan. Dia jarang banget ngobrol sama orang lain, satu-satunya yang diajak ngobrol ya cuma Jauzan dengan segala keberaniannya untuk deketin Haris.

Aku juga nggak tau kenapa dia begitu, kata Jauzan, emang hidupnya udah berat. Masuk akal, tapi memang dindingnya Haris itu udah kelewat tebal untuk dihancurkan sama satu orang. I guess not even Jauzan. But, maybe i could try to help him, kan?

Ah, speaking of the devil, aku lihat Haris lagi berdiri sambil mainin HP-nya di depan gerbang—sesuai sama tempat janjian kita sebelumnya. Oh—haven't i told you that his way of standing—itu juga keren? Well, kayaknya semua orang udah tau kalo keren adalah nama tengah Haris.

Nggak tau juga, deh, setan dari mana, aku tiba-tiba dapet dorongan untuk confess ke Haris. I don't care what people say, i'm head over heels. Dan cuma Haris yang bisa bikin aku kayak gini.

“Haris!” Cowok itu noleh karena suaraku yang menggema di lobby sekolah. Haris otomatis memasukkan ponselnya lagi ke dalam saku, very well-mannered, huh? Keliatan jelas dia orangnya sangat beretika karena saat dia tau mau ngobrol, dia segera simpen HP-nya.

“Kenapa? Buruan!” balasnya. Ya ampun, suaranya itu—dari mana ya asalnya?

“Heh,” ucap Haris lagi. Aku jadi lupa, malah jadi bengong karena tersuguh manusia yang penampilannya super-super unreal. I swear to God, how am i supposed to react ketika di depan mataku ada lelaki dengan tinggi menjulang, kulit seputih porselen dan—terlalu mulus untuk ukuran remaja laki-laki yang biasanya jerawatan dan penuh biang keringat, hidung mancung, dan bola mata hitam pekat? Kayaknya, nggak pingsan dan masih bisa bernapas dengan baik aja udah bagus.

Aku berdeham sekaligus nelen ludah, akhirnya beraniin diri untuk natap Haris lagi. This is it. i won't hold back any longer.

“Aku suka sama kamu, Ris.”

Lolos, lolos sudah rahasiaku yang juga sudah jadi pengetahuan umum itu. Tapi Haris—seems.... Not surprised? Sama sekali nggak ada raut terkejutan di wajah tirusnya yang selalu tegas dan garang itu. Sesekali bola matanya bergerak naik-turun, alisnya yang tebal itu turut bertautan. Terlihat bingung, tapi tetap datar. Selang beberapa saat, Haris akhirnya membuka suara.

“Lo mau ngomong itu doang?” tanyanya.

Hah? Apa, sih, ini?

“Lo mau ngomong itu doang?” tanya Haris sekali lagi. Dengan gugup, aku mengangguk. Ya.... Karena emang cuma itu yang pengen aku omongin?

Setelahnya terdengar lagi suara dari Haris yang bikin aku kembali tersadar dari lamunan. “Gue balik, ya?”

HAH? INI APA, SIH!? Kenapa responsnya begini doang? Ya Tuhan.... Apakah ini karmaku karena terlalu banyak mencapakkan orang-orang?

“Haris, tunggu!” ucapku. Jelas, lah! Aku nggak mau dapet respons yang aneh kayak gini. Semuanya harus jelas!

“Kenapa lagi?”

“Aku kan udah bilang aku suka sama kamu, terus kamu udah tau. Nah, terus gimana? Jawaban kamu apa!?”

“Ya.... Nggak ada,” pungkas Haris, “gue aja nggak tau lo siapa—oh, lo.... Vanessa?”

I was too stunned to speak. I swear to God, this man right here.... Was really something else. Yang terjadi selanjutnya adalah aku cuma mengangguk dan membiarkan dia pulang. Hari itu aku tau, kalo harapanku soal dunia yang nggak cuma berputar untukku itu terkabul. Dan Haris baru aja membuktikan itu.

And i guess that castle on the hill will just be my greatest fantasy at the end, but who knows.... Right....?

Adelia, sih, sudah sangat sebal pada sebangkunya yang bernama Ivonne Christabel itu. Gadis Cina dengan hidup terjamin itu seakan memperjelas bahwa hidup memang benar-benar tidak adil. Ivonne kaya raya, visualnya tak diragukan, hatinya seputih salju, dan kisah cintanya—semanis dan semudah Cinderella.

Adel tidak mengada-ngada saat ia mengatakan bahwa kisah cinta Ivonne mirip Cinderella, sebab Ivonne memang bertemu dengan kekasihnya saat sebelah sepatunya benar-benar menghilang setelah mereka selesai dengan pelajaran komputer—yang rupanya tersepak hingga ke kelas IPS paling ujung. Saat itulah ia bertemu dengan pangeran tampannya.

Kalau Adel tau jadinya akan begini, maka Adel sangat bersedia mengubah perannya dari ibu peri yang membantu kelancaran kisah asmara mereka menjadi seorang ibu tiri kejam yang memisahkan keduanya.

Ini sudah kesekian kalinya Ivonne izin pamit dan meninggalkan Adel untuk pergi kencan bersama Gilbert Situmorang—ah, lihatlah betapa sempurna hidup Ivonne, bahkan gadis itu dengan mudah menemukan seorang pria yang berasal dari kalangan keluarga sama dengan cap 'the walking green flag'.

Sementara Adel? Seumur hidupnya gadis itu bahkan tak menemukan satupun lelaki yang menyukainya.

Boro-boro nyari yang green flag, RED FLAG AJA KAGAK PADA MAU MA GUA, CI!”, begitu ucapnya pada Ivonne tiap kali si Cici menyuruhnya untuk mencari pacar untuk dirinya sendiri.

Alhasil, Adel kembali melakukan rutinitasnya seperti biasa. Mengumpat pada motornya yang susah distarter dan sering sekali mogok di jalan itu sebelum akhirnya mengendarai si Neng—nama yang ia berikan pada motor Scoopy keluaran lamanya—dengan pikiran setengah kosong.

Adel memperhatikan jalan seraya benaknya terus mempertanyakan—

Adakah seseorang yang akan menjemputnya, membukakan pintu mobil—atau jalu motor lalu memakaikan helm, dan memperlakukannya selayaknya tuan puteri suatu saat nanti?


“Ada! Tuh, si Dhimas.”

“Apaan?” Lantaran baru saja datang dan mendengar namanya disebut, Dhimas bertanya pada dua pemuda jangkung di hadapannya.

Yang pertama menanggapi adalah Haris. Dengan sebuah gelengan ia menjawab, “Enggak, mending lo nggak usah tau, deh. Ini nggak penting.”

Dhimas berdecak, kebiasaan. Selalu saja bicara berdua, kemudian setelah dirinya datang—langsung banting setir ke topik yang lain. Maka Dhimas berjalan ke arah Ojan, mencengkeram bahu lebar si paling ceriwis di antara mereka—membuat Ojan kesakitan seraya menahan tawanya dan memaksa pria itu untuk bicara.

“Apaan nggak? Pasti lo kan tadi yang memulai percakapan untuk ngomongin gue?” Tentu saja Dhimas tidak benar-benar mengancam ataupun berniat menyakiti Ojan. Pria itu hanya iseng, sebab tahu bahwa Ojan mudah geli di bagian pundak.

