raranotruru

Haris's POV

Gue berdiri di lapangan voli sebagai penjuru dari barisan OSIS yang lebih banyak dari MPK. Wajah gue berhadapan sama Dhimas yang berbaris di seberang lapangan, berdekatan dengan wall climbing. Gue tau banget, tuh, dia pasti juga lagi nahan tawanya kayak yang gue lakuin sekarang. Gimana enggak? Biasanya kita ini cuma anak-anak recet, bandel, dan tengil, sekarang tiba-tiba dapet tanggung jawab untuk mimpin dua organisasi yang seakan jadi pondasi sekolah.

Awalnya gue sama Dhimas sama-sama nolak, ogah. Tapi setelah apa yang Gia bilang dan apa yang Aghni sampein ke Dhimas, kita berdua jadi.... Ya udah, lah. Dijalanin aja, kalo kata Ojan, Ini udah waktunya gue bersinar.

Masih lucu sejujurnya kalo dipikir-pikir, gimana pada akhirnya gue sampe di titik ini barengan sama temen-temen gue. Damar yang juga mimpin ekskul futsal, Ojan yang mimpin basket, dan Dhimas yang berada di posisi paling tinggi. Gue tau ini nggak akan mudah, mengingat banyak orang juga yang dari awal udah gedeg sama kita berempat, tapi gue sangat bersyukur karena kita berempat—sama-sama berjaya.

Upacara hari ini bakal berbeda banget. Hari ini gue nggak pake topi, melainkan pake almet OSIS yang belum lama ini badge jabatannya gue ganti. Dari Sekbid. Kepribadian dan Budi Pekerti Luhur, jadi—Ketua OSIS. Strange, isn't it?

Menurut gue, terkenal itu udah cukup jadi tupoksinya Damar. Dia dengan segala tutur katanya yang lemah lembut, pikirannya yang dewasa, perawakannya yang nyaris sempurna, otaknya yang juga kayak diwariskan oleh seorang ilmuwan—Damar punya segala komposisi yang mendukung dia untuk ngejalanin hidup sebagai seorang karakter utama. Sementara gue?

Keluarga gue sempet berantakan, bokap gue sempet ngilang lama banget dari kehidupan gue, anger issues, public enemy, belom lagi gue pernah diskors pula. Instead of being the main character, gue justru lebih cocok jadi pembunuh bayaran.

Tapi persepsi gue berubah tadi malam. Gue sadar bahwa karakter utama, itu bukan hanya yang sempurna dan baik-baik aja. Tergantung genre film yang lo tonton, atau cerita yang lo baca. Lagian, di hidup yang bahkan dibilang panggung sandiwara ini, semuanya nggak bisa dilihat cuma dari satu sisi. Takes a lot to change someone, butuh banyak banget faktor pendukung juga untuk membentuk seseorang menjadi seseorang yang lo liat di depan mata lo sekarang.

Malam sebelum gue tidur, gue sadar bahwa—karakter utama itu terbentuk sebagaimana si penulis membuat ceritanya. Dan di hidup gue, gue penulisnya. Gue yang menentukan sendiri mau ke mana arah cerita gue, gue yang menentukan sendiri akan jadi karakter seperti apa diri gue nantinya. Karena Hanum sering baca novel, gue jadi nemu banyak referensi bacaan. Yang gue tau, ada yang dimulai dengan alur yang tenang dengan build up hingga penyelesaian di akhir, ada yang dimulai dengan alur yang emang udah ganas dari awal.

Tapi, satu lagi yang gue tau, bahwa ada satu hal yang paling penting untuk dimiliki sama para karakter utama. Yaitu perkembangan karakter.

Mungkin di awal cerita gue, Tuhan ngasih modal kepribadian yang emang pantes dihujat. Gue suka marah-marah, gue galak, gue suka bikin orang lain sakit hati pake tutur kata gue, dan lain-lain. Tapi, untungnya Tuhan juga ngasih gue para karakter pendukung yang bisa mengantarkan gue pada sebuah perkembangan karakter. Gue punya Mama, Hanum, Damar, Dhimas, Ojan, dan sekarang.... Papa, alongside with Gia.

Dari Mama, gue belajar untuk berdiri di kaki sendiri. Gimana caranya jadi diri lo yang seutuhnya, how to stand tall—sturdily. Dari Hanum, gue belajar banyak soal kedewasaan dan gimana caranya untuk nggak terjebak di masa lalu. Dari Damar, Dhimas, dan Ojan, gue belajar kalo hidup juga perlu yang namanya main-main. Belajar itu nggak perlu selamanya serius, karena sains juga membuktikan kalo lo bisa belajar sesuatu bahkan cuma dari apel yang nggak sengaja jatuh.

Dari Papa, gue belajar kalo setiap orang pantas untuk dapat kesempatan kedua. Papa juga ngajarin gue untuk berani ngambil risiko, juga untuk berani mendewasakan diri buat selalu mengakui kesalahan dan minta maaf—as for me, memaafkan.

Nah, dari Gia, gue belajar banyak. Si bocah mungil yang suka banget kucing ini ngajarin gue kalo—tangguh, nggak selamanya berarti kita harus keras sama diri sendiri. Anggia, tuh, lembut banget anaknya. Gue yakin banyak orang yang ngira kalo dia tuh cengeng dan lemah. Tapi kalo diliat dari deket, Gia justru lebih dewasa dari gue. Gia tau caranya manage emosinya dengan baik, Gia juga tau caranya nggak berkhianat sama dirinya sendiri. Padahal, kalo dipikir-pikir, kehidupannya juga nggak jauh beda sama gue.

Gia sering sendirian di rumah karena mamanya sibuk kerja dan papanya jauh banget di Kalimantan, Gia cuma punya Om Agung yang juga cukup jarang ada di rumah. Tapi Gia nggak banyak komplain, Gia nggak banyak protes dan nggak banyak marah sama kehidupan yang dia jalanin. Gia cuma butuh satu karakter pendukung yang bisa bikin dia dapetin perkembangan karakternya, bahkan kayaknya dia cuma butuh dirinya sendiri. Nggak kayak gue, yang udah dapet banyak karakter pendukung, tapi tetep lama banget nemuin perkembangan karakternya.

Dari Gia, gue belajar kalo kekuatan dan kelembutan dalam hidup ini, tuh, harus selaras. Gue belajar juga untuk mencintai—diri gue sendiri dan orang lain. Gia dengan segala sikap dan kepribadiannya selalu bikin gue inget akan satu hal yang udah mulai ditinggalkan oleh banyak manusia. Kasih sayang, juga belas kasihan. Hati lo nggak boleh mati kalo lo mau tetep hidup. Jantung mungkin mompa darah setiap hari dan bikin lo 'berfungsi' sebagaimana mestinya, tapi kalo hati lo mati, lo cuma akan hidup kayak robot. Semua jadi nggak terasa maknanya, hidup lo jadi terasa berat dan—hampa.

Terlalu nyaman bengong, gue sampe nggak sadar kalo sekarang upacara udah selesai. Itu artinya sekarang giliran gue, Dhimas, dan temen-temen gue yang lain untuk dilantik. Karena suara gue berat, otomatis gue diincer buat jadi penjuru dan ngasih aba-aba. Malu banget sejujurnya, anjir. Tapi ya udah, bodo amat, gue ganteng.

Pasukan gue dan Dhimas bertemu di tengah lapangan, jujur, ini pasti keren banget, tai! Dengan Dhimas yang megang bendera merah putih, sementara gue megang bendera OSIS, kami berhadapan. Bendera yang sama-sama kami sanggah di perut itu saling bertemu, seakan-akan memberi salam untuk satu sama lain—mewakili salam gue dan Dhimas yang pasti akan berbunyi, JAKH, KETUA KETUAAN!

Ini bendera berat banget jujur, tapi ya udah, ini doang yang bikin mahal pertunjukan soalnya. Terus udah, nih, gue sama Dhimas disumpah jabatan. Ditanya siap nggak, siap nggak, gue sama Dhimas nyaut aja siap, siap. Biar cepet kelar. Kata Damar, dosa kalo nggak beneran sumpah-sumpahnya. Bodo, lah. Lu cobain sini, Dam, megang bendera beginian. Kalo nggak oleng tuh badan ceking lu....

Abis selesai sumpah, untung Kak Vio dan Kak Bayu ngambil bendera gue dan Dhimas—dipegangin doang bentar soalnya gue sama Dhimas harus tanda tangan dulu. Biar resmi, lah, intinya, sebagai ketua OSIS & MPK periode baru. Selesai. Tapi sebelum gue balik lagi ke tempat semula, ketua-ketua ekskul juga dipanggilin untuk ikutan diresmikan sebagai ketua pengurus yang baru. Ini, adalah part yang bikin gue merinding.

Kak Yuna sebagai MC ulung, kembali menyebutkan nama-nama pengurus baru. Dimulai dari Dhimas.

“Ketua MPK, Dhimas Wijaya.”

“Ketua OSIS, Muhammad Haris.”

Wah, ngedengerin itu aja.... Bener kata Gia, gue juga harusnya bangga sama diri gue sendiri. Gue harusnya bangga karena udah berhasil sampai sejauh ini. Haris yang dulu mungkin udah cukup sibuk memperbagus dirinya sendiri, mungkin sekarang saatnya untuk Haris yang lebih baru ini untuk turut memperbagus orang-orang di bawah naungannya. Sebagai pemimpin.

“Ketua Ekstrakurikuler Futsal, Yudhistira Damar.”

“Ketua Ekstrakurikuler Basker, Jauzan Narendra.”

Dua temen gue ikut disebutkan lagi, dan percaya atau enggak, ini berhasil bikin gue berkaca-kaca. Seakan hari ini nggak ada lagi Petantang-Petenteng yang kerjanya cuma main-main, nggak ada lagi Petantang-Petenteng yang kerjanya cuma nerima protes karena keusilan Ojan, nggak ada lagi Petantang-Petenteng yang kerjanya full petantang-petenteng. Lo tau? Hari ini rasanya kayak disapa sama Petantang-Petenteng yang lebih baru, yang lebih dewasa, dan yang lebih tau tujuan hidupnya.

Selesai nama Ojan disebut dan kita kembali ke barisan awal untuk pada akhirnya bubar jalan, gue yakin kalo abis ini gue nggak akan takut apapun lagi. Akan gue jalanin semuanya barengan sama ketiga temen gue—tapi tetep, sambil main. Sambil tetep having fun.

Upacara bendera sekaligus serah terima jabatan dinyatakan selesai. Semua peserta didik dipersilakan meninggalkan lapangan. Semuanya auto bubar, kecuali gue dan Dhimas yang langsung lari ke tengah lapangan. Tos-tosan, peluk-pelukan, kata-kataan.

“Dongo banget tiba-tiba jadi ketua OSIS!” ucap Dhimas, lah, dia lebih dongo berarti karena jabatannya lebih tinggi dari gue. Gimana, sih?

“LU, LAH! Nggak ada angin, nggak ada ujan, jadi ketua MPK!” balas gue.

“Enggak, ege, ini semua gara-gara mulut berbisanya Damar, makanya kita kepilih,” timpal Dhimas lagi. Nggak perlu nunggu lama-lama untuk gue ngeluarin jawaban gue, “Iya, anjrit! Setuju!”

Sementara Dhimas sibuk ngibas-ngibasin almetnya gerah, gue curi-curi kesempatan untuk nyari Gia di tengah-tengah lapangan yang isinya orang pada sibuk foto. Nggak lama, mata gue menangkap si manusia jelmaan marshmellow ini baru selesai foto sama Zahra. Mungkin dia sadar diliatin, jadi dia juga balas tatapan gue. Sepersekian detik, bola mata cokelatnya melebar sebelum akhirnya menyipit membentuk bulan sabit.

Ya elah, si Kalila satu ini emang beneran minta disayang banget.

Gue balas senyum tipis—nggak sempet lama-lama karena abis itu Ojan nyodok dagu gue. Maksudnya mau meluk, tapi karena kelakuannya yang beneran mirip kucing garong, tangannya jadi nubruk muka gue juga.

“WIS, WIS, WISSS, KETOS KETOS!!” seru Damar. “Bener, kan, kata gue? Sertijab lo berdua, tuh, seruan pake bendera!” ucapnya lagi.

Gue ketawa tapi sebel, “Berat, anjing!”

“TAU LU, DAM! COBAIN, DAH, LU TENTENG TU BENDERA!” Dhimas menimpali, “gue ngeri pingsan doang dari tadi, demi Allah, dah!”

Setelahnya Ojan ngejawil dagu Dhimas iseng, “Jangan marah-marah mulu dong, KETUMPEK-ku cinta!”

Tawa kita bertiga meledak bersamaan, “Jelek banget, anjay, KETUMPEK!”

“Jelekan Ojan lah, KEBAS dia. Ketua Basket,” ucap gue, yang segera ditimpali lagi oleh Dhimas. “JAKH, KEBAS! TANGAN KALI, AH, KEBAS!”

Ojan mengerucutkan bibir, “Dari pada Damar, KEPUT! Ketua Putsal

'“Mana ada, dih, orang pake huruf f!”

“Ya, siapa tau yang ngomong orang Sunda? Huruf f jadi p gitu yeh!”

Suka-suka lu dah, Jan. Pimpin dunia ini sesuka lu, Jan.

Tanpa sadar, dari tadi ternyata kita berempat saling rangkul dan membentuk sebuah lingkaran tepat di tengah lapangan. Biarin, lah, orang mau bilang apa. Terserah mereka mau menganggap kita gimana. Yang jelas, gue, Dhimas, Damar, dan Ojan mau menikmati dulu momen yang bakal jadi cerita turun temurun buat anak-cucu nanti. Momen yang nggak bakal bisa terulang lagi.

Hari ini rasanya jadi momentum kebanggaan untuk banyak orang. Buat Kak Vio dan Kak Bayu yang udah berhasil menamatkan masa jabatannya dengan baik, buat gue dan Dhimas yang baru akan mulai berjalan, buat Damar yang akhirnya bisa menempatkan wibawanya di tempat yang tepat, juga buat Ojan yang akhirnya punya kesempatan untuk menunjukkan sisi lain dirinya ke dunia ini.

Pokoknya hari ini, kita bintang utamanya, kita karakter utamanya. Hari ini, dunia milik kita.

Haris's POV

Gue berdiri di lapangan voli sebagai penjuru dari barisan OSIS yang lebih banyak dari MPK. Wajah gue berhadapan sama Dhimas yang berbaris di seberang lapangan, berdekatan dengan wall climbing. Gue tau banget, tuh, dia pasti juga lagi nahan tawanya kayak yang gue lakuin sekarang. Gimana enggak? Biasanya kita ini cuma anak-anak recet, bandel, dan tengil, sekarang tiba-tiba dapet tanggung jawab untuk mimpin dua organisasi yang seakan jadi pondasi sekolah.

