Surprise, Surprise!

Selesai dengan kerja kelompoknya dalam mempersiapkan presentasi untuk pelajaran Sosiologi, Gia membereskan barang-barangnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Termasuk laptop canggihnya yang turut membuat tas sekolahnya begitu berat hari ini.

“Gue nganter Jara nggak pa-pa, Gi? Lo aman?” Alwan bertanya, sebab ia betul-betul harus memilih satu di antara dua teman wanitanya yang harus ia antarkan pulang.

Seraya menenteng tas sekolahnya yang penuh buku tebal, Gia mengangguk dengan raut wajah lesu. “Nggak pa-pa, Wan. Aku dijemput, kok.”

“Dijemput Om Agung?” tanya Zahra yang baru saja selesai merapikan perlengkapannya. Gadis itu turut bangkit berdiri, menyusul Gia dan Alwan yang sudah siap beranjak keluar.

Sebagai lelaki, Alwan memimpin Gia dan Zahra untuk berpamitan dengan mami Gaby yang kebetulan ada di rumah. Disalaminya tangan sang tuan rumah dan berterima kasih atas jamuan yang sudah disediakan. Setelahnya mereka melangkah menuju teras rumah Gaby, tentunya dengan ditemani si pemilik rumah.

“Makasih banyak ya, Gab. Maaf jadi ngerepotin, ruang tamu lo jadi berantakan gitu,” ucap Alwan lagi.

“Nggak pa-pa, santai aja. Ada bibi yang beresin,” balas Gaby santai. Alwan mengerlingkan matanya kala mendapati Gaby berdiri dengan sombong seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Sesekali gadis itu mengecek kuku-kukunya yang begitu terawat.

“Kalian pulangnya naik apa? Dijemput supir?” tanya Gaby.

Zahra menjadi yang lebih dulu menanggapi ucapan Gaby dengan sebuah gelak tawa, entah menertawakan Gaby yang menganggap bahwa semua orang memiliki gaya hidup yang sama, atau menertawakan dirinya sendiri yang tidak seberuntung Gaby. “Enggak, gue bareng Alwan. Kita, mah, nggak kayak lo, Gab. Mana ada supir yang siap jemput 24/7?” balas Zahra sedikit sarkas.

Setelahnya Gaby hanya tertawa meremehkan sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Gia yang tak henti-hentinya memainkan ponselnya. “Lo, Gi?”

“Dijemput,” balas Gia.

“Sama siapa?” tanya Gaby lagi, penasaran.

Gia tanpa sadar memutar matanya malas setelah mendengar pertanyaan Gaby. Pasalnya, gadis itu sudah terlalu lelah dan kesal setengah mati akibat ulah si tuan rumah. Gaby seakan-akan tak memberinya ruang untuk memiliki privasi, selalu saja berusaha mengulik segala informasi mengenai dirinya dan Haris.

Ini bukan yang pertama kalinya, dan Gia sudah tidak bisa menoleransinya lagi. Maka, gadis itu memutuskan untuk—sekalian saja membeberkan rahasia terbesarnya.

“Sama omnya.” Itu adakah kesekian kalinya Zahra menjadi teman yang baik untuk Gia dengan menjadi juru bicaranya mewakili Gaby. Sebab baik Zahra dan Alwan, keduanya sangat tahu bahwa Anggia sudah terusik. Bagaimana tidak? Perempuan yang sama sekali tidak pernah menunjukkan wajah cemberutnya itu kini bahkan memutar matanya malas, segala jawaban yang keluar dari mulutnya pun terkesan menantang. Sungguh sangat bukan seorang Anggia Kalila.

“Bukan,” timpal Gia tegas. Membuat empat pasang mata itu otomatis mengarah kepadanya.

Alwan mengerutkan dahi, “Lah, bukan sama Om Agung? Terus sama siapa, Gi?”

Gia memasukkan ponselnya ke dalam saku sebelum membalas pertanyaan Alwan, setelahnya ia melipat kedua tangannya di depan dada sebelum akhirnya menatap Gaby jutek. Zahra bahkan sampai sedikit membulatkan matanya, ini benar-benar Anggia dalam mode terbarunya. “Nanti juga tau,” ucap Gia.

“Lu hari ini belagu banget gue liat-liat, Anggiul,” celetuk Zahra, yang hanya ditimpali oleh tawa dari Gia. Tentu saja ia tahu bahwa Zahra hanya bercanda.