Ojan tertawa, disusul dengan Haris yang sudah melipir pelan-pelan. “Gue nanyaa.... Masih ada nggak orang yang kalo gombal, tuh, pake format 'Bapak Kamu..' gitu!” jawab Ojan, “terus Haris bilang elu begitu!”

“Ih, parah banget meng-kambing hitam-kan gue! Cukup tau, sih, gue!” balas Haris, lempar batu sembunyi tangan. Padahal memang benar dirinya yang menjawab seperti itu, namun kini ia malah tertawa puas melihat Ojan kesakitan sekaligus kegelian akibat cengkeraman Dhimas.

“Udah, Dhim. Geli, sumpah!” pinta Ojan. Setelahnya, Dhimas memilih melepaskan Ojan seraya membiarkan tawa puasnya terlepas.

“Si Damar udah jadi pergi sama Aghni?” tanya Dhimas pada kedua temannya yang tersisa. Ojan segera menimpali dengan sebuah anggukan, “Udah, tadi.”

“Oh, ya udah yuk, Ris. Rapat, kan?” Tatapan Dhimas beralih pada Haris. Kebiasaannya tak berubah baik sejak dulu maupun sesudah menjabat sebagai ketua OSIS dan ketua MPK, keduanya tetap saja janjian untuk datang ke ruang OSIS bersamaan.

Sayangnya, hari ini Haris memilih prioritasnya yang lain. “Duluan deh, Dhim. Gue mau nganterin Gia balik dulu, nanti gue balik lagi,” balasnya.

Ah, Dhimas lupa. Kali ini temannya yang memiliki prioritas lain sudah bertambah satu. Tak apa, masih ada Ojan. Maka pria itu mengangguk santai dan memilih tak mempermasalahkan ketidaksediaan Haris.

“Oh, ya udah. Lo mau turun, kan, Jan? Bareng, yak!” ucap Dhimas.

“Yah, sorry, nih, brodi! Bukannya kagak cinte, tapi gue mau ulangan susulan sama Orin,” balas Ojan.

Apa ini? Sengaja, kah, alam semesta mengejeknya hari ini? Memperjelas bahwa kini semua orang memiliki prioritas lain selain pertemanannya? Memperjelas bahwa kini semua orang memiliki tambatan hatinya, kecuali Dhimas?

Tidak bisa protes dan menyalahkan siapapun, Dhimas menelan mentah-mentah perasaan sesak yang kini menghimpit relungnya. Sekon berikutnya pemuda dengan pipi mochi namun tetap memiliki kedua rahang yang tegas itu mengangguk pelan, mengusahakan setengah mati agar kilat kekecewaan tidak terpancar jelas dari kedua bola matanya.

“Ya udah, kalo gitu. Gue sendiri ae, dah,” balas Dhimas pada akhirnya.

Ketiganya kemudian berpisah, dengan arah tujuan dan isi hati yang berbeda. Dua lainnya berbahagia sebab kini melangkah ringan menghampiri seseorang yang menanamkan kebun bunga di dalam sanubari.

Satu lainnya—Dhimas, melangkah dengan tatapan kosong seiring benaknya bertanya—

Kapankah gilirannya melukis asmara seperti tiga temannya yang lain akan tiba?

Adelia, sih, sudah sangat sebal pada sebangkunya yang bernama Ivonne Christabel itu. Gadis Cina dengan hidup terjamin itu seakan memperjelas bahwa hidup memang benar-benar tidak adil. Ivonne kaya raya, visualnya tak diragukan, hatinya seputih salju, dan kisah cintanya—semanis dan semudah Cinderella.

Adel tidak mengada-ngada saat ia mengatakan bahwa kisah cinta Ivonne mirip Cinderella, sebab Ivonne memang bertemu dengan kekasihnya saat sebelah sepatunya benar-benar menghilang setelah mereka selesai dengan pelajaran komputer—yang rupanya tersepak hingga ke kelas IPS paling ujung. Saat itulah ia bertemu dengan pangeran tampannya.

Kalau Adel tau jadinya akan begini, maka Adel sangat bersedia mengubah perannya dari ibu peri yang membantu kelancaran kisah asmara mereka menjadi seorang ibu tiri kejam yang memisahkan keduanya.

Ini sudah kesekian kalinya Ivonne izin pamit dan meninggalkan Adel untuk pergi kencan bersama Gilbert Situmorang—ah, lihatlah betapa sempurna hidup Ivonne, bahkan gadis itu dengan mudah menemukan seorang pria yang berasal dari kalangan keluarga sama dengan cap 'the walking green flag'.

Sementara Adel? Seumur hidupnya gadis itu bahkan tak menemukan satupun lelaki yang menyukainya.

Boro-boro nyari yang green flag, RED FLAG AJA KAGAK PADA MAU MA GUA, CI!”, begitu ucapnya pada Ivonne tiap kali si Cici menyuruhnya untuk mencari pacar untuk dirinya sendiri.

Alhasil, Adel kembali melakukan rutinitasnya seperti biasa. Mengumpat pada motornya yang susah distarter dan sering sekali mogok di jalan itu sebelum akhirnya mengendarai si Neng—nama yang ia berikan pada motor Scoopy keluaran lamanya—dengan pikiran setengah kosong.

Adel memperhatikan jalan seraya benaknya terus mempertanyakan—

Adakah seseorang yang akan menjemputnya, membukakan pintu mobil—atau jalu motor lalu memakaikan helm, dan memperlakukannya selayaknya tuang puteri suatu saat nanti?


“Ada! Tuh, si Dhimas.”

“Apaan?” Lantaran baru saja datang dan mendengar namanya disebut, Dhimas bertanya pada dua pemuda jangkung di hadapannya.

Yang pertama menanggapi adalah Haris. Dengan sebuah gelengan ia menjawab, “Enggak, mending lo nggak usah tau, deh. Ini nggak penting.”

Dhimas berdecak, kebiasaan. Selalu saja bicara berdua, kemudian setelah dirinya datang—langsung banting setir ke topik yang lain. Maka Dhimas berjalan ke arah Ojan, mencengkeram bahu lebar si paling ceriwis di antara mereka—membuat Ojan kesakitan seraya menahan tawanya dan memaksa pria itu untuk bicara.

“Apaan nggak? Pasti lo kan tadi yang memulai percakapan untuk ngomongin gue?” Tentu saja Dhimas tidak benar-benar mengancam ataupun berniat menyakiti Ojan. Pria itu hanya iseng, sebab tahu bahwa Ojan mudah geli di bagian pundak.

Ojan tertawa, disusul dengan Haris yang sudah melipir pelan-pelan. “Gue nanyaa.... Masih ada nggak orang yang kalo gombal, tuh, pake format 'Bapak Kamu..' gitu!” jawab Ojan, “terus Haris bilang elu begitu!”

“Ih, parah banget meng-kambing hitam-kan gue! Cukup tau, sih, gue!” balas Haris, lempar batu sembunyi tangan. Padahal memang benar dirinya yang menjawab seperti itu, namun kini ia malah tertawa puas melihat Ojan kesakitan sekaligus kegelian akibat cengkeraman Dhimas.

“Udah, Dhim. Geli, sumpah!” pinta Ojan. Setelahnya, Dhimas memilih melepaskan Ojan seraya membiarkan tawa puasnya terlepas.