Awalnya gue sama Dhimas sama-sama nolak, ogah. Tapi setelah apa yang Gia bilang dan apa yang Aghni sampein ke Dhimas, kita berdua jadi.... Ya udah, lah. Dijalanin aja, kalo kata Ojan, Ini udah waktunya gue bersinar.

Masih lucu sejujurnya kalo dipikir-pikir, gimana pada akhirnya gue sampe di titik ini barengan sama temen-temen gue. Damar yang juga mimpin ekskul futsal, Ojan yang mimpin basket, dan Dhimas yang berada di posisi paling tinggi. Gue tau ini nggak akan mudah, mengingat banyak orang juga yang dari awal udah gedeg sama kita berempat, tapi gue sangat bersyukur karena kita berempat—sama-sama berjaya.

Anggia's POV

Today's a big day, untuk Kak Haris, sih—untuk kandidat-kandidat lain juga tentunya. Nantinya semua orang disuruh untuk ngumpul di lapangan. Kak Vio, dari tadi pagi kulihat udah sibuk mondar-mandir—gelar terpal untuk semua peserta didik duduk, mastiin sound system berfungsi dengan baik, mastiin kandidat semuanya terkumpul, jemput kepala sekolah dari ruangannya, dan lain-lain yang nggak aku saksikan.

Ya, gimana mau nyaksiin Kak Vio kalo mataku cuma tertuju ke satu orang? Seorang Kak Haris yang keberadaannya bener-bener terlihat bersinar even dari lantai tiga. Satu hal dari Kak Haris yang selalu berhasil bikin aku salut adalah—ucapannya selalu bisa dipegang. Kak Haris nggak pernah bohong. Kak Haris selalu konsisten sama ucapannya.

Kayak tadi pagi, Kak Haris tetep nemuin aku di gerbang sesuai yang dia bilang di chat semalam. Padahal, semua orang juga tahu, kalau semua kandidat pagi itu nggak boleh ke mana-mana dan harus stay di ruang OSIS. I'm not gonna lie, those things that he did, makes my heart flutter even more.

Seseorang membuat dirinya jadi pusat perhatian lewat suara yang tersalurkan dari sound system sekolah, memanggil semua peserta didik untuk kumpul di lapangan dan mengisi tempat di terpal yang kini menutupi lapangan. Sumpah, aku yang tadinya biasa aja jadi ikut deg-degan ngeliat audiens yang begitu banyak.

Got me thinking, Kak Haris harus orasi, nyampain visi misinya beserta slogan kampanyenya, di depan orang sebanyak ini? Tuhan, kalau aku jadi dia, mungkin warna asli kulitku udah nggak terlihat lagi karena pasti akan berubah sangat pucat.

But this is Kak Haris that we're talking about. Aku bahkan nggak tau apakah dia punya ketakutan dalam dirinya. Well, yeah, pasti ada, tapi berdiri di hadapan publik dan mengambil alih semua atensi—bukan salah satunya.

Sekarang aku duduk di sebelah Zahra, yang dari tadi bersikeras nyeret aku ke tengah—tepat di hadapan mimbar tempat pembina upacara biasanya memberi amanat upacara—yang hari ini akan jadi tempat kandidat memaparkan visi misinya. Kata Zahra, biar bisa liat Kak Haris dengan sangat-sangat jelas. Kata Zahra lagi, sayang kalo nggak diperhatiin dan dilihat secara seksama, soalnya pasti hari ini Kak Haris ganteng banget dengan almet OSIS-nya.

Kak Yuna memulai acara, membukanya dengan sapaan dan salam hormat untuk kepala sekolah dan guru-guru yang turut menyaksikan bibit-bibit unggul didikan mereka yang hari ini akan berebut menarik perhatian. Aku lihat sekilas guru-guru yang duduk di paling belakang, di bangku khusus yang disediakan sama para pengurus OSIS. Tatapan mereka berbinar banget, penuh harapan, penuh kebanggaan. Jelas, lah, siapa yang nggak bangga lihat 'anak-anak'-nya sampai pada tahap ini?

Kak Yuna melanjutkan bicaranya, ngejelasin sistematika pemaparan hari ini yang ternyata akan dimulai dari kandidat ketua OSIS, lalu MPK. Masing-masing terdiri dari empat kandidat ketua yang akan memulai pemaparan sesuai nomor urutnya.

Omong-omong soal Kak Haris, aku belum liat dia lagi. Kak Haris belum bergabung sama kandidat-kandidat lain yang sekarang udah terkumpul di koridor. Bikin aku penasaran about his look today karena dari tadi, dia belum pake almetnya. Masih pake seragam biasa.

Funny thing is, ini akan jadi kejutan banget buat aku. Karena aku bener-bener nggak tau visi-misinya Kak Haris itu apa, gimana slogannya, gimana bentuk posternya, urutannya nomor berapa, bahkan penampilannya kayak apa aja, aku nggak tau. I'm totally clueless. Alwan juga pelit—nggak mau ngasih tau apa-apa, mungkin disuruh Kak Haris.

Sejujurnya aku ngerasa bersalah banget karena nggak bantu apa-apa. Kak Haris juga tau itu, tapi tadi pagi dia bilang kalau perkampanyean ini urusan dia dan anak-anak OSIS—tim suksesnya, lebih tepatnya. He said that i just have to be there, as his serotonin booster and that's more than enough. Aaaand guess who's devastated by those saying? Yep, me!”

Speaking of the devil, aku denger bisik-bisik dari kanan, kiri, depan, bahkan belakang ketika seseorang memasuki koridor dan menyerahkan gulungan kertas sisa ke tangan Alwan. Itu Kak Haris, baru turun dari tangga—mungkin baru selesai nempelin posternya sendiri. Gosh, he got me smiling from ear to ear just by—being there.

Kak Haris akhirnya gabung ke barisan kandidat ketua OSIS sambil memakai almetnya yang ternyata dari tadi dititipin ke Kak Dhimas. Those two besties, aku bener-bener nggak tau apa yang ada di kepalanya. Bahkan pada saat menegangkan untuk keduanya kayak hari ini, mereka masih bisa bercanda. But i'm glad, soalnya Kak Haris selalu nunjukin senyum terbaiknya kalau lagi sama temen-temennya.

Sekarang giliran kandidat pertama yang memaparkan visi misinya. Bukan Kak Haris, tapi aku tetep merhatiin. Lumayan buat pertimbangan pilihan kandidat walaupun udah jelas juga aku akan milih siapa, hehehe. Di sebelahku, Zahra nggak berhenti-henti ngomentarin kandidat pertama ini. Terlalu kaku, lah, visinya terlalu biasa, lah, otoriter, lah. Kayaknya bener kata Alwan, Zahra emang ratu gosip.

Kandidat pertama selesai dengan pemaparannya, selanjutnya Kak Yuna ambil alih lagi untuk mempersembahkan kandidat selanjutnya. Nomor dua, yang ternyata.... Kak Haris.

Suasana di lapangan langsung berubah as soon as Kak Haris naik ke mimbar. Terdengar sorakan-sorakan dari hampir semua orang yang hadir di lapangan hari ini, apalagi Kak Ojan dan Kak Aghni. Dua-duanya terus-menerus neriakin dukungan buat Kak Haris.

“HARISNYA SATU PENDUKUNGNYA SATU—EH SALAH, HARISNYA SATU PENDUKUNGNYA BANYAK!!”

“HARIS, I LOVE YU PUOOLL!!!”

“HARIS, JAYA JAYA JAYA!!”

“WE LOVE YOU HAAAARISSSS, WE DOOOO!!!”

Barusan itu Kak Ojan, yang nggak pernah berhenti bikin siapapun yang denger ucapannya atau lihat tingkahnya ikutan ketawa. Bahkan Kak Haris yang tadinya udah siap buat bicara di depan aja jadi harus nundukin kepala karena nggak bisa nahan ketawa ngeliat ulah temennya yang satu itu. “Makasih, makasih, tapi boleh di-stop dulu aja ya, kayaknya. Saya pemaparan dulu,” ucap Kak Haris dari mimbar yang langsung tertuju ke Kak Ojan di sisi kanan lapangan—yang selanjutnya dibalas acungan jempol sama Kak Ojan.

“Oke, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!” Kak Haris mengawali orasinya. Membuat semua mata tertuju ke arahnya. Ah, i swear to God, nothing comes close to this spesific view i'm seeing right now. Kak Haris with his slick back hair, bright handsome face, not to mention tubuhnya yang tinggi tegap—makin gagah dengan almet OSIS yang tersemat rapi, tatapannya nyalang membalas semua mata yang menatap ke arahnya, suara baritonnya—nggak bergetar sama sekali. I told you, Kak Haris nggak pernah takut.

Di depan sana, Kak Haris terlihat bersinar. Nampak seperti seorang karakter utama dalam kisah cinta remaja yang suka Zahra gembar-gemborkan dan rekomendasikan ke aku. Dengan lancar Kak Haris memaparkan visi misinya, nggak kecepetan, nggak terlalu lama juga. Semuanya jelas disampaikan dengan bahasa dan tutur kata yang apik. Aku.... Bangga banget. Aku tau Kak Haris capek banget nyiapin ini semua dalam waktu singkat. Dia ngorbanin banyak hal untuk nyiapin ini aja. Bahkan Kak Haris bilang dia sampe nggak sempet pegang HP, sampe Hanum aja nggak bisa dia jemput selama persiapannya untuk kampanye.

But seeing him doing this great—perfect, makes me so proud. Feels like those sleepless night and exhausting days for him have been paid off. Kalaupun Kak Haris nggak menang pada akhirnya, i would still be proud. Tapi—dengerin semua sorakan dari fans-fans-nya Kak Haris yang mendadak merajalela hari ini, mungkinkah dia nggak menang?

Pemaparan visi-misi Kak Haris akhirnya selesai juga. Kalau aku yang jadi Kak Haris, pasti nggak akan fokus. Soalnya suasana bener-bener ramai saat Kak Haris pemaparan, semua orang bersorak setiap Kak Haris selesai membacakan satu poin visi-misinya. But then again, this is Kak Haris that we're talking about. He obviously nailed it.

Kak Haris basa-basi sedikit sebelum mengakhiri pemaparannya. Minta dukungan ke semua audiens untuk milih dia—aku yakin yang satu ini cuma pencitraan, karena dia bilang sendiri kalau sebenernya dia nggak pernah berniat jadi ketua OSIS. Dan sebelum benar-benar menutup kampanyenya, nggak lupa Kak Haris mengucapkan slogannya.

“Buka mata, buka telinga. Ini nyata, hanya saya yang bisa. Saya Muhammad Haris, kandidat ketua OSIS nomor urut dua. Terima kasih, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!”

Sumpah, aku yakin nggak ada yang bisa nandingin betapa kerennya Kak Haris saat ini. Bahkan seluruh audiens pun setuju, terdengar dari sorakan dan tepuk tangan yang semakin riuh tepat saat Kak Haris menyelesaikan kalimatnya. Kak Yuna bahkan sampai harus turun tangan untuk menghentikan sementara semua dukungan yang tercurah untuk Kak Haris hari ini.

“Iya, iya, cuma Haris yang bisa nih, emang. Cuma Haris yang bisa bikin satu sekolah berisik kayak gini, ya?” canda Kak Yuna.

Setuju, cuma Kak Haris yang bisa.

“Ini mah, kayaknya nggak perlu ada pemilihan ketua OSIS lagi, Gi. Udah pasti Kak Haris yang menang nggak, sih?” pungkas Zahra, “gue kalo jadi kandidat ketua OSIS nomor tiga, mending pulang.”

“Nggak boleh gitu, ih!” Otomatis aku menegur Zahra. Selain ratu gosip, Zahra ini memang ratunya julid.

“Dih, malu kali, Gi? Saingan gue se-sangar Kak Haris gitu. Lu liat aja ni satu lapangan berasa udah di-booking sama dia untuk dukung dia.”

Nggak salah. Apa yang dibilang Zahra barusan itu nggak salah, tapi nggak ada salahnya juga, kan, paying some respect ke orang yang juga menyalonkan diri?

Duh, tapi maaf banget, kakak kandidat nomor tiga, aku bener-bener nggak bisa fokus dengerin kamu ngomong. Soalnya di sebelah aku ada gerombolan cewek-cewek yang ngomongin Kak Haris. Mama nggak pernah ngajarin aku untuk nguping, tapi—situasi ini rasanya perlu jadi pengecualian.

Samar-samar aku denger kegakuman mereka terhadap Kak Haris yang.... Menurutku, berlebihan. Aku pura-pura nyari seseorang, supaya gestur penasaranku nggak terlalu keliatan. Oh, ternyata mereka juga temen sekelasku. Gaby, Olivia, Atika, sisanya nggak ketangkep mataku karena aku noleh terlalu cepat.

“Sumpah, lo pilih Kak Haris nggak sih?” tanya Atika

“Jelas, lah! Gila, ya, dia keren banget, anjir! Nge-fans nggak sih? Gue pikir dia cuma galak doang terus songong gitu, nggak taunya dia keren banget,” timpal Olivia.

“Diem deh, Liv, Tik, kalian nggak ada apa-apanya dibanding gue. Gue tuh udah sadar Kak Haris sebenernya baik semenjak kasus Gio itu, loh! Gue denger-denger dia nolongin berantem sama Gio juga karena Gio ngomongin hal yang nggak-nggak ke perempuan! Sumpah, Kak Haris tuh keren banget, gue naksirrr!!!!”

“Ya elah, Gab, lu naksir naksir! Orang seganteng Kak Haris gitu mana mungkin nggak punya pacar?” balas Olivia, tepat. Aku nggak liat ekspresi Gaby kayak gimana, tapi aku tau dia sebel. Terdengar dari decakan yang dia keluarkan sebelum membalas Olivia, “Yeee, orang kayak Kak Haris tuh biasanya nggak mikirin pacar-pacaran. Gue juga stalking semua sosmednya Kak Haris, nggak ada tuh tanda-tanda dia pacaran.”

That's because we're keeping it lowkey, Gaby.

“Siapa tau dia backstreet?” jawab Olivia lagi. Oliv, kamu sebenernya peramal atau gimana, sih? Tebakan kamu selalu tepat. Aku—cukup ketar-ketir....

Tapi ucapan Olivia lagi-lagi dibantah sama Gaby. “Tch, mana mungkin! Buat dapetin hatinya Kak Haris, tuh, pasti susah! Kalaupun udah punya pacar, pasti pacarnya bukan orang sembaragan, lah! Harus yang setara sama dia. Yah.... Paling enggak yang sama terkenalnya kayak Kak Haris. Gue, contohnya,” ucap Gaby.

