raranotruru

Hujan deras sore hari, Damar bersikeras menerobosnya meski tubuhnya hanya mendapat perlindungan dari hoodie abu-abunya yang bahkan tidak anti air. Sampailah ia pada sebuah rumah bernuansa hangat nan sederhana. Damar memarkirkan motornya asal, biarlah basah kendaraannya itu. Sekon berikutnya pemuda itu melangkah tergesa menuju pintu rumah Aghni yang nampak terkunci. Damar bahkan ragu rumah yang ia datangi ini ada penghuninya. Sebab ia tak melihat tanda-tanda mobil Aji sore itu.

“Ni?” Tok! Tok! Tok!

“Aghni?” Tok! Tok! Tok!

“Ni...”

Damar terus mengetuk pintu kayu yang tertutup rapat tanpa menunjukkan tanda-tanda akan dibuka untuk menyambutnya seperti biasa. Putus asa, Damar menyandarkan keningnya pada kepalan tangan yang masih bersandar pada pintu. Hancur sudah pertahanannya. Kedua mata rubahnya yang sejak tadi berkilat menahan tangis kini semakin digenangi air mata.

Damar bisa saja menangis kalau saja pintu di hadapannya tak dibuka secara tiba-tiba. Otomatis Damar memundurkan tubuhnya. Nampak di hadapannya seorang gadis dengan setelan kaus beserta celana rumahan dengan cardigan abu-abu. Surai hitamnya terurai sedikit berantakan. Damar menatap ke arah Aghni terperangah, sementara gadis itu menatapnya dengan raut wajah khawatir.

“KAMU NGAPAINN!? UJAN-UJAN KENAPA MALAH KE SINI YA AMPUN, DAMAR!”

Sontak Damar merasa bingung. Bukankah harusnya Aghni—marah? Atau sedih? Mengapa gadis itu bersikap se-kasual ini?

Dengan sedikit berjinjit, Aghni segera mengeringkan rambut Damar menggunakan handuk yang entah sejak kapan berada di tangannya. Mungkin ia mengambilnya dulu sebelum membukakan pintu tadi. “Nanti kamu pusing tau, Dam! Ngapain, sih, ujan-ujanan? Kayak nggak bisa nunggu reda aja, deh! Kenapa kamu nggak ngabarin dulu, si—”

Ucapan Aghni terhenti kala gadis itu berhasil menyadari sesuatu. Pun pergerakannya mengeringkan rambut Damar menggunakan handuk kecil itu ikut terhenti. Gadis itu mendadak terpaku ketika mata cokelatnya bersirobok dengan netra hitam milik Damar. Seketika ia menyadari bahwa keduanya bukan lagi sepasang kekasih seperti dulu. Kali ini, harus ada jarak.

Maka Aghni dengan segera menjauhkan dirinya dari Damar. “Ma-maaf, maaf,” ucap Aghni, “maaf banget. Lupa—eh, maksudnya—duh. Maaf, aku—gue—baru banget bangun tidur. Maaf banget kalo jadi ling-lung.”

Sibuk gelagapan dan salah tingkah, membuat Aghni tak menyadari bahwa tatapan Damar sama sekali tak lepas darinya. Gadis itu kemudian memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan. “Duduk aja dulu. Terakhir hoodie kamu masih di aku, ganti aja ya? Yang kamu pake basah banget, takutnya masuk angin.”

“Ni...”

Ah, suara itu. Suara yang Aghni rindukan selama ini. Baru satu bulan lebih, namun rasanya seperti entah berapa lama. Satu bulan paling sulit yang pernah Aghni jalani. Gadis itu menahan langkahnya, kemudian kembali menghadapkan tubuhnya pada Damar.

“Y-ya?”

Pemuda berlesung pipi itu tak membalas. Damar masih menatap lurus ke dalam netra kecokelatan dengan bentuk bulat sempurna yang selama sebulan ini luput dari jangkauan penglihatannya. Mata yang cantik, yang selama ini selalu menatap penuh binar ke arahnya—namun hari ini menatapnya sendu.

Dan tanpa basa-basi, Damar menarik Aghni ke dalam sebuah pelukan erat. Seakan ia tak ingin melepaskan gadis itu untuk kesekian kali. Berbeda dari biasanya, kali ini Aghni tidak membalas pelukannya, tetapi juga tidak memberontak. Namun tak apa, Damar mengerti soal itu.

Masih seraya mendekap gadisnya, entah masih bisa disebut begitu atau tidak, Damar kembali berbicara. “Haidar... Udah jelasin semuanya ke aku...”

Detik itu, Damar bisa merasakan Aghni menegang di tempatnya. Damar melonggarkan pelukannya, kemudian menunduk menatap wajah Aghni yang seakan kehilangan sinarnya. “Aku minta maaf...”

Gadis itu menatap Damar dengan wajah datar. Sama sekali tak ada hujan di pipinya, namun Damar tahu tangis yang ingin dikeluarkan Aghni itu sama derasnya dengan hujan di luar. “Bukannya harusnya aku yang minta maaf? Kenapa jadi kamu?”

“Kesalahanku jelas. Kamu minta aku untuk nggak deket-deket Haidar, tapi aku masih deket-deket dia. Kamu? Kamu minta maaf untuk apa?”

Damar terdiam. Pertanyaan yang sederhana, namun ia sendiri tak tahu jawabannya. Pria itu kemudian menggeleng, “I don't know either, tapi aku merasa aku terlalu egois. Dan aku minta maaf untuk itu.”

Aghni mengangguk pelan. “Oke. Aku juga minta maaf untuk kesalahanku kalo gitu.”

“Lupain aja,” balas Damar cepat. Sekon berikutnya hening mendominasi. Hanya terdengar suara hujan yang masih bersikeras menghajar tanah di bumi. Namun posisi keduanya masih tak berubah, masih berhadapan dengan Aghni yang menatap ke sembarang arah guna menghindari tatapan Damar. Hingga lirihnya suara Damar kembali terdengar.

Can we start over?

Sontak Aghni kembali mendongak, turut melihat ke arah Damar. Setelahnya gadis itu terkekeh miris.

What about a no?

Satu kalimat yang berhasil membuat Damar sesak napas. “Kamu—”

“Aku—sayang banget sama kamu, sumpah. Tapi aku capek banget, Dam,” ungkap Aghni, “bahkan dari sebelum hubungan kita dimulai aja udah digangguin orang. Salsa, Revan. Terus sekarang Haidar, Nana—”

“Nana?”

Mendadak Aghni tertegun. Gadis itu baru saja membeberkan apa yang tidak seharusnya Damar ketahui. “Haidar, Haidar doang,” balasnya.

“Kamu diapain Nana?”

“Nggak diapa-apain. Kamu salah denger,” ucap Aghni, dan Damar hanya menurut.

“Biasanya aku nggak marah kalo ada orang yang berusaha ganggu. Tapi kali ini aku marah banget. Karena aku nggak pernah merasa ganggu siapapun, tapi aku selalu diganggu. Mereka ngelakuin itu semua ke aku, tanpa alesan yang jelas tau nggak, sih?” ungkap Aghni sedikit menggebu-gebu. “But you know what? All those obstacle could just disappear—if you trust me fully.

Deg! Aghni berhasil membuat Damar bungkam dan tak berkutik. Apa yang dikatakan gadis itu, seakan air es yang mengguyur sekujur tubuhnya hingga membuat kedua matanya terbuka selebar-lebarnya.

“Dua kali, Dam,” tegas Aghni, “udah dua kali kamu nggak bisa percaya sama aku. Buat apa kita jalanin semuanya kalo kamu nggak bisa percaya sama aku? Kamu sadar nggak sih, kamu lebih percaya sama orang lain dibanding sama aku? Ada satu orang lagi bilang aku cuma manfaatin kamu doang juga pasti kamu percaya. Iya, kan?”

“Aku capek banget, Dam. Kalo kamu emang mau ninggalin aku, tinggalin aja udah. Cari orang yang nggak kayak Salsa—dan aku.”

Baru saja Damar ingin membalas, lagi-lagi Aghni menyerobot gilirannya bicara. “Tunggu sini, aku balikin hoodie kamu.”

Damar memandangi Haidar dengan tatapan datar nan cenderung tajam. Entah karena dendam pribadi atau karena memang ia sama sekali tak berminat berurusan dengan pemuda yang berhasil menghancurkan hubungannya dengan Aghni itu. Keduanya bertemu di depan ruang Seni Budaya, sebab Haidar ingin berlatih band dan Damar baru saja dari kantin.

“Kenapa? Buruan, gue nggak mau lama-lama ketemu lo,” ucap Damar tegas.

“Gue nembak Aghni,” pungkas Haidar. Yang jelas membuat Damar kembali merasakan sesak di dadanya. Susah-susah ia menepisnya, Haidar malah datang mengingatkan.

“Lo pikir gue peduli?”

“Lo harus peduli, karena—Aghni nolak gue. Malah dia marah-marah sama gue.”

Sungguh sebuah jawaban yang sangat melenceng dari perkiraan Damar. Namun ia begitu ahli menutupi keterkejutannya. Alih-alih terperangah, Damar justru tersenyum miring. “Congratulations, now we're both losing her.

“Gue, Dam. Cuma gue. Lo enggak.”

Ucapan Haidar barusan lantas membuat Damar mengurungkan niatnya untuk melenggang pergi. Kini kebingungannya tak lagi dapat ia tutupi. “Gimana, gimana?”

“Gue suka sama lo, Ni. Gue yakin lo udah tau. Sebenernya selama ini gue emang merhatiin lo, gue juga tau Damar itu cowok lo. Gue emang nungguin lo putus sama dia. Dan sekarang, karena lo udah putus sama dia—lo mau nggak jadi pacar gue?”

