Hari Ini, Milik Kita
Haris's POV
Gue berdiri di lapangan voli sebagai penjuru dari barisan OSIS yang lebih banyak dari MPK. Wajah gue berhadapan sama Dhimas yang berbaris di seberang lapangan, berdekatan dengan wall climbing. Gue tau banget, tuh, dia pasti juga lagi nahan tawanya kayak yang gue lakuin sekarang. Gimana enggak? Biasanya kita ini cuma anak-anak recet, bandel, dan tengil, sekarang tiba-tiba dapet tanggung jawab untuk mimpin dua organisasi yang seakan jadi pondasi sekolah.
Awalnya gue sama Dhimas sama-sama nolak, ogah. Tapi setelah apa yang Gia bilang dan apa yang Aghni sampein ke Dhimas, kita berdua jadi.... Ya udah, lah. Dijalanin aja, kalo kata Ojan, Ini udah waktunya gue bersinar.
Masih lucu sejujurnya kalo dipikir-pikir, gimana pada akhirnya gue sampe di titik ini barengan sama temen-temen gue. Damar yang juga mimpin ekskul futsal, Ojan yang mimpin basket, dan Dhimas yang berada di posisi paling tinggi. Gue tau ini nggak akan mudah, mengingat banyak orang juga yang dari awal udah gedeg sama kita berempat, tapi gue sangat bersyukur karena kita berempat—sama-sama berjaya.
Upacara hari ini bakal berbeda banget. Hari ini gue nggak pake topi, melainkan pake almet OSIS yang belum lama ini badge jabatannya gue ganti. Dari Sekbid. Kepribadian dan Budi Pekerti Luhur, jadi—Ketua OSIS. Strange, isn't it?
Menurut gue, terkenal itu udah cukup jadi tupoksinya Damar. Dia dengan segala tutur katanya yang lemah lembut, pikirannya yang dewasa, perawakannya yang nyaris sempurna, otaknya yang juga kayak diwariskan oleh seorang ilmuwan—Damar punya segala komposisi yang mendukung dia untuk ngejalanin hidup sebagai seorang karakter utama. Sementara gue?
Keluarga gue sempet berantakan, bokap gue sempet ngilang lama banget dari kehidupan gue, anger issues, public enemy, belom lagi gue pernah diskors pula. Instead of being the main character, gue justru lebih cocok jadi pembunuh bayaran.
Tapi persepsi gue berubah tadi malam. Gue sadar bahwa karakter utama, itu bukan hanya yang sempurna dan baik-baik aja. Tergantung genre film yang lo tonton, atau cerita yang lo baca. Lagian, di hidup yang bahkan dibilang panggung sandiwara ini, semuanya nggak bisa dilihat cuma dari satu sisi. Takes a lot to change someone, butuh banyak banget faktor pendukung juga untuk membentuk seseorang menjadi seseorang yang lo liat di depan mata lo sekarang.
Malam sebelum gue tidur, gue sadar bahwa—karakter utama itu terbentuk sebagaimana si penulis membuat ceritanya. Dan di hidup gue, gue penulisnya. Gue yang menentukan sendiri mau ke mana arah cerita gue, gue yang menentukan sendiri akan jadi karakter seperti apa diri gue nantinya. Karena Hanum sering baca novel, gue jadi nemu banyak referensi bacaan. Yang gue tau, ada yang dimulai dengan alur yang tenang dengan build up hingga penyelesaian di akhir, ada yang dimulai dengan alur yang emang udah ganas dari awal.
Tapi, satu lagi yang gue tau, bahwa ada satu hal yang paling penting untuk dimiliki sama para karakter utama. Yaitu perkembangan karakter.
Mungkin di awal cerita gue, Tuhan ngasih modal kepribadian yang emang pantes dihujat. Gue suka marah-marah, gue galak, gue suka bikin orang lain sakit hati pake tutur kata gue, dan lain-lain. Tapi, untungnya Tuhan juga ngasih gue para karakter pendukung yang bisa mengantarkan gue pada sebuah perkembangan karakter. Gue punya Mama, Hanum, Damar, Dhimas, Ojan, dan sekarang.... Papa, alongside with Gia.
Dari Mama, gue belajar untuk berdiri di kaki sendiri. Gimana caranya jadi diri lo yang seutuhnya, how to stand tall—sturdily. Dari Hanum, gue belajar banyak soal kedewasaan dan gimana caranya untuk nggak terjebak di masa lalu. Dari Damar, Dhimas, dan Ojan, gue belajar kalo hidup juga perlu yang namanya main-main. Belajar itu nggak perlu selamanya serius, karena sains juga membuktikan kalo lo bisa belajar sesuatu bahkan cuma dari apel yang nggak sengaja jatuh.
Dari Papa, gue belajar kalo setiap orang pantas untuk dapat kesempatan kedua. Papa juga ngajarin gue untuk berani ngambil risiko, juga untuk berani mendewasakan diri buat selalu mengakui kesalahan dan minta maaf—as for me, memaafkan.