“Si Damar udah jadi pergi sama Aghni?” tanya Dhimas pada kedua temannya yang tersisa. Ojan segera menimpali dengan sebuah anggukan, “Udah, tadi.”

“Oh, ya udah yuk, Ris. Rapat, kan?” Tatapan Dhimas beralih pada Haris. Kebiasaannya tak berubah baik sejak dulu maupun sesudah menjabat sebagai ketua OSIS dan ketua MPK, keduanya tetap saja janjian untuk datang ke ruang OSIS bersamaan.

Sayangnya, hari ini Haris memilih prioritasnya yang lain. “Duluan deh, Dhim. Gue mau nganterin Gia balik dulu, nanti gue balik lagi,” balasnya.

Ah, Dhimas lupa. Kali ini temannya yang memiliki prioritas lain sudah bertambah satu. Tak apa, masih ada Ojan. Maka pria itu mengangguk santai dan memilih tak mempermasalahkan ketidaksediaan Haris.

“Oh, ya udah. Lo mau turun, kan, Jan? Bareng, yak!” ucap Dhimas.

“Yah, sorry, nih, brodi! Bukannya kagak cinte, tapi gue mau ulangan susulan sama Orin,” balas Ojan.

Apa ini? Sengaja, kah, alam semesta mengejeknya hari ini? Memperjelas bahwa kini semua orang memiliki prioritas lain selain pertemanannya? Memperjelas bahwa kini semua orang memiliki tambatan hatinya, kecuali Dhimas?

Tidak bisa protes dan menyalahkan siapapun, Dhimas menelan mentah-mentah perasaan sesak yang kini menghimpit relungnya. Sekon berikutnya pemuda dengan pipi mochi namun tetap memiliki kedua rahang yang tegas itu mengangguk pelan, mengusahakan setengah mati agar kilat kekecewaan tidak terpancar jelas dari kedua bola matanya.

“Ya udah, kalo gitu. Gue sendiri ae, dah,” balas Dhimas pada akhirnya.

Ketiganya kemudian berpisah, dengan arah tujuan dan isi hati yang berbeda. Dua lainnya berbahagia sebab kini melangkah ringan menghampiri seseorang yang menanamkan kebun bunga di dalam sanubari.

Satu lainnya—Dhimas, melangkah dengan tatapan kosong seiring benaknya bertanya—

Kapankah gilirannya melukis asmara seperti tiga temannya yang lain akan tiba?

Selesai dengan kerja kelompoknya dalam mempersiapkan presentasi untuk pelajaran Sosiologi, Gia membereskan barang-barangnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Termasuk laptop canggihnya yang turut membuat tas sekolahnya begitu berat hari ini.

“Gue nganter Jara nggak pa-pa, Gi? Lo aman?” Alwan bertanya, sebab ia betul-betul harus memilih satu di antara dua teman wanitanya yang harus ia antarkan pulang.

Seraya menenteng tas sekolahnya yang penuh buku tebal, Gia mengangguk dengan raut wajah lesu. “Nggak pa-pa, Wan. Aku dijemput, kok.”

“Dijemput Om Agung?” tanya Zahra yang baru saja selesai merapikan perlengkapannya. Gadis itu turut bangkit berdiri, menyusul Gia dan Alwan yang sudah siap beranjak keluar.

Sebagai lelaki, Alwan memimpin Gia dan Zahra untuk berpamitan dengan mami Gaby yang kebetulan ada di rumah. Disalaminya tangan sang tuan rumah dan berterima kasih atas jamuan yang sudah disediakan. Setelahnya mereka melangkah menuju teras rumah Gaby, tentunya dengan ditemani si pemilik rumah.

“Makasih banyak ya, Gab. Maaf jadi ngerepotin, ruang tamu lo jadi berantakan gitu,” ucap Alwan lagi.

“Nggak pa-pa, santai aja. Ada bibi yang beresin,” balas Gaby santai. Alwan mengerlingkan matanya kala mendapati Gaby berdiri dengan sombong seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Sesekali gadis itu mengecek kuku-kukunya yang begitu terawat.

“Kalian pulangnya naik apa? Dijemput supir?” tanya Gaby.

Zahra menjadi yang lebih dulu menanggapi ucapan Gaby dengan sebuah gelak tawa, entah menertawakan Gaby yang menganggap bahwa semua orang memiliki gaya hidup yang sama, atau menertawakan dirinya sendiri yang tidak seberuntung Gaby. “Enggak, gue bareng Alwan. Kita, mah, nggak kayak lo, Gab. Mana ada supir yang siap jemput 24/7?” balas Zahra sedikit sarkas.

Setelahnya Gaby hanya tertawa meremehkan sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Gia yang tak henti-hentinya memainkan ponselnya. “Lo, Gi?”

“Dijemput,” balas Gia.

“Sama siapa?” tanya Gaby lagi, penasaran.

Gia tanpa sadar memutar matanya malas setelah mendengar pertanyaan Gaby. Pasalnya, gadis itu sudah terlalu lelah dan kesal setengah mati akibat ulah si tuan rumah. Gaby seakan-akan tak memberinya ruang untuk memiliki privasi, selalu saja berusaha mengulik segala informasi mengenai dirinya dan Haris.

Ini bukan yang pertama kalinya, dan Gia sudah tidak bisa menoleransinya lagi. Maka, gadis itu memutuskan untuk—sekalian saja membeberkan rahasia terbesarnya.

“Sama omnya.” Itu adakah kesekian kalinya Zahra menjadi teman yang baik untuk Gia dengan menjadi juru bicaranya mewakili Gaby. Sebab baik Zahra dan Alwan, keduanya sangat tahu bahwa Anggia sudah terusik. Bagaimana tidak? Perempuan yang sama sekali tidak pernah menunjukkan wajah cemberutnya itu kini bahkan memutar matanya malas, segala jawaban yang keluar dari mulutnya pun terkesan menantang. Sungguh sangat bukan seorang Anggia Kalila.

“Bukan,” timpal Gia tegas. Membuat empat pasang mata itu otomatis mengarah kepadanya.

Alwan mengerutkan dahi, “Lah, bukan sama Om Agung? Terus sama siapa, Gi?”

Gia memasukkan ponselnya ke dalam saku sebelum membalas pertanyaan Alwan, setelahnya ia melipat kedua tangannya di depan dada sebelum akhirnya menatap Gaby jutek. Zahra bahkan sampai sedikit membulatkan matanya, ini benar-benar Anggia dalam mode terbarunya. “Nanti juga tau,” ucap Gia.

“Lu hari ini belagu banget gue liat-liat, Anggiul,” celetuk Zahra, yang hanya ditimpali oleh tawa dari Gia. Tentu saja ia tahu bahwa Zahra hanya bercanda.

Selang beberapa lama, terdengar deru motor sport yang ditunggangi oleh seorang lelaki berperawakan tinggi—mengundang atensi segala mata. Sesuai permintaan Gia, Haris datang untuk menjemputnya tepat di rumah Gaby yang ia telusuri setelah menghapal jalanan di Google Maps. Seharusnya pria itu hanya menjadi kejutan bagi Alwan, Zahra, Atika, dan Gaby—terutama. Namun nyatanya, Haris selalu punya kejutannya sendiri.

Gia mengira Haris hanya akan datang dengan mengendarai motor yang biasa ia gunakan untuk berangkat ke sekolah. Namun kenyataannya saat ini, pria itu muncul dengan motor sport full hitam yang membuatnya terlihat jauh lebih keren. Belum lagi style berpakaiannya yang juga mendukung untuk membuat auranya jauh lebih menguar.