Sederetan kalimat yang baru saja keluar dari mulut Haidar itu berhasil membuat Aghni memundurkan tubuhnya. Raut wajahnya yang tadi cenderung terlihat tanpa ekspresi itu kini berubah defensif. Jujur saja, Aghni tersinggung.

“Lo, tuh—emang selalu se-nggak tau diri ini ya, Dar?”

“Hah?”

*“Awalnya gue santai sama lo, karena gue pikir kita bisa temenan aja. Lagian, lo juga yang udah nolongin gue waktu di lab. Tapi, Dar... Kalo lo mau bertemen sama gue, tandanya lo juga harus bisa menghargai status hubungan gue. Jelas-jelas gue pacaran sama Damar, masih bisa-bisanya lo flirting yang serius ke gue? Even ngedeketin gue sampe Damar salah paham dan mutusin gue dan sekarang lo masih bisa dengan lantangnya, dengan bangganya minta gue jadi pacar lo!?” tutur Aghni dengan amarah tertahan.*

“Dar, asal lo tau, ya. Buat gue, Damar itu bukan cuma pacar atau temen doang. Buat gue Damar, tuh, lebih dari itu. Damar termasuk orang-orang yang nerima gue, dan gue sangat, sangat, menghormati Damar sebagai orang yang sayang sama gue—dan yang gue sayang. Perasaan gue nggak se-bercanda itu. Hubungan gue sama Damar juga nggak se-main-main itu!”

“Gue udah banyak ketemu orang kayak lo di hidup gue, Dar. Lo, tuh... Udah orang kesekian yang nggak suka gue deket-deket sama Damar. And sorry, i don't tolerate those who cannot respect me. Tanpa perlu gue jawab dengan jelas, lo pasti udah tau, kan, apa jawaban gue?” pungkas Aghni lagi. Kali ini lebih tegas. Seluruh keramah-tamahannya? Sirna. Sebagaimana Haidar tidak menghargai dirinya, Aghni sudah tidak peduli jika kata-katanya terdengar kasar atau menusuk. Setelahnya gadis itu meninggalkan Haidar pergi.

Haidar bercerita secara keseluruhan, beserta kejadian sebelum Damar akhirnya salah paham dan mengucapkan kalimat sakral yang membuat hubungannya dengan Aghni berakhir. Dan yang bisa Damar lakukan hanyalah—terpaku. Berbagai umpatan rasanya berbaris di kepalanya, antre untuk diutarakan lewat bibirnya. Beruntung Damar memilih untuk mengesampingkan amarahnya, sehingga pemuda itu bisa memanfaatkan waktu untuk menanyakan semuanya pada Haidar. Sejelas-jelasnya.

“Seriusan Aghni bilang gitu?” tanya Damar. Suaranya sama bergetarnya dengan tatapannya.

Hari itu Haidar tak lagi sembunyikan apapun. Pemuda yang sedikit lebih tinggi dari Damar itu mengatakan yang sejujur-jujurnya. Maka Haidar mengangguk pasti, meski ada bagian dalam dirinya yang tidak menerimanya. Namun ia sudah tertolak mentah-mentah ketika ia menyatakan perasaannya pada Aghni waktu istirahat kedua tadi. Itulah yang membuat Haidar menghubungi Damar sepulang sekolah. Bagaimanapun juga, ia telah melakukan kesalahan dengan memisahkan orang yang saling menghargai eksistensinya masing-masing.

“Mendingan—lo temuin Aghni lagi, deh. Gue minta maaf banget, Dam. Sama lo sama Aghni. Gue bener-bener berharap lo berdua bisa balikan lagi,” ucap Haidar tulus.

Sementara Damar? Pemuda itu membuang napasnya kasar. Setelahnya mengeluarkan satu dari sekian banyak umpatan yang berbaris di benaknya sejak tadi.

“Bangsat lo, Dar!”

Iya. Haidar mengakuinya. Kemudian seiring matanya memperhatikan punggung Damar yang menjauh menerobos hujan dengan langkahnya yang terburu-buru, Haidar menghela napasnya.

“Yudhistira-nya... Akan selalu Damar ya, Ni?”

Damar memandangi Haidar dengan tatapan datar nan cenderung tajam. Entah karena dendam pribadi atau karena memang ia sama sekali tak berminat berurusan dengan pemuda yang berhasil menghancurkan hubungannya dengan Aghni itu. Keduanya bertemu di depan ruang Seni Budaya, sebab Haidar ingin berlatih band dan Damar baru saja dari kantin.

“Kenapa? Buruan, gue nggak mau lama-lama ketemu lo,” ucap Damar tegas.

“Gue nembak Aghni,” pungkas Haidar. Yang jelas membuat Damar kembali merasakan sesak di dadanya. Susah-susah ia menepisnya, Haidar malah datang mengingatkan.

“Lo pikir gue peduli?”

“Lo harus peduli, karena—Aghni nolak gue. Malah dia marah-marah sama gue.”

Sungguh sebuah jawaban yang sangat melenceng dari perkiraan Damar. Namun ia begitu ahli menutupi keterkejutannya. Alih-alih terperangah, Damar justru tersenyum miring. “Congratulations, now we're both losing her.

“Gue, Dam. Cuma gue. Lo enggak.”

Ucapan Haidar barusan lantas membuat Damar mengurungkan niatnya untuk melenggang pergi. Kini kebingungannya tak lagi dapat ia tutupi. “Gimana, gimana?”

“Gue suka sama lo, Ni. Gue yakin lo udah tau. Sebenernya selama ini gue emang merhatiin lo, gue juga tau Damar itu cowok lo. Gue emang nungguin lo putus sama dia. Dan sekarang, karena lo udah putus sama dia—lo mau nggak jadi pacar gue?”

Sederetan kalimat yang baru saja keluar dari mulut Haidar itu berhasil membuat Aghni memundurkan tubuhnya. Raut wajahnya yang tadi cenderung terlihat tanpa ekspresi itu kini berubah defensif. Jujur saja, Aghni tersinggung.

“Lo, tuh—emang selalu se-nggak tau diri ini ya, Dar?”

“Hah?”

*“Awalnya gue santai sama lo, karena gue pikir kita bisa temenan aja. Lagian, lo juga yang udah nolongin gue waktu di lab. Tapi, Dar... Kalo lo mau bertemen sama gue, tandanya lo juga harus bisa menghargai status hubungan gue. Jelas-jelas gue pacaran sama Damar, masih bisa-bisanya lo flirting yang serius ke gue? Even ngedeketin gue sampe Damar salah paham dan mutusin gue dan sekarang lo masih bisa dengan lantangnya, dengan bangganya minta gue jadi pacar lo!?” tutur Aghni dengan amarah tertahan.*

“Dar, asal lo tau, ya. Buat gue, Damar itu bukan cuma pacar atau temen doang. Buat gue Damar, tuh, lebih dari itu. Damar termasuk orang-orang yang nerima gue, dan gue sangat, sangat, menghormati Damar sebagai orang yang sayang sama gue—dan yang gue sayang. Perasaan gue nggak se-bercanda itu. Hubungan gue sama Damar juga nggak se-main-main itu!”

“Gue udah banyak ketemu orang kayak lo di hidup gue, Dar. Lo, tuh... Udah orang kesekian yang nggak suka gue deket-deket sama Damar. And sorry, i don't tolerate those who cannot respect me. Tanpa perlu gue jawab dengan jelas, lo pasti udah tau, kan, apa jawaban gue?” pungkas Aghni lagi. Kali ini lebih tegas. Seluruh keramah-tamahannya? Sirna. Sebagaimana Haidar tidak menghargai dirinya, Aghni sudah tidak peduli jika kata-katanya terdengar kasar atau menusuk. Setelahnya gadis itu meninggalkan Haidar pergi.

Haidar bercerita secara keseluruhan, beserta kejadian sebelum Damar akhirnya salah paham dan mengucapkan kalimat sakral yang membuat hubungannya dengan Aghni berakhir. Dan yang bisa Damar lakukan hanyalah—terpaku. Berbagai umpatan rasanya berbaris di kepalanya, antre untuk diutarakan lewat bibirnya. Beruntung Damar memilih untuk mengesampingkan amarahnya, sehingga pemuda itu bisa memanfaatkan waktu untuk menanyakan semuanya pada Haidar. Sejelas-jelasnya.

“Seriusan Aghni bilang gitu?” tanya Damar. Suaranya sama bergetarnya dengan tatapannya.

Hari itu Haidar tak lagi sembunyikan apapun. Pemuda yang sedikit lebih tinggi dari Damar itu mengatakan yang sejujur-jujurnya. Maka Haidar mengangguk pasti, meski ada bagian dalam dirinya yang tidak menerimanya. Namun ia sudah tertolak mentah-mentah ketika ia menyatakan perasaannya pada Aghni waktu istirahat kedua tadi. Itulah yang membuat Haidar menghubungi Damar sepulang sekolah. Bagaimanapun juga, ia telah melakukan kesalahan dengan memisahkan orang yang saling menghargai eksistensinya masing-masing.

“Mendingan—lo temuin Aghni lagi, deh. Gue minta maaf banget, Dam. Sama lo sama Aghni. Gue bener-bener berharap lo berdua bisa balikan lagi,” ucap Haidar tulus.

Sementara Damar? Pemuda itu membuang napasnya kasar. Setelahnya mengeluarkan satu dari sekian banyak umpatan yang berbaris di benaknya sejak tadi.

“Bangsat lo, Dar!”

