Her Last Attempt
Setelah sekian lama, dua orang yang dulu berpisah di pertengahan antara lapangan sekolah dan gerbang itu kembali bertemu di tempat yang sama. Wajah-wajah yang sama, dengan sedikit perubahan akibat pertambahan usia, persiapan menuju masa putih abu-abu yang selalu ditunggu.
Haris menyapa ketika menemukan sesosok perempuan dengan rambut terurai dengan ujung-ujungnya yang ikal. Pemuda itu sedikit mengulum senyum, Nessa nampak sedikit berubah dengan yang biasa menghampirinya dulu. Surainya masih sehat dan lebat, hanya saja kini berubah warna menjadi sedikit kecokelatan. Rasanya Haris pun dapat menangkap sedikit polesan bedak dan liptint pada wajah gadis itu. Sementara Nessa menatap pada Haris yang masih sama. Yang berbeda hanyalah Haris bertambah tinggi, suaranya kian memberat, dan di wajahnya kini terdapat kumis tipis yang justru menambah manis wajahnya.
“Kenapa, Nes?”
“I failed.“
Satu jawaban dari mulut Nessa sukses membuat Haris mengerutkan keningnya intens. “Apanya?”
Jelas saja Haris bingung. Sebab sudah nyaris satu tahun pria itu tak lagi berinteraksi dengan Nessa, dan tiba-tiba hari ini gadis itu mengajaknya bicara dengan sebuah pembukaan yang menyatakan dirinya gagal?
“Aku putus sama Kak Wisnu,” pungkas Nessa. Kemudian Haris mengangguk, “Iya, gue tau. Sebulan yang lalu ya?”
Nessa mengangguk, sekon berikutnya gadis itu menghela napasnya lelah. “Satu tahun setengah, aku pikir aku bisa suka sama Kak Wisnu,” ucap Nessa, membuat Haris sontak menoleh dan terperangah. Ia tahu ke mana pembicaraan ini akan berlabuh. “Tapi ternyata enggak, Ris.”
“Aku nggak bisa.... I can't stop making you the luckiest man alive.“
“Nes—”
“I fell too hard already, Haris. Aku nggak bisa balik lagi, aku nggak bisa berhenti,” potong Nessa. Haris menatapnya intens, namun tetap dengan tenangnya. Sementara Vanessa sudah kembali meloloskan air matanya yang tak lagi bisa dibendung—seperti perasaannya yang mengalir deras pada pemuda di hadapannya.
“Why can't you take a chance with me?“
Haris mendengus pelan, “Nggak bisa, Nes.”
“Kenapa, Ris?” isaknya. Ah, Haris sampai prihatin. Ia tahu rasanya mendambakan sesuatu yang tak akan pernah bisa ia miliki. Rasanya memang menyakitkan, tapi tak ada yang benar-benar bisa dilakukan untuk melawannya, kan? Dunia memang tak akan selalu memenuhi keinginan manusia, dan akan selalu begitu.
“Nggak bisa,” pungkas Haris. “Gue masih nggak bisa melihat diri gue mulai hubungan sama orang lain, Nes. Gue nggak mau kerusakan yang ada di diri gue, pada akhirnya ikut ngerusak orang lain,” lanjutnya.
“Besides—i don't see which part of you that i have to fill,” ungkap Haris. Kedua mata Nessa yang sudah basah itu kini mengerjap menatap Haris yang sedikit lebih tinggi darinya. “Kita, tuh, sama, Ness. Karakter kita, tuh, sama. Kita sama-sama tau apa yang kita mau. Tapi di situ juga letak bedanya, Nes. Lo tau lo mau sama gue, tapi gue tau—kalo gue mau sendiri.”
“Gue, kan, udah bilang, Nes. Jangan gue, jangan tunggu gue. Gue nggak bisa ngasih lo akhir yang lebih baik dari ini,” pungkas Haris lagi. “Sekeras apapun lo nyoba, gue tetep nggak menemukan peran yang harus gue isi di hidup lo, Vanessa. Lo udah lengkap tanpa gue, dan lo bisa tanpa gue.”
Vanessa hanya bisa terperangah. Apa yang diucapkan Haris barusan itu—sangat tajam. Seakan pria di hadapannya itu membawakannya sebuket bunga mawar, lengkap dengan duri-durinya. Bisa, Vanessa memang bisa. Gadis itu hanya enggan melanjutkan hidupnya tanpa Haris.
“Ris.... They said we could've made a perfect couple.“
“I know. Tapi dunia ini bukan tempat buat segala sesuatu yang sempurna, Nes. Maybe that's why we're not together.”
Satu lagi isakan yang lolos dari bibir Nessa akibat ucapan Haris yang terlalu jujur dan realistis. “Jangan nangis, Nes. Orang kayak gue nggak pantes lo tangisin.”
Ah, andai saja Haris tahu bahwa Nessa bahkan akan melakukan apapun untuk membuat Haris merasa dirinya pantas.
Haris sedikit menundukkan wajahnya guna menatap Nessa tepat di wajahnya. Sebelah tangannya ia daratkan pada bahu gadis itu, mengusapnya sedikit agar berhenti bergetar menyalurkan isakannya. Ada gelengan kecil sebelum Haris mengeluarkan suaranya halus. “Jangan tunggu gue lagi ya, Nes. Buang-buang waktu,” ucap Haris.
“Tinggalin gue di sini. Buang semua memori dan perasaan lo buat gue di sini. Lulus SMP nanti, lo harus mulai hidup yang baru lagi. Yang nggak ada bayang-bayang gue sama sekali,” pungkas pemuda itu lagi. “Gue harap lo bisa nemu orang lain yang bisa nemuin perannya dalam hidup lo.”
Melihat Nessa masih terdiam di hadapannya. Haris menghela napasnya dan segera memilih untuk menjauh. “Gue pulang ya, Nes?”
“Haris tunggu!” ucap Nessa. Pemuda itu mau tak mau menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Vanessa yang kini memilin jemarinya.
“Ya?”
“Can we at least be a couple at prom? I promise that would be my last attempt.“
Haris terpaku di tempatnya. Kedua bola mata hitamnya tak beranjak dari Vanessa yang menatapnya penuh harap. Selang pertimbangan dalam hitungan sekon, Haris mengangguk pelan.
“I'll be there.“