Aku. Dongkol. Banget. Tapi, nggak mungkin juga aku bales ucapan Gaby saat itu juga. Lagian, hari ini fokusku adalah Kak Haris. Bukan orang-orang yang berusaha dapetin hatinya Kak Haris. Jadi, untuk saat ini aku akan mencoba untuk mengabaikan Gaby dan teman-temannya yang masih nggak berhenti ngomongin Kak Haris.

Aku kembali mengarahkan tatapanku ke depan, ya, ke Kak Haris, sih... Ternyata dia udah lebih dulu ngeliat ke arahku, membuat tatapan kita bertemu pada akhirnya. Kak Haris melayangkan senyum simpul—kayak biasa kalau kita ketemu di gerbang setiap 06.15 pagi. Senyum tipis yang cuma kita berdua yang tau. Setelahnya aku balas senyumnya dengan senyum yang sama. Habis itu, Kak Haris nunduk—menyembunyikan seringainya yang semakin lebar.

Sayangnya, senyum tipis Kak Haris yang barusan itu juga terlihat oleh Gaby dan kawan-kawannya. Dan sekarang mereka jadi makin berisik, teriak-teriak dan makin terang-terangan menggaungkan kalau mereka suka sama Kak Haris. Mereka bahkan ngeluarin HP-nya untuk foto Kak Haris diem-diem.

“Sumpah, Kak Haris ganteng banget ya Tuhan, please jadi pacar gueee!!”

Wow, seriously what was that? Be easy on that, will ya?

I'm not intended to be cocky but—sorry, ladies, that's my boyfriend you're talking about!

Anggia's POV

Today's a big day, untuk Kak Haris, sih—untuk kandidat-kandidat lain juga tentunya. Nantinya semua orang disuruh untuk ngumpul di lapangan. Kak Vio, dari tadi pagi kulihat udah sibuk mondar-mandir—gelar terpal untuk semua peserta didik duduk, mastiin sound system berfungsi dengan baik, mastiin kandidat semuanya terkumpul, jemput kepala sekolah dari ruangannya, dan lain-lain yang nggak aku saksikan.

Ya, gimana mau nyaksiin Kak Vio kalo mataku cuma tertuju ke satu orang? Seorang Kak Haris yang keberadaannya bener-bener terlihat bersinar even dari lantai tiga. Satu hal dari Kak Haris yang selalu berhasil bikin aku salut adalah—ucapannya selalu bisa dipegang. Kak Haris nggak pernah bohong. Kak Haris selalu konsisten sama ucapannya.

Kayak tadi pagi, Kak Haris tetep nemuin aku di gerbang sesuai yang dia bilang di chat semalam. Padahal, semua orang juga tahu, kalau semua kandidat pagi itu nggak boleh ke mana-mana dan harus stay di ruang OSIS. I'm not gonna lie, those things that he did, makes my heart flutter even more.

Seseorang membuat dirinya jadi pusat perhatian lewat suara yang tersalurkan dari sound system sekolah, memanggil semua peserta didik untuk kumpul di lapangan dan mengisi tempat di terpal yang kini menutupi lapangan. Sumpah, aku yang tadinya biasa aja jadi ikut deg-degan ngeliat audiens yang begitu banyak.

Got me thinking, Kak Haris harus orasi, nyampain visi misinya beserta slogan kampanyenya, di depan orang sebanyak ini? Tuhan, kalau aku jadi dia, mungkin warna asli kulitku udah nggak terlihat lagi karena pasti akan berubah sangat pucat.

But this is Kak Haris that we're talking about. Aku bahkan nggak tau apakah dia punya ketakutan dalam dirinya. Well, yeah, pasti ada, tapi berdiri di hadapan publik dan mengambil alih semua atensi—bukan salah satunya.

Sekarang aku duduk di sebelah Zahra, yang dari tadi bersikeras nyeret aku ke tengah—tepat di hadapan mimbar tempat pembina upacara biasanya memberi amanat upacara—yang hari ini akan jadi tempat kandidat memaparkan visi misinya. Kata Zahra, biar bisa liat Kak Haris dengan sangat-sangat jelas. Kata Zahra lagi, sayang kalo nggak diperhatiin dan dilihat secara seksama, soalnya pasti hari ini Kak Haris ganteng banget dengan almet OSIS-nya.

Kak Yuna memulai acara, membukanya dengan sapaan dan salam hormat untuk kepala sekolah dan guru-guru yang turut menyaksikan bibit-bibit unggul didikan mereka yang hari ini akan berebut menarik perhatian. Aku lihat sekilas guru-guru yang duduk di paling belakang, di bangku khusus yang disediakan sama para pengurus OSIS. Tatapan mereka berbinar banget, penuh harapan, penuh kebanggaan. Jelas, lah, siapa yang nggak bangga lihat 'anak-anak'-nya sampai pada tahap ini?

Kak Yuna melanjutkan bicaranya, ngejelasin sistematika pemaparan hari ini yang ternyata akan dimulai dari kandidat ketua OSIS, lalu MPK. Masing-masing terdiri dari empat kandidat ketua yang akan memulai pemaparan sesuai nomor urutnya.

Omong-omong soal Kak Haris, aku belum liat dia lagi. Kak Haris belum bergabung sama kandidat-kandidat lain yang sekarang udah terkumpul di koridor. Bikin aku penasaran about his look today karena dari tadi, dia belum pake almetnya. Masih pake seragam biasa.

Funny thing is, ini akan jadi kejutan banget buat aku. Karena aku bener-bener nggak tau visi-misinya Kak Haris itu apa, gimana slogannya, gimana bentuk posternya, urutannya nomor berapa, bahkan penampilannya kayak apa aja, aku nggak tau. I'm totally clueless. Alwan juga pelit—nggak mau ngasih tau apa-apa, mungkin disuruh Kak Haris.

Sejujurnya aku ngerasa bersalah banget karena nggak bantu apa-apa. Kak Haris juga tau itu, tapi tadi pagi dia bilang kalau perkampanyean ini urusan dia dan anak-anak OSIS—tim suksesnya, lebih tepatnya. He said that i just have to be there, as his serotonin booster and that's more than enough. Aaaand guess who's devastated by those saying? Yep, me!”

Speaking of the devil, aku denger bisik-bisik dari kanan, kiri, depan, bahkan belakang ketika seseorang memasuki koridor dan menyerahkan gulungan kertas sisa ke tangan Alwan. Itu Kak Haris, baru turun dari tangga—mungkin baru selesai nempelin posternya sendiri. Gosh, he got me smiling from ear to ear just by—being there.

Kak Haris akhirnya gabung ke barisan kandidat ketua OSIS sambil memakai almetnya yang ternyata dari tadi dititipin ke Kak Dhimas. Those two besties, aku bener-bener nggak tau apa yang ada di kepalanya. Bahkan pada saat menegangkan untuk keduanya kayak hari ini, mereka masih bisa bercanda. But i'm glad, soalnya Kak Haris selalu nunjukin senyum terbaiknya kalau lagi sama temen-temennya.

Sekarang giliran kandidat pertama yang memaparkan visi misinya. Bukan Kak Haris, tapi aku tetep merhatiin. Lumayan buat pertimbangan pilihan kandidat walaupun udah jelas juga aku akan milih siapa, hehehe. Di sebelahku, Zahra nggak berhenti-henti ngomentarin kandidat pertama ini. Terlalu kaku, lah, visinya terlalu biasa, lah, otoriter, lah. Kayaknya bener kata Alwan, Zahra emang ratu gosip.

Kandidat pertama selesai dengan pemaparannya, selanjutnya Kak Yuna ambil alih lagi untuk mempersembahkan kandidat selanjutnya. Nomor dua, yang ternyata.... Kak Haris.

Suasana di lapangan langsung berubah as soon as Kak Haris naik ke mimbar. Terdengar sorakan-sorakan dari hampir semua orang yang hadir di lapangan hari ini, apalagi Kak Ojan dan Kak Aghni. Dua-duanya terus-menerus neriakin dukungan buat Kak Haris.

“HARISNYA SATU PENDUKUNGNYA SATU—EH SALAH, HARISNYA SATU PENDUKUNGNYA BANYAK!!”

“HARIS, I LOVE YU PUOOLL!!!”

“HARIS, JAYA JAYA JAYA!!”

“WE LOVE YOU HAAAARISSSS, WE DOOOO!!!”

Barusan itu Kak Ojan, yang nggak pernah berhenti bikin siapapun yang denger ucapannya atau lihat tingkahnya ikutan ketawa. Bahkan Kak Haris yang tadinya udah siap buat bicara di depan aja jadi harus nundukin kepala karena nggak bisa nahan ketawa ngeliat ulah temennya yang satu itu. “Makasih, makasih, tapi boleh di-stop dulu aja ya, kayaknya. Saya pemaparan dulu,” ucap Kak Haris dari mimbar yang langsung tertuju ke Kak Ojan di sisi kanan lapangan—yang selanjutnya dibalas acungan jempol sama Kak Ojan.

“Oke, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!” Kak Haris mengawali orasinya. Membuat semua mata tertuju ke arahnya. Ah, i swear to God, nothing comes close to this spesific view i'm seeing right now. Kak Haris with his slick back hair, bright handsome face, not to mention tubuhnya yang tinggi tegap—makin gagah dengan almet OSIS yang tersemat rapi, tatapannya nyalang membalas semua mata yang menatap ke arahnya, suara baritonnya—nggak bergetar sama sekali. I told you, Kak Haris nggak pernah takut.

Di depan sana, Kak Haris terlihat bersinar. Nampak seperti seorang karakter utama dalam kisah cinta remaja yang suka Zahra gembar-gemborkan dan rekomendasikan ke aku. Dengan lancar Kak Haris memaparkan visi misinya, nggak kecepetan, nggak terlalu lama juga. Semuanya jelas disampaikan dengan bahasa dan tutur kata yang apik. Aku.... Bangga banget. Aku tau Kak Haris capek banget nyiapin ini semua dalam waktu singkat. Dia ngorbanin banyak hal untuk nyiapin ini aja. Bahkan Kak Haris bilang dia sampe nggak sempet pegang HP, sampe Hanum aja nggak bisa dia jemput selama persiapannya untuk kampanye.

But seeing him doing this great—perfect, makes me so proud. Feels like those sleepless night and exhausting days for him have been paid off. Kalaupun Kak Haris nggak menang pada akhirnya, i would still be proud. Tapi—dengerin semua sorakan dari fans-fans-nya Kak Haris yang mendadak merajalela hari ini, mungkinkah dia nggak menang?

Pemaparan visi-misi Kak Haris akhirnya selesai juga. Kalau aku yang jadi Kak Haris, pasti nggak akan fokus. Soalnya suasana bener-bener ramai saat Kak Haris pemaparan, semua orang bersorak setiap Kak Haris selesai membacakan satu poin visi-misinya. But then again, this is Kak Haris that we're talking about. He obviously nailed it.

Kak Haris basa-basi sedikit sebelum mengakhiri pemaparannya. Minta dukungan ke semua audiens untuk milih dia—aku yakin yang satu ini cuma pencitraan, karena dia bilang sendiri kalau sebenernya dia nggak pernah berniat jadi ketua OSIS. Dan sebelum benar-benar menutup kampanyenya, nggak lupa Kak Haris mengucapkan slogannya.

“Buka mata, buka telinga. Ini nyata, hanya saya yang bisa. Saya Muhammad Haris, kandidat ketua OSIS nomor urut dua. Terima kasih, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!”

Sumpah, aku yakin nggak ada yang bisa nandingin betapa kerennya Kak Haris saat ini. Bahkan seluruh audiens pun setuju, terdengar dari sorakan dan tepuk tangan yang semakin riuh tepat saat Kak Haris menyelesaikan kalimatnya. Kak Yuna bahkan sampai harus turun tangan untuk menghentikan sementara semua dukungan yang tercurah untuk Kak Haris hari ini.

“Iya, iya, cuma Haris yang bisa nih, emang. Cuma Haris yang bisa bikin satu sekolah berisik kayak gini, ya?” canda Kak Yuna.

Setuju, cuma Kak Haris yang bisa.

“Ini mah, kayaknya nggak perlu ada pemilihan ketua OSIS lagi, Gi. Udah pasti Kak Haris yang menang nggak, sih?” pungkas Zahra, “gue kalo jadi kandidat ketua OSIS nomor tiga, mending pulang.”

“Nggak boleh gitu, ih!” Otomatis aku menegur Zahra. Selain ratu gosip, Zahra ini memang ratunya julid.

“Dih, malu kali, Gi? Saingan gue se-sangar Kak Haris gitu. Lu liat aja ni satu lapangan berasa udah di-booking sama dia untuk dukung dia.”

Nggak salah. Apa yang dibilang Zahra barusan itu nggak salah, tapi nggak ada salahnya juga, kan, paying some respect ke orang yang juga menyalonkan diri?

Duh, tapi maaf banget, kakak kandidat nomor tiga, aku bener-bener nggak bisa fokus dengerin kamu ngomong. Soalnya di sebelah aku ada gerombolan cewek-cewek yang ngomongin Kak Haris. Mama nggak pernah ngajarin aku untuk nguping, tapi—situasi ini rasanya perlu jadi pengecualian.

Samar-samar aku denger kegakuman mereka terhadap Kak Haris yang.... Menurutku, berlebihan. Aku pura-pura nyari seseorang, supaya gestur penasaranku nggak terlalu keliatan. Oh, ternyata mereka juga temen sekelasku. Gaby, Olivia, Atika, sisanya nggak ketangkep mataku karena aku noleh terlalu cepat.

“Sumpah, lo pilih Kak Haris nggak sih?” tanya Atika

“Jelas, lah! Gila, ya, dia keren banget, anjir! Nge-fans nggak sih? Gue pikir dia cuma galak doang terus songong gitu, nggak taunya dia keren banget,” timpal Olivia.

“Diem deh, Liv, Tik, kalian nggak ada apa-apanya dibanding gue. Gue tuh udah sadar Kak Haris sebenernya baik semenjak kasus Gio itu, loh! Gue denger-denger dia nolongin berantem sama Gio juga karena Gio ngomongin hal yang nggak-nggak ke perempuan! Sumpah, Kak Haris tuh keren banget, gue naksirrr!!!!”

“Ya elah, Gab, lu naksir naksir! Orang seganteng Kak Haris gitu mana mungkin nggak punya pacar?” balas Olivia, tepat. Aku nggak liat ekspresi Gaby kayak gimana, tapi aku tau dia sebel. Terdengar dari decakan yang dia keluarkan sebelum membalas Olivia, “Yeee, orang kayak Kak Haris tuh biasanya nggak mikirin pacar-pacaran. Gue juga stalking semua sosmednya Kak Haris, nggak ada tuh tanda-tanda dia pacaran.”

That's because we're keeping it lowkey, Gaby.

“Siapa tau dia backstreet?” jawab Olivia lagi. Oliv, kamu sebenernya peramal atau gimana, sih? Tebakan kamu selalu tepat. Aku—cukup ketar-ketir....