“Ni, dicariin, tuh!” Nadia bersuara, memanggil Aghni yang sedang rebahan di atas matras. Gadis itu benar-benar lelah, serasa seluruh energinya terbakar dan terbuang sia-sia. Aghni lunglai bagai tanpa tulang. Namun mendengar suara Nadia, gadis itu otomatis bangkit. “SIAPA, NAD? DAMAR YA!?”

“Bukann. Itu... Aku nggak kenal siapa,” ucap Nadia, “katanya ada perlu sama kamu.”

Ada kerutan pada kening Aghni yang mewakili kebingungan empunya. Meskipun begitu, gadis itu tetap bangkit dan menghampiri guna menemui seseorang yang menghampirinya. Jika seseorang mengatakan ada keperluan, pasti itu merupakan sesuatu yang penting, kan?

Maka Aghni berjalan sedikit menjauh dari tempat latihannya. Mencari keberadaan orang yang alih-alih terlihat mencarinya, malah justru bersembunyi. Melihat dari posisinya yang cenderung mengumpat di balik dinding.

“Loh? Kirain Damar, lo yang nyari gue, Dar?” tanya Aghni, tepat ketika matanya menangkap sosok Haidar yang sedang bersandar pada dinding. Sebelah tangannya memegang botol air putih dingin yang berembun—sesuatu yang sangat Aghni butuhkan sekarang.

“Nih, buat lo. Aus, kan?” ujar Haidar tanpa basa-basi. Aghni sedikit terperangah, sekon berikutnya ia segera menggeleng—panik, takut-takut Damar melihat keduanya dan malah kembali salah paham seperti yang sebelumnya.

“Hah? Nggak usah, Dar. Minum gue masih ada, kok. Terima kasih banyak,” balas Aghni ramah. Berusaha tidak menyakiti perasaan seseorang di hadapannya.

Sebelah alis Haidar terangkat, sekon berikutnya pemuda itu tertawa lepas. Memamerkan lesung pipi yang juga ia miliki, seakan ingin bersaing dengan Damar secara terang-terangan. “Ini bukan dari gue, kok.”

“Oh? Terus dari siapa?” tanya Aghni lagi.

“Ya, masa lo nggak tau, Ni?”

Sekali lagi kedua alis Aghni bertautan, namun setelahnya gadis itu teringat sesuatu. Perihal Damar yang mengiriminya pesan terakhir kali bahwa pria itu akan memberikannya minum. “Ooohh, iya, iya. Ya udah, deh. Makasih banyak ya, Dar. Maaf banget jadi ngerepotin,” ucap Aghni lagi.

Sekon berikutnya, karena sudah haus dan terlampau lelah, Aghni segera meneguk air dingin pemberian Haidar. Gadis itu menghela napas lega setelahnya. Wajahnya kembali cerah, energinya serasa seperti kembali penuh, dan senyuman manis merekah sempurna. “Hwaaah, seger banget, sumpah! Makasih banyak ya, Dar!”

Haidar terkekeh, “Iyaa, sama-sama, Ni.” Dan Aghni hanya membalasnya dengan sebuah senyuman, sebelum akhirnya senyum itu tergantikan dengan raut wajah tertegun lantaran Haidar secara tiba-tiba mengusapkan peluh Aghni yang membasahi pelipis gadis itu. Seketika, Aghni mengambil langkah mundur, memilih untuk menjauhkan dirinya dari Haidar. Yang barusan itu, sudah terhitung lancang.

“Dar—”

“Aghniya,” panggil seseorang. Berhasil membuat Aghni menahan napasnya ketakutan. Bagaimanapun juga, ia telah membuat kesalahan dan tertangkap basah. Yang barusan memanggil namanya adalah Damar, dan Aghni tahu ini tidak akan berakhir baik.

Gadis itu menoleh dengan tatapan bergetar, kedua tangannya refleks meremas botol plastik guna menyalurkan semua takutnya. Tertangkap oleh kedua netranya, Damar menatapnya dengan tatapan membunuh. “Jadi, di sini tempatnya kalo lo mau ketemuan sama dia di belakang gue?”

“Nggak gitu, Dam—”

“Gue tau lo sakit hati karena perlakuan gue waktu gue salah paham gara-gara ulah Salsa, tapi nggak seharusnya lo bales gue pake cara kayak gini, tau nggak!?”

“Iya... Aku tau, tapi kejadiannya nggak kayak gitu, Dam. Kamu salah paham,” balas Aghni. Tentu saja deretan kalimatnya itu adalah hasil keberanian yang ia kumpulkan agar menjadi bulat. Begitu saja, suaranya masih bergetar. Sebab meskipun tak ada makian yang keluar dari mulutnya, ataupun amarah yang meletup-letup, Damar terlihat sangat menakutkan.

Damar mendecih seraya memalingkan wajahnya, “Semua orang yang kepergok selingkuh juga alesannya salah paham.”

“Tapi yang tadi itu beneran nggak gitu kejadiannya! Kamu dengerin aku dulu, please...” pinta Aghni sungguh-sungguh, setelahnya tatapannya beralih pada Haidar yang sejak tadi memilih diam dan menyaksikan perdebatan sepasang kekasih yang kini berada di ambang kehancuran. “Dar, jelasin ke Damar, lah, jangan diem aja gitu! Damar salah paham, kan? Iya, kan?”

Aghni terus menatap Haidar penuh harap. Menuntut pria itu untuk meluruskan kesalahpahaman yang kini kembali memenangkan pikiran Damar. Namun yang Haidar lakukan hanya bungkam. Pemuda itu menunduk dalam, menghindari tatapan Aghni yang sudah berkilat menunda kehancurannya sendiri.

“Damar..”

“Kita putus, Ni. Gue nggak mau jadi penghalang hubungan lo sama dia,” ucap Damar final, dan tegas, seraya menunjuk Haidar dengan lirikan matanya. “Nggak ada bedanya lo sama Salsa,” cetus Damar lagi.

Ah, runtuh sudah pertahanan Aghni. Kedua kakinya melemas, seiring dadanya kembali merasakan sakit hingga napasnya menjadi sesak. Serasa ada beban yang menjadi penghalang jalan napasnya. Kepalanya itu bahkan mendadak pening, entah karena terlalu lelah atau terlalu hancur sore itu.

Kedua mata berairnya kini memandangi punggung Damar yang berbalik. Dan baru saja Aghni sadari, Damar juga memegang botol air putih dingin yang masih tersegel. Minuman yang Haidar berikan sebelumnya, bukan berasal dari Damar. Dan fakta yang baru saja berhasil ia cerna itu hanya semakin membuat hatinya pecah berkeping-keping. Lebih-lebih ketika gadis itu melihat Damar membuang air minum yang ia beli untuknya.

Baru saja Aghni ingin menyusul langkah Damar, pemuda itu justru meluapkan emosinya di tengah lapangan. Damar menendang bola yang menggelinding ke arahnya dengan begitu kencang menggunakan kaki kanannya. Bunyinya bahkan membuat semua orang menghentikan aktivitasnya hanya untuk memandang Damar yang melenggang dengan penuh amarah.

Sementara Aghni? Sekuat tenaga gadis itu menghentikan tangisnya agar tidak pecah sepenuhnya. Dihapusnya sisa air mata yang sejak tadi turun membuat jejak di pipinya. Aghni menghadapkan tubuhnya pada Haidar yang kini memasang wajah tanpa dosa. Pemuda itu bahkan masih bisa menaikkan sebelah alisnya pada Aghni.

“Gue nggak nyangka lo setega ini, Dar. Congratulations, tho, you teared us apart.

Dan Aghni tahu, semenjak hari itu, ada yang mati di dalam dirinya.

“Ni, dicariin, tuh!” Nadia bersuara, memanggil Aghni yang sedang rebahan di atas matras. Gadis itu benar-benar lelah, serasa seluruh energinya terbakar dan terbuang sia-sia. Aghni lunglai bagai tanpa tulang. Namun mendengar suara Nadia, gadis itu otomatis bangkit. “SIAPA, NAD? DAMAR YA!?”

“Bukann. Itu... Aku nggak kenal siapa,” ucap Nadia, “katanya ada perlu sama kamu.”

Ada kerutan pada kening Aghni yang mewakili kebingungan empunya. Meskipun begitu, gadis itu tetap bangkit dan menghampiri guna menemui seseorang yang menghampirinya. Jika seseorang mengatakan ada keperluan, pasti itu merupakan sesuatu yang penting, kan?

Maka Aghni berjalan sedikit menjauh dari tempat latihannya. Mencari keberadaan orang yang alih-alih terlihat mencarinya, malah justru bersembunyi. Melihat dari posisinya yang cenderung mengumpat di balik dinding.

“Loh? Kirain Damar, lo yang nyari gue, Dar?” tanya Aghni, tepat ketika matanya menangkap sosok Haidar yang sedang bersandar pada dinding. Sebelah tangannya memegang botol air putih dingin yang berembun—sesuatu yang sangat Aghni butuhkan sekarang.

“Nih, buat lo. Aus, kan?” ujar Haidar tanpa basa-basi. Aghni sedikit terperangah, sekon berikutnya ia segera menggeleng—panik, takut-takut Damar melihat keduanya dan malah kembali salah paham seperti yang sebelumnya.

“Hah? Nggak usah, Dar. Minum gue masih ada, kok. Terima kasih banyak,” balas Aghni ramah. Berusaha tidak menyakiti perasaan seseorang di hadapannya.

Sebelah alis Haidar terangkat, sekon berikutnya pemuda itu tertawa lepas. Memamerkan lesung pipi yang juga ia miliki, seakan ingin bersaing dengan Damar secara terang-terangan. “Ini bukan dari gue, kok.”

“Oh? Terus dari siapa?” tanya Aghni lagi.

“Ya, masa lo nggak tau, Ni?”