Selang beberapa lama, terdengar deru motor sport yang ditunggangi oleh seorang lelaki berperawakan tinggi—mengundang atensi segala mata. Sesuai permintaan Gia, Haris datang untuk menjemputnya tepat di rumah Gaby yang ia telusuri setelah menghapal jalanan di Google Maps. Seharusnya pria itu hanya menjadi kejutan bagi Alwan, Zahra, Atika, dan Gaby—terutama. Namun nyatanya, Haris selalu punya kejutannya sendiri.

Gia mengira Haris hanya akan datang dengan mengendarai motor yang biasa ia gunakan untuk berangkat ke sekolah. Namun kenyataannya saat ini, pria itu muncul dengan motor sport full hitam yang membuatnya terlihat jauh lebih keren. Belum lagi style berpakaiannya yang juga mendukung untuk membuat auranya jauh lebih menguar.

Gia merasakan jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, detak jantungnya itu bahkan terasa menggema di kepala. Sore itu Haris datang dengan setelan kaus hitam yang dilapisi jaket levis di paling luar, celana abu-abunya masih setia menemani—sementara seragam putih dan tas sekolahnya, entah di mana. Sepatu sekolahnya berganti sandal jepit hitam, dan kepalanya dilindungi helm full face yang membuat semua orang penasaran—siapa sosok yang menjemput seorang Anggia sore itu.

Sebuah penampilan yang sungguh lain dari seorang Haris, bahkan cukup pantas untuk dibilang berantakan. Namun entah mengapa Gia tetap merasa seakan dirinya sedang memasuki sebuah film percintaan remaja yang termahsyur dengan latar 90-an.

Haris melepas helm miliknya, yang tentu saja membuat berbagai reaksi bermunculan dan bersaing masuk ke telinganya dan Gia. Pria itu tahu akan apa yang terjadi, maka ia hanya menghela napas seraya mengulas senyum tipis—ke arah Gia, tentu saja. Sekon berikutnya, sebelah alisnya terangkat guna menyapa Kalila-nya.

“Yuk!” ajak Haris.

Kesadaran Gia dan semua orang yang ada di sana berhasil kembali seiring suara bariton Haris mengisi gendang telinga. Membuat Zahra membelalakkan kedua matanya, juga Alwan yang dengan segera menahan Gia untuk segera kabur.

“EH, TUNGGU DULU!” ucap Alwan. “EH, ANGGIA LO PACARAN SAMA KAK HARIS!?” Yang satu ini, Zahra yang berbicara.

Raut wajah Gia seketika berubah, tak ada lagi raut kekesalan di sana. Amarahnya bertukar dengan rasa puas sebab maksudnya ditangkap dengan jelas oleh kedua temannya yang sangat-sangat kooperatif. Senyuman mengembang tercetak di wajah Gia, kedua matanya bersaing dengan bulan sabit yang mulai nampak di langit biru. Sejujurnya Gia merasa bersalah sebab merahasiakan ini dari kedua temannya, namun yang bisa ia lakukan hanyalah menampilkan gummy smile-nya.

“ORANG GILA LO, GI!” ucap Zahra lagi. “TEGA-TEGANYA LO NGGAK NGASIH TAU KITA! Cukup tau sih, Gi! Cukup tau!!!!” ucap Zahra lagi, kali ini lebih dramatis.

“Wah, Jar, percuma banget kita nungguin dia sampe dijemput. Ternyata dia berkhianattt!!!!” Alwan menimpali. Yah.... Alwan dan Zahra memang benar-benar partner sejati.

“S-seriusan pacaran sama Gia, Kak?”

Yang satu itu, dari Gaby. Pertanyaannya otomatis membuat semua tawa yang menguar terhenti dan pusat perhatian berpindah dari Gia ke arahnya. Haris memandang Gaby sesaat, setelahnya tatapannya berpindah ke arah netra kecokelatan Gia sebelum akhirnya kembali menatap Gaby. “Iya,” jawabnya singkat disertai anggukan kecil. Berhasil membuat Gaby terpaku di tempatnya.

Setelahnya Haris tak lagi menggubris semua reaksi yang terjadi, kalau terus diladeni, maka dirinya tak akan pulang hingga sore berganti malam. “Ayo, Gi,” ucap Haris, “nanti keburu sore.”

Sekon berikutnya, Gia segera menyetujui ajakan Haris. Kasihan juga Zahra dan Alwan jika ia terus berlama-lama di sana, sebab sedari tadi keduanya sudah menemani Gia hingga sang jemputan datang.

“Sini tasnya,” ucap Haris kala mendapati Gia menghampirinya dengan gestur kesusahan. Gadis itu kemudian menyerahkan tote bag bergambar teddy bear miliknya yang terisi laptop dan beberapa buku paket yang cukup tebal. Alih-alih menerima pemberian Gia, Haris justru terkekeh dan memperjelas ucapannya. “Ranselnya,” ucap Haris lagi.