Tapi ucapan Olivia lagi-lagi dibantah sama Gaby. “Tch, mana mungkin! Buat dapetin hatinya Kak Haris, tuh, pasti susah! Kalaupun udah punya pacar, pasti pacarnya bukan orang sembaragan, lah! Harus yang setara sama dia. Yah.... Paling enggak yang sama terkenalnya kayak Kak Haris. Gue, contohnya,” ucap Gaby.

Aku. Dongkol. Banget. Tapi, nggak mungkin juga aku bales ucapan Gaby saat itu juga. Lagian, hari ini fokusku adalah Kak Haris. Bukan orang-orang yang berusaha dapetin hatinya Kak Haris. Jadi, untuk saat ini aku akan mencoba untuk mengabaikan Gaby dan teman-temannya yang masih nggak berhenti ngomongin Kak Haris.

Aku kembali mengarahkan tatapanku ke depan, ya, ke Kak Haris, sih... Ternyata dia udah lebih dulu ngeliat ke arahku, membuat tatapan kita bertemu pada akhirnya. Kak Haris melayangkan senyum simpul—kayak biasa kalau kita ketemu di gerbang setiap 06.15 pagi. Senyum tipis yang cuma kita berdua yang tau. Setelahnya aku balas senyumnya dengan senyum yang sama. Habis itu, Kak Haris nunduk—menyembunyikan seringainya yang semakin lebar.

Sayangnya, senyum tipis Kak Haris yang barusan itu juga terlihat oleh Gaby dan kawan-kawannya. Dan sekarang mereka jadi makin berisik, teriak-teriak dan makin terang-terangan menggaungkan kalau mereka suka sama Kak Haris. Mereka bahkan ngeluarin HP-nya untuk foto Kak Haris diem-diem.

“Sumpah, Kak Haris ganteng banget ya Tuhan, please jadi pacar gueee!!”

Wow, easy on that, ladies. That's my boyfriend you're talking about!

Anggia's POV

Today's a big day, untuk Kak Haris, sih—untuk kandidat-kandidat lain juga tentunya. Nantinya semua orang disuruh untuk ngumpul di lapangan. Kak Vio, dari tadi pagi kulihat udah sibuk mondar-mandir—gelar terpal untuk semua peserta didik duduk, mastiin sound system berfungsi dengan baik, mastiin kandidat semuanya terkumpul, jemput kepala sekolah dari ruangannya, dan lain-lain yang nggak aku saksikan.

Ya, gimana mau nyaksiin Kak Vio kalo mataku cuma tertuju ke satu orang? Seorang Kak Haris yang keberadaannya bener-bener terlihat bersinar even dari lantai tiga. Satu hal dari Kak Haris yang selalu berhasil bikin aku salut adalah—ucapannya selalu bisa dipegang. Kak Haris nggak pernah bohong. Kak Haris selalu konsisten sama ucapannya.

Kayak tadi pagi, Kak Haris tetep nemuin aku di gerbang sesuai yang dia bilang di chat semalam. Padahal, semua orang juga tahu, kalau semua kandidat pagi itu nggak boleh ke mana-mana dan harus stay di ruang OSIS. I'm not gonna lie, those things that he did, makes my heart flutter even more.

Seseorang membuat dirinya jadi pusat perhatian lewat suara yang tersalurkan dari sound system sekolah, memanggil semua peserta didik untuk kumpul di lapangan dan mengisi tempat di terpal yang kini menutupi lapangan. Sumpah, aku yang tadinya biasa aja jadi ikut deg-degan ngeliat audiens yang begitu banyak.

Got me thinking, Kak Haris harus orasi, nyampain visi misinya beserta slogan kampanyenya, di depan orang sebanyak ini? Tuhan, kalau aku jadi dia, mungkin warna asli kulitku udah nggak terlihat lagi karena pasti akan berubah sangat pucat.

But this is Kak Haris that we're talking about. Aku bahkan nggak tau apakah dia punya ketakutan dalam dirinya. Well, yeah, pasti ada, tapi berdiri di hadapan publik dan mengambil alih semua atensi—bukan salah satunya.

Sekarang aku duduk di sebelah Zahra, yang dari tadi bersikeras nyeret aku ke tengah—tepat di hadapan mimbar tempat pembina upacara biasanya memberi amanat upacara—yang hari ini akan jadi tempat kandidat memaparkan visi misinya. Kata Zahra, biar bisa liat Kak Haris dengan sangat-sangat jelas. Kata Zahra lagi, sayang kalo nggak diperhatiin dan dilihat secara seksama, soalnya pasti hari ini Kak Haris ganteng banget dengan almet OSIS-nya.

Kak Yuna memulai acara, membukanya dengan sapaan dan salam hormat untuk kepala sekolah dan guru-guru yang turut menyaksikan bibit-bibit unggul didikan mereka yang hari ini akan berebut menarik perhatian. Aku lihat sekilas guru-guru yang duduk di paling belakang, di bangku khusus yang disediakan sama para pengurus OSIS. Tatapan mereka berbinar banget, penuh harapan, penuh kebanggaan. Jelas, lah, siapa yang nggak bangga lihat 'anak-anak'-nya sampai pada tahap ini?

Kak Yuna melanjutkan bicaranya, ngejelasin sistematika pemaparan hari ini yang ternyata akan dimulai dari kandidat ketua OSIS, lalu MPK. Masing-masing terdiri dari empat kandidat ketua yang akan memulai pemaparan sesuai nomor urutnya.

Omong-omong soal Kak Haris, aku belum liat dia lagi. Kak Haris belum bergabung sama kandidat-kandidat lain yang sekarang udah terkumpul di koridor. Bikin aku penasaran about his look today karena dari tadi, dia belum pake almetnya. Masih pake seragam biasa.

Funny thing is, ini akan jadi kejutan banget buat aku. Karena aku bener-bener nggak tau visi-misinya Kak Haris itu apa, gimana slogannya, gimana bentuk posternya, urutannya nomor berapa, bahkan penampilannya kayak apa aja, aku nggak tau. I'm totally clueless. Alwan juga pelit—nggak mau ngasih tau apa-apa, mungkin disuruh Kak Haris.

Sejujurnya aku ngerasa bersalah banget karena nggak bantu apa-apa. Kak Haris juga tau itu, tapi tadi pagi dia bilang kalau perkampanyean ini urusan dia dan anak-anak OSIS—tim suksesnya, lebih tepatnya. *He said that i just have to be there, as his serotonin booster and that's more than enough. Aaaand guess who's devastated by those saying? Yep, me!”

Speaking of the devil, aku denger bisik-bisik dari kanan, kiri, depan, bahkan belakang ketika seseorang memasuki koridor dan menyerahkan gulungan kertas sisa ke tangan Alwan. Itu Kak Haris, baru turun dari tangga—mungkin baru selesai nempelin posternya sendiri. Gosh, he got me smiling from ear to ear just by—being there.

Kak Haris akhirnya gabung ke barisan kandidat ketua OSIS sambil memakai almetnya yang ternyata dari tadi dititipin ke Kak Dhimas. Those two besties, aku bener-bener nggak tau apa yang ada di kepalanya. Bahkan pada saat menegangkan untuk keduanya kayak hari ini, mereka masih bisa bercanda. But i'm glad, soalnya Kak Haris selalu nunjukin senyum terbaiknya kalau lagi sama temen-temennya.

Sekarang giliran kandidat pertama yang memaparkan visi misinya. Bukan Kak Haris, tapi aku tetep merhatiin. Lumayan buat pertimbangan pilihan kandidat walaupun udah jelas juga aku akan milih siapa, hehehe. Di sebelahku, Zahra nggak berhenti-henti ngomentarin kandidat pertama ini. Terlalu kaku, lah, visinya terlalu biasa, lah, otoriter, lah. Kayaknya bener kata Alwan, Zahra emang ratu gosip.

Kandidat pertama selesai dengan pemaparannya, selanjutnya Kak Yuna ambil alih lagi untuk mempersembahkan kandidat selanjutnya. Nomor dua, yang ternyata.... Kak Haris.

Suasana di lapangan langsung berubah as soon as Kak Haris naik ke mimbar. Terdengar sorakan-sorakan dari hampir semua orang yang hadir di lapangan hari ini, apalagi Kak Ojan dan Kak Aghni. Dua-duanya terus-menerus neriakin dukungan buat Kak Haris.

“HARISNYA SATU PENDUKUNGNYA SATU—EH SALAH, HARISNYA SATU PENDUKUNGNYA BANYAK!!”

“HARIS, I LOVE YU PUOOLL!!!”

“HARIS, JAYA JAYA JAYA!!”

“WE LOVE YOU HAAAARISSSS, WE DOOOO!!!”

Barusan itu Kak Ojan, yang nggak pernah berhenti bikin siapapun yang denger ucapannya atau lihat tingkahnya ikutan ketawa. Bahkan Kak Haris yang tadinya udah siap buat bicara di depan aja jadi harus nundukin kepala karena nggak bisa nahan ketawa ngeliat ulah temennya yang satu itu. “Makasih, makasih, tapi boleh di-stop dulu aja ya, kayaknya. Saya pemaparan dulu,” ucap Kak Haris dari mimbar yang langsung tertuju ke Kak Ojan di sisi kanan lapangan—yang selanjutnya dibalas acungan jempol sama Kak Ojan.

“Oke, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!” Kak Haris mengawali orasinya. Membuat semua mata tertuju ke arahnya. Ah, i swear to God, nothing comes close to this spesific view i'm seeing right now. Kak Haris with his slick back hair, bright handsome face, not to mention tubuhnya yang tinggi tegap—makin gagah dengan almet OSIS yang tersemat rapi, tatapannya nyalang membalas semua mata yang menatap ke arahnya, suara baritonnya—nggak bergetar sama sekali. I told you, Kak Haris nggak pernah takut.

Di depan sana, Kak Haris terlihat bersinar. Nampak seperti seorang karakter utama dalam kisah cinta remaja yang suka Zahra gembar-gemborkan dan rekomendasikan ke aku. Dengan lancar Kak Haris memaparkan visi misinya, nggak kecepetan, nggak terlalu lama juga. Semuanya jelas disampaikan dengan bahasa dan tutur kata yang apik. Aku.... Bangga banget. Aku tau Kak Haris capek banget nyiapin ini semua dalam waktu singkat. Dia ngorbanin banyak hal untuk nyiapin ini aja. Bahkan Kak Haris bilang dia sampe nggak sempet pegang HP, sampe Hanum aja nggak bisa dia jemput selama persiapannya untuk kampanye.

But seeing him doing this great—perfect, makes me so proud. Feels like those sleepless night and exhausting days for him have been paid off. Kalaupun Kak Haris nggak menang pada akhirnya, i would still be proud. Tapi—dengerin semua sorakan dari fans-fans-nya Kak Haris yang mendadak merajalela hari ini, mungkinkah dia nggak menang?

Pemaparan visi-misi Kak Haris akhirnya selesai juga. Kalau aku yang jadi Kak Haris, pasti nggak akan fokus. Soalnya suasana bener-bener ramai saat Kak Haris pemaparan, semua orang bersorak setiap Kak Haris selesai membacakan satu poin visi-misinya. But then again, this is Kak Haris that we're talking about. He obviously nailed it.

Kak Haris basa-basi sedikit sebelum mengakhiri pemaparannya. Minta dukungan ke semua audiens untuk milih dia—aku yakin yang satu ini cuma pencitraan, karena dia bilang sendiri kalau sebenernya dia nggak pernah berniat jadi ketua OSIS. Dan sebelum benar-benar menutup kampanyenya, nggak lupa Kak Haris mengucapkan slogannya.

“Buka mata, buka telinga. Ini nyata, hanya saya yang bisa. Saya Muhammad Haris, kandidat ketua OSIS nomor urut dua. Terima kasih, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!”

Sumpah, aku yakin nggak ada yang bisa nandingin betapa kerennya Kak Haris saat ini. Bahkan seluruh audiens pun setuju, terdengar dari sorakan dan tepuk tangan yang semakin riuh tepat saat Kak Haris menyelesaikan kalimatnya. Kak Yuna bahkan sampai harus turun tangan untuk menghentikan sementara semua dukungan yang tercurah untuk Kak Haris hari ini.

“Iya, iya, cuma Haris yang bisa nih, emang. Cuma Haris yang bisa bikin satu sekolah berisik kayak gini, ya?” canda Kak Yuna.

Setuju, cuma Kak Haris yang bisa.

“Ini mah, kayaknya nggak perlu ada pemilihan ketua OSIS lagi, Gi. Udah pasti Kak Haris yang menang nggak, sih?” pungkas Zahra, “gue kalo jadi kandidat ketua OSIS nomor tiga, mending pulang.”

“Nggak boleh gitu, ih!” Otomatis aku menegur Zahra. Selain ratu gosip, Zahra ini memang ratunya julid.

“Dih, malu kali, Gi? Saingan gue se-sangar Kak Haris gitu. Lu liat aja ni satu lapangan berasa udah di-booking sama dia untuk dukung dia.”

Nggak salah. Apa yang dibilang Zahra barusan itu nggak salah, tapi nggak ada salahnya juga, kan, paying some respect ke orang yang juga menyalonkan diri?

Duh, tapi maaf banget, kakak kandidat nomor tiga, aku bener-bener nggak bisa fokus dengerin kamu ngomong. Soalnya di sebelah aku ada gerombolan cewek-cewek yang ngomongin Kak Haris. Mama nggak pernah ngajarin aku untuk nguping, tapi—situasi ini rasanya perlu jadi pengecualian.

Samar-samar aku denger kegakuman mereka terhadap Kak Haris yang.... Menurutku, berlebihan. Aku pura-pura nyari seseorang, supaya gestur penasaranku nggak terlalu keliatan. Oh, ternyata mereka juga temen sekelasku. Gaby, Olivia, Atika, sisanya nggak ketangkep mataku karena aku noleh terlalu cepat.

“Sumpah, lo pilih Kak Haris nggak sih?” tanya Atika

“Jelas, lah! Gila, ya, dia keren banget, anjir! Nge-fans nggak sih? Gue pikir dia cuma galak doang terus songong gitu, nggak taunya dia keren banget,” timpal Olivia.

“Diem deh, Liv, Tik, kalian nggak ada apa-apanya dibanding gue. Gue tuh udah sadar Kak Haris sebenernya baik semenjak kasus Gio itu, loh! Gue denger-denger dia nolongin berantem sama Gio juga karena Gio ngomongin hal yang nggak-nggak ke perempuan! Sumpah, Kak Haris tuh keren banget, gue naksirrr!!!!”