Sekali lagi kedua alis Aghni bertautan, namun setelahnya gadis itu teringat sesuatu. Perihal Damar yang mengiriminya pesan terakhir kali bahwa pria itu akan memberikannya minum. “Ooohh, iya, iya. Ya udah, deh. Makasih banyak ya, Dar. Maaf banget jadi ngerepotin,” ucap Aghni lagi.

Sekon berikutnya, karena sudah haus dan terlampau lelah, Aghni segera meneguk air dingin pemberian Haidar. Gadis itu menghela napas lega setelahnya. Wajahnya kembali cerah, energinya serasa seperti kembali penuh, dan senyuman manis merekah sempurna. “Hwaaah, seger banget, sumpah! Makasih banyak ya, Dar!”

Haidar terkekeh, “Iyaa, sama-sama, Ni.” Dan Aghni hanya membalasnya dengan sebuah senyuman, sebelum akhirnya senyum itu tergantikan dengan raut wajah tertegun lantaran Haidar secara tiba-tiba mengusapkan peluh Aghni yang membasahi pelipis gadis itu. Seketika, Aghni mengambil langkah mundur, memilih untuk menjauhkan dirinya dari Haidar. Yang barusan itu, sudah terhitung lancang.

“Dar—”

“Aghniya,” panggil seseorang. Berhasil membuat Aghni menahan napasnya ketakutan. Bagaimanapun juga, ia telah membuat kesalahan dan tertangkap basah. Yang barusan memanggil namanya adalah Damar, dan Aghni tahu ini tidak akan berakhir baik.

Gadis itu menoleh dengan tatapan bergetar, kedua tangannya refleks meremas botol plastik guna menyalurkan semua takutnya. Tertangkap oleh kedua netranya, Damar menatapnya dengan tatapan membunuh. “Jadi, di sini tempatnya kalo lo mau ketemuan sama dia di belakang gue?”

“Nggak gitu, Dam—”

“Gue tau lo sakit hati karena perlakuan gue waktu gue salah paham gara-gara ulah Salsa, tapi nggak seharusnya lo bales gue pake cara kayak gini, tau nggak!?”

“Iya... Aku tau, tapi kejadiannya nggak kayak gitu, Dam. Kamu salah paham,” balas Aghni. Tentu saja deretan kalimatnya itu adalah hasil keberanian yang ia kumpulkan agar menjadi bulat. Begitu saja, suaranya masih bergetar. Sebab meskipun tak ada makian yang keluar dari mulutnya, ataupun amarah yang meletup-letup, Damar terlihat sangat menakutkan.

Damar mendecih seraya memalingkan wajahnya, “Semua orang yang kepergok selingkuh juga alesannya salah paham.”

“Tapi yang tadi itu beneran nggak gitu kejadiannya! Kamu dengerin aku dulu, please...” pinta Aghni sungguh-sungguh, setelahnya tatapannya beralih pada Haidar yang sejak tadi memilih diam dan menyaksikan perdebatan sepasang kekasih yang kini berada di ambang kehancuran. “Dar, jelasin ke Damar, lah, jangan diem aja gitu! Damar salah paham, kan? Iya, kan?”

Aghni terus menatap Haidar penuh harap. Menuntut pria itu untuk meluruskan kesalahpahaman yang kini kembali memenangkan pikiran Damar. Namun yang Haidar lakukan hanya bungkam. Pemuda itu menunduk dalam, menghindari tatapan Aghni yang sudah berkilat menunda kehancurannya sendiri.

“Damar..”

“Kita putus, Ni. Gue nggak mau jadi penghalang hubungan lo sama dia,” ucap Damar final, dan tegas, seraya menunjuk Haidar dengan lirikan matanya. “Nggak ada bedanya lo sama Salsa,” cetus Damar lagi.

Ah, runtuh sudah pertahanan Aghni. Kedua kakinya melemas, seiring dadanya kembali merasakan sakit hingga napasnya menjadi sesak. Serasa ada beban yang menjadi penghalang jalan napasnya. Kepalanya itu bahkan mendadak pening, entah karena terlalu lelah atau terlalu hancur sore itu.

Kedua mata berairnya kini memandangi punggung Damar yang berbalik. Dan baru saja Aghni sadari, Damar juga memegang botol air putih dingin yang masih tersegel. Minuman yang Haidar berikan sebelumnya, bukan berasal dari Damar. Dan fakta yang baru saja berhasil ia cerna itu hanya semakin membuat hatinya pecah berkeping-keping. Lebih-lebih ketika gadis itu melihat Damar membuang air minum yang ia beli untuknya.

Baru saja Aghni ingin menyusul langkah Damar, pemuda itu justru meluapkan emosinya di tengah lapangan. Damar menendang bola yang menggelinding ke arahnya dengan begitu kencang menggunakan kaki kanannya. Bunyinya bahkan membuat semua orang menghentikan aktivitasnya hanya untuk memandang Damar yang melenggang dengan penuh amarah.

Sementara Aghni? Sekuat tenaga gadis itu menghentikan tangisnya agar tidak pecah sepenuhnya. Dihapusnya sisa air mata yang sejak tadi turun membuat jejak di pipinya. Aghni menghadapkan tubuhnya pada Haidar yang kini memasang wajah tanpa dosa. Pemuda itu bahkan masih bisa menaikkan sebelah alisnya pada Aghni.

“Gue nggak nyangka lo setega ini, Dar. Congratulations, tho, you teared us apart.

Dan Aghni tahu, semenjak hari itu, ada yang mati di dalam dirinya.

Seperti biasa, tepat ketika kakinya menginjak lantai ruangan bimbel yang familier itu, Adel akan otomatis melangkah menuju kursi paling belakang. Singgasananya yang tak lekang oleh waktu—setidaknya sampai hari ini. Sebab sesampainya Adel di sana, ada seonggok ransel menduduki kursi itu. Pemiliknya? Entah ada di mana.

Malas cari ribut, Adel menghela napas dan memilih untuk menduduki kursi lain meskipun masih dalam deret baris yang sama. Tatapan-tatapan sinis mulai dilayangkan ke arahnya, desas-desus mulai terdengar, maka Adel memilih untuk menyumpal telinganya sendiri dengan earphone miliknya.

Tak berselang lama, Kak Rizqa datang, membuat Adel buru-buru melepaskan earphone-nya seraya segera mematikan lagu yang sejak tadi berputar memenuhi rungunya. Adel selalu tak peduli, tatapannya ke arah papan tulis selalu datar dan cenderung sinis. Well, not for today.

Kedua matanya resmi membulat ketika netranya menangkap sosok lelaki mengenakan seragam sekolah berlapis sweater ungu berlengan panjang yang digulung sebatas siku. Ada jam tangan hitam melingkari lengan kirinya, menambah kesan keren namun tak menghilangkan kesan manis yang sudah ada sejak awal. Adelia terpaku, lebih-lebih ketika pemuda itu berdiri di depan kelas dan... Menatap tepat pada matanya.

“Silakan, kenalkan diri kamu dulu ke teman-teman yang lain,” ucap Kak Rizqa. Maka pemuda itu berdeham, membersihkan tenggorokannya sendiri agar suaranya terdengar jelas dan lantang.

“Hai, semuanya! Perkenalkan, saya Dhimas Wijaya. Asal sekolah dari SMA Pelita Nusantara, salam kenal semuanya,” ucap Dhimas lancar.

“Berarti dipanggilnya Dhimas, ya?” tanya Kak Rizqa.

Sekon berikutnya, seraya tersenyum, Dhimas memamerkan melodi tawanya yang renyah. “Emmm, mau panggil sayang juga boleh kalo buat Kak Rizqa,” jawabnya ringan. Memancing sorak-sorai ramai dari seisi ruangan. Bahkan kakak pengajarnya itu berhasil tersipu akibat ulah Dhimas.

“Bercanda, Kak. Jangan serius-serius dulu, atuh, baru kenal. Kita jalanin dulu aja,” ucap Dhimas lagi. Memancing reaksi yang lebih heboh dari teman-teman barunya. Mencegah aksi Dhimas untuk menjadi lebih liar dan cringe, Rizqa segera menyuruh Dhimas untuk duduk.

“Udah, udah. Duduk, ya, Dhimas!”

Seraya menahan senyumnya, Dhimas segera melangkah menuju kursi yang sudah ia tag sebelumnya. Adelia masih terpaku, gadis itu sejak tadi jelas menyadari siapa sosok yang memperkenalkan diri di depan kelas. Dan yang bisa ia lakukan hanyalah memalingkan wajahnya, berharap agar Dhimas tak mengenalinya.

Mau ditaruh di mana wajahnya jika Dhimas berhasil mengenali Adel sebagai tetangga Haris yang pernah tercebur di selokan sepulang sekolah?

Dhimas kini duduk di sebelah Adel. Pria itu sedikit menarik kursi agar posisinya lebih nyaman. Ah, jadi dia yang mengambil singgasana Adelia hari itu.

“Halo,” sapa Dhimas. Adel melirik sekilas, setelahnya balas mengangguk sopan menanggapi sapaan pemuda di sebelahnya.

Sorry, boleh pinjem pulpen nggak? Pulpen gue habis,” ucap Dhimas lagi.

“Oh? Boleh,” jawab Adel singkat. Sekon berikutnya ia merogoh tempat pensilnya sendiri, memberikan satu buah pulpen yang tutupnya sudah patah akibat ulahnya sendiri. “Nih.”

Dhimas mengambilnya dengan sukarela sebelum akhirnya terkekeh. “Temen sebangku gue juga kalo ngasih pulpen selalu yang tutupnya udah patah,” bisik Dhimas, “makasih, btw.”