Gia merasakan jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, detak jantungnya itu bahkan terasa menggema di kepala. Sore itu Haris datang dengan setelan kaus hitam yang dilapisi jaket levis di paling luar, celana abu-abunya masih setia menemani—sementara seragam putih dan tas sekolahnya, entah di mana. Sepatu sekolahnya berganti sandal jepit hitam, dan kepalanya dilindungi helm full face yang membuat semua orang penasaran—siapa sosok yang menjemput seorang Anggia sore itu.

Sebuah penampilan yang sungguh lain dari seorang Haris, bahkan cukup pantas untuk dibilang berantakan. Namun entah mengapa Gia tetap merasa seakan dirinya sedang memasuki sebuah film percintaan remaja yang termahsyur dengan latar 90-an.

Haris melepas helm miliknya, yang tentu saja membuat berbagai reaksi bermunculan dan bersaing masuk ke telinganya dan Gia. Pria itu tahu akan apa yang terjadi, maka ia hanya menghela napas seraya mengulas senyum tipis—ke arah Gia, tentu saja. Sekon berikutnya, sebelah alisnya terangkat guna menyapa Kalila-nya.

“Yuk!” ajak Haris.

Kesadaran Gia dan semua orang yang ada di sana berhasil kembali seiring suara bariton Haris mengisi gendang telinga. Membuat Zahra membelalakkan kedua matanya, juga Alwan yang dengan segera menahan Gia untuk segera kabur.

“EH, TUNGGU DULU!” ucap Alwan. “EH, ANGGIA LO PACARAN SAMA KAK HARIS!?” Yang satu ini, Zahra yang berbicara.

Raut wajah Gia seketika berubah, tak ada lagi raut kekesalan di sana. Amarahnya bertukar dengan rasa puas sebab maksudnya ditangkap dengan jelas oleh kedua temannya yang sangat-sangat kooperatif. Senyuman mengembang tercetak di wajah Gia, kedua matanya bersaing dengan bulan sabit yang mulai nampak di langit biru. Sejujurnya Gia merasa bersalah sebab merahasiakan ini dari kedua temannya, namun yang bisa ia lakukan hanyalah menampilkan gummy smile-nya.

“ORANG GILA LO, GI!” ucap Zahra lagi. “TEGA-TEGANYA LO NGGAK NGASIH TAU KITA! Cukup tau sih, Gi! Cukup tau!!!!” ucap Zahra lagi, kali ini lebih dramatis.

“Wah, Jar, percuma banget kita nungguin dia sampe dijemput. Ternyata dia berkhianattt!!!!” Alwan menimpali. Yah.... Alwan dan Zahra memang benar-benar partner sejati.

“S-seriusan pacaran sama Gia, Kak?”

Yang satu itu, dari Gaby. Pertanyaannya otomatis membuat semua tawa yang menguar terhenti dan pusat perhatian berpindah dari Gia ke arahnya. Haris memandang Gaby sesaat, setelahnya tatapannya berpindah ke arah netra kecokelatan Gia sebelum akhirnya kembali menatap Gaby. “Iya,” jawabnya singkat disertai anggukan kecil. Berhasil membuat Gaby terpaku di tempatnya.

Setelahnya Haris tak lagi menggubris semua reaksi yang terjadi, kalau terus diladeni, maka dirinya tak akan pulang hingga sore berganti malam. “Ayo, Gi,” ucap Haris, “nanti keburu sore.”

Sekon berikutnya, Gia segera menyetujui ajakan Haris. Kasihan juga Zahra dan Alwan jika ia terus berlama-lama di sana, sebab sedari tadi keduanya sudah menemani Gia hingga sang jemputan datang.

“Sini tasnya,” ucap Haris kala mendapati Gia menghampirinya dengan gestur kesusahan. Gadis itu kemudian menyerahkan tote bag bergambar teddy bear miliknya yang terisi laptop dan beberapa buku paket yang cukup tebal. Alih-alih menerima pemberian Gia, Haris justru terkekeh dan memperjelas ucapannya. “Ranselnya,” ucap Haris lagi.

“Hah?”

“Berat, kan? Sini aku aja yang bawa, kamu pegang itu aja—”

“CAELAH AAAAAKUUUUUUUUUUUUU!!!!!” seru Zahra semangat, gadis itu bahkan terus memukuli bahu kekar Alwan hingga membuat pria itu mengeluarkan tatapan tajamnya. “SAKIT, SAKIT, JAR!”

“KAK, SUMPAH ITU ZAHRA, YA! Bukan saya loh!” Alwan memberi disclaimer, takut-takut akan menjadi incaran Haris ketika rapat OSIS. Dalam hati Alwan ketar-ketir, apakah Zahra tidak sadar bahwa sekarang mereka berbicara dengan sang Ketua OSIS? Meledek Haris habis-habisan bisa jadi upaya bunuh diri.

Haris hanya terkekeh pelan sebelum akhirnya ia memakai ransel Gia di punggungnya. Ukuran tubuh keduanya yang terlampau jauh membuat Haris tertawa ketika menyadari bahwa strap ransel Gia terasa begitu sempit saat dipakai olehnya. Tentu saja Gia, Alwan, dan Zahra juga ikut tertawa di tempatnya.

“Emang kecil banget, Kak, anaknya,” ucap Alwan diiringi kekehan halus.

Seiring Haris menyesuaikan ukuran ransel Gia di punggungnya, Gia memandangi kendaraan Haris bingung. “Motornya kok beda? Aku tadi nggak ngenalin jadinya,” ucap gadis itu.

“Ini emang jarang aku pake, jadi tadi pas pada ngajak main aku pake. Buat manasin doang—eh, terus kamu minta jemput. Ya udah, sekalian,” balas Haris.

Setelah selesai dengan urusannya, Haris menyugar surai hitamnya yang mulai memanjang. Sekon berikutnya, seakan memiliki sikap seorang gentle man yang tak habis-habis, Haris membukakan jalu motor untuk tumpuan kaki Gia sebelum meminta gadis itu baik ke atas jok motornya.

“Dah, naik. Bisa nggak?”

“Bisa, bisa,” balas Gia. Namun, seakan tidak mempedulikan balasan Gia, Haris tetap menjulurkan tangannya ke hadapan sang gadis. Tetap bersikeras memberi tumpuan untuk Gia naik ke atas motor agar tidak terjatuh. Setelah membantu Gia dengan tangannya sendiri, pemuda itu pun tetap memastikan apakah Gia sudah berada dalam posisi yang nyaman, termasuk dengan memastikan rok panjang sekolahnya yang tidak tersingkap.

“Udah, Gi?” tanya Haris. Jika kalian mengira Haris bertanya seraya melihat pantulan Gia dari arah spion, that couldn't be more wrong. Sebab Haris bertanya dengan tubuh yang dimundurkan, wajahnya tertoleh sepenuhnya untuk memastikan sendiri dengan mata kepalanya bahwa Gia sudah benar-benar nyaman.

“Dah,” balas Gia.

Mendengar klarifikasi sang gadis, barulah Haris memakai kembali helmnya. Kedua tangannya kembali stand by pada gas dan rem motor sebelum akhirnya ia membunyikan klakson—berpamitan pada seluruh teman sekelas Gia yang masih tercengang menyaksikan kejadian yang terasa seperti cuplikan film romansa.