“Ya elah, Gab, lu naksir naksir! Orang seganteng Kak Haris gitu mana mungkin nggak punya pacar?” balas Olivia, tepat. Aku nggak liat ekspresi Gaby kayak gimana, tapi aku tau dia sebel. Terdengar dari decakan yang dia keluarkan sebelum membalas Olivia, “Yeee, orang kayak Kak Haris tuh biasanya nggak mikirin pacar-pacaran. Gue juga stalking semua sosmednya Kak Haris, nggak ada tuh tanda-tanda dia pacaran.”

That's because we're keeping it lowkey, Gaby.

“Siapa tau dia backstreet?” jawab Olivia lagi. Oliv, kamu sebenernya peramal atau gimana, sih? Tebakan kamu selalu tepat. Aku—cukup ketar-ketir....

Tapi ucapan Olivia lagi-lagi dibantah sama Gaby. “Tch, mana mungkin! Buat dapetin hatinya Kak Haris, tuh, pasti susah! Kalaupun udah punya pacar, pasti pacarnya bukan orang sembaragan, lah! Harus yang setara sama dia. Yah.... Paling enggak yang sama terkenalnya kayak Kak Haris. Gue, contohnya,” ucap Gaby.

Aku. Dongkol. Banget. Tapi, nggak mungkin juga aku bales ucapan Gaby saat itu juga. Lagian, hari ini fokusku adalah Kak Haris. Bukan orang-orang yang berusaha dapetin hatinya Kak Haris. Jadi, untuk saat ini aku akan mencoba untuk mengabaikan Gaby dan teman-temannya yang masih nggak berhenti ngomongin Kak Haris.

Aku kembali mengarahkan tatapanku ke depan, ya, ke Kak Haris, sih... Ternyata dia udah lebih dulu ngeliat ke arahku, membuat tatapan kita bertemu pada akhirnya. Kak Haris melayangkan senyum simpul—kayak biasa kalau kita ketemu di gerbang setiap 06.15 pagi. Senyum tipis yang cuma kita berdua yang tau. Setelahnya aku balas senyumnya dengan senyum yang sama. Habis itu, Kak Haris nunduk—menyembunyikan seringainya yang semakin lebar.

Sayangnya, senyum tipis Kak Haris yang barusan itu juga terlihat oleh Gaby dan kawan-kawannya. Dan sekarang mereka jadi makin berisik, teriak-teriak dan makin terang-terangan menggaungkan kalau mereka suka sama Kak Haris. Mereka bahkan ngeluarin HP-nya untuk foto Kak Haris diem-diem.

“Sumpah, Kak Haris ganteng banget ya Tuhan, please jadi pacar gueee!!”

Wow, easy on that, ladies. That's my boyfriend you're talking about!

Anggia's POV

Today's a big day, untuk Kak Haris, sih—untuk kandidat-kandidat lain juga tentunya. Nantinya semua orang disuruh untuk ngumpul di lapangan. Kak Vio, dari tadi pagi kulihat udah sibuk mondar-mandir—gelar terpal untuk semua peserta didik duduk, mastiin sound system berfungsi dengan baik, mastiin kandidat semuanya terkumpul, jemput kepala sekolah dari ruangannya, dan lain-lain yang nggak aku saksikan.

Ya, gimana mau nyaksiin Kak Vio kalo mataku cuma tertuju ke satu orang? Seorang Kak Haris yang keberadaannya bener-bener terlihat bersinar even dari lantai tiga. Satu hal dari Kak Haris yang selalu berhasil bikin aku salut adalah—ucapannya selalu bisa dipegang. Kak Haris nggak pernah bohong. Kak Haris selalu konsisten sama ucapannya.

Kayak tadi pagi, Kak Haris tetep nemuin aku di gerbang sesuai yang dia bilang di chat semalam. Padahal, semua orang juga tahu, kalau semua kandidat pagi itu nggak boleh ke mana-mana dan harus stay di ruang OSIS. I'm not gonna lie, those things that he did, makes my heart flutter even more.

Seseorang membuat dirinya jadi pusat perhatian lewat suara yang tersalurkan dari sound system sekolah, memanggil semua peserta didik untuk kumpul di lapangan dan mengisi tempat di terpal yang kini menutupi lapangan. Sumpah, aku yang tadinya biasa aja jadi ikut deg-degan ngeliat audiens yang begitu banyak.

Got me thinking, Kak Haris harus orasi, nyampain visi misinya beserta slogan kampanyenya, di depan orang sebanyak ini? Tuhan, kalau aku jadi dia, mungkin warna asli kulitku udah nggak terlihat lagi karena pasti akan berubah sangat pucat.

But this is Kak Haris that we're talking about. Aku bahkan nggak tau apakah dia punya ketakutan dalam dirinya. Well, yeah, pasti ada, tapi berdiri di hadapan publik dan mengambil alih semua atensi—bukan salah satunya.

Sekarang aku duduk di sebelah Zahra, yang dari tadi bersikeras nyeret aku ke tengah—tepat di hadapan mimbar tempat pembina upacara biasanya memberi amanat upacara—yang hari ini akan jadi tempat kandidat memaparkan visi misinya. Kata Zahra, biar bisa liat Kak Haris dengan sangat-sangat jelas. Kata Zahra lagi, sayang kalo nggak diperhatiin dan dilihat secara seksama, soalnya pasti hari ini Kak Haris ganteng banget dengan almet OSIS-nya.

Kak Yuna memulai acara, membukanya dengan sapaan dan salam hormat untuk kepala sekolah dan guru-guru yang turut menyaksikan bibit-bibit unggul didikan mereka yang hari ini akan berebut menarik perhatian. Aku lihat sekilas guru-guru yang duduk di paling belakang, di bangku khusus yang disediakan sama para pengurus OSIS. Tatapan mereka berbinar banget, penuh harapan, penuh kebanggaan. Jelas, lah, siapa yang nggak bangga lihat 'anak-anak'-nya sampai pada tahap ini?

Kak Yuna melanjutkan bicaranya, ngejelasin sistematika pemaparan hari ini yang ternyata akan dimulai dari kandidat ketua OSIS, lalu MPK. Masing-masing terdiri dari empat kandidat ketua yang akan memulai pemaparan sesuai nomor urutnya.

Omong-omong soal Kak Haris, aku belum liat dia lagi. Kak Haris belum bergabung sama kandidat-kandidat lain yang sekarang udah terkumpul di koridor. Bikin aku penasaran about his look today karena dari tadi, dia belum pake almetnya. Masih pake seragam biasa.

Funny thing is, ini akan jadi kejutan banget buat aku. Karena aku bener-bener nggak tau visi-misinya Kak Haris itu apa, gimana slogannya, gimana bentuk posternya, urutannya nomor berapa, bahkan penampilannya kayak apa aja, aku nggak tau. I'm totally clueless. Alwan juga pelit—nggak mau ngasih tau apa-apa, mungkin disuruh Kak Haris.

Sejujurnya aku ngerasa bersalah banget karena nggak bantu apa-apa. Kak Haris juga tau itu, tapi tadi pagi dia bilang kalau perkampanyean ini urusan dia dan anak-anak OSIS—tim suksesnya, lebih tepatnya. *He said that i just have to be there, as his serotonin booster and that's more than enough. Aaaand guess who's devastated by those saying? Yep, me!”

Speaking of the devil, aku denger bisik-bisik dari kanan, kiri, depan, bahkan belakang ketika seseorang memasuki koridor dan menyerahkan gulungan kertas sisa ke tangan Alwan. Itu Kak Haris, baru turun dari tangga—mungkin baru selesai nempelin posternya sendiri. Gosh, he got me smiling from ear to ear just by—being there.

Kak Haris akhirnya gabung ke barisan kandidat ketua OSIS sambil memakai almetnya yang ternyata dari tadi dititipin ke Kak Dhimas. Those two besties, aku bener-bener nggak tau apa yang ada di kepalanya. Bahkan pada saat menegangkan untuk keduanya kayak hari ini, mereka masih bisa bercanda. But i'm glad, soalnya Kak Haris selalu nunjukin senyum terbaiknya kalau lagi sama temen-temennya.

Sekarang giliran kandidat pertama yang memaparkan visi misinya. Bukan Kak Haris, tapi aku tetep merhatiin. Lumayan buat pertimbangan pilihan kandidat walaupun udah jelas juga aku akan milih siapa, hehehe. Di sebelahku, Zahra nggak berhenti-henti ngomentarin kandidat pertama ini. Terlalu kaku, lah, visinya terlalu biasa, lah, otoriter, lah. Kayaknya bener kata Alwan, Zahra emang ratu gosip.

Kandidat pertama selesai dengan pemaparannya, selanjutnya Kak Yuna ambil alih lagi untuk mempersembahkan kandidat selanjutnya. Nomor dua, yang ternyata.... Kak Haris.

Suasana di lapangan langsung berubah as soon as Kak Haris naik ke mimbar. Terdengar sorakan-sorakan dari hampir semua orang yang hadir di lapangan hari ini, apalagi Kak Ojan dan Kak Aghni. Dua-duanya terus-menerus neriakin dukungan buat Kak Haris.

“HARISNYA SATU PENDUKUNGNYA SATU—EH SALAH, HARISNYA SATU PENDUKUNGNYA BANYAK!!”

“HARIS, I LOVE YU PUOOLL!!!”

“HARIS, JAYA JAYA JAYA!!”

“WE LOVE YOU HAAAARISSSS, WE DOOOO!!!”

Barusan itu Kak Ojan, yang nggak pernah berhenti bikin siapapun yang denger ucapannya atau lihat tingkahnya ikutan ketawa. Bahkan Kak Haris yang tadinya udah siap buat bicara di depan aja jadi harus nundukin kepala karena nggak bisa nahan ketawa ngeliat ulah temennya yang satu itu. “Makasih, makasih, tapi boleh di-stop dulu aja ya, kayaknya. Saya pemaparan dulu,” ucap Kak Haris dari mimbar yang langsung tertuju ke Kak Ojan di sisi kanan lapangan—yang selanjutnya dibalas acungan jempol sama Kak Ojan.

“Oke, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!” Kak Haris mengawali orasinya. Membuat semua mata tertuju ke arahnya. Ah, i swear to God, nothing comes close to this spesific view i'm seeing right now. Kak Haris with his slick back hair, bright handsome face, not to mention tubuhnya yang tinggi tegap—makin gagah dengan almet OSIS yang tersemat rapi, tatapannya nyalang membalas semua mata yang menatap ke arahnya, suara baritonnya—nggak bergetar sama sekali. I told you, Kak Haris nggak pernah takut.

Di depan sana, Kak Haris terlihat bersinar. Nampak seperti seorang karakter utama dalam kisah cinta remaja yang suka Zahra gembar-gemborkan dan rekomendasikan ke aku. Dengan lancar Kak Haris memaparkan visi misinya, nggak kecepetan, nggak terlalu lama juga. Semuanya jelas disampaikan dengan bahasa dan tutur kata yang apik. Aku.... Bangga banget. Aku tau Kak Haris capek banget nyiapin ini semua dalam waktu singkat. Dia ngorbanin banyak hal untuk nyiapin ini aja. Bahkan Kak Haris bilang dia sampe nggak sempet pegang HP, sampe Hanum aja nggak bisa dia jemput selama persiapannya untuk kampanye.

But seeing him doing this great—perfect, makes me so proud. Feels like those sleepless night and exhausting days for him have been paid off. Kalaupun Kak Haris nggak menang pada akhirnya, i would still be proud. Tapi—dengerin semua sorakan dari fans-fans-nya Kak Haris yang mendadak merajalela hari ini, mungkinkah dia nggak menang?

Pemaparan visi-misi Kak Haris akhirnya selesai juga. Kalau aku yang jadi Kak Haris, pasti nggak akan fokus. Soalnya suasana bener-bener ramai saat Kak Haris pemaparan, semua orang bersorak setiap Kak Haris selesai membacakan satu poin visi-misinya. But then again, this is Kak Haris that we're talking about. He obviously nailed it.

Kak Haris basa-basi sedikit sebelum mengakhiri pemaparannya. Minta dukungan ke semua audiens untuk milih dia—aku yakin yang satu ini cuma pencitraan, karena dia bilang sendiri kalau sebenernya dia nggak pernah berniat jadi ketua OSIS. Dan sebelum benar-benar menutup kampanyenya, nggak lupa Kak Haris mengucapkan slogannya.

“Buka mata, buka telinga. Ini nyata, hanya saya yang bisa. Saya Muhammad Haris, kandidat ketua OSIS nomor urut dua. Terima kasih, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!”

Sumpah, aku yakin nggak ada yang bisa nandingin betapa kerennya Kak Haris saat ini. Bahkan seluruh audiens pun setuju, terdengar dari sorakan dan tepuk tangan yang semakin riuh tepat saat Kak Haris menyelesaikan kalimatnya. Kak Yuna bahkan sampai harus turun tangan untuk menghentikan sementara semua dukungan yang tercurah untuk Kak Haris hari ini.

“Iya, iya, cuma Haris yang bisa nih, emang. Cuma Haris yang bisa bikin satu sekolah berisik kayak gini, ya?” canda Kak Yuna.

Setuju, cuma Kak Haris yang bisa.

“Ini mah, kayaknya nggak perlu ada pemilihan ketua OSIS lagi, Gi. Udah pasti Kak Haris yang menang nggak, sih?” pungkas Zahra, “gue kalo jadi kandidat ketua OSIS nomor tiga, mending pulang.”

“Nggak boleh gitu, ih!” Otomatis aku menegur Zahra. Selain ratu gosip, Zahra ini memang ratunya julid.

“Dih, malu kali, Gi? Saingan gue se-sangar Kak Haris gitu. Lu liat aja ni satu lapangan berasa udah di-booking sama dia untuk dukung dia.”

Nggak salah. Apa yang dibilang Zahra barusan itu nggak salah, tapi nggak ada salahnya juga, kan, paying some respect ke orang yang juga menyalonkan diri?

Duh, tapi maaf banget, kakak kandidat nomor tiga, aku bener-bener nggak bisa fokus dengerin kamu ngomong. Soalnya di sebelah aku ada gerombolan cewek-cewek yang ngomongin Kak Haris. Mama nggak pernah ngajarin aku untuk nguping, tapi—situasi ini rasanya perlu jadi pengecualian.

Samar-samar aku denger kegakuman mereka terhadap Kak Haris yang.... Menurutku, berlebihan. Aku pura-pura nyari seseorang, supaya gestur penasaranku nggak terlalu keliatan. Oh, ternyata mereka juga temen sekelasku. Gaby, Olivia, Atika, sisanya nggak ketangkep mataku karena aku noleh terlalu cepat.

“Sumpah, lo pilih Kak Haris nggak sih?” tanya Atika

“Jelas, lah! Gila, ya, dia keren banget, anjir! Nge-fans nggak sih? Gue pikir dia cuma galak doang terus songong gitu, nggak taunya dia keren banget,” timpal Olivia.