Lagi-lagi Adel hanya mengangguk pelan. Hari itu dalam benak Adel, ada satu lagi kesan yang terpatri untuk Dhimas. Pemuda ini benar-benar ramah pada siapapun yang ditemuinya, dan bahkan cenderung—flirty.

Namun Adel tak peduli. Persetan juga akan bagaimana Dhimas memandangnya. Judes, jutek, galak, terserah. Adel sudah biasa dengan kata-kata seperti itu. Yang ia pedulikan sejak tadi hanya satu, semoga Dhimas tidak mengenalinya.

Tetapi Adel akhirnya bisa bernapas lega. Sebab hingga ujung waktu, Dhimas tetap bersikap santai dan tenang seakan tak pernah terjadi apapun di antara mereka. Seakan hari ini benar-benar pertama kalinya mereka bertemu. Dan Adel benar-benar mensyukuri itu.

Ini sudah pasti. Itu artinya Dhimas tidak mengenalinya, dan semua berjalan aman terkendali. . . . . . . .

Kan?

“Ini kerannya nyala nggak?”

Yang pertama kali Dhimas lakukan setelah memastikan Adel duduk dengan aman adalah menanyakan sumber air. Seperti yang ia bilang, kotoran dari air selokan ini harus segera dibersihkan sebelum membuat luka-luka Adel semakin parah.

“Nyala, kok.”

Sekon berikutnya Dhimas mengangguk dan berjongkok di hadapan Adel. Tahu apa yang ia lakukan selanjutnya? Pemuda itu membukakan dua sepatu Adel. Adelia tertawa dalam hati, Cinderella who? I only know Adelia.

Tak berhenti sampai di sana, Dhimas kini menggerakkan pergelangan kaki Adel pelan. “Sakit nggak?”

“Nggak, tapi—nggak berasa, sih. Kayaknya karena gue sekarang fokus ke sakit di bagian lain,” ungkap Adel jujur. Dhimas mengangguk pajam setelahnya, “Bisa jadi, sih. Tapi kayaknya lo nggak keseleo, soalnya kalo iya, pasti lo nggak bisa jalan. Nanti kalo seandainya sakit, periksain aja ya?”

“Oke.”

“Ada lagi yang sakit?” tanya Dhimas. “Pinggang gue, sih. Yang kanan sini,” ucap Adel seraya menunjuk bagian pinggang kanannya. Masuk akal, mungkin karena benturan pertama pada ujung dinding selokan itu mengenai pinggangnya lebih dulu. “Sama betis, lengan, siku, semuanya nyut-nyutan.”

“Iya, kalo itu, kan, karena ada lukanya. Lo punya obat merah?”

“Ada.... Tapi paling ini gue cuci aja, deh. Nggak berani gue makenya kalo sendiri.”

“Nanti gue yang pakein,” ucap Dhimas final. Mengabaikan tatapan terkejut Adel, Dhimas berjalan menuju keran air dan membawa selang ke dekat gadis itu. Dengan telaten Dhimas mencucikan setiap luka di tubuh Adel selayaknya seorang tenaga kesehatan—atau selayaknya seorang kekasih, entah mana yang paling tepat.

“Ini lo pake celana training lagi?” tanya Dhimas.

“Pake, lah!”

“Ini kedengerannya nggak sopan, tapi mending lo buka aja rok lo. Biar gue kucekin sekalian. Soalnya ini rok putih, takut nggak ilang nodanya.”

Wah, Adel hanya bisa menutup mulutnya tak percaya. Jelmaan pangeran macam apa yang sekarang ini berdiri di hadapannya? Sudah tampan, very well-mannered, baik hati dan tidak sombong, bersuara rendah namun tetap begitu lembut mengalun di telinga.

Haris? JAUH!

Gilbert Situmorang? LEWAT!

Namun seperti tersihir, Adel pada akhirnya bangkit berdiri dan berniat melepas roknya. Tetapi gadis itu mengernyit bingung ketika mendapati Dhimas berdiri di hadapannya—membelakanginya. “Lo ngapain?”

Pemuda itu menoleh sekilas, melirik Adel dari ekor matanya. “Nutupin lo, lah? Emang mau diliatin orang lewat? Pager lo masih kebuka, by the way.”

“Ah.... Thanks....

“KAK ADEEEEL, WHAT HAPPENED TO YOUUU!?

Seseorang menginterupsi Dhimas dan Adel. Itu Hanum, sepertinya Haris menyuruhnya membawakan kotak obat ke rumah Adel. Adik dari sahabat keduanya itu datang dengan raut wajah khawatir yang begitu kentara, berbanding terbalik dengan Haris yang menertawai Adel hingga puas.

“Kak are you okay?” tanya Hanum. Baru saja Adel ingin menjawab, Dhimas menyerobot antrean. “Okay begimana okay? Orang abis kecelakaan, jelas-jelas besot begini masih aja ditanya are you okay? Kagak jelas lu, Mayjura!”

Sebuah pukulan lantas mendarat di bahu Dhimas. “Aku nggak nanya kamu! Sejak kapan kamu di sini, deh!? Modus aja! Itu Kak Haris sama Kak Damar Kak Ojan lagi cuci motor, bukannya dibantuin—”

“Abang lu nggak mau nolongin dia, katanya geli. Abang lu songong banget beneran, Mayzhura. Gue dari tadi nungguin dia di depan gerbang kagak dibuka-bukain, sampe bercucuran keringet gue!”

“Kak Haris nggak bilang ada tamu,” balas Hanum membela diri.

“Yaah elahh, Num. Mana mungkin, sih, abang lu membiarkan lu menerima tamu? Biar jelek tabiatnya, dia tetep seorang abang yang sangat amat posesif. Takut banget adeknya dideketin orang padahal nggak ada juga yang berani modusin.” Kini giliran Adel yang menyerobot antrean. Namun Dhimas segera menyetujuinya. “SETUJU! DIHHHH, lu harus liat betapa najisnya dia kalo lagi pacaran di sekolah. Nama ceweknya kesebut dikit aja pasti matanya langsung tajem gitu terus kupingnya langsung CEP! NANCEP GITU LANGSUNG.”

“IYA, SUMPAH! LO HARUS TAU—tadi, kan, gue minta tolong anterin ke bengkel ya—”

“HEIII, JANGAN NGOMONGIN KAKAKKU!” tegur Hanum. Membuat Dhimas dan Adel kembali tersadar bahwa mereka bahkan belum mengenal sejauh itu. Kedua remaja itu otomatis terdiam dan kompak memalingkan wajah canggung. “Udah, sini, Kak Adel. Aku obatin lukanya.”

“Iya—IYA! Eh, makasih ya, temennya Haris. Tapi beneran nggak pa-pa, kok. Hanum aja yang obatin lukanya. Makasih banyak sekali lagi udah nolongin gue hari ini,” ucap Adel. Panik, sebab ia benar-benar takut jatuh cinta secepat itu akan pemuda yang baru saja dikirim semesta untuknya hari itu.

Hanum dan Dhimas bertukar pandang bingung. “Serius?” Dhimas memastikan.

“Iya, seratus persen serius!”

“Beneran nggak pa-pa?” tanya Dhimas lagi. “Wuih, gila gue udah sehat banget sekarang!”

Ucapan Adel yang ngawur itu lantas membuat Dhimas terkekeh pelan. “Ya udah kalo gitu. Tolong obatin yang bener lukanya ya, Num. Itu roknya jangan lupa dicuci. Inget, nanti kalo kakinya sakit jangan lupa diperiksain ke dokter. Takutnya kenapa-napa.”

“Siap!” balas Adel seraya memberi hormat singkat. Lagi-lagi Dhimas memamerkan senyum manisnya, sudah familier dengan kepribadian sejenis Adelia. Pemuda itu mengangguk setelahnya. “Beneran nggak pa-pa, nih, gue tinggal?”

“Nggak pa-pa, beneran. It's all good. Makasih banyak sekali lagi!”

“Oke,” balas Dhimas, “kalo ada apa-apa, panggil lagi aja ya. Gue di sebelah, di rumah Haris.”

“Oke.”

“Kunci pager lo masih nyantel, jangan lupa diambil,” ucap Dhimas lagi.

“Oke.”

Tak ada lagi jawaban dari Dhimas. Pemuda itu hanya mengulas senyum sebelum akhirnya melenggang pergi. Sementara Adel? Gadis itu masih terpaku memandangi pintu pagarnya yang terbuka. Ah, sepertinya pikirannya sudah terpaut pada pemuda yang baru saja hilang di balik sana.

“ANJ—SAKIT BANGET, PELAN-PELAN DONG, NUM!”

What are you staring at, Kak Adel?” tanya Hanum jahil setelah ia menotolkan sedikit obat merah pada luka di betis Adel. Adel sontak menoleh panik, “Hah? Enggak! Nggak ada!”

You sure?” tanya Hanum lagi, semakin jahil. Gadis itu bahkan memainkan alisnya untuk meledek Adel yang tertangkap basah memandangi Dhimas dengan tatapan berbinar.

“SERATUS PERSEN!” Not sure.....

Silakan tertawa sepuasnya. Yang jelas, hari ini meniggalkan kesan berbarga bagi seorang Adelia. Semesta mungkin tak membawakannya seseorang yang membukakan pintu mobil mewah atau memasangkan sepatunya layaknya kisah Cinderella. Tetapi hari ini, semesta membawakannya seseorang yang dengan sabar dan telaten memapahnya berjalan, juga membukakan serta mencucikan sepatunya setelah tercebur di selokan.

Sekarang, bagaimana bisa Adel melupakan kejadian hari ini?