“Duluan ya, semuanya—” pamit Gia. Terakhir sebelum motor Haris benar-benar melaju, Gia dengan sengaja menatap Gaby yang masih terpaku di tempatnya. Kilatan air mata yang terpancar jelas dari kedua bola mata Gaby dibalas dengan sebuah senyuman tipis dan anggukan hormat dari Gia. “—Gaby,” tutupnya.

Sekon berikutnya Haris benar-benar melajukan motornya. Membuat keduanya kian menjauh hingga akhirnya menghilang di balik tikungan seiring Haris bermanuver ke kanan. Selang beberapa lama, Zahra dan Alwan pun ikut pamit. Hari sudah semakin sore dan tentu saja mereka sama sekali tidak peduli sehancur apa Gaby hari itu.

Tidak, Gia sama sekali tidak bermaksud jahat. Gia hanya berusaha menjaga apa yang menjadi miliknya. Sebab tentu saja, ia tak ingin kehilangan sosok Haris dalam hidupnya.

Gia tahu, sudah terlalu lama Haris memposisikan diri untuk memahami penyesuaian gadis itu. Sudah terlalu lama Haris membuang semua keegoisannya hanya demi kenyamanan seorang Anggia.

And now, it's definitely her turn.

Selesai dengan kerja kelompoknya dalam mempersiapkan presentasi untuk pelajaran Sosiologi, Gia membereskan barang-barangnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Termasuk laptop canggihnya yang turut membuat tas sekolahnya begitu berat hari ini.

“Gue nganter Jara nggak pa-pa, Gi? Lo aman?” Alwan bertanya, sebab ia betul-betul harus memilih satu di antara dua teman wanitanya yang harus ia antarkan pulang.

Seraya menenteng tas sekolahnya yang penuh buku tebal, Gia mengangguk dengan raut wajah lesu. “Nggak pa-pa, Wan. Aku dijemput, kok.”

“Dijemput Om Agung?” tanya Zahra yang baru saja selesai merapikan perlengkapannya. Gadis itu turut bangkit berdiri, menyusul Gia dan Alwan yang sudah siap beranjak keluar.

Sebagai lelaki, Alwan memimpin Gia dan Zahra untuk berpamitan dengan mami Gaby yang kebetulan ada di rumah. Disalaminya tangan sang tuan rumah dan berterima kasih atas jamuan yang sudah disediakan. Setelahnya mereka melangkah menuju teras rumah Gaby, tentunya dengan ditemani si pemilik rumah.

“Makasih banyak ya, Gab. Maaf jadi ngerepotin, ruang tamu lo jadi berantakan gitu,” ucap Alwan lagi.

“Nggak pa-pa, santai aja. Ada bibi yang beresin,” balas Gaby santai. Alwan mengerlingkan matanya kala mendapati Gaby berdiri dengan sombong seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Sesekali gadis itu mengecek kuku-kukunya yang begitu terawat.

“Kalian pulangnya naik apa? Dijemput supir?” tanya Gaby.

Zahra menjadi yang lebih dulu menanggapi ucapan Gaby dengan sebuah gelak tawa, entah menertawakan Gaby yang menganggap bahwa semua orang memiliki gaya hidup yang sama, atau menertawakan dirinya sendiri yang tidak seberuntung Gaby. “Enggak, gue bareng Alwan. Kita, mah, nggak kayak lo, Gab. Mana ada supir yang siap jemput 24/7?” balas Zahra sedikit sarkas.

Setelahnya Gaby hanya tertawa meremehkan sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Gia yang tak henti-hentinya memainkan ponselnya. “Lo, Gi?”

“Dijemput,” balas Gia.

“Sama siapa?” tanya Gaby lagi, penasaran.

Gia tanpa sadar memutar matanya malas setelah mendengar pertanyaan Gaby. Pasalnya, gadis itu sudah terlalu lelah dan kesal setengah mati akibat ulah si tuan rumah. Gaby seakan-akan tak memberinya ruang untuk memiliki privasi, selalu saja berusaha mengulik segala informasi mengenai dirinya dan Haris.

Ini bukan yang pertama kalinya, dan Gia sudah tidak bisa menoleransinya lagi. Maka, gadis itu memutuskan untuk—sekalian saja membeberkan rahasia terbesarnya.

“Sama omnya.” Itu adakah kesekian kalinya Zahra menjadi teman yang baik untuk Gia dengan menjadi juru bicaranya mewakili Gaby. Sebab baik Zahra dan Alwan, keduanya sangat tahu bahwa Anggia sudah terusik. Bagaimana tidak? Perempuan yang sama sekali tidak pernah menunjukkan wajah cemberutnya itu kini bahkan memutar matanya malas, segala jawaban yang keluar dari mulutnya pun terkesan menantang. Sungguh sangat bukan seorang Anggia Kalila.

“Bukan,” timpal Gia tegas. Membuat empat pasang mata itu otomatis mengarah kepadanya.

Alwan mengerutkan dahi, “Lah, bukan sama Om Agung? Terus sama siapa, Gi?”

Gia memasukkan ponselnya ke dalam saku sebelum membalas pertanyaan Alwan, setelahnya ia melipat kedua tangannya di depan dada sebelum akhirnya menatap Gaby jutek. Zahra bahkan sampai sedikit membulatkan matanya, ini benar-benar Anggia dalam mode terbarunya. “Nanti juga tau,” ucap Gia.

“Lu hari ini belagu banget gue liat-liat, Anggiul,” celetuk Zahra, yang hanya ditimpali oleh tawa dari Gia. Tentu saja ia tahu bahwa Zahra hanya bercanda.

Selang beberapa lama, terdengar deru motor sport yang ditunggangi oleh seorang lelaki berperawakan tinggi—mengundang atensi segala mata. Sesuai permintaan Gia, Haris datang untuk menjemputnya tepat di rumah Gaby yang ia telusuri setelah menghapal jalanan di Google Maps. Seharusnya pria itu hanya menjadi kejutan bagi Alwan, Zahra, Atika, dan Gaby—terutama. Namun nyatanya, Haris selalu punya kejutannya sendiri.

Gia mengira Haris hanya akan datang dengan mengendarai motor yang biasa ia gunakan untuk berangkat ke sekolah. Namun kenyataannya saat ini, pria itu muncul dengan motor sport full hitam yang membuatnya terlihat jauh lebih keren. Belum lagi style berpakaiannya yang juga mendukung untuk membuat auranya jauh lebih menguar.

Gia merasakan jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, detak jantungnya itu bahkan terasa menggema di kepala. Sore itu Haris datang dengan setelan kaus hitam yang dilapisi jaket levis di paling luar, celana abu-abunya masih setia menemani—sementara seragam putih dan tas sekolahnya, entah di mana. Sepatu sekolahnya berganti sandal jepit hitam, dan kepalanya dilindungi helm full face yang membuat semua orang penasaran—siapa sosok yang menjemput seorang Anggia sore itu.

Sebuah penampilan yang sungguh lain dari seorang Haris, bahkan cukup pantas untuk dibilang berantakan. Namun entah mengapa Gia tetap merasa seakan dirinya sedang memasuki sebuah film percintaan remaja yang termahsyur dengan latar 90-an.