Nah, dari Gia, gue belajar banyak. Si bocah mungil yang suka banget kucing ini ngajarin gue kalo—tangguh, nggak selamanya berarti kita harus keras sama diri sendiri. Anggia, tuh, lembut banget anaknya. Gue yakin banyak orang yang ngira kalo dia tuh cengeng dan lemah. Tapi kalo diliat dari deket, Gia justru lebih dewasa dari gue. Gia tau caranya manage emosinya dengan baik, Gia juga tau caranya nggak berkhianat sama dirinya sendiri. Padahal, kalo dipikir-pikir, kehidupannya juga nggak jauh beda sama gue.
Gia sering sendirian di rumah karena mamanya sibuk kerja dan papanya jauh banget di Kalimantan, Gia cuma punya Om Agung yang juga cukup jarang ada di rumah. Tapi Gia nggak banyak komplain, Gia nggak banyak protes dan nggak banyak marah sama kehidupan yang dia jalanin. Gia cuma butuh satu karakter pendukung yang bisa bikin dia dapetin perkembangan karakternya, bahkan kayaknya dia cuma butuh dirinya sendiri. Nggak kayak gue, yang udah dapet banyak karakter pendukung, tapi tetep lama banget nemuin perkembangan karakternya.
Dari Gia, gue belajar kalo kekuatan dan kelembutan dalam hidup ini, tuh, harus selaras. Gue belajar juga untuk mencintai—diri gue sendiri dan orang lain. Gia dengan segala sikap dan kepribadiannya selalu bikin gue inget akan satu hal yang udah mulai ditinggalkan oleh banyak manusia. Kasih sayang, juga belas kasihan. Hati lo nggak boleh mati kalo lo mau tetep hidup. Jantung mungkin mompa darah setiap hari dan bikin lo 'berfungsi' sebagaimana mestinya, tapi kalo hati lo mati, lo cuma akan hidup kayak robot. Semua jadi nggak terasa maknanya, hidup lo jadi terasa berat dan—hampa.
Terlalu nyaman bengong, gue sampe nggak sadar kalo sekarang upacara udah selesai. Itu artinya sekarang giliran gue, Dhimas, dan temen-temen gue yang lain untuk dilantik. Karena suara gue berat, otomatis gue diincer buat jadi penjuru dan ngasih aba-aba. Malu banget sejujurnya, anjir. Tapi ya udah, bodo amat, gue ganteng.
Pasukan gue dan Dhimas bertemu di tengah lapangan, jujur, ini pasti keren banget, tai! Dengan Dhimas yang megang bendera merah putih, sementara gue megang bendera OSIS, kami berhadapan. Bendera yang sama-sama kami sanggah di perut itu saling bertemu, seakan-akan memberi salam untuk satu sama lain—mewakili salam gue dan Dhimas yang pasti akan berbunyi, JAKH, KETUA KETUAAN!
Ini bendera berat banget jujur, tapi ya udah, ini doang yang bikin mahal pertunjukan soalnya. Terus udah, nih, gue sama Dhimas disumpah jabatan. Ditanya siap nggak, siap nggak, gue sama Dhimas nyaut aja siap, siap. Biar cepet kelar. Kata Damar, dosa kalo nggak beneran sumpah-sumpahnya. Bodo, lah. Lu cobain sini, Dam, megang bendera beginian. Kalo nggak oleng tuh badan ceking lu....
Abis selesai sumpah, untung Kak Vio dan Kak Bayu ngambil bendera gue dan Dhimas—dipegangin doang bentar soalnya gue sama Dhimas harus tanda tangan dulu. Biar resmi, lah, intinya, sebagai ketua OSIS & MPK periode baru. Selesai. Tapi sebelum gue balik lagi ke tempat semula, ketua-ketua ekskul juga dipanggilin untuk ikutan diresmikan sebagai ketua pengurus yang baru. Ini, adalah part yang bikin gue merinding.
Kak Yuna sebagai MC ulung, kembali menyebutkan nama-nama pengurus baru. Dimulai dari Dhimas.
“Ketua MPK, Dhimas Wijaya.”
“Ketua OSIS, Muhammad Haris.”
Wah, ngedengerin itu aja.... Bener kata Gia, gue juga harusnya bangga sama diri gue sendiri. Gue harusnya bangga karena udah berhasil sampai sejauh ini. Haris yang dulu mungkin udah cukup sibuk memperbagus dirinya sendiri, mungkin sekarang saatnya untuk Haris yang lebih baru ini untuk turut memperbagus orang-orang di bawah naungannya. Sebagai pemimpin.
“Ketua Ekstrakurikuler Futsal, Yudhistira Damar.”
“Ketua Ekstrakurikuler Basker, Jauzan Narendra.”