“Diem deh, Liv, Tik, kalian nggak ada apa-apanya dibanding gue. Gue tuh udah sadar Kak Haris sebenernya baik semenjak kasus Gio itu, loh! Gue denger-denger dia nolongin berantem sama Gio juga karena Gio ngomongin hal yang nggak-nggak ke perempuan! Sumpah, Kak Haris tuh keren banget, gue naksirrr!!!!”

“Ya elah, Gab, lu naksir naksir! Orang seganteng Kak Haris gitu mana mungkin nggak punya pacar?” balas Olivia, tepat. Aku nggak liat ekspresi Gaby kayak gimana, tapi aku tau dia sebel. Terdengar dari decakan yang dia keluarkan sebelum membalas Olivia, “Yeee, orang kayak Kak Haris tuh biasanya nggak mikirin pacar-pacaran. Gue juga stalking semua sosmednya Kak Haris, nggak ada tuh tanda-tanda dia pacaran.”

That's because we're keeping it lowkey, Gaby.

“Siapa tau dia backstreet?” jawab Olivia lagi. Oliv, kamu sebenernya peramal atau gimana, sih? Tebakan kamu selalu tepat. Aku—cukup ketar-ketir....

Tapi ucapan Olivia lagi-lagi dibantah sama Gaby. “Tch, mana mungkin! Buat dapetin hatinya Kak Haris, tuh, pasti susah! Kalaupun udah punya pacar, pasti pacarnya bukan orang sembaragan, lah! Harus yang setara sama dia. Yah.... Paling enggak yang sama terkenalnya kayak Kak Haris. Gue, contohnya,” ucap Gaby.

Aku. Dongkol. Banget. Tapi, nggak mungkin juga aku bales ucapan Gaby saat itu juga. Lagian, hari ini fokusku adalah Kak Haris. Bukan orang-orang yang berusaha dapetin hatinya Kak Haris. Jadi, untuk saat ini aku akan mencoba untuk mengabaikan Gaby dan teman-temannya yang masih nggak berhenti ngomongin Kak Haris.

Aku kembali mengarahkan tatapanku ke depan, ya, ke Kak Haris, sih... Ternyata dia udah lebih dulu ngeliat ke arahku, membuat tatapan kita bertemu pada akhirnya. Kak Haris melayangkan senyum simpul—kayak biasa kalau kita ketemu di gerbang setiap 06.15 pagi. Senyum tipis yang cuma kita berdua yang tau. Setelahnya aku balas senyumnya dengan senyum yang sama. Habis itu, Kak Haris nunduk—menyembunyikan seringainya yang semakin lebar.

Sayangnya, senyum tipis Kak Haris yang barusan itu juga terlihat oleh Gaby dan kawan-kawannya. Dan sekarang mereka jadi makin berisik, teriak-teriak dan makin terang-terangan menggaungkan kalau mereka suka sama Kak Haris. Mereka bahkan ngeluarin HP-nya untuk foto Kak Haris diem-diem.

“Sumpah, Kak Haris ganteng banget ya Tuhan, please jadi pacar gueee!!”

Wow, easy on that, ladies. That's my boyfriend you're talking about!

“Udah biasa begini, Kak?” Papa berbisik ke arah Haris ketika mendapati seluruh mata tertuju pada keduanya ketika langkah pasangan ayah-anak itu membelah koridor.

Haris tersenyum bangga seraya mengangguk, “Iya. Keren, kan?”

Halah,” cibir Papa. Setelahnya Haris hanya terkekeh. Tetapi pemuda itu memang tidak berbohong. Haris memang sering jadi pusat perhatian meskipun dirinya tidak meminta. Lebih-lebih ketika Mama datang setiap kali menghadiri acara di sekolahnya. Namun Haris tak ambil pusing, pria dengan kadar kepercayaan diri paling tinggi di antara ketiga temannya yang lain itu memang sangat-sangat paham bahwa keluarganya memang memiliki visual di atas rata-rata. Dan tentu saja Haris mensyukurinya dengan sangat.

“Papa masuk aja, Haris tunggu di sini. Nanti kalo udah gilirannya panggil aja, ini tadi udah Haris ambilin nomor biar duluan,” ucap Haris kemudian menyerahkan selembar kertas bertuliskan nomor urut ke-17 yang segera diterima oleh Papa.

Setelahnya Haris menunggu di luar, bergabung dengan ketiga temannya. “Tumben diambilin bokap?” tanya Damar yang sedang bersandar di teralis.

“Mama gue lagi sibuk banget, mau launching koleksi baru jadi dia di butiknya mulu. Makanya pas ketemu bokap kemaren gue sekalian aja minta ambilin rapot,” balas Haris.

“Lo fotokopian bokap lo banget,” balas Damar lagi, kali ini disertai sebuah kekehan ringan. Di sebelahnya, Haris ikut tertawa. “Emang, Haura aja awalnya bingung pas ketemu Papa. Tapi cepet banget akrabnya, kata Hanum gara-gara Papa mirip banget sama gue. Jadi Haura nggak canggung walaupun baru pertama kali ketemu.”

“Eh, itu giliran gue. Duluan ye,” ucap Damar. Setelahnya pria itu melenggang masuk ke dalam kelas, meninggalkan Haris yang tak lama kemudian dihampiri oleh Ojan dan Dhimas.


Selesai menerima hasil rapot bayangannya, Haris dan Papa melipir keluar kelas. Langkah keduanya terhenti di pinggir koridor seraya Papa mengecek lebih teliti nilai-nilai Haris yang tertera pada selembar kertas laporan nilainya.

“Anak-anak Papa IPA-nya pada bagus-bagus, deh. Tadi Hanum juga bagus, ini kamu Biologi-nya bagus, pada mau jadi dokter?” tanya Papa. Haris tertawa, sekon berikutnya ia menggeleng. “Haris sih enggak, nggak tau kalo Hanum. Belom cerita apa-apa anaknya.”

“Nggak apa-apa. Nanti juga cerita sendiri, Kak,” balas Papa. Sebelum membalas perkataan Papa, Haris menganggukkan kepalanya setuju dengan seulas senyum tipis terukir di wajahnya. “Nanti kalo cerita, Haris kasih tau Papa.”

Sekon berikutnya tak ada lagi yang bicara sebab Haris mendapati ketiga temannya datang menghampiri. Maka dengan senang hati ia memperkenalkan mereka semua. “Pa, ini temen-temen Haris.”

Damar menjadi yang pertama memberi salam, disusul dua orang lainnya. “Yang ini Damar, ini Dhimas, ini—”

“Jauzan, Om. Paling keren,” balas Ojan seraya menyalami tangan Papa. Ucapannya tentu saja langsung membuat Ojan menerima cibiran dari Haris, lebih-lebih Dhimas.

“Boong, Om. Namanya Ojan, tapi kalo malem ganti jadi Yolanda,” ucap Dhimas.

“HEH, ngarang! Sembarangan banget lu Yolanda Yolanda—” protes Ojan. Setelahnya ia berlagak seakan sedang menyelipkan rambutnya sendiri ke telinga. “Azizah kalo malem!” koreksinya. Yang spontan membuat tawa ketiga temannya—termasuk Papa—menyembur bersamaan.

“Papa langsung pulang?” tanya Haris setelah tawanya mereda. Papa mengangguk, “Iya, ini mau langsung ke bandara.”

“Hah ke bandara? Ngapain?” tanya Ojan bingung.

“Balik, lah? Rumahnya di Makassar dia sekarang,” balas Haris merujuk kepada sang ayah.

“Hah? Udah pindah, Om? Kirain masih di Jakarta makanya Haris minta ambilin rapot?” sahut Dhimas. Papa tersenyum menanggapi keterkejutan ketiga teman anak sulungnya. “Udah pindah. Abis ketemu Haris waktu itu, malemnya berangkat.”

“Ini ke Jakarta ngambilin rapot Haris doang Om?” tanya Damar. Sementara yang ditanya hanya menjawab melalui sebuah anggukan. Sekon berikutnya yang terjadi adalah terdengarnya protes Haris sebab Ojan dan Dhimas terus mengatainya sebagai anak durhaka karena tega-teganya meminta sang ayah jauh-jauh datang dari Makassar hanya untuk urusan seperti ini.

“Durhaka banget, anak kurang ajjjjjjjyar!” celetuk Dhimas.

“Anak durhaka nih Om emang! Kutuk aja Om!!! USIR DIA DARI KAMPUNG INI!!!” Ojan menimpali dengan semangat. Setelahnya Haris membalas candaan teman-temannya dengan langsung menyeret Papa untuk menjauhi ketiganya. Agar Papa tidak terprovokasi oleh 'ujaran-ujaran kebencian' yang diutarakan Ojan dan Dhimas.

Haris mengantar Papa hingga depan gerbang. Sebab setelah ini Papa akan langsung diantar ke bandara oleh supir yang dikirimkan kantor lamanya di Jakarta. “Udah sampe sini aja, Kak. Mobil jemputan Papa nunggu di sana kok, nggak jauh. Papa jalan aja.”

Haris menipiskan bibir, “Ya, hati-hati, Pa. Makasih banyak udah mau ngambilin rapot Haris sama Hanum, makasih juga udah nganterin Hanum pulang tadi sebelum ke sini.”

Papa mengibaskan tangannya di depan wajah, “Ah, bukan apa-apa. Pokoknya kalo butuh apa-apa jangan sungkan-sungkan untuk hubungi Papa, ya?”

Haris hanya mengangguk sebelum Papa benar-benar mengucapkan pamitnya. Setelahnya pemuda itu hanya memandangi punggung Papa yang mulai menjauh dari hadapannya. Dalam benaknya kini terbayang sudah bagaimana setelah ini, ia akan kembali berjauhan dengan Papa. Tapi tak apa, setidaknya kondisi mereka kali ini sudah berbeda dengan yang dulu. Kali ini Papa tidak meninggalkannya dengan melukainya. Justru, Papa meninggalkannya dengan luka yang sudah berhasil disembuhkan.

“Pa!” panggil Haris, sebelum Papa berjalan lebih jauh. Sang ayah menghentikan langkahnya dan menoleh. Namun, belum sempat ia menanyakan maksud Haris, anak sulungnya itu sudah berlari dan menghamburkan diri ke dalam pelukannya.

Haris memeluk Papa begitu erat—sebelum ia kembali harus melepaskan Papa. Pemuda itu memejamkan mata kala merasakan usapan lembut tangan Papa yang sudah lama tak ia dapatkan pada surai hitamnya. “Thank you, really.

Papa tertawa pelan, setelahnya ia hanya membalas ucapan Haris dengan tepukan pelan pada punggung yang selama ini selalu Haris usahakan untuk berdiri tegak dengan tumpuannya sendiri.

Dekapan hangat keduanya terlepas, Haris menjadi yang lebih dulu melepaskannya. Tentu saja karena Haris tak ingin membuat Papa terlambat untuk mengejar jadwal penerbangannya—lebih tepatnya, tak ingin lagi. Mengingat sudah dua kali Haris membuat Papa membatalkan penerbangannya. Ia tak ingin lagi menjadi anak kurang ajar sebagaimana yang disebut-sebut Ojan dan Dhimas tadi.

“Papa pergi ya?”

“Ya. Live happily,” Balas Haris.

“Kamu dulu, baru Papa.”

Tak ada jawaban dari Haris, jawaban Papa berhasil membuatnya termangu di tempat. Sekon berikut, Papa menepuk pelan sebelah pipi Haris sebelum akhirnya ia masuk ke dalam mobil. Benar-benar meninggalkan Haris yang terus memandangi mobil tumpangan Papa melaju menjauhinya.

Tapi tak apa, hal itu sama sekali bukan masalah. Bukan kesedihan yang kini hinggap dalam relung Haris, melainkan sebuah perasaan lega—puas. Haris menghela napasnya seraya tersenyum hingga kedua pipi tirusnya turut mengembang. Memang tak pernah ia deklarasikan sebelumnya, tapi hari ini, adalah hari yang paling bahagia yang pernah Haris jalani.

Mulai dari Gia, Papa, Petantang-Petenteng, semuanya. Hari ini, Haris akhirnya mendapatkan kebahagiaan yang pantas ia dapatkan.

Haris menoleh ketika merasakan seseorang menepuk pundaknya dengan raut wajah khawatir yang begitu kentara. Itu Ojan, “Ris! Demi Allah tadi gue kira bokap lo itu elo! Untung nggak langsung gue toyor kepalanya ya Allah.... Bisa dosa tujuh turunan gue, Ris....”

Benar, kan? Haris mendapatkan kebahagiaan yang pantas ia dapatkan. Termasuk teman-teman yang selalu dapat menjadi sumber tawanya.

Haris dan Gia kini sama-sama berdiri di depan gerbang. Sebagaimana ucapannya sendiri, Haris membiarkan Gia memilih waktu dan tempat yang paling nyaman untuknya berbicara. Maka ketika Gia mengatakan bahwa ia ingin bertemu di depan gerbang sehabis salat Jumat, Haris menepatinya. Sejujurnya Haris pun cukup kagum dengan ide Gia. Bertemu di depan gerbang saat pukul segini, membuat maksud sebenarnya dari pertemuan mereka tersamarkan. Keduanya dapat sama-sama beralibi sedang menunggu orang tua yang akan mengambil rapot bayangan.

Namun, sudah selang beberapa menit, tak ada satupun dari mereka yang bicara. Gia terus memandang ke arah gerbang, selalu berusaha menghindari Haris yang melirik gadis itu lewat ekor matanya. Bukannya Gia tak mau bicara, melainkan gadis itu sedang mengumpulkan secuil keberanian dalam dirinya untuk membahas semua hal yang seharusnya ia bahas dengan Haris. Di sisi lain, Haris sama sekali tak ingin menuntut apa-apa. Ia membiarkan Gia menggunakan waktunya sampai gadis itu benar-benar siap. Baginya, tak akan pernah ada waktu yang sia-sia untuk menunggu seorang Anggia. Kalaupun gadis itu ingin menunda lagi hingga esok hari, Haris tak masalah.

“Kak,” panggilnya. Haris refleks menoleh, namun dengan segera ia kembali memalingkan wajah. Setelahnya, pria itu menjawab melalui sebuah gumaman kecil dengan gestur senatural mungkin. Agar tak ada yang mengira keduanya sedang membicarakan sesuatu. “Hm?”

“Maaf ya waktu itu ninggalin Kak Haris gitu aja di lapangan,” ucap Gia pelan. “Maaf juga pernah menghindar dari Kak Haris, maaf juga baru sekarang aku berani nyamperin kamu lagi.”

Sudut bibir Haris berkedut menahan sebuah senyuman. “Nggak pa-pa. Mau satu tahun lagi kamu baru berani nyamperin saya juga saya tungguin, kok.”