Haris melepas helm miliknya, yang tentu saja membuat berbagai reaksi bermunculan dan bersaing masuk ke telinganya dan Gia. Pria itu tahu akan apa yang terjadi, maka ia hanya menghela napas seraya mengulas senyum tipis—ke arah Gia, tentu saja. Sekon berikutnya, sebelah alisnya terangkat guna menyapa Kalila-nya.

“Yuk!” ajak Haris.

Kesadaran Gia dan semua orang yang ada di sana berhasil kembali seiring suara bariton Haris mengisi gendang telinga. Membuat Zahra membelalakkan kedua matanya, juga Alwan yang dengan segera menahan Gia untuk segera kabur.

“EH, TUNGGU DULU!” ucap Alwan. “EH, ANGGIA LO PACARAN SAMA KAK HARIS!?” Yang satu ini, Zahra yang berbicara.

Raut wajah Gia seketika berubah, tak ada lagi raut kekesalan di sana. Amarahnya bertukar dengan rasa puas sebab maksudnya ditangkap dengan jelas oleh kedua temannya yang sangat-sangat kooperatif. Senyuman mengembang tercetak di wajah Gia, kedua matanya bersaing dengan bulan sabit yang mulai nampak di langit biru. Sejujurnya Gia merasa bersalah sebab merahasiakan ini dari kedua temannya, namun yang bisa ia lakukan hanyalah menampilkan gummy smile-nya.

“ORANG GILA LO, GI!” ucap Zahra lagi. “TEGA-TEGANYA LO NGGAK NGASIH TAU KITA! Cukup tau sih, Gi! Cukup tau!!!!” ucap Zahra lagi, kali ini lebih dramatis.

“Wah, Jar, percuma banget kita nungguin dia sampe dijemput. Ternyata dia berkhianattt!!!!” Alwan menimpali. Yah.... Alwan dan Zahra memang benar-benar partner sejati.

“S-seriusan pacaran sama Gia, Kak?”

Yang satu itu, dari Gaby. Pertanyaannya otomatis membuat semua tawa yang menguar terhenti dan pusat perhatian berpindah dari Gia ke arahnya. Haris memandang Gaby sesaat, setelahnya tatapannya berpindah ke arah netra kecokelatan Gia sebelum akhirnya kembali menatap Gaby. “Iya,” jawabnya singkat disertai anggukan kecil. Berhasil membuat Gaby terpaku di tempatnya.

Setelahnya Haris tak lagi menggubris semua reaksi yang terjadi, kalau terus diladeni, maka dirinya tak akan pulang hingga sore berganti malam. “Ayo, Gi,” ucap Haris, “nanti keburu sore.”

Sekon berikutnya, Gia segera menyetujui ajakan Haris. Kasihan juga Zahra dan Alwan jika ia terus berlama-lama di sana, sebab sedari tadi keduanya sudah menemani Gia hingga sang jemputan datang.

“Sini tasnya,” ucap Haris kala mendapati Gia menghampirinya dengan gestur kesusahan. Gadis itu kemudian menyerahkan tote bag bergambar teddy bear miliknya yang terisi laptop dan beberapa buku paket yang cukup tebal. Alih-alih menerima pemberian Gia, Haris justru terkekeh dan memperjelas ucapannya. “Ranselnya,” ucap Haris lagi.

“Hah?”

“Berat, kan? Sini aku aja yang bawa, kamu pegang itu aja—”

“CAELAH AAAAAKUUUUUUUUUUUUU!!!!!” seru Zahra semangat, gadis itu bahkan terus memukuli bahu kekar Alwan hingga membuat pria itu mengeluarkan tatapan tajamnya. “SAKIT, SAKIT, JAR!”

“KAK, SUMPAH ITU ZAHRA, YA! Bukan saya loh!” Alwan memberi disclaimer, takut-takut akan menjadi incaran Haris ketika rapat OSIS. Dalam hati Alwan ketar-ketir, apakah Zahra tidak sadar bahwa sekarang mereka berbicara dengan sang Ketua OSIS? Meledek Haris habis-habisan bisa jadi upaya bunuh diri.

Haris hanya terkekeh pelan sebelum akhirnya ia memakai ransel Gia di punggungnya. Ukuran tubuh keduanya yang terlampau jauh membuat Haris tertawa ketika menyadari bahwa strap ransel Gia terasa begitu sempit saat dipakai olehnya. Tentu saja Gia, Alwan, dan Zahra juga ikut tertawa di tempatnya.

“Emang kecil banget, Kak, anaknya,” ucap Alwan diiringi kekehan halus.

Seiring Haris menyesuaikan ukuran ransel Gia di punggungnya, Gia memandangi kendaraan Haris bingung. “Motornya kok beda? Aku tadi nggak ngenalin jadinya,” ucap gadis itu.

“Ini emang jarang aku pake, jadi tadi pas pada ngajak main aku pake. Buat manasin doang—eh, terus kamu minta jemput. Ya udah, sekalian,” balas Haris.

Setelah selesai dengan urusannya, Haris menyugar surai hitamnya yang mulai memanjang. Sekon berikutnya, seakan memiliki sikap seorang gentle man yang tak habis-habis, Haris membukakan jalu motor untuk tumpuan kaki Gia sebelum meminta gadis itu baik ke atas jok motornya.

“Dah, naik. Bisa nggak?”

“Bisa, bisa,” balas Gia. Namun, seakan tidak mempedulikan balasan Gia, Haris tetap menjulurkan tangannya ke hadapan sang gadis. Tetap bersikeras memberi tumpuan untuk Gia naik ke atas motor agar tidak terjatuh. Setelah membantu Gia dengan tangannya sendiri, pemuda itu pun tetap memastikan apakah Gia sudah berada dalam posisi yang nyaman, termasuk dengan memastikan rok panjang sekolahnya yang tidak tersingkap.

“Udah, Gi?” tanya Haris. Jika kalian mengira Haris bertanya seraya melihat pantulan Gia dari arah spion, that couldn't be more wrong. Sebab Haris bertanya dengan tubuh yang dimundurkan, wajahnya tertoleh sepenuhnya untuk memastikan sendiri dengan mata kepalanya bahwa Gia sudah benar-benar nyaman.

“Dah,” balas Gia.

Mendengar klarifikasi sang gadis, barulah Haris memakai kembali helmnya. Kedua tangannya kembali stand by pada gas dan rem motor sebelum akhirnya ia membunyikan klakson—berpamitan pada seluruh teman sekelas Gia yang masih tercengang menyaksikan kejadian yang terasa seperti cuplikan film romansa.

“Duluan ya, semuanya—” pamit Gia. Terakhir sebelum motor Haris benar-benar melaju, Gia dengan sengaja menatap Gaby yang masih terpaku di tempatnya. Kilatan air mata yang terpancar jelas dari kedua bola mata Gaby dibalas dengan sebuah senyuman tipis dan anggukan hormat dari Gia. “—Gaby,” tutupnya.

Sekon berikutnya Haris benar-benar melajukan motornya. Membuat keduanya kian menjauh hingga akhirnya menghilang di balik tikungan seiring Haris bermanuver ke kanan. Selang beberapa lama, Zahra dan Alwan pun ikut pamit. Hari sudah semakin sore dan tentu saja mereka sama sekali tidak peduli sehancur apa Gaby hari itu.