Dua temen gue ikut disebutkan lagi, dan percaya atau enggak, ini berhasil bikin gue berkaca-kaca. Seakan hari ini nggak ada lagi Petantang-Petenteng yang kerjanya cuma main-main, nggak ada lagi Petantang-Petenteng yang kerjanya cuma nerima protes karena keusilan Ojan, nggak ada lagi Petantang-Petenteng yang kerjanya full petantang-petenteng. Lo tau? Hari ini rasanya kayak disapa sama Petantang-Petenteng yang lebih baru, yang lebih dewasa, dan yang lebih tau tujuan hidupnya.
Selesai nama Ojan disebut dan kita kembali ke barisan awal untuk pada akhirnya bubar jalan, gue yakin kalo abis ini gue nggak akan takut apapun lagi. Akan gue jalanin semuanya barengan sama ketiga temen gue—tapi tetep, sambil main. Sambil tetep having fun.
Upacara bendera sekaligus serah terima jabatan dinyatakan selesai. Semua peserta didik dipersilakan meninggalkan lapangan. Semuanya auto bubar, kecuali gue dan Dhimas yang langsung lari ke tengah lapangan. Tos-tosan, peluk-pelukan, kata-kataan.
“Dongo banget tiba-tiba jadi ketua OSIS!” ucap Dhimas, lah, dia lebih dongo berarti karena jabatannya lebih tinggi dari gue. Gimana, sih?
“LU, LAH! Nggak ada angin, nggak ada ujan, jadi ketua MPK!” balas gue.
“Enggak, ege, ini semua gara-gara mulut berbisanya Damar, makanya kita kepilih,” timpal Dhimas lagi. Nggak perlu nunggu lama-lama untuk gue ngeluarin jawaban gue, “Iya, anjrit! Setuju!”
Sementara Dhimas sibuk ngibas-ngibasin almetnya gerah, gue curi-curi kesempatan untuk nyari Gia di tengah-tengah lapangan yang isinya orang pada sibuk foto. Nggak lama, mata gue menangkap si manusia jelmaan marshmellow ini baru selesai foto sama Zahra. Mungkin dia sadar diliatin, jadi dia juga balas tatapan gue. Sepersekian detik, bola mata cokelatnya melebar sebelum akhirnya menyipit membentuk bulan sabit.
Ya elah, si Kalila satu ini emang beneran minta disayang banget.
Gue balas senyum tipis—nggak sempet lama-lama karena abis itu Ojan nyodok dagu gue. Maksudnya mau meluk, tapi karena kelakuannya yang beneran mirip kucing garong, tangannya jadi nubruk muka gue juga.
“WIS, WIS, WISSS, KETOS KETOS!!” seru Damar. “Bener, kan, kata gue? Sertijab lo berdua, tuh, seruan pake bendera!” ucapnya lagi.
Gue ketawa tapi sebel, “Berat, anjing!”
“TAU LU, DAM! COBAIN, DAH, LU TENTENG TU BENDERA!” Dhimas menimpali, “gue ngeri pingsan doang dari tadi, demi Allah, dah!”
Setelahnya Ojan ngejawil dagu Dhimas iseng, “Jangan marah-marah mulu dong, KETUMPEK-ku cinta!”
Tawa kita bertiga meledak bersamaan, “Jelek banget, anjay, KETUMPEK!”
“Jelekan Ojan lah, KEBAS dia. Ketua Basket,” ucap gue, yang segera ditimpali lagi oleh Dhimas. “JAKH, KEBAS! TANGAN KALI, AH, KEBAS!”
Ojan mengerucutkan bibir, “Dari pada Damar, KEPUT! Ketua Putsal“
'“Mana ada, dih, orang pake huruf f!”
“Ya, siapa tau yang ngomong orang Sunda? Huruf f jadi p gitu yeh!”
Suka-suka lu dah, Jan. Pimpin dunia ini sesuka lu, Jan.
Tanpa sadar, dari tadi ternyata kita berempat saling rangkul dan membentuk sebuah lingkaran tepat di tengah lapangan. Biarin, lah, orang mau bilang apa. Terserah mereka mau menganggap kita gimana. Yang jelas, gue, Dhimas, Damar, dan Ojan mau menikmati dulu momen yang bakal jadi cerita turun temurun buat anak-cucu nanti. Momen yang nggak bakal bisa terulang lagi.
Hari ini rasanya jadi momentum kebanggaan untuk banyak orang. Buat Kak Vio dan Kak Bayu yang udah berhasil menamatkan masa jabatannya dengan baik, buat gue dan Dhimas yang baru akan mulai berjalan, buat Damar yang akhirnya bisa menempatkan wibawanya di tempat yang tepat, juga buat Ojan yang akhirnya punya kesempatan untuk menunjukkan sisi lain dirinya ke dunia ini.
Pokoknya hari ini, kita bintang utamanya, kita karakter utamanya. Hari ini, dunia milik kita.