Dhimas memilih untuk menunggu di atas motor dengan satu kaki terangkat. Pemuda dengan kaus hitam dan celana seragam putih yang masih setia ia kenakan itu berusaha sabar menunggu si teman sultannya untuk keluar. Seperti yang Dhimas bilang, mendatangi rumah Haris itu setara susahnya dengan mendatangi Buckingham Palace.

Sesekali ia mengusap peluhnya yang muncul akibat matahari yang masih terik meski sudah sore. Di tangannya bertengger plastik minuman berembun berisi es teh manis, pula ponselnya yang kini menampilkan cuitan teman-temannya di ranah Twitter. Pemuda itu mati-matian berusaha membunuh waktu dengan segala cara. Dhimas sejak tadi bahkan hanya diam dan memperhatikan motor-motor yang sesekali lewat. Sungguh sebuah atmosfer yang menenangkan jika saja panas tidak membara sore itu.

Dhimas menyeruput es teh manisnya yang masih bersisa setengah itu, kemudian berniat untuk lanjut berselancar menjelajah akun sosial medianya sampai Haris—atau Ojan dan Damar datang. Namun tiba-tiba—

WHOA, WHOA, WHOA! AAAAAAAAAA!

CKIIITT! BRAKK! JDAR! JDER!

Sontak Dhimas terkejut, matanya membulat seiring di depan matanya tersuguh sebuah crime scene.

It was a hell of a crime scene.

Seseorang tersungkur dengan kaki kanannya terjepit badan motor di selokan yang menganga. Benar, sebuah motor beserta pengendaranya itu baru saja tersungkur di selokan depan rumah Haris yang sedang dibersihkan. Tanpa pikir panjang, Dhimas buru-buru membuang es teh manisnya ke tempat sampah dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Sekon berikutnya ia berlari secepat kilat menuju korban kecelakaan yang ia saksikan dengan mata kepalanya.

Seorang gadis merintih kesakitan. Tangan kanannya lecet dan penuh luka, mungkin akibat bergesekan dengan dinding selokan yang tajam dan tidak rata. Kaki kanannya itu—jangan ditanya. Rok putihnya bahkan kini berubah abu-abu kehitaman.

“Eh—eh, bisa bangun nggak?” tanya Dhimas. Tentu saja pemuda itu otomatis berusaha mengangkat badan motor yang menjepit perempuan di hadapannya. Perempuan itu masih merintih kesakitan, nyaris menangis, namun sekuat tenaga berusaha menggerakkan tubuhnya untuk menyingkir dari tindihan motornya sendiri. Sulit bagi Dhimas untuk mengeluarkan motor itu dari selokan sendirian, namun usahanya barusan cukup untuk memberi si korban akses untuk meloloskan diri dari timpaan motor.

“ASTAGA, ADEL!?”

Dhimas dan perempuan itu menoleh ke sumber suara. Itu Haris, si sultan paling laknat sedunia. Pemuda itu baru saja turun, mengenakan celana pendek dan kaus rumahan berwarna cokelat. Sungguh sebuah penampilan yang—kalau kata Dhimas, santai beneuuur.

Sama seperti reaksi Dhimas sebelumnya, Haris pun tergopoh-gopoh menghampiri TKP. Namun, sesampainya di sana, inilah yang menunjukkan pada Adelia mana yang seorang gentle man, dan mana yang.... Seorang bajingan.

Alih-alih menolong dan mengkhawatirkan kondisi Adel, Haris justru tertawa terbahak-bahak hingga harus memegangi perutnya sendiri. “DEL—BWAHAHAHAHAHAHAHAHAH! DONGO BANGET! KENAPA LU!?”*

Adel kesakitan, tapi tenaganya masih cukup untuk memberi umpatan pada Haris. “GUE KEJEBUR GOT! MASIH LU TANYA KENAPA—DASAR BAJINGAN!”

Dhimas yang tak tahu apa-apa itu kini hanya bisa terpaku dengan tatapan bingung menyaksikan interaksi dua orang di hadapannya. “Aduh, aduh sumpah nggak ada lagi yang jalan hidupnya sekocak lu, Deli! Aduh!” ucap Haris sebelum akhirnya batuk-batuk. Mampus, tua bau tanah! umpat Adel diam-diam.

Sorry, sorry, Dhim. Ini tetangga gue, namanya—WAHAHAHAHAHAHAH ROKNYA ITEM! IH IH BELATUNGANN!”

“MANA ADA IHHH YANG SERIUS DONG!!”

Dhimas terkekeh setelahnya. Oh, ini yang namanya Adel, pikirnya. Sekon berikutnya pemuda itu memilih untuk mengakhiri pertengkaran antara Haris dan Adel. “Udah, Ris. Tolongin dulu, takut lukanya makin infeksi. Kotor soalnya kena air got.”

“Motornya angkat dulu, Ris, ayo!”

Haris tak langsung bertindak, pemuda itu menggelengkan kepalanya seraya berkacak pinggang. “Ya Allah, Del, mentang-mentang mau ke bengkel. Sengaja banget lu rusakin dulu di motor?”

“Ris.... Udah, lah.... Lama-lama gue kejer banget, nih, kalo lo gituin terus.”

Tak berselang lama, Damar dan Ojan tiba. Tentu saja atensinya langsung tersedot menuju TKP, tempat di mana Haris dan Dhimas berdiri seraya berusaha mengangkat motor milik Adel.

“Nah, tuh, ada Ojan sama Damar. Lo tolongin temen lo aja, Ris. Motornya biar gue sama mereka yang angkat,” usul Dhimas. Namun Haris otomatis bergidik defensif, “IH, OGAH! Lu liat itu belatung menari-nari di roknya, Dhimas! Lu aja, dah, tolongin dia. Gue ngangkat motor bareng Ojan sama Damar, gue cuciin sekalian sumpah!”

Mau tak mau Dhimas menghela napasnya, ia tak punya pilihan lain. Maka Dhimas mengulurkan tangannya di hadapan Adel—ah, sebuah uluran tangan yang selalu Adelia nantikan sejak lama. Tetapi bukan yang seperti ini maksudnya.

“Ayo, gue temenin pulang!” ajak Dhimas. Di hadapannya, Adel hanya bisa menatap dengan kedua mata mengerjap dan mulut menganga. Seorang pangeran mempesona dengan pipi mochi namun rahang yang tetap tegas kini hadir di hadapannya. Bersiap membantunya untuk melanjutkan harinya yang sudah berantakan dan memalukan ini. Namun Adel buru-buru menyambut uluran tangan Dhimas, setidaknya sebelum Haris menangkap raut wajahnya yang begitu terpesona akan kehadiran pemuda di hadapannya.

Bukan modus, tapi Adel benar-benar kesakitan dan kakinya itu tak bisa digerakkan dengan sempurna. Nyaris saja ia tersungkur kembali ke dalam selokan jika saja Dhimas tak memegang tangannya dengan erat. “E—eh, pelan-pelan aja. Kaki lo sakit banget ya?”

“Haduh, gue udah nggak ngerasain kaki gue lagi, sumpah....”

“Oh—sorry kalo gitu, gue bantu nggak pa-pa?” tawar Dhimas kikuk. Sebelah tangannya masih memegang tangan Adel erat. Keduanya kini bertatapan canggung, hingga akhirnya Adel mengangguk kaku. Sekon berikutnya, Dhimas melepas tangan Adel—beralih pada pinggang ramping Adel untuk memapahnya berjalan.

Keduanya kompak menelan ludah saking canggungnya. “Ru-rumah gue yang itu,” ucap Adel, menunjuk sebuah rumah bertingkat dengan cat putih dan pagar hitam yang melindunginya. Dhimas hanya mengangguk, diam-diam ia lega karena rumah Adel tidak jauh dari tempat kejadian.

“Dikunci,” kata Dhimas. Pemuda itu tahu karena ia baru saja mencoba membuka pagarnya. Adel berdecak, “Duh, iya lagi. Lupa. Sebentar.”

Adel segera melepaskan diri dari 'rangkulan' Dhimas dan mati-matian berusaha untuk meraih ranselnya guna mengambil kunci rumah. Namun pemuda itu lagi-lagi bertingkah sebagai penyelamat.

“Sini, sini, gue ambilin. Kunci rumah lo ada di mana?” Dhimas bertanya seraya meraih ransel Adel yang nampak semakin memberatkan empunya. “Itu—di resleting yang paling depan.”

Sorry ya,” izin Dhimas. Lagi-lagi Adel hanya mengangguk. Tak menunggu lama, Dhimas menemukan kunci rumah milik Adel dan segera membukakan gerbang untuk gadis itu. Tentu saja, tak lupa kembali memapahnya dan membantunya duduk di teras rumahnya sendiri.

Hari itu, barulah Adelia merasakan bagaimana hatinya berbunga. Sebab ada seseorang yang memperlakukannya sebagaimana Gilbert memperlakukan Ivonne. Sebagaimana yang selalu ia dambakan—to be treated as a princess.

Uluran tangan pertama hari itu, Adel berharap itu bukan yang terakhir kali.

Ingar-bingar musik hits pada masanya mendominasi lapangan SMA yang ramai dipenuhi para siswa dan pendatang dari sekolah lain yang siap menonton pertandingan tim-tim favoritnya. Gedung sekolah bahkan sudah rapi terhias flyer-flyer yang suasana School Cup ini semakin meriah—hasil kerja keras Haris dan para anggota di bawah pimpinannya. Jangan ditanya kondisi pria jangkung itu. Ia sudah kesana-kemari dengan mengantungi dua buah HT di saku kanan dan kirinya. Seringkali bahkan Haris bingung mana yang berbunyi memanggilnya.

“Mana scoring board-nya? Udah diambil belom? Keluarin aja. Nanti abis pembukaan segala macem jadi tinggal geret doang!” Satu lagi instruksi Haris untuk divisi perlengkapan. Membuat dua orang lelaki di hadapannya segera melesat melaksanakan perintahnya.