Tidak, Gia sama sekali tidak bermaksud jahat. Gia hanya berusaha menjaga apa yang menjadi miliknya. Sebab tentu saja, ia tak ingin kehilangan sosok Haris dalam hidupnya.

Haris's POV

Gue berdiri di lapangan voli sebagai penjuru dari barisan OSIS yang lebih banyak dari MPK. Wajah gue berhadapan sama Dhimas yang berbaris di seberang lapangan, berdekatan dengan wall climbing. Gue tau banget, tuh, dia pasti juga lagi nahan tawanya kayak yang gue lakuin sekarang. Gimana enggak? Biasanya kita ini cuma anak-anak recet, bandel, dan tengil, sekarang tiba-tiba dapet tanggung jawab untuk mimpin dua organisasi yang seakan jadi pondasi sekolah.

Awalnya gue sama Dhimas sama-sama nolak, ogah. Tapi setelah apa yang Gia bilang dan apa yang Aghni sampein ke Dhimas, kita berdua jadi.... Ya udah, lah. Dijalanin aja, kalo kata Ojan, Ini udah waktunya gue bersinar.

Masih lucu sejujurnya kalo dipikir-pikir, gimana pada akhirnya gue sampe di titik ini barengan sama temen-temen gue. Damar yang juga mimpin ekskul futsal, Ojan yang mimpin basket, dan Dhimas yang berada di posisi paling tinggi. Gue tau ini nggak akan mudah, mengingat banyak orang juga yang dari awal udah gedeg sama kita berempat, tapi gue sangat bersyukur karena kita berempat—sama-sama berjaya.

Upacara hari ini bakal berbeda banget. Hari ini gue nggak pake topi, melainkan pake almet OSIS yang belum lama ini badge jabatannya gue ganti. Dari Sekbid. Kepribadian dan Budi Pekerti Luhur, jadi—Ketua OSIS. Strange, isn't it?

Menurut gue, terkenal itu udah cukup jadi tupoksinya Damar. Dia dengan segala tutur katanya yang lemah lembut, pikirannya yang dewasa, perawakannya yang nyaris sempurna, otaknya yang juga kayak diwariskan oleh seorang ilmuwan—Damar punya segala komposisi yang mendukung dia untuk ngejalanin hidup sebagai seorang karakter utama. Sementara gue?

Keluarga gue sempet berantakan, bokap gue sempet ngilang lama banget dari kehidupan gue, anger issues, public enemy, belom lagi gue pernah diskors pula. Instead of being the main character, gue justru lebih cocok jadi pembunuh bayaran.

Tapi persepsi gue berubah tadi malam. Gue sadar bahwa karakter utama, itu bukan hanya yang sempurna dan baik-baik aja. Tergantung genre film yang lo tonton, atau cerita yang lo baca. Lagian, di hidup yang bahkan dibilang panggung sandiwara ini, semuanya nggak bisa dilihat cuma dari satu sisi. Takes a lot to change someone, butuh banyak banget faktor pendukung juga untuk membentuk seseorang menjadi seseorang yang lo liat di depan mata lo sekarang.

Malam sebelum gue tidur, gue sadar bahwa—karakter utama itu terbentuk sebagaimana si penulis membuat ceritanya. Dan di hidup gue, gue penulisnya. Gue yang menentukan sendiri mau ke mana arah cerita gue, gue yang menentukan sendiri akan jadi karakter seperti apa diri gue nantinya. Karena Hanum sering baca novel, gue jadi nemu banyak referensi bacaan. Yang gue tau, ada yang dimulai dengan alur yang tenang dengan build up hingga penyelesaian di akhir, ada yang dimulai dengan alur yang emang udah ganas dari awal.

Tapi, satu lagi yang gue tau, bahwa ada satu hal yang paling penting untuk dimiliki sama para karakter utama. Yaitu perkembangan karakter.

Mungkin di awal cerita gue, Tuhan ngasih modal kepribadian yang emang pantes dihujat. Gue suka marah-marah, gue galak, gue suka bikin orang lain sakit hati pake tutur kata gue, dan lain-lain. Tapi, untungnya Tuhan juga ngasih gue para karakter pendukung yang bisa mengantarkan gue pada sebuah perkembangan karakter. Gue punya Mama, Hanum, Damar, Dhimas, Ojan, dan sekarang.... Papa, alongside with Gia.

Dari Mama, gue belajar untuk berdiri di kaki sendiri. Gimana caranya jadi diri lo yang seutuhnya, how to stand tall—sturdily. Dari Hanum, gue belajar banyak soal kedewasaan dan gimana caranya untuk nggak terjebak di masa lalu. Dari Damar, Dhimas, dan Ojan, gue belajar kalo hidup juga perlu yang namanya main-main. Belajar itu nggak perlu selamanya serius, karena sains juga membuktikan kalo lo bisa belajar sesuatu bahkan cuma dari apel yang nggak sengaja jatuh.

Dari Papa, gue belajar kalo setiap orang pantas untuk dapat kesempatan kedua. Papa juga ngajarin gue untuk berani ngambil risiko, juga untuk berani mendewasakan diri buat selalu mengakui kesalahan dan minta maaf—as for me, memaafkan.

Nah, dari Gia, gue belajar banyak. Si bocah mungil yang suka banget kucing ini ngajarin gue kalo—tangguh, nggak selamanya berarti kita harus keras sama diri sendiri. Anggia, tuh, lembut banget anaknya. Gue yakin banyak orang yang ngira kalo dia tuh cengeng dan lemah. Tapi kalo diliat dari deket, Gia justru lebih dewasa dari gue. Gia tau caranya manage emosinya dengan baik, Gia juga tau caranya nggak berkhianat sama dirinya sendiri. Padahal, kalo dipikir-pikir, kehidupannya juga nggak jauh beda sama gue.

Gia sering sendirian di rumah karena mamanya sibuk kerja dan papanya jauh banget di Kalimantan, Gia cuma punya Om Agung yang juga cukup jarang ada di rumah. Tapi Gia nggak banyak komplain, Gia nggak banyak protes dan nggak banyak marah sama kehidupan yang dia jalanin. Gia cuma butuh satu karakter pendukung yang bisa bikin dia dapetin perkembangan karakternya, bahkan kayaknya dia cuma butuh dirinya sendiri. Nggak kayak gue, yang udah dapet banyak karakter pendukung, tapi tetep lama banget nemuin perkembangan karakternya.

Dari Gia, gue belajar kalo kekuatan dan kelembutan dalam hidup ini, tuh, harus selaras. Gue belajar juga untuk mencintai—diri gue sendiri dan orang lain. Gia dengan segala sikap dan kepribadiannya selalu bikin gue inget akan satu hal yang udah mulai ditinggalkan oleh banyak manusia. Kasih sayang, juga belas kasihan. Hati lo nggak boleh mati kalo lo mau tetep hidup. Jantung mungkin mompa darah setiap hari dan bikin lo 'berfungsi' sebagaimana mestinya, tapi kalo hati lo mati, lo cuma akan hidup kayak robot. Semua jadi nggak terasa maknanya, hidup lo jadi terasa berat dan—hampa.

Terlalu nyaman bengong, gue sampe nggak sadar kalo sekarang upacara udah selesai. Itu artinya sekarang giliran gue, Dhimas, dan temen-temen gue yang lain untuk dilantik. Karena suara gue berat, otomatis gue diincer buat jadi penjuru dan ngasih aba-aba. Malu banget sejujurnya, anjir. Tapi ya udah, bodo amat, gue ganteng.