“Hah?”

“Berat, kan? Sini aku aja yang bawa, kamu pegang itu aja—”

“CAELAH AAAAAKUUUUUUUUUUUUU!!!!!” seru Zahra semangat, gadis itu bahkan terus memukuli bahu kekar Alwan hingga membuat pria itu mengeluarkan tatapan tajamnya. “SAKIT, SAKIT, JAR!”

“KAK, SUMPAH ITU ZAHRA, YA! Bukan saya loh!” Alwan memberi disclaimer, takut-takut akan menjadi incaran Haris ketika rapat OSIS. Dalam hati Alwan ketar-ketir, apakah Zahra tidak sadar bahwa sekarang mereka berbicara dengan sang Ketua OSIS? Meledek Haris habis-habisan bisa jadi upaya bunuh diri.

Haris hanya terkekeh pelan sebelum akhirnya ia memakai ransel Gia di punggungnya. Ukuran tubuh keduanya yang terlampau jauh membuat Haris tertawa ketika menyadari bahwa strap ransel Gia terasa begitu sempit saat dipakai olehnya. Tentu saja Gia, Alwan, dan Zahra juga ikut tertawa di tempatnya.

“Emang kecil banget, Kak, anaknya,” ucap Alwan diiringi kekehan halus.

Seiring Haris menyesuaikan ukuran ransel Gia di punggungnya, Gia memandangi kendaraan Haris bingung. “Motornya kok beda? Aku tadi nggak ngenalin jadinya,” ucap gadis itu.

“Ini emang jarang aku pake, jadi tadi pas pada ngajak main aku pake. Buat manasin doang—eh, terus kamu minta jemput. Ya udah, sekalian,” balas Haris.

Setelah selesai dengan urusannya, Haris menyugar surai hitamnya yang mulai memanjang. Sekon berikutnya, seakan memiliki sikap seorang gentle man yang tak habis-habis, Haris membukakan jalu motor untuk tumpuan kaki Gia sebelum meminta gadis itu baik ke atas jok motornya.

“Dah, naik. Bisa nggak?”

“Bisa, bisa,” balas Gia. Namun, seakan tidak mempedulikan balasan Gia, Haris tetap menjulurkan tangannya ke hadapan sang gadis. Tetap bersikeras memberi tumpuan untuk Gia naik ke atas motor agar tidak terjatuh. Setelah membantu Gia dengan tangannya sendiri, pemuda itu pun tetap memastikan apakah Gia sudah berada dalam posisi yang nyaman, termasuk dengan memastikan rok panjang sekolahnya yang tidak tersingkap.

“Udah, Gi?” tanya Haris. Jika kalian mengira Haris bertanya seraya melihat pantulan Gia dari arah spion, that couldn't be more wrong. Sebab Haris bertanya dengan tubuh yang dimundurkan, wajahnya tertoleh sepenuhnya untuk memastikan sendiri dengan mata kepalanya bahwa Gia sudah benar-benar nyaman.

“Dah,” balas Gia.

Mendengar klarifikasi sang gadis, barulah Haris memakai kembali helmnya. Kedua tangannya kembali stand by pada gas dan rem motor sebelum akhirnya ia membunyikan klakson—berpamitan pada seluruh teman sekelas Gia yang masih tercengang menyaksikan kejadian yang terasa seperti cuplikan film romansa.

“Duluan ya, semuanya—” pamit Gia. Terakhir sebelum motor Haris benar-benar melaju, Gia dengan sengaja menatap Gaby yang masih terpaku di tempatnya. Kilatan air mata yang terpancar jelas dari kedua bola mata Gaby dibalas dengan sebuah senyuman tipis dan anggukan hormat dari Gia. “—Gaby,” tutupnya.

Sekon berikutnya Haris benar-benar melajukan motornya. Membuat keduanya kian menjauh hingga akhirnya menghilang di balik tikungan seiring Haris bermanuver ke kanan. Selang beberapa lama, Zahra dan Alwan pun ikut pamit. Hari sudah semakin sore dan tentu saja mereka sama sekali tidak peduli sehancur apa Gaby hari itu.

Tidak, Gia sama sekali tidak bermaksud jahat. Gia hanya berusaha menjaga apa yang menjadi miliknya. Sebab tentu saja, ia tak ingin kehilangan sosok Haris dalam hidupnya.

Gia tahu, sudah terlalu lama Haris memposisikan diri untuk memahami penyesuaian gadis itu. Sudah terlalu lama Haris membuang semua keegoisannya hanya demi kenyamanan seorang Anggia.

And now, it's definitely her turn.