Kini giliran Gia yang menahan senyumnya. Andai saja gadis itu tahu, betapa bersyukurnya Haris ketika ponselnya menampilkan notifikasi dari Gia setelah sekian lama. Bahkan ia sampai mengira layar ponselnya itu keliru, sebab sejujurnya Haris sudah hampir putus asa. Posisinya bagaikan terombang-ambing, tidak maju, tidak juga menyerah, namun yang jelas Haris cukup putus asa. Ia sudah hampir membiarkan Gia tenggelam begitu saja dalam pikirannya, membiarkan segalanya agar terkubur supaya dirinya tak lagi menuntut kejelasan apalagi balasan untuk perasaannya. Biarlah segalanya berakhir sebagaimana adanya.

Andai gadis itu tahu, betapa bersyukurnya Haris sekarang sebab Gia akhirnya akan meluruskan segalanya.

“Emangnya beneran, Kak?”

Haris menoleh pada gadis mungil di sebelahnya, “Apanya?”

“Omongan kamu yang waktu itu di lapangan,” balas Gia. Haris menatap lurus ke dalam netra kecokelatan milik Gia. Cukup lama hingga rasanya ia lupa untuk berkedip, sebelum akhirnya Haris memalingkan wajahnya lagi. Sekon berikutnya, tanpa bersuara, Haris mengangguk. Pelan, tapi terlihat yakin dan pasti.

Kini Gia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah nyaris bersemu mendapati jawaban Haris. “Itu—pertama kali di hidup aku ada yang nyatain perasaanya ke aku,” ucap Gia, yang sontak membuat Haris menoleh. “Jadi aku bener-bener nggak tau harus bereaksi kayak gimana. Maaf ya, Kak, refleks pertamanya waktu itu kabur. Soalnya malu banget. Selama ini aku selalu kabur kalo ada Kak Haris juga karena itu...”

Ah, begitu rupanya. Penjelasan Gia kali itu berhasil membuat Haris sedikit lega—juga sedikit berharap, bahwa kisah cintanya akan berakhir baik.

“Itu juga pertama kalinya saya bilang begitu. Maaf ya, Gi, kalo ngagetin,” balas Haris. Tepat setelah itu, tawa keduanya menyembur bersamaan. Entah apa yang lucu, yang jelas, keduanya merasakan kupu-kupu yang sama.

Do you have any reasons to that? Maksudnya—look at you, you're—perfect, kenapa sukanya malah sama orang yang bukan siapa-siapa kayak aku?”

Haris lagi-lagi tersenyum tipis, “Kalo saya sempurna, saya nggak di sini, Gi.

Gadis itu menoleh, menunggu kelanjutan kalimat Haris yang sengaja ia gantung. “Bumi itu tempatnya orang-orang yang nggak sempurna, Gi. Tempatnya orang-orang yang punya kurang. Kalo kamu nemuin saya di sini, berarti kita sama aja. Nggak ada bedanya.”

“Suka sama kamu tuh—gampang, Anggia,” ucap Haris lagi. Kali ini pemuda itu berbicara seraya menatap kakinya yang bergerak memainkan kerikil kecil di jalanan. “Kalo nggak percaya, tanya aja sama Aghni. Dia aja yang perempuan, bilang kamu lovable. Katanya sekali liat langsung bikin pengen peluk—itu kata Aghni loh, bukan saya.”

Keduanya kini berpandangan seraya saling melempar senyum tipis. Hilang sudah rencana keduanya untuk berlagak seperti tidak sedang membicarakan apa-apa, sebab sekarang, siapapun yang melihat pasti tahu bahwa ada sesuatu di antara Haris dan Gia. “Tapi serius,” lanjut Haris. “It's easy to fall for you, i could even fell harder by seconds.

“Setuju tapi, kamu emang biasa aja,” lanjut Haris lagi, yang sejujurnya membuat Gia terkejut dan merasa sedikit kecewa. Namun sebelum ia salah paham, Haris melanjutkan kalimatnya. “Tapi justru itu poin utamanya. Di dunia yang penuh persaingan dengan orang-orang yang selalu berusaha untuk terlihat menonjol, ketemu sama orang kayak kamu tuh—refreshing aja. Kamu nggak berusaha untuk bikin orang lain terkesan sama kamu, tapi justru itu yang bikin kamu punya kesan tersendiri buat setiap orang yang kenal kamu.”

Gia menghela napasnya. Cukup, jawaban Haris sangat cukup untuk menjawab semua pertanyaannya. Bahkan berhasil mengusir segala rasa rendah diri yang selama ini menguasainya begitu kuat. Sekon berikutnya Gia mengangguk, memantapkan diri akan keputusannya sendiri.

“Kak Haris,” panggilnya. Membuat Haris terfokus menatap ke arah Gia yang kini mendadak gugup. “I think i like you a little too much too.

Di hadapan Gia, Haris terpaku pada posisinya. Kedua matanya tak berkedip seiring benaknya berusaha memproses apa yang barusan Gia ucapkan. Haris menemukan sesuatu yang lain, sebuah perasaan baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Pemuda itu bahkan nyaris menitikkan air mata lantaran kekosongan dalam relungnya sirna seluruhnya. Hatinya menghangat, dadanya membuncah, seakan menyimpan sebuah confetti pesta yang siap meledak menyuarakan kebahagiaan.

“Kak?” panggil Gia.

“Ternyata gini ya rasanya?” ucap Haris setelah panggilan Gia menyadarkannya. “Pantesan kamu kabur,” ucapnya lagi. Kali ini, bersamaan dengan lolosnya sebuah kekehan dari bibirnya.

Gia mengerucutkan bibirnya, “Jangan dibahas lagi, dong... Malu banget, tau! Kan udah baikan...”

“Iyaa, iyaa, enggak!” balas Haris seraya tertawa. Selang beberapa detik, hening kembali menjadi penengah di antara keduanya. Hingga gadis mungil itu kembali memecah keheningan.

“Terus gimana?”

“Apanya?” balas Haris, iseng.

“Kita?”

Haris menipiskan bibir sebelum menjawab. Lesung pipinya yang samar dan sangat jarang terlihat itu kini bahkan turut hadir untuk menandakan betapa lebarnya senyuman Haris saat itu.

“Gia umur berapa, sih?”

Bingung, Gia mengerutkan alisnya sebelum menjawab pertanyaan Haris. “Lima belas tahun, kenapa?”

“Udah boleh pacaran belom sama Mama?”

Mendengar pertanyaan Haris, Gia membulatkan matanya. Sementara Haris sudah mengeluarkan gelak tawanya yang terdengar halus sebab terlalu gemas melihat ekspresi wajah Gia. Gadis itu tahu betul ke mana arah pembicaraan ini akan berlabuh.

“Nggak boleh,” balas Gia lesu. Membuat Haris otomatis menghentikan tawanya. Raut wajahnya pun kini berganti, memancarkan kekecewaan yang meskipun sedikit, namun tetap terbaca.

“Ohh, ya udah. Nggak jadi kalo gitu,” balas Haris.

Kini giliran Gia yang memasang seringai jahil di wajah cantiknya. “Nggak boleh kalo nggak sama Kak Haris, maksudnya.”

Keduanya lagi-lagi tergelak bersamaan sebelum Haris kembali bertanya. “Mau emang?”

“Mau,” balas Gia dengan raut wajah ceria. Lagi-lagi membuat Haris terpaku di tempatnya sementara Gia justru memalingkan wajahnya. Sudut bibir Haris melengkung membentuk sebuah lekukan tipis. Hari ini benar-benar tidak terduga. Dunia memang selalu curang, selalu mengganti aturan permainannya. Sebab ketika Haris hampir menang, dunia justru membuat Gia semakin jauh darinya. Namun ketika ia berniat untuk melepaskan dan menerima kekalahannya, dunia justru menjadikan gadis itu miliknya.

“Udah berapa lama ya, Kak, kita nggak ngobrol?” tanya Gia.

Haris menghela napasnya, sebelum akhirnya pria itu menjawab sedetail-detailnya. “Tiga bulan, dua minggu, lima hari,” ucap Haris pelan, tanpa memandang ke arah Gia. Mengabaikan tatapan terkejut gadis itu yang kini dilayangkan padanya.

“Kamu—ngitungin? Nungguin?”

Haris mengangguk lagi. “Maaf,” ucap Gia.

Sekon berikutnya, pria itu menggeleng dengan seulas senyum tipis. “Don't be sorry, it was worth the wait. Totally.

Totally. Sebab akhirnya, penantiannya selama tiga bulan, dua minggu, dan lima hari itu berujung membahagiakan.

Haris dan Gia kini sama-sama berdiri di depan gerbang. Sebagaimana ucapannya sendiri, Haris membiarkan Gia memilih waktu dan tempat yang paling nyaman untuknya berbicara. Maka ketika Gia mengatakan bahwa ia ingin bertemu di depan gerbang sehabis salat Jumat, Haris menepatinya. Sejujurnya Haris pun cukup kagum dengan ide Gia. Bertemu di depan gerbang saat pukul segini, membuat maksud sebenarnya dari pertemuan mereka tersamarkan. Keduanya dapat sama-sama beralibi sedang menunggu orang tua yang akan mengambil rapot bayangan.

Namun, sudah selang beberapa menit, tak ada satupun dari mereka yang bicara. Gia terus memandang ke arah gerbang, selalu berusaha menghindari Haris yang melirik gadis itu lewat ekor matanya. Bukannya Gia tak mau bicara, melainkan gadis itu sedang mengumpulkan secuil keberanian dalam dirinya untuk membahas semua hal yang seharusnya ia bahas dengan Haris. Di sisi lain, Haris sama sekali tak ingin menuntut apa-apa. Ia membiarkan Gia menggunakan waktunya sampai gadis itu benar-benar siap. Baginya, tak akan pernah ada waktu yang sia-sia untuk menunggu seorang Anggia. Kalaupun gadis itu ingin menunda lagi hingga esok hari, Haris tak masalah.

“Kak,” panggilnya. Haris refleks menoleh, namun dengan segera ia kembali memalingkan wajah. Setelahnya, pria itu menjawab melalui sebuah gumaman kecil dengan gestur senatural mungkin. Agar tak ada yang mengira keduanya sedang membicarakan sesuatu. “Hm?”

“Maaf ya waktu itu ninggalin Kak Haris gitu aja di lapangan,” ucap Gia pelan. “Maaf juga pernah menghindar dari Kak Haris, maaf juga baru sekarang aku berani nyamperin kamu lagi.”

Sudut bibir Haris berkedut menahan sebuah senyuman. “Nggak pa-pa. Mau satu tahun lagi kamu baru berani nyamperin saya juga saya tungguin, kok.”

Kini giliran Gia yang menahan senyumnya. Andai saja gadis itu tahu, betapa bersyukurnya Haris ketika ponselnya menampilkan notifikasi dari Gia setelah sekian lama. Bahkan ia sampai mengira layar ponselnya itu keliru, sebab sejujurnya Haris sudah hampir putus asa. Posisinya bagaikan terombang-ambing, tidak maju, tidak juga menyerah, namun yang jelas Haris cukup putus asa. Ia sudah hampir membiarkan Gia tenggelam begitu saja dalam pikirannya, membiarkan segalanya agar terkubur supaya dirinya tak lagi menuntut kejelasan apalagi balasan untuk perasaannya. Biarlah segalanya berakhir sebagaimana adanya.

Andai gadis itu tahu, betapa bersyukurnya Haris sekarang sebab Gia akhirnya akan meluruskan segalanya.

“Emangnya beneran, Kak?”

Haris menoleh pada gadis mungil di sebelahnya, “Apanya?”

“Omongan kamu yang waktu itu di lapangan,” balas Gia. Haris menatap lurus ke dalam netra kecokelatan milik Gia. Cukup lama hingga rasanya ia lupa untuk berkedip, sebelum akhirnya Haris memalingkan wajahnya lagi. Sekon berikutnya, tanpa bersuara, Haris mengangguk. Pelan, tapi terlihat yakin dan pasti.

Kini Gia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah nyaris bersemu mendapati jawaban Haris. “Itu—pertama kali di hidup aku ada yang nyatain perasaanya ke aku,” ucap Gia, yang sontak membuat Haris menoleh. “Jadi aku bener-bener nggak tau harus bereaksi kayak gimana. Maaf ya, Kak, refleks pertamanya waktu itu kabur. Soalnya malu banget. Selama ini aku selalu kabur kalo ada Kak Haris juga karena itu...”

Ah, begitu rupanya. Penjelasan Gia kali itu berhasil membuat Haris sedikit lega—juga sedikit berharap, bahwa kisah cintanya akan berakhir baik.

“Itu juga pertama kalinya saya bilang begitu. Maaf ya, Gi, kalo ngagetin,” balas Haris. Tepat setelah itu, tawa keduanya menyembur bersamaan. Entah apa yang lucu, yang jelas, keduanya merasakan kupu-kupu yang sama.

Do you have any reasons to that? Maksudnya—look at you, you're—perfect, kenapa sukanya malah sama orang yang bukan siapa-siapa kayak aku?”

Haris lagi-lagi tersenyum tipis, “Kalo saya sempurna, saya nggak di sini, Gi.

Gadis itu menoleh, menunggu kelanjutan kalimat Haris yang sengaja ia gantung. “Bumi itu tempatnya orang-orang yang nggak sempurna, Gi. Tempatnya orang-orang yang punya kurang. Kalo kamu nemuin saya di sini, berarti kita sama aja. Nggak ada bedanya.”

“Suka sama kamu tuh—gampang, Anggia,” ucap Haris lagi. Kali ini pemuda itu berbicara seraya menatap kakinya yang bergerak memainkan kerikil kecil di jalanan. “Kalo nggak percaya, tanya aja sama Aghni. Dia aja yang perempuan, bilang kamu lovable. Katanya sekali liat langsung bikin pengen peluk—itu kata Aghni loh, bukan saya.”

Keduanya kini berpandangan seraya saling melempar senyum tipis. Hilang sudah rencana keduanya untuk berlagak seperti tidak sedang membicarakan apa-apa, sebab sekarang, siapapun yang melihat pasti tahu bahwa ada sesuatu di antara Haris dan Gia. “Tapi serius,” lanjut Haris. “It's easy to fall for you, i could even fell harder by seconds.

“Setuju tapi, kamu emang biasa aja,” lanjut Haris lagi, yang sejujurnya membuat Gia terkejut dan merasa sedikit kecewa. Namun sebelum ia salah paham, Haris melanjutkan kalimatnya. “Tapi justru itu poin utamanya. Di dunia yang penuh persaingan dengan orang-orang yang selalu berusaha untuk terlihat menonjol, ketemu sama orang kayak kamu tuh—refreshing aja. Kamu nggak berusaha untuk bikin orang lain terkesan sama kamu, tapi justru itu yang bikin kamu punya kesan tersendiri buat setiap orang yang kenal kamu.”

