Don't Fall Too Hard
Tok, tok,
Suara ketukan pintu berhasil membuat Vanessa menoleh terkejut. Jantungnya yang belum berhasil kembali tenang itu kian mempercepat denyutnya kala mata bonekanya menangkap sesosok pemuda jangkung di ambang pintu.
“Ayo,” ajaknya, “gue temenin ke depan.”
Nessa tidak mau berharap, ia tahu Haris tidak menyukainya. Namun apa maksud pertolongannya hari ini? Apakah semua lelaki akan selalu membuat permainannya sendiri? Dan apakah semua perempuan akan jatuh ke dalamnya semudah ini? Tanpa berpikir panjang, Nessa kembali menyambar ransel Jansport putih miliknya dan berjalan menghampiri Haris ragu-ragu.
Sekon berikutnya, Nessa langsung menemukan hipotesisnya sendiri. Bahwa Haris mungkin bukan memberi harapan, melainkan dirinya hanyalah seorang pure gentleman. Terlihat dari caranya menutupkan pintu kelas untuk Nessa setelah gadis itu keluar, atau cara Haris kini berjalan di sampingnya dengan jarak cukup dekat—jelas menunjukkan bahwa ia ingin melindungi Nessa dari godaan-godaan setan yang terkutuk.
“Kalo belom dijemput, tunggu di pos satpam aja, Ness. Daripada sendirian, bahaya nggak ada yang tau,” cetus Haris. Nessa sontak mendongak, menatap wajah Haris yang miliki rahang tegas. “H-hah? I-iya.”
“Temen-temen lo pada ke mana emang? Bukannya biasa rame-rame?” tanya Haris lagi. Ah, andai saja pemuda itu tahu bahwa Nessa mengalami disfungsi otak akibat parfum maskulin Haris yang begitu menyeruak meskipun hari sudah hampir sore. Belum lagi penampilannya yang begitu memabukkan. Seragam sekolah berpadu dengan sweater hitam? Ayolah, semua orang setuju bahwa Haris terlalu tampan.
“Ehm, itu—tadi pada mau hang out. Aku juga diajak, sih, tapi aku ada jadwal les piano hari ini.”
Haris mendadak menoleh terkejut, ada setitik kekaguman di wajahnya yang membuat Nessa berbangga dalam hati. “Lo les piano? Keren juga. Gue dulu sempet les drum, sih, tapi nggak lama. Soalnya lama-lama nggak minat.”
Nessa hanya menanggapinya dengan senyum. Bukan karena tak ingin membalas, melainkan ia masih harus mengendalikan dirinya agar tak berteriak kegirangan di sebelah Haris. Ada jeda cukup lama setelahnya, sebab keduanya memilih diam hingga terdengar sorakan-sorakan merdu dari lapangan.
Phiwitt!! “Nessaaa, pulang bareng aku aja kaliiik!”
“Yah, Nessa udah ada pawangnyaaa!!”
Nessa hanya bisa menunduk, sementara Haris kian mempertegas wajahnya. Pemuda itu tak lupa terus menegakkan wajahnya. “Sorry about that, Haris.”
Haris menoleh sekilas dan menggeleng setelahnya, “Bukan salah lo, Ness. They're basically insecure and it shows. Tapi itu bukan tanggung jawab kita. Cuekin aja, jalan terus.” Dan yang bisa Nessa lakukan hanyalah menuruti ucapan Haris.
“Lo ditembak lagi sama salah satu dari mereka ya, Ness?” tanya Haris, “terus lo tolak lagi makanya digangguin?”
“Iya.”
“Yang mana lagi kali ini?”
“Yang pake behel.”
Haris melirik sekilas pada gerombolan lelaki yang mengaku anak tongkrongan. Tidak berkelas, pikir Haris. Entah nongkrong di mana, yang jelas Haris akan selalu mencibir rambut-rambut yang sengaja dipirangkan dan behel yang entah terpasang di dokter atau tukang gigi itu. Sepersekian detik, matanya menangkap sesosok lelaki dengan rambut berjambul dengan pomade yang seakan tumpah di kepala. Benar kata Vanessa, pemuda itu berbehel dan di lengan kanannya memakai aksesoris gelang rantai.
Norak, pikir Haris.
“Pfft.” Sebuah tawa berhasil menyembur dari pertahanan Haris. Membuat Nessa sontak mendongak menatapnya dan memukul lengan Haris pelan. “Heh, kok diketawain?”
Raut wajah Haris kembali datar dalam hitungan sekon, “Hah? Siapa yang ketawa? Enggak. Barusan gue batuk.”
“Haris.... Parah banget!”
“Nggak ketawa, Nessa. Itu tadi batuk,” ucap Haris. Mereka berdua lalu terpingkal bersamaan. Sekon berikutnya Haris kembali bicara, “Sekali-kali terima aja, Nes. Siapa tau nanti dia gedenya jadi pengusaha batu bara.”
Ada kekehan lolos dari bibir Nessa sebelum gadis itu membalas, “No. Aku nggak mau nerima orang lain asal-asalan, atau cuma karena kasihan. I wanna be in a relationship with the one i truly love.“
Mendadak Haris menghela napasnya. Siapa yang tidak tahu orang yang dimaksud Vanessa? “Kalo orang yang lo suka nggak bisa bales perasaan lo gimana?” tanya Haris.
