Epilog : The Heart She''ll Never Have
Ingar-bingar musik hits pada masanya mendominasi lapangan SMA yang ramai dipenuhi para siswa dan pendatang dari sekolah lain yang siap menonton pertandingan tim-tim favoritnya. Gedung sekolah bahkan sudah rapi terhias flyer-flyer yang suasana School Cup ini semakin meriah—hasil kerja keras Haris dan para anggota di bawah pimpinannya. Jangan ditanya kondisi pria jangkung itu. Ia sudah kesana-kemari dengan mengantungi dua buah HT di saku kanan dan kirinya. Seringkali bahkan Haris bingung mana yang berbunyi memanggilnya.
“Mana scoring board-nya? Udah diambil belom? Keluarin aja. Nanti abis pembukaan segala macem jadi tinggal geret doang!” Satu lagi instruksi Haris untuk divisi perlengkapan. Membuat dua orang lelaki di hadapannya segera melesat melaksanakan perintahnya.
Setelahnya Haris mendekatkan bibirnya pada HT, mengucapkan satu lagi instruksi untuk divisi keamanan. “Alwan, Alwan, halo?”
“Ya, Kak?”
“Lo di mana?”
“Di luar, kenapa, Kak?”
“Itu, katanya ada wasitnya yang dateng pake mobil. Coba nanti tolong dikondisikan aja ya parkirannya. Takutnya nggak muat!”
“Okeee!”
“Thank you, Wan!“
Sudah lelah, Haris akhirnya memilih untuk melipir sejenak menghampiri Dhimas yang berdiri di pinggir lapangan. “Ngapain lu? Bagi dong,” ucap Haris sebelum akhirnya merebut plastik es berisi minuman berperisa jeruk.
“Aus, capek banget, yak!? Gue aja udah lupa ke mana kaki gue ini melangkah,” keluh Dhimas.
“Lebay banget, tai! Melankolis lu!” cela Haris, keduanya kemudian terpingkal. “Mana si Dedek? Belom dateng juga?” tanya Dhimas, membuat Haris segera mendelik tajam.
“Dedak, dedek, dedak, dedek! Tadi, sih, katanya udah jalan ke sini. Paling bentar lagi sampe,” balas Haris, “nggak tau, dah. Emang yang namanya Gia demen banget telat. Kocak!”
Dhimas mengulum senyumnya, “Yee, kalo dia nggak telat, kisah lu berdua kagak berlanjut!”
“Bener, sih,” ucap Haris lagi. “Ya udah, lah, gue tunggu dia depan gerbang aja, Dhim. Sekalian mantau gerbang.”
“Ya udah, kabarin kalo ada apa-apa.”
Haris hanya mengangguk menanggapinya. Sekon berikutnya pemuda itu segera membiarkan kaki jenjangnya membelah lapangan menuju gerbang. Haris terfokus pada langkahnya, selalu akan begitu. Namun sebuah suara mengagetkannya.
“Haris!”
Pemuda itu menoleh, menemukan sosok yang telah lama hilang dari penglihatannya. Vanessa Wulandari. Mereka bertemu kembali hari itu.
Haris mengerjapkan matanya terkejut, sementara Nessa menghampirinya dengan tergesa. “OH MY GOD, IT'S YOUUU!!!“
Pemuda itu memutar badan pada akhirnya, menatap Vanessa sepenuhnya. Wah, sudah banyak yang berubah. Rambutnya kini kecokelatan dan kian panjang bergelombang, entah tinggi Vanessa bertambah atau dirinya yang kian bertambah tinggi, yang jelas gadis itu terlihat jauh lebih pendek dari terakhir kali Haris menemuinya. Raut wajah Vanessa lebih dewasa dari sebelumnya, begitu pula suaranya, dan caranya bergerak. Kali ini lebih anggun dari sebelumnya.
“Nessa?”
“Oohhh, jadi kamu sekolah di sini, Ris?” tanya Nessa. Sekon berikutnya Haris mengangguk dan terkekeh pelan. Kemudian Nessa terdiam dan menyadari kaus panitia yang Haris kenakan.
“Kamu panitia? Kamu ikut OSIS? Wah, serius? Seorang Haris ikut OSIS?”
Senyum Haris kian melebar, “Gue ketuanya malah.”
“OH!?” Nessa berseru terkejut, “how cool! Kamu apa kabar, Ris?”
“Gue—ngelewatin banyak banget hal. Tapi, gue bisa bilang kalo sekarang udah jauh lebih baik dari terakhir kali kita ketemu,” pungkas Haris.
Gadis dengan setelan kaus rajut merah muda berlogo ceri itu mengangguk paham, “I see, you also seem happier dari waktu SMP.*”
Haris melepas tawanya, “I am.“
“Ojan tadi emang bilang, sih, sekolah lo ada di list peserta. Tapi gue nggak tau kalo lo bakal hadir hari ini,” ungkap Haris, memantik keterkejutan pada wajah Nessa untuk kesekian kali. “Ojan? Jauzan Narendra? Dia satu sekolah lagi sama kamu!?”