Setelahnya Haris mendekatkan bibirnya pada HT, mengucapkan satu lagi instruksi untuk divisi keamanan. “Alwan, Alwan, halo?”

“Ya, Kak?”

“Lo di mana?”

“Di luar, kenapa, Kak?”

“Itu, katanya ada wasitnya yang dateng pake mobil. Coba nanti tolong dikondisikan aja ya parkirannya. Takutnya nggak muat!”

“Okeee!”

Thank you, Wan!

Sudah lelah, Haris akhirnya memilih untuk melipir sejenak menghampiri Dhimas yang berdiri di pinggir lapangan. “Ngapain lu? Bagi dong,” ucap Haris sebelum akhirnya merebut plastik es berisi minuman berperisa jeruk.

“Aus, capek banget, yak!? Gue aja udah lupa ke mana kaki gue ini melangkah,” keluh Dhimas.

“Lebay banget, tai! Melankolis lu!” cela Haris, keduanya kemudian terpingkal. “Mana si Dedek? Belom dateng juga?” tanya Dhimas, membuat Haris segera mendelik tajam.

Dedak, dedek, dedak, dedek! Tadi, sih, katanya udah jalan ke sini. Paling bentar lagi sampe,” balas Haris, “nggak tau, dah. Emang yang namanya Gia demen banget telat. Kocak!”

Dhimas mengulum senyumnya, “Yee, kalo dia nggak telat, kisah lu berdua kagak berlanjut!”

“Bener, sih,” ucap Haris lagi. “Ya udah, lah, gue tunggu dia depan gerbang aja, Dhim. Sekalian mantau gerbang.”

“Ya udah, kabarin kalo ada apa-apa.”

Haris hanya mengangguk menanggapinya. Sekon berikutnya pemuda itu segera membiarkan kaki jenjangnya membelah lapangan menuju gerbang. Haris terfokus pada langkahnya, selalu akan begitu. Namun sebuah suara mengagetkannya.

“Haris!”

Pemuda itu menoleh, menemukan sosok yang telah lama hilang dari penglihatannya. Vanessa Wulandari. Mereka bertemu kembali hari itu.

Haris mengerjapkan matanya terkejut, sementara Nessa menghampirinya dengan tergesa. “OH MY GOD, IT'S YOUUU!!!

Pemuda itu memutar badan pada akhirnya, menatap Vanessa sepenuhnya. Wah, sudah banyak yang berubah. Rambutnya kini kecokelatan dan kian panjang bergelombang, entah tinggi Vanessa bertambah atau dirinya yang kian bertambah tinggi, yang jelas gadis itu terlihat jauh lebih pendek dari terakhir kali Haris menemuinya. Raut wajah Vanessa lebih dewasa dari sebelumnya, begitu pula suaranya, dan caranya bergerak. Kali ini lebih anggun dari sebelumnya.

“Nessa?”

“Oohhh, jadi kamu sekolah di sini, Ris?” tanya Nessa. Sekon berikutnya Haris mengangguk dan terkekeh pelan. Kemudian Nessa terdiam dan menyadari kaus panitia yang Haris kenakan.

“Kamu panitia? Kamu ikut OSIS? Wah, serius? Seorang Haris ikut OSIS?”

Senyum Haris kian melebar, “Gue ketuanya malah.”

“OH!?” Nessa berseru terkejut, “how cool! Kamu apa kabar, Ris?”

“Gue—ngelewatin banyak banget hal. Tapi, gue bisa bilang kalo sekarang udah jauh lebih baik dari terakhir kali kita ketemu,” pungkas Haris.

Gadis dengan setelan kaus rajut merah muda berlogo ceri itu mengangguk paham, “I see, you also seem happier dari waktu SMP.*”

Haris melepas tawanya, “I am.

“Ojan tadi emang bilang, sih, sekolah lo ada di list peserta. Tapi gue nggak tau kalo lo bakal hadir hari ini,” ungkap Haris, memantik keterkejutan pada wajah Nessa untuk kesekian kali. “Ojan? Jauzan Narendra? Dia satu sekolah lagi sama kamu!?”

“Satu sekolah lagi, sekelas lagi, sebangku lagi. Bosen, tapi untung sekarang gue punya dua orang lagi buat nemenin gue menghadapi Ojan,” balas Haris. Seakan memberikan life update pada Vanessa setelah sekian lama tidak berjumpa.

Gadis itu tertawa di hadapannya. “Kalo hati kamu gimana urusannya? Masih kayak dulu, kah? Atau udah—”

“Wah, kalo itu.... Kayaknya gue bisa diitung udah lebih dari siap, sih. Udah jago gue sekarang, Nes,” canda Haris. Sekon berikutnya ia menghela napasnya, menenangkan diri agar tidak terlalu bersemangat lantaran menceritakan sesuatu yang berkaitan dengan pengisi hatinya. “Gue berhasil nata diri gue lagi dari awal. Mungkin karena sekarang gue juga punya temen-temen baru, jadi gue lebih bisa membuka diri, sih. Kalo lo sendiri, gimana?”

I'm still here. Waiting for you....

“Hmmm, sama aja, sih. Nggak banyak yang berubah,” balas Nessa. Dan Haris hanya menjawabnya dengan sebuah 'oh' panjang.

“Ris, aku masih—”

KAK HARISS!!

Sebuah seruan memanggil nama Haris dengan riang itu membuat ucapan Vanessa terputus. Baik gadis itu dan Haris sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Tertangkap jelas oleh kedua mata Nessa bahwa Haris melambai dengan semangat pada gadis dengan setelan kaus putih bergambar beruang dengan celana berwarna sage green itu.

“Nes, nanti lagi ya ngobrolnya. Cewek gue udah dateng,” ucap Haris. Gestur tubuhnya resmi berubah. Sebelumnya Haris sangat-sangat tenang, namun kini pria itu terlihat seperti sedang kebelet pipis, tak tahan ingin buru-buru lari. Maka Nessa tak punya pilihan lain selain mengangguk, melepaskannya.

“Bye, Nes!”

“Anggi!!!! Kangen banget!” Persetan dengan pandangan orang-orang, Haris berlari secepat kilat menghampiri Gia yang berlari-lari kecil menghampirinya. Haris tidak membual saat mengatakan bahwa ia merindukan Gia. Sebab sudah menjadi kebiasaannya ketika sedang mengurus event OSIS, pemuda itu pasti tidak akan sempat bertemu dan mengabari Gia. Dan itu terjadi selama beberapa bulan ini.

Vanessa menyaksikan semuanya dengan jelas. Rupanya Haris yang dulu sudah benar-benar hilang. Tergantikan dengan Haris yang selalu bersemangat, ceria, berwibawa, dan selalu mengarungi dunia dengan hatinya yang terbuka—pada orang lain.

Nessa mengerjapkan mata ketika merasakan air mata mulai menggenang di pelupuknya. Bagaimana tidak? Hatinya remuk, melihat ada seseorang lain yang mendapatkan sesuatu yang selalu ia dambakan sejak dulu. Lambaian tangan Haris, tatapan penuh cinta dari Haris, ungkapan-ungkapan rindu dari Haris, juga pelukan hangat dan puk-puk di kepala dari Haris.

“Jangan nangis, Nessa. Orang kayak Haris nggak pantes kamu tangisin.”

Yang bisa Vanessa lakukan hanyalah terus memberi sugesti pada dirinya sendiri. Bahwa Haris tidak pantas ia tangisi, bahwa dirinya lengkap tanpa Haris, dan dirinya bisa melanjutkan hidup tanpa Haris.

Kamu kenapa nggak makan dulu, sih, Gi?

Nggak mauu, nanti kelamaan, Kakk!

Astagaa, ya udah ayo makan dulu. Aku temenin!

Samar-samar Nessa mendengar percakapan Haris dengan kekasihnya. Kalau Nessa tidak salah salah dengar, namanya Anggi. Siapapun itu, Nessa tahu pasti bahwa Anggi adalah seseorang yang tak akan pernah bisa ia kalahkan. Sebab usaha sekeras apapun rasanya tak akan pernah mengalahkan orang yang tepat di waktu yang tepat.

Nessa masih memandangi Haris dan Anggi yang menjauh. Serta bagaimana tangan keduanya bertautan, bagaimana Haris menukar posisi berjalan agar Anggi tetap aman, bagaimana Haris menjahili pujaan hatinya dengan mencengkram kepalanya gemas dengan satu tangan—Vanessa mengerti sekarang. Haris jelas menemukan peran yang harus ia isi dalam hidup Anggi. Peran yang Haris bilang, tak akan pernah ia temukan dalam hidup Vanessa.

Mungkin Haris benar, Vanessa harusnya meninggalkan Haris sejak lulus SMP. Sebab pemuda itu pun benar-benar melakukannya. Hari ini Vanessa resmi menyerah. Ia benar-benar bertekad untuk meninggalkan Haris di tempatnya berdiri, dan tak lagi membawa memori perihal pemuda itu di dalam hati dan pikirannya.

Pun, Nessa mengucapkan selamat pada seseorang yang berhasil memenangkan hati Haris— . . . . . . . —yang tak akan pernah menjadi miliknya. Sampai kapanpun.

Ingar-bingar musik hits pada masanya mendominasi lapangan SMA yang ramai dipenuhi para siswa dan pendatang dari sekolah lain yang siap menonton pertandingan tim-tim favoritnya. Gedung sekolah bahkan sudah rapi terhias flyer-flyer yang suasana School Cup ini semakin meriah—hasil kerja keras Haris dan para anggota di bawah pimpinannya. Jangan ditanya kondisi pria jangkung itu. Ia sudah kesana-kemari dengan mengantungi dua buah HT di saku kanan dan kirinya. Seringkali bahkan Haris bingung mana yang berbunyi memanggilnya.