“I can wait.“
Langkah Haris terhenti. Membuat Nessa turut menghentikan langkahnya. Gerbang sekolah sudah tinggal beberapa langkah lagi, namun keduanya memilih untuk terpaku dan berdiri berhadapan. Kedua tangan Haris masih setia bertengger di saku celananya dengan angkuh. Sementara kedua tangan Nessa bertengger pada strap ransel, meremasnya guna menyalurkan gugup yang mendadak menguasai.
“Masih ya, Ness?”
“It shows, doesn't it?” lirih Nessa, namun masih terdengar jelas oleh telinga Haris. Membuat pemuda itu membuang napas untuk kesekian kali. Kini Haris menunduk dalam, menatap sepatu hitam putih dengan logo centang pilihannya.
“Jangan tunggu gue, Ness,” ucap Haris, masih menunduk. Menghindari tatapan Nessa yang kini membulat. Cantik, Haris tahu itu. Haris menyetujuinya, setiap pujian yang tertuju pada gadis di hadapannya. Vanessa sempurna. Wajahnya kecil dengan pipi tembam, kedua matanya selalu berbinar layaknya boneka favorit Haura, surai hitam sehatnya yang selalu berkilau—Haris tahu dirinya mungkin adalah pria paling beruntung di dunia karena berhasil mendapatkan hati seorang Vanessa tanpa perlu mencoba. Tapi masih banyak yang perlu dibenahi.
“Jangan tunggu gue,” tegasnya lagi, “gue—nggak bisa bales perasaan lo sekarang-sekarang ini. Dan mungkin dalam jangka waktu yang lama. Karena gue pun nggak tau kapan gue bisa siap untuk buka hati lagi. Gue juga nggak tau apakah bisa kebuka lagi.”
Hening. Suara bariton Haris kini memasuki indra pendengaran Nessa sekaligus menjajah pertahanannya. Sekuat apapun gadis itu berusaha menutupi nyeri dadanya, air mata di pelupuk matanya itu lebih gencar membocorkan rahasianya.
“Lo mungkin bisa nunggu, tapi gue nggak bisa jamin kalo gue akan kasih akhir yang baik di ujung penantian lo. Lo mungkin bisa nunggu sampe gue siap, tapi gue nggak bisa jamin ketika gue siap nanti orangnya akan pasti lo,” ujar Haris.
“Dunia nggak berjalan se-sempurna apa yang ada di pikiran lo, Nes,” pungkas Haris lagi. “Dulu juga gue mendambakan banyak hal, tapi sekarang udah ancur semua. Masih banyak yang harus gue benahi di diri gue sendiri, di rumah. Masih banyak yang harus gue mulai dari awal, dan masalah gini-ginian itu—nggak masuk list gue sama sekali.”
“Gue berterima kasih banget karena perasaan lo tertuju buat gue, apalagi di saat semua orang mengharapkan lo untuk jadi pasangan mereka. That makes me the luckiest man alive, tapi juga orang paling berengsek di dunia. Lo pantes dapetin yang lebih baik dari gue, Nes. Jangan gue....”
Detik itu, Haris baru berani mengangkat wajahnya. Yang pertama kali menjadi pemandangannya adalah, wajah Nessa yang kini sudah dibanjiri air mata. Ya, Haris tahu, gadis itu pasti akan menangis. Tapi yang ia katakan adalah yang sejujurnya. Well, truth hurts and it's just the way it is.
Haris mengulum sedikit senyumnya, kemudian menggeleng. “Jangan nangis, Nes. Orang kayak gue nggak pantes lo tangisin. Jangan juga pernah terbesit di otak lo kalo lo jelek atau nggak pantes dapetin siapapun. You're fine. It's just—me.“
Masih tak ada jawaban sebab Nessa masih sibuk menghapus air matanya sendiri dan meredam tangisannya. “Don't fall any harder, Nessa.”
“Semua orang aja bilang gue orang gila. Masa lo mau sama gue?” canda Haris, yang pada akhirnya berhasil membuat Vanessa terkekeh di sela tangisannya. Sekon berikutnya Nessa mengangguk. Ia paham, lagipula Ojan sudah bilang alasan Haris menutup diri hingga menolaknya berkali-kali. Pemuda itu, selalu kokoh dengan pendiriannya sendiri.
“Ayo, gue temenin ke luar,” ajak Haris. Namun Nessa menggeleng pada akhirnya, “No, no, it's fine. Aku sendiri aja, udah tinggal ke depan aja, kok. Aman. Makasih banyak udah nemenin aku, Ris.”
“Serius nggak pa-pa?”
“Iya.”
Maka Haris mengangguk dan membiarkan Nessa melanjutkan langkahnya hingga gadis itu menghilang di balik pintu mobil Alphard berwarna hitam mengkilapnya. Setelah memastikan Nessa aman, barulah Haris melenggang pergi, melanjutkan langkahnya untuk pulang menggunakan angkutan umum.
Ah, andai saja Haris tahu bahwa seiring pintu mobil mewah itu tertutup rapat, ada seorang gadis yang hanya bisa bersandar lemas seiring air matanya kian meluruh. Sepertinya Nessa harus mencari alasan untuk ia sampaikan pada mami lantaran bolos les piano hari ini. Dari spion mobil, sekilas Nessa menangkap punggung Haris yang menjauh, berjalan ke arah berlawanan dengan yang ia tuju.
Haris bilang jangan jatuh lebih dalam lagi? Terlambat. Nessa bahkan sudah di dasar jurang sebelum pemuda itu berhasil memikirkan kalimatnya.