Gia menghela napasnya. Cukup, jawaban Haris sangat cukup untuk menjawab semua pertanyaannya. Bahkan berhasil mengusir segala rasa rendah diri yang selama ini menguasainya begitu kuat. Sekon berikutnya Gia mengangguk, memantapkan diri akan keputusannya sendiri.

“Kak Haris,” panggilnya. Membuat Haris terfokus menatap ke arah Gia yang kini mendadak gugup. “I think i like you a little too much too.

Di hadapan Gia, Haris terpaku pada posisinya. Kedua matanya tak berkedip seiring benaknya berusaha memproses apa yang barusan Gia ucapkan. Haris menemukan sesuatu yang lain, sebuah perasaan baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Pemuda itu bahkan nyaris menitikkan air mata lantaran kekosongan dalam relungnya sirna seluruhnya. Hatinya menghangat, dadanya membuncah, seakan menyimpan sebuah confetti pesta yang siap meledak menyuarakan kebahagiaan.

“Kak?” panggil Gia.

“Ternyata gini ya rasanya?” ucap Haris setelah panggilan Gia menyadarkannya. “Pantesan kamu kabur,” ucapnya lagi. Kali ini, bersamaan dengan lolosnya sebuah kekehan dari bibirnya.

Gia mengerucutkan bibirnya, “Jangan dibahas lagi, dong... Malu banget, tau! Kan udah baikan...”

“Iyaa, iyaa, enggak!” balas Haris seraya tertawa. Selang beberapa detik, hening kembali menjadi penengah di antara keduanya. Hingga gadis mungil itu kembali memecah keheningan.

“Terus gimana?”

“Apanya?” balas Haris, iseng.

“Kita?”

Haris menipiskan bibir sebelum menjawab. Lesung pipinya yang samar dan sangat jarang terlihat itu kini bahkan turut hadir untuk menandakan betapa lebarnya senyuman Haris saat itu.

“Gia umur berapa, sih?”

Bingung, Gia mengerutkan alisnya sebelum menjawab pertanyaan Haris. “Lima belas tahun, kenapa?”

“Udah boleh pacaran belom sama Mama?”

Mendengar pertanyaan Haris, Gia membulatkan matanya. Sementara Haris sudah mengeluarkan gelak tawanya yang terdengar halus sebab terlalu gemas melihat ekspresi wajah Gia. Gadis itu tahu betul ke mana arah pembicaraan ini akan berlabuh.

“Nggak boleh,” balas Gia lesu. Membuat Haris otomatis menghentikan tawanya. Raut wajahnya pun kini berganti, memancarkan kekecewaan yang meskipun sedikit, namun tetap terbaca.

“Ohh, ya udah. Nggak jadi kalo gitu,” balas Haris.

Kini giliran Gia yang memasang seringai jahil di wajah cantiknya. “Nggak boleh kalo nggak sama Kak Haris, maksudnya.”

Keduanya lagi-lagi tergelak bersamaan sebelum Haris kembali bertanya. “Mau emang?”

“Mau,” balas Gia dengan raut wajah ceria. Lagi-lagi membuat Haris terpaku di tempatnya sementara Gia justru memalingkan wajahnya. Sudut bibir Haris melengkung membentuk sebuah lekukan tipis. Hari ini benar-benar tidak terduga. Dunia memang selalu curang, selalu mengganti aturan permainannya. Sebab setiap ketika Haris mengejar begitu keras, Gia justru semakin jauh darinya. Namun ketika ia berniat untuk melepaskan, dunia justru malah menjadikan gadis itu miliknya.

“Udah berapa lama ya, Kak, kita nggak ngobrol?” tanya Gia.

Haris menghela napasnya, sebelum akhirnya pria itu menjawab sedetail-detailnya. “Tiga bulan, dua minggu, lima hari,” ucap Haris pelan, tanpa memandang ke arah Gia. Mengabaikan tatapan terkejut gadis itu yang kini dilayangkan padanya.

“Kamu—ngitungin—nungguin?”

Haris mengangguk lagi. “Maaf,” ucap Gia.

Sekon berikutnya, pria itu menggeleng dengan seulas senyum tipis. “Don't be sorry, it was worth the wait. Totally.

Totally. Sebab akhirnya, penantiannya selama tiga bulan, dua minggu, dan lima hari itu berujung membahagiakan.

Haris dan Gia kini sama-sama berdiri di depan gerbang. Sebagaimana ucapannya sendiri, Haris membiarkan Gia memilih waktu dan tempat yang paling nyaman untuknya berbicara. Maka ketika Gia mengatakan bahwa ia ingin bertemu di depan gerbang sehabis salat Jumat, Haris menepatinya. Sejujurnya Haris pun cukup kagum dengan ide Gia. Bertemu di depan gerbang saat pukul segini, membuat maksud sebenarnya dari pertemuan mereka tersamarkan. Keduanya dapat sama-sama beralibi sedang menunggu orang tua yang akan mengambil rapot bayangan.

Namun, sudah selang beberapa menit, tak ada satupun dari mereka yang bicara. Gia terus memandang ke arah gerbang, selalu berusaha menghindari Haris yang melirik gadis itu lewat ekor matanya. Bukannya Gia tak mau bicara, melainkan gadis itu sedang mengumpulkan secuil keberanian dalam dirinya untuk membahas semua hal yang seharusnya ia bahas dengan Haris. Di sisi lain, Haris sama sekali tak ingin menuntut apa-apa. Ia membiarkan Gia menggunakan waktunya sampai gadis itu benar-benar siap. Baginya, tak akan pernah ada waktu yang sia-sia untuk menunggu seorang Anggia. Kalaupun gadis itu ingin menunda lagi hingga esok hari, Haris tak masalah.

“Kak,” panggilnya. Haris refleks menoleh, namun dengan segera ia kembali memalingkan wajah. Setelahnya, pria itu menjawab melalui sebuah gumaman kecil dengan gestur senatural mungkin. Agar tak ada yang mengira keduanya sedang membicarakan sesuatu. “Hm?”

“Maaf ya waktu itu ninggalin Kak Haris gitu aja di lapangan,” ucap Gia pelan. “Maaf juga pernah menghindar dari Kak Haris, maaf juga baru sekarang aku berani nyamperin kamu lagi.”

Sudut bibir Haris berkedut menahan sebuah senyuman. “Nggak pa-pa. Mau satu tahun lagi kamu baru berani nyamperin saya juga saya tungguin, kok.”

Kini giliran Gia yang menahan senyumnya. Andai saja gadis itu tahu, betapa bersyukurnya Haris ketika ponselnya menampilkan notifikasi dari Gia setelah sekian lama. Bahkan ia sampai mengira layar ponselnya itu keliru, sebab sejujurnya Haris sudah hampir putus asa. Posisinya bagaikan terombang-ambing, tidak maju, tidak juga menyerah, namun yang jelas Haris cukup putus asa. Ia sudah hampir membiarkan Gia tenggelam begitu saja dalam pikirannya, membiarkan segalanya agar terkubur supaya dirinya tak lagi menuntut kejelasan apalagi balasan untuk perasaannya. Biarlah segalanya berakhir sebagaimana adanya.

Andai gadis itu tahu, betapa bersyukurnya Haris sekarang sebab Gia akhirnya akan meluruskan segalanya.

“Emangnya beneran, Kak?”

Haris menoleh pada gadis mungil di sebelahnya, “Apanya?”

“Omongan kamu yang waktu itu di lapangan,” balas Gia. Haris menatap lurus ke dalam netra kecokelatan milik Gia. Cukup lama hingga rasanya ia lupa untuk berkedip, sebelum akhirnya Haris memalingkan wajahnya lagi. Sekon berikutnya, tanpa bersuara, Haris mengangguk. Pelan, tapi terlihat yakin dan pasti.

Kini Gia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah nyaris bersemu mendapati jawaban Haris. “Itu—pertama kali di hidup aku ada yang nyatain perasaanya ke aku,” ucap Gia, yang sontak membuat Haris menoleh. “Jadi aku bener-bener nggak tau harus bereaksi kayak gimana. Maaf ya, Kak, refleks pertamanya waktu itu kabur. Soalnya malu banget. Selama ini aku selalu kabur kalo ada Kak Haris juga karena itu...”

Ah, begitu rupanya. Penjelasan Gia kali itu berhasil membuat Haris sedikit lega—juga sedikit berharap, bahwa kisah cintanya akan berakhir baik.

“Itu juga pertama kalinya saya bilang begitu. Maaf ya, Gi, kalo ngagetin,” balas Haris. Tepat setelah itu, tawa keduanya menyembur bersamaan. Entah apa yang lucu, yang jelas, keduanya merasakan kupu-kupu yang sama.

Do you have any reasons to that? Maksudnya—look at you, you're—perfect, kenapa sukanya malah sama orang yang bukan siapa-siapa kayak aku?”

Haris lagi-lagi tersenyum tipis, “Kalo saya sempurna, saya nggak di sini, Gi.

Gadis itu menoleh, menunggu kelanjutan kalimat Haris yang sengaja ia gantung. “Bumi itu tempatnya orang-orang yang nggak sempurna, Gi. Tempatnya orang-orang yang punya kurang. Kalo kamu nemuin saya di sini, berarti kita sama aja. Nggak ada bedanya.”

“Suka sama kamu tuh—gampang, Anggia,” ucap Haris lagi. Kali ini pemuda itu berbicara seraya menatap kakinya yang bergerak memainkan kerikil kecil di jalanan. “Kalo nggak percaya, tanya aja sama Aghni. Dia aja yang perempuan, bilang kamu lovable. Katanya sekali liat langsung bikin pengen peluk—itu kata Aghni loh, bukan saya.”

Keduanya kini berpandangan seraya saling melempar senyum tipis. Hilang sudah rencana keduanya untuk berlagak seperti tidak sedang membicarakan apa-apa, sebab sekarang, siapapun yang melihat pasti tahu bahwa ada sesuatu di antara Haris dan Gia. “Tapi serius,” lanjut Haris. “It's easy to fall for you, i could even fell harder by seconds.

“Setuju tapi, kamu emang biasa aja,” lanjut Haris lagi, yang sejujurnya membuat Gia terkejut dan merasa sedikit kecewa. Namun sebelum ia salah paham, Haris melanjutkan kalimatnya. “Tapi justru itu poin utamanya. Di dunia yang penuh persaingan dengan orang-orang yang selalu berusaha untuk terlihat menonjol, ketemu sama orang kayak kamu tuh—refreshing aja. Kamu nggak berusaha untuk bikin orang lain terkesan sama kamu, tapi justru itu yang bikin kamu punya kesan tersendiri buat setiap orang yang kenal kamu.”

Gia menghela napasnya. Cukup, jawaban Haris sangat cukup untuk menjawab semua pertanyaannya. Bahkan berhasil mengusir segala rasa rendah diri yang selama ini menguasainya begitu kuat. Sekon berikutnya Gia mengangguk, memantapkan diri akan keputusannya sendiri.

“Kak Haris,” panggilnya. Membuat Haris terfokus menatap ke arah Gia yang kini mendadak gugup. “I think i like you a little too much too.

Di hadapan Gia, Haris terpaku pada posisinya. Kedua matanya tak berkedip seiring benaknya berusaha memproses apa yang barusan Gia ucapkan. Haris menemukan sesuatu yang lain, sebuah perasaan baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Pemuda itu bahkan nyaris menitikkan air mata lantaran kekosongan dalam relungnya sirna seluruhnya. Hatinya menghangat, dadanya membuncah, seakan menyimpan sebuah confetti pesta yang siap meledak menyuarakan kebahagiaan.

“Kak?” panggil Gia.

“Ternyata gini ya rasanya?” ucap Haris setelah panggilan Gia menyadarkannya. “Pantesan kamu kabur,” ucapnya lagi. Kali ini, bersamaan dengan lolosnya sebuah kekehan dari bibirnya.

Gia mengerucutkan bibirnya, “Jangan dibahas lagi, dong... Malu banget, tau! Kan udah baikan...”

“Iyaa, iyaa, enggak!” balas Haris seraya tertawa. Selang beberapa detik, hening kembali menjadi penengah di antara keduanya. Hingga gadis mungil itu kembali memecah keheningan.

“Terus gimana?”

“Apanya?” balas Haris, iseng.

“Kita?”

Haris menipiskan bibir sebelum menjawab. Lesung pipinya yang samar dan sangat jarang terlihat itu kini bahkan turut hadir untuk menandakan betapa lebarnya senyuman Haris saat itu.

“Gia umur berapa, sih?”

Bingung, Gia mengerutkan alisnya sebelum menjawab pertanyaan Haris. “Lima belas tahun, kenapa?”

“Udah boleh pacaran belom sama Mama?”

Mendengar pertanyaan Haris, Gia membulatkan matanya. Sementara Haris sudah mengeluarkan gelak tawanya yang terdengar halus sebab terlalu gemas melihat ekspresi wajah Gia. Gadis itu tahu betul ke mana arah pembicaraan ini akan berlabuh.

“Nggak boleh,” balas Gia lesu. Membuat Haris otomatis menghentikan tawanya. Raut wajahnya pun kini berganti, memancarkan kekecewaan yang meskipun sedikit, namun tetap terbaca.

“Ohh, ya udah. Nggak jadi kalo gitu,” balas Haris.

Kini giliran Gia yang memasang seringai jahil di wajah cantiknya. “Nggak boleh kalo nggak sama Kak Haris, maksudnya.”

Keduanya lagi-lagi tergelak bersamaan sebelum Haris kembali bertanya. “Mau emang?”

“Mau,” balas Gia dengan raut wajah ceria. Lagi-lagi membuat Haris terpaku di tempatnya sementara Gia justru memalingkan wajahnya. Sudut bibir Haris melengkung membentuk sebuah lekukan tipis. Hari ini benar-benar tidak terduga. Dunia memang selalu curang, selalu mengganti aturan permainannya. Sebab setiap ketika Haris mengejar begitu keras, Gia justru semakin jauh darinya. Namun ketika ia berniat untuk melepaskan, dunia justru malah menjadikan gadis itu miliknya.

“Udah berapa lama ya, Kak, kita nggak ngobrol?” tanya Gia.

Haris menghela napasnya, sebelum akhirnya pria itu menjawab sedetail-detailnya. “Tiga bulan, dua minggu, lima hari,” ucap Haris pelan, tanpa memandang ke arah Gia. Mengabaikan tatapan terkejut gadis itu yang kini dilayangkan padanya.

“Kamu—ngitungin—nungguin?”

Haris mengangguk lagi. “Maaf,” ucap Gia.

Sekon berikutnya, pria itu menggeleng dengan seulas senyum tipis. “Don't be sorry, it was worth the wait. Totally.

Totally. Sebab akhirnya, penantiannya selama tiga bulan, dua minggu, dan lima hari itu berujung membahagiakan.