“Satu sekolah lagi, sekelas lagi, sebangku lagi. Bosen, tapi untung sekarang gue punya dua orang lagi buat nemenin gue menghadapi Ojan,” balas Haris. Seakan memberikan life update pada Vanessa setelah sekian lama tidak berjumpa.
Gadis itu tertawa di hadapannya. “Kalo hati kamu gimana urusannya? Masih kayak dulu, kah? Atau udah—”
“Wah, kalo itu.... Kayaknya gue bisa diitung udah lebih dari siap, sih. Udah jago gue sekarang, Nes,” canda Haris. Sekon berikutnya ia menghela napasnya, menenangkan diri agar tidak terlalu bersemangat lantaran menceritakan sesuatu yang berkaitan dengan pengisi hatinya. “Gue berhasil nata diri gue lagi dari awal. Mungkin karena sekarang gue juga punya temen-temen baru, jadi gue lebih bisa membuka diri, sih. Kalo lo sendiri, gimana?”
I'm still here. Waiting for you....
“Hmmm, sama aja, sih. Nggak banyak yang berubah,” balas Nessa. Dan Haris hanya menjawabnya dengan sebuah 'oh' panjang.
“Ris, aku masih—”
“KAK HARISS!!“
Sebuah seruan memanggil nama Haris dengan riang itu membuat ucapan Vanessa terputus. Baik gadis itu dan Haris sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Tertangkap jelas oleh kedua mata Nessa bahwa Haris melambai dengan semangat pada gadis dengan setelan kaus putih bergambar beruang dengan celana berwarna sage green itu.
“Nes, nanti lagi ya ngobrolnya. Cewek gue udah dateng,” ucap Haris. Gestur tubuhnya resmi berubah. Sebelumnya Haris sangat-sangat tenang, namun kini pria itu terlihat seperti sedang kebelet pipis, tak tahan ingin buru-buru lari. Maka Nessa tak punya pilihan lain selain mengangguk, melepaskannya.
“Bye, Nes!”
“Anggi!!!! Kangen banget!” Persetan dengan pandangan orang-orang, Haris berlari secepat kilat menghampiri Gia yang berlari-lari kecil menghampirinya. Haris tidak membual saat mengatakan bahwa ia merindukan Gia. Sebab sudah menjadi kebiasaannya ketika sedang mengurus event OSIS, pemuda itu pasti tidak akan sempat bertemu dan mengabari Gia. Dan itu terjadi selama beberapa bulan ini.
Vanessa menyaksikan semuanya dengan jelas. Rupanya Haris yang dulu sudah benar-benar hilang. Tergantikan dengan Haris yang selalu bersemangat, ceria, berwibawa, dan selalu mengarungi dunia dengan hatinya yang terbuka—pada orang lain.
Nessa mengerjapkan mata ketika merasakan air mata mulai menggenang di pelupuknya. Bagaimana tidak? Hatinya remuk, melihat ada seseorang lain yang mendapatkan sesuatu yang selalu ia dambakan sejak dulu. Lambaian tangan Haris, tatapan penuh cinta dari Haris, ungkapan-ungkapan rindu dari Haris, juga pelukan hangat dan puk-puk di kepala dari Haris.
“Jangan nangis, Nessa. Orang kayak Haris nggak pantes kamu tangisin.”
Yang bisa Vanessa lakukan hanyalah terus memberi sugesti pada dirinya sendiri. Bahwa Haris tidak pantas ia tangisi, bahwa dirinya lengkap tanpa Haris, dan dirinya bisa melanjutkan hidup tanpa Haris.
“Kamu kenapa nggak makan dulu, sih, Gi?“
“Nggak mauu, nanti kelamaan, Kakk!“
“Astagaa, ya udah ayo makan dulu. Aku temenin!“
Samar-samar Nessa mendengar percakapan Haris dengan kekasihnya. Kalau Nessa tidak salah salah dengar, namanya Anggi. Siapapun itu, Nessa tahu pasti bahwa Anggi adalah seseorang yang tak akan pernah bisa ia kalahkan. Sebab usaha sekeras apapun rasanya tak akan pernah mengalahkan orang yang tepat di waktu yang tepat.
Nessa masih memandangi Haris dan Anggi yang menjauh. Serta bagaimana tangan keduanya bertautan, bagaimana Haris menukar posisi berjalan agar Anggi tetap aman, bagaimana Haris menjahili pujaan hatinya dengan mencengkram kepalanya gemas dengan satu tangan—Vanessa mengerti sekarang. Haris jelas menemukan peran yang harus ia isi dalam hidup Anggi. Peran yang Haris bilang, tak akan pernah ia temukan dalam hidup Vanessa.
Mungkin Haris benar, Vanessa harusnya meninggalkan Haris sejak lulus SMP. Sebab pemuda itu pun benar-benar melakukannya. Hari ini Vanessa resmi menyerah. Ia benar-benar bertekad untuk meninggalkan Haris di tempatnya berdiri, dan tak lagi membawa memori perihal pemuda itu di dalam hati dan pikirannya.
Pun, Nessa mengucapkan selamat pada seseorang yang berhasil memenangkan hati Haris— . . . . . . . —yang tak akan pernah menjadi miliknya. Sampai kapanpun.