Her Castle On The Hill

VANESSA'S POV

People said—kalau aku sama Haris bisa pacaran beneran, we could make a perfect couple. I mean of course, siapa yang nggak berpikir begitu? Bahkan aku pun berpikiran sama. Bukan bermaksud sombong, tapi rasanya semua orang kenal aku—ya, karena terlalu sering nolak lelaki yang confess ke aku. Capek, sih, gimana dalam seminggu aku harus nerima banyak banget cokelat dan bunga—yang asli maupun palsu. Laci meja sekolahku sampe membludak, bukan karena barang-barangku, tapi karena barang pemberian mereka semua.

If i ever to create a fantasy of my own, it would officially be Haris and I, building our own castle on the hill away from anybody. Where he's the King and i'll be the queen. Tapi, siapa yang tau nantinya ini akan jadi kenyataan atau—berujung cuma jadi my greatest fantasy?

Aku nggak minta ini semua, aku juga nggak menikmati keadaanku yang begini. Tau kenapa? Karena aku jadi nggak bisa diliat sebagai diriku sendiri.

Aku sukanya Haris. Cowok tinggi yang entah gimana caranya nolongin aku di perpustakaan waktu itu. Padahal menurut orang-orang, tinggiku udah melebihi batas normal. Tapi, entah kenapa aku masih nggak sampai untuk ngambil kamus Oxford yang entah gimana caranya ada di rak paling tinggi itu. Aku juga nggak tau gimana Haris bisa ada di situ, selama ini pun aku nggak pernah kenal dia. But love really does come in mysterious ways, doesn't it?

Long story short, aku jadi cari tau dia siapa. Ternyata namanya Muhammad Haris dari kelas 7E. Pantesan Haris bilang kelasku jauh banget sama kelas dia waktu pertama kali aku chat. And then that's it, i spent my seventh grade having a crush on him.

Haris, tuh, keren. Banget. Caranya main basket setiap kali olahraga, caranya jalan, caranya ngelirik sinis ke setiap orang yang ngomongin dia, caranya bercanda sama Jauzan, dan lain-lain. Aku cuma nggak tau satu, aku belum pernah liat Haris ketawa selepas Jauzan. Setiap bercanda sama Jauzan, pasti dia cuma senyum tipis aja. Memang, sih, gosipnya Haris itu selalu dingin dan menyebalkan. Dia jarang banget ngobrol sama orang lain, satu-satunya yang diajak ngobrol ya cuma Jauzan dengan segala keberaniannya untuk deketin Haris.

Aku juga nggak tau kenapa dia begitu, kata Jauzan, emang hidupnya udah berat. Masuk akal, tapi memang dindingnya Haris itu udah kelewat tebal untuk dihancurkan sama satu orang. I guess not even Jauzan. But, maybe i could try to help him, kan?

Ah, speaking of the devil, aku lihat Haris lagi berdiri sambil mainin HP-nya di depan gerbang—sesuai sama tempat janjian kita sebelumnya. Oh—haven't i told you that his way of standing—itu juga keren? Well, kayaknya semua orang udah tau kalo keren adalah nama tengah Haris.

Nggak tau juga, deh, setan dari mana, aku tiba-tiba dapet dorongan untuk confess ke Haris. I don't care what people say, i'm head over heels. Dan cuma Haris yang bisa bikin aku kayak gini.

“Haris!” Cowok itu noleh karena suaraku yang menggema di lobby sekolah. Haris otomatis memasukkan ponselnya lagi ke dalam saku, very well-mannered, huh? Keliatan jelas dia orangnya sangat beretika karena saat dia tau mau ngobrol, dia segera simpen HP-nya.

“Kenapa? Buruan!” balasnya. Ya ampun, suaranya itu—dari mana ya asalnya?

“Heh,” ucap Haris lagi. Aku jadi lupa, malah jadi bengong karena tersuguh manusia yang penampilannya super-super unreal. I swear to God, how am i supposed to react ketika di depan mataku ada lelaki dengan tinggi menjulang, kulit seputih porselen dan—terlalu mulus untuk ukuran remaja laki-laki yang biasanya jerawatan dan penuh biang keringat, hidung mancung, dan bola mata hitam pekat? Kayaknya, nggak pingsan dan masih bisa bernapas dengan baik aja udah bagus.

Aku berdeham sekaligus nelen ludah, akhirnya beraniin diri untuk natap Haris lagi. This is it. i won't hold back any longer.

“Aku suka sama kamu, Ris.”

Lolos, lolos sudah rahasiaku yang juga sudah jadi pengetahuan umum itu. Tapi Haris—seems.... Not surprised? Sama sekali nggak ada raut terkejutan di wajah tirusnya yang selalu tegas dan garang itu. Sesekali bola matanya bergerak naik-turun, alisnya yang tebal itu turut bertautan. Terlihat bingung, tapi tetap datar. Selang beberapa saat, Haris akhirnya membuka suara.

“Lo mau ngomong itu doang?” tanyanya.

Hah? Apa, sih, ini?

“Lo mau ngomong itu doang?” tanya Haris sekali lagi. Dengan gugup, aku mengangguk. Ya.... Karena emang cuma itu yang pengen aku omongin?

Setelahnya terdengar lagi suara dari Haris yang bikin aku kembali tersadar dari lamunan. “Gue balik, ya?”

HAH? INI APA, SIH!? Kenapa responsnya begini doang? Ya Tuhan.... Apakah ini karmaku karena terlalu banyak mencapakkan orang-orang?

“Haris, tunggu!” ucapku. Jelas, lah! Aku nggak mau dapet respons yang aneh kayak gini. Semuanya harus jelas!

“Kenapa lagi?”

“Aku kan udah bilang aku suka sama kamu, terus kamu udah tau. Nah, terus gimana? Jawaban kamu apa!?”

“Ya.... Nggak ada,” pungkas Haris, “gue aja nggak tau lo siapa—oh, lo.... Vanessa?”

I was too stunned to speak. I swear to God, this man right here.... Was really something else. Yang terjadi selanjutnya adalah aku cuma mengangguk dan membiarkan dia pulang. Hari itu aku tau, kalo harapanku soal dunia yang nggak cuma berputar untukku itu terkabul. Dan Haris baru aja membuktikan itu.

And i guess that castle on the hill will just be my greatest fantasy at the end, but who knows.... Right....?