“Mana scoring board-nya? Udah diambil belom? Keluarin aja. Nanti abis pembukaan segala macem jadi tinggal geret doang!” Satu lagi instruksi Haris untuk divisi perlengkapan. Membuat dua orang lelaki di hadapannya segera melesat melaksanakan perintahnya.

Setelahnya Haris mendekatkan bibirnya pada HT, mengucapkan satu lagi instruksi untuk divisi keamanan. “Alwan, Alwan, halo?”

“Ya, Kak?”

“Lo di mana?”

“Di luar, kenapa, Kak?”

“Itu, katanya ada wasitnya yang dateng pake mobil. Coba nanti tolong dikondisikan aja ya parkirannya. Takutnya nggak muat!”

“Okeee!”

Thank you, Wan!

Sudah lelah, Haris akhirnya memilih untuk melipir sejenak menghampiri Dhimas yang berdiri di pinggir lapangan. “Ngapain lu? Bagi dong,” ucap Haris sebelum akhirnya merebut plastik es berisi minuman berperisa jeruk.

“Aus, capek banget, yak!? Gue aja udah lupa ke mana kaki gue ini melangkah,” keluh Dhimas.

“Lebay banget, tai! Melankolis lu!” cela Haris, keduanya kemudian terpingkal. “Mana si Dedek? Belom dateng juga?” tanya Dhimas, membuat Haris segera mendelik tajam.

Dedak, dedek, dedak, dedek! Tadi, sih, katanya udah jalan ke sini. Paling bentar lagi sampe,” balas Haris, “nggak tau, dah. Emang yang namanya Gia demen banget telat. Kocak!”

Dhimas mengulum senyumnya, “Yee, kalo dia nggak telat, kisah lu berdua kagak berlanjut!”

“Bener, sih,” ucap Haris lagi. “Ya udah, lah, gue tunggu dia depan gerbang aja, Dhim. Sekalian mantau gerbang.”

“Ya udah, kabarin kalo ada apa-apa.”

Haris hanya mengangguk menanggapinya. Sekon berikutnya pemuda itu segera membiarkan kaki jenjangnya membelah lapangan menuju gerbang. Haris terfokus pada langkahnya, selalu akan begitu. Namun sebuah suara mengagetkannya.

“Haris!”

Pemuda itu menoleh, menemukan sosok yang telah lama hilang dari penglihatannya. Vanessa Wulandari. Mereka bertemu kembali hari itu.

Haris mengerjapkan matanya terkejut, sementara Nessa menghampirinya dengan tergesa. “OH MY GOD, IT'S YOUUU!!!

Pemuda itu memutar badan pada akhirnya, menatap Vanessa sepenuhnya. Wah, sudah banyak yang berubah. Rambutnya kini kecokelatan dan kian panjang bergelombang, entah tinggi Vanessa bertambah atau dirinya yang kian bertambah tinggi, yang jelas gadis itu terlihat jauh lebih pendek dari terakhir kali Haris menemuinya. Raut wajah Vanessa lebih dewasa dari sebelumnya, begitu pula suaranya, dan caranya bergerak. Kali ini lebih anggun dari sebelumnya.

“Nessa?”

“Oohhh, jadi kamu sekolah di sini, Ris?” tanya Nessa. Sekon berikutnya Haris mengangguk dan terkekeh pelan. Kemudian Nessa terdiam dan menyadari kaus panitia yang Haris kenakan.

“Kamu panitia? Kamu ikut OSIS? Wah, serius? Seorang Haris ikut OSIS?”

Senyum Haris kian melebar, “Gue ketuanya malah.”

“OH!?” Nessa berseru terkejut, “how cool! Kamu apa kabar, Ris?”

“Gue—ngelewatin banyak banget hal. Tapi, gue bisa bilang kalo sekarang udah jauh lebih baik dari terakhir kali kita ketemu,” pungkas Haris.

Gadis dengan setelan kaus rajut merah muda berlogo ceri itu mengangguk paham, “I see, you also seem happier dari waktu SMP.*”

Haris melepas tawanya, “I am.

“Ojan tadi emang bilang, sih, sekolah lo ada di list peserta. Tapi gue nggak tau kalo lo bakal hadir hari ini,” ungkap Haris, memantik keterkejutan pada wajah Nessa untuk kesekian kali. “Ojan? Jauzan Narendra? Dia satu sekolah lagi sama kamu!?”

“Satu sekolah lagi, sekelas lagi, sebangku lagi. Bosen, tapi untung sekarang gue punya dua orang lagi buat nemenin gue menghadapi Ojan,” balas Haris. Seakan memberikan life update pada Vanessa setelah sekian lama tidak berjumpa.

Gadis itu tertawa di hadapannya. “Kalo hati kamu gimana urusannya? Masih kayak dulu, kah? Atau udah—”

“Wah, kalo itu.... Kayaknya gue bisa diitung udah lebih dari siap, sih. Udah jago gue sekarang, Nes,” canda Haris. Sekon berikutnya ia menghela napasnya, menenangkan diri agar tidak terlalu bersemangat lantaran menceritakan sesuatu yang berkaitan dengan pengisi hatinya. “Gue berhasil nata diri gue lagi dari awal. Mungkin karena sekarang gue juga punya temen-temen baru, jadi gue lebih bisa membuka diri, sih. Kalo lo sendiri, gimana?”

I'm still here. Waiting for you....

“Hmmm, sama aja, sih. Nggak banyak yang berubah,” balas Nessa. Dan Haris hanya menjawabnya dengan sebuah 'oh' panjang.

“Ris, aku masih—”

KAK HARISS!!

Sebuah seruan memanggil nama Haris dengan riang itu membuat ucapan Vanessa terputus. Baik gadis itu dan Haris sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Tertangkap jelas oleh kedua mata Nessa bahwa Haris melambai dengan semangat pada gadis dengan setelan kaus putih bergambar beruang dengan celana berwarna sage green itu.

“Nes, nanti lagi ya ngobrolnya. Cewek gue udah dateng,” ucap Haris. Gestur tubuhnya resmi berubah. Sebelumnya Haris sangat-sangat tenang, namun kini pria itu terlihat seperti sedang kebelet pipis, tak tahan ingin buru-buru lari. Maka Nessa tak punya pilihan lain selain mengangguk, melepaskannya.

“Bye, Nes!”

“Anggi!!!! Kangen banget!” Persetan dengan pandangan orang-orang, Haris berlari secepat kilat menghampiri Gia yang berlari-lari kecil menghampirinya. Haris tidak membual saat mengatakan bahwa ia merindukan Gia. Sebab sudah menjadi kebiasaannya ketika sedang mengurus event OSIS, pemuda itu pasti tidak akan sempat bertemu dan mengabari Gia. Dan itu terjadi selama beberapa bulan ini.

Vanessa menyaksikan semuanya dengan jelas. Rupanya Haris yang dulu sudah benar-benar hilang. Tergantikan dengan Haris yang selalu bersemangat, ceria, berwibawa, dan selalu mengarungi dunia dengan hatinya yang terbuka—pada orang lain.

Nessa mengerjapkan mata ketika merasakan air mata mulai menggenang di pelupuknya. Bagaimana tidak? Hatinya remuk, melihat ada seseorang lain yang mendapatkan sesuatu yang selalu ia dambakan sejak dulu. Lambaian tangan Haris, tatapan penuh cinta dari Haris, ungkapan-ungkapan rindu dari Haris, juga pelukan hangat dan puk-puk di kepala dari Haris.

“Jangan nangis, Nessa. Orang kayak Haris nggak pantes kamu tangisin.”

Yang bisa Vanessa lakukan hanyalah terus memberi sugesti pada dirinya sendiri. Bahwa Haris tidak pantas ia tangisi, bahwa dirinya lengkap tanpa Haris, dan dirinya bisa melanjutkan hidup tanpa Haris.

Kamu kenapa nggak makan dulu, sih, Gi?

Nggak mauu, nanti kelamaan, Kakk!

Astagaa, ya udah ayo makan dulu. Aku temenin!

Samar-samar Nessa mendengar percakapan Haris dengan kekasihnya. Kalau Nessa tidak salah salah dengar, namanya Anggi. Siapapun itu, Nessa tahu pasti bahwa Anggi adalah seseorang yang tak akan pernah bisa ia kalahkan. Sebab usaha sekeras apapun rasanya tak akan pernah mengalahkan orang yang tepat di waktu yang tepat.

Nessa masih memandangi Haris dan Anggi yang menjauh. Serta bagaimana tangan keduanya bertautan, bagaimana Haris menukar posisi berjalan agar Anggi tetap aman, bagaimana Haris menjahili pujaan hatinya dengan mencengkram kepalanya gemas dengan satu tangan—Vanessa mengerti sekarang. Haris jelas menemukan peran yang harus ia isi dalam hidup Anggi. Peran yang Haris bilang, tak akan pernah ia temukan dalam hidup Vanessa.

Mungkin Haris benar, Vanessa harusnya meninggalkan Haris sejak lulus SMP. Sebab pemuda itu pun benar-benar melakukannya. Hari ini Vanessa resmi menyerah. Ia benar-benar bertekad untuk meninggalkan Haris di tempatnya berdiri, dan tak lagi membawa memori perihal pemuda itu di dalam hati dan pikirannya.

Pun, Nessa mengucapkan selamat pada seseorang yang berhasil memenangkan hati Haris— . . . . . . . —yang tak akan pernah menjadi miliknya. Sampai kapanpun.