Prolog
Adelia, sih, sudah sangat sebal pada sebangkunya yang bernama Ivonne Christabel itu. Gadis Cina dengan hidup terjamin itu seakan memperjelas bahwa hidup memang benar-benar tidak adil. Ivonne kaya raya, visualnya tak diragukan, hatinya seputih salju, dan kisah cintanya—semanis dan semudah Cinderella.
Adel tidak mengada-ngada saat ia mengatakan bahwa kisah cinta Ivonne mirip Cinderella, sebab Ivonne memang bertemu dengan kekasihnya saat sebelah sepatunya benar-benar menghilang setelah mereka selesai dengan pelajaran komputer—yang rupanya tersepak hingga ke kelas IPS paling ujung. Saat itulah ia bertemu dengan pangeran tampannya.
Kalau Adel tau jadinya akan begini, maka Adel sangat bersedia mengubah perannya dari ibu peri yang membantu kelancaran kisah asmara mereka menjadi seorang ibu tiri kejam yang memisahkan keduanya.
Ini sudah kesekian kalinya Ivonne izin pamit dan meninggalkan Adel untuk pergi kencan bersama Gilbert Situmorang—ah, lihatlah betapa sempurna hidup Ivonne, bahkan gadis itu dengan mudah menemukan seorang pria yang berasal dari kalangan keluarga sama dengan cap 'the walking green flag'.
Sementara Adel? Seumur hidupnya gadis itu bahkan tak menemukan satupun lelaki yang menyukainya.
“Boro-boro nyari yang green flag, RED FLAG AJA KAGAK PADA MAU MA GUA, CI!”, begitu ucapnya pada Ivonne tiap kali si Cici menyuruhnya untuk mencari pacar untuk dirinya sendiri.
Alhasil, Adel kembali melakukan rutinitasnya seperti biasa. Mengumpat pada motornya yang susah distarter dan sering sekali mogok di jalan itu sebelum akhirnya mengendarai si Neng—nama yang ia berikan pada motor Scoopy keluaran lamanya—dengan pikiran setengah kosong.
Adel memperhatikan jalan seraya benaknya terus mempertanyakan—
Adakah seseorang yang akan menjemputnya, membukakan pintu mobil—atau jalu motor lalu memakaikan helm, dan memperlakukannya selayaknya tuan puteri suatu saat nanti?
“Ada! Tuh, si Dhimas.”
“Apaan?” Lantaran baru saja datang dan mendengar namanya disebut, Dhimas bertanya pada dua pemuda jangkung di hadapannya.
Yang pertama menanggapi adalah Haris. Dengan sebuah gelengan ia menjawab, “Enggak, mending lo nggak usah tau, deh. Ini nggak penting.”
Dhimas berdecak, kebiasaan. Selalu saja bicara berdua, kemudian setelah dirinya datang—langsung banting setir ke topik yang lain. Maka Dhimas berjalan ke arah Ojan, mencengkeram bahu lebar si paling ceriwis di antara mereka—membuat Ojan kesakitan seraya menahan tawanya dan memaksa pria itu untuk bicara.
“Apaan nggak? Pasti lo kan tadi yang memulai percakapan untuk ngomongin gue?” Tentu saja Dhimas tidak benar-benar mengancam ataupun berniat menyakiti Ojan. Pria itu hanya iseng, sebab tahu bahwa Ojan mudah geli di bagian pundak.
Ojan tertawa, disusul dengan Haris yang sudah melipir pelan-pelan. “Gue nanyaa.... Masih ada nggak orang yang kalo gombal, tuh, pake format 'Bapak Kamu..' gitu!” jawab Ojan, “terus Haris bilang elu begitu!”
“Ih, parah banget meng-kambing hitam-kan gue! Cukup tau, sih, gue!” balas Haris, lempar batu sembunyi tangan. Padahal memang benar dirinya yang menjawab seperti itu, namun kini ia malah tertawa puas melihat Ojan kesakitan sekaligus kegelian akibat cengkeraman Dhimas.
“Udah, Dhim. Geli, sumpah!” pinta Ojan. Setelahnya, Dhimas memilih melepaskan Ojan seraya membiarkan tawa puasnya terlepas.
“Si Damar udah jadi pergi sama Aghni?” tanya Dhimas pada kedua temannya yang tersisa. Ojan segera menimpali dengan sebuah anggukan, “Udah, tadi.”
“Oh, ya udah yuk, Ris. Rapat, kan?” Tatapan Dhimas beralih pada Haris. Kebiasaannya tak berubah baik sejak dulu maupun sesudah menjabat sebagai ketua OSIS dan ketua MPK, keduanya tetap saja janjian untuk datang ke ruang OSIS bersamaan.
Sayangnya, hari ini Haris memilih prioritasnya yang lain. “Duluan deh, Dhim. Gue mau nganterin Gia balik dulu, nanti gue balik lagi,” balasnya.
Ah, Dhimas lupa. Kali ini temannya yang memiliki prioritas lain sudah bertambah satu. Tak apa, masih ada Ojan. Maka pria itu mengangguk santai dan memilih tak mempermasalahkan ketidaksediaan Haris.
“Oh, ya udah. Lo mau turun, kan, Jan? Bareng, yak!” ucap Dhimas.
“Yah, sorry, nih, brodi! Bukannya kagak cinte, tapi gue mau ulangan susulan sama Orin,” balas Ojan.
Apa ini? Sengaja, kah, alam semesta mengejeknya hari ini? Memperjelas bahwa kini semua orang memiliki prioritas lain selain pertemanannya? Memperjelas bahwa kini semua orang memiliki tambatan hatinya, kecuali Dhimas?
Tidak bisa protes dan menyalahkan siapapun, Dhimas menelan mentah-mentah perasaan sesak yang kini menghimpit relungnya. Sekon berikutnya pemuda dengan pipi mochi namun tetap memiliki kedua rahang yang tegas itu mengangguk pelan, mengusahakan setengah mati agar kilat kekecewaan tidak terpancar jelas dari kedua bola matanya.
“Ya udah, kalo gitu. Gue sendiri ae, dah,” balas Dhimas pada akhirnya.
Ketiganya kemudian berpisah, dengan arah tujuan dan isi hati yang berbeda. Dua lainnya berbahagia sebab kini melangkah ringan menghampiri seseorang yang menanamkan kebun bunga di dalam sanubari.
Satu lainnya—Dhimas, melangkah dengan tatapan kosong seiring benaknya bertanya—
Kapankah gilirannya melukis asmara seperti tiga temannya yang lain akan tiba?