Pasukan gue dan Dhimas bertemu di tengah lapangan, jujur, ini pasti keren banget, tai! Dengan Dhimas yang megang bendera merah putih, sementara gue megang bendera OSIS, kami berhadapan. Bendera yang sama-sama kami sanggah di perut itu saling bertemu, seakan-akan memberi salam untuk satu sama lain—mewakili salam gue dan Dhimas yang pasti akan berbunyi, JAKH, KETUA KETUAAN!

Ini bendera berat banget jujur, tapi ya udah, ini doang yang bikin mahal pertunjukan soalnya. Terus udah, nih, gue sama Dhimas disumpah jabatan. Ditanya siap nggak, siap nggak, gue sama Dhimas nyaut aja siap, siap. Biar cepet kelar. Kata Damar, dosa kalo nggak beneran sumpah-sumpahnya. Bodo, lah. Lu cobain sini, Dam, megang bendera beginian. Kalo nggak oleng tuh badan ceking lu....

Abis selesai sumpah, untung Kak Vio dan Kak Bayu ngambil bendera gue dan Dhimas—dipegangin doang bentar soalnya gue sama Dhimas harus tanda tangan dulu. Biar resmi, lah, intinya, sebagai ketua OSIS & MPK periode baru. Selesai. Tapi sebelum gue balik lagi ke tempat semula, ketua-ketua ekskul juga dipanggilin untuk ikutan diresmikan sebagai ketua pengurus yang baru. Ini, adalah part yang bikin gue merinding.

Kak Yuna sebagai MC ulung, kembali menyebutkan nama-nama pengurus baru. Dimulai dari Dhimas.

“Ketua MPK, Dhimas Wijaya.”

“Ketua OSIS, Muhammad Haris.”

Wah, ngedengerin itu aja.... Bener kata Gia, gue juga harusnya bangga sama diri gue sendiri. Gue harusnya bangga karena udah berhasil sampai sejauh ini. Haris yang dulu mungkin udah cukup sibuk memperbagus dirinya sendiri, mungkin sekarang saatnya untuk Haris yang lebih baru ini untuk turut memperbagus orang-orang di bawah naungannya. Sebagai pemimpin.

“Ketua Ekstrakurikuler Futsal, Yudhistira Damar.”

“Ketua Ekstrakurikuler Basker, Jauzan Narendra.”

Dua temen gue ikut disebutkan lagi, dan percaya atau enggak, ini berhasil bikin gue berkaca-kaca. Seakan hari ini nggak ada lagi Petantang-Petenteng yang kerjanya cuma main-main, nggak ada lagi Petantang-Petenteng yang kerjanya cuma nerima protes karena keusilan Ojan, nggak ada lagi Petantang-Petenteng yang kerjanya full petantang-petenteng. Lo tau? Hari ini rasanya kayak disapa sama Petantang-Petenteng yang lebih baru, yang lebih dewasa, dan yang lebih tau tujuan hidupnya.

Selesai nama Ojan disebut dan kita kembali ke barisan awal untuk pada akhirnya bubar jalan, gue yakin kalo abis ini gue nggak akan takut apapun lagi. Akan gue jalanin semuanya barengan sama ketiga temen gue—tapi tetep, sambil main. Sambil tetep having fun.

Upacara bendera sekaligus serah terima jabatan dinyatakan selesai. Semua peserta didik dipersilakan meninggalkan lapangan. Semuanya auto bubar, kecuali gue dan Dhimas yang langsung lari ke tengah lapangan. Tos-tosan, peluk-pelukan, kata-kataan.

“Dongo banget tiba-tiba jadi ketua OSIS!” ucap Dhimas, lah, dia lebih dongo berarti karena jabatannya lebih tinggi dari gue. Gimana, sih?

“LU, LAH! Nggak ada angin, nggak ada ujan, jadi ketua MPK!” balas gue.

“Enggak, ege, ini semua gara-gara mulut berbisanya Damar, makanya kita kepilih,” timpal Dhimas lagi. Nggak perlu nunggu lama-lama untuk gue ngeluarin jawaban gue, “Iya, anjrit! Setuju!”

Sementara Dhimas sibuk ngibas-ngibasin almetnya gerah, gue curi-curi kesempatan untuk nyari Gia di tengah-tengah lapangan yang isinya orang pada sibuk foto. Nggak lama, mata gue menangkap si manusia jelmaan marshmellow ini baru selesai foto sama Zahra. Mungkin dia sadar diliatin, jadi dia juga balas tatapan gue. Sepersekian detik, bola mata cokelatnya melebar sebelum akhirnya menyipit membentuk bulan sabit.

Ya elah, si Kalila satu ini emang beneran minta disayang banget.

Gue balas senyum tipis—nggak sempet lama-lama karena abis itu Ojan nyodok dagu gue. Maksudnya mau meluk, tapi karena kelakuannya yang beneran mirip kucing garong, tangannya jadi nubruk muka gue juga.

“WIS, WIS, WISSS, KETOS KETOS!!” seru Damar. “Bener, kan, kata gue? Sertijab lo berdua, tuh, seruan pake bendera!” ucapnya lagi.

Gue ketawa tapi sebel, “Berat, anjing!”

“TAU LU, DAM! COBAIN, DAH, LU TENTENG TU BENDERA!” Dhimas menimpali, “gue ngeri pingsan doang dari tadi, demi Allah, dah!”

Setelahnya Ojan ngejawil dagu Dhimas iseng, “Jangan marah-marah mulu dong, KETUMPEK-ku cinta!”

Tawa kita bertiga meledak bersamaan, “Jelek banget, anjay, KETUMPEK!”

“Jelekan Ojan lah, KEBAS dia. Ketua Basket,” ucap gue, yang segera ditimpali lagi oleh Dhimas. “JAKH, KEBAS! TANGAN KALI, AH, KEBAS!”

Ojan mengerucutkan bibir, “Dari pada Damar, KEPUT! Ketua Putsal

'“Mana ada, dih, orang pake huruf f!”

“Ya, siapa tau yang ngomong orang Sunda? Huruf f jadi p gitu yeh!”

Suka-suka lu dah, Jan. Pimpin dunia ini sesuka lu, Jan.

Tanpa sadar, dari tadi ternyata kita berempat saling rangkul dan membentuk sebuah lingkaran tepat di tengah lapangan. Biarin, lah, orang mau bilang apa. Terserah mereka mau menganggap kita gimana. Yang jelas, gue, Dhimas, Damar, dan Ojan mau menikmati dulu momen yang bakal jadi cerita turun temurun buat anak-cucu nanti. Momen yang nggak bakal bisa terulang lagi.

Hari ini rasanya jadi momentum kebanggaan untuk banyak orang. Buat Kak Vio dan Kak Bayu yang udah berhasil menamatkan masa jabatannya dengan baik, buat Aghni yang juga jadi ketua ekskulnya, buat angkatan gue yang diberi kesempatan untuk berorganisasi, buat gue dan Dhimas yang baru akan mulai berjalan, buat Damar yang akhirnya bisa menempatkan wibawanya di tempat yang tepat, juga buat Ojan yang akhirnya punya kesempatan untuk menunjukkan sisi lain dirinya ke dunia ini.

Pokoknya hari ini, kita bintang utamanya, kita karakter utamanya. Hari ini, dunia milik kita.