The Last Good Bye

Tentu saja kedatangan Haris dan Vanessa sebagai pasangan prom night kala itu menjadi perbincangan hangat dan pusat perhatian bagi seluruh pasang mata yang hadir. Tetapi keduanya cuek. Sebab hanya mereka yang tahu apa yang terjadi di balik itu semua. Acara perpisahan sekolah dibagi menjadi dua hari itu. Pagi sampai siang adalah perpisahan biasa di sekolah, lengkap dengan guru-guru dan orang tua. Kemudian dilanjut sore hingga malam, khusus untuk siswa dan beberapa perwakilan komite yang hadir.

Jujur saja, Vanessa terlihat cantik dan anggun dalam balutan long dress putih keemasan bermanik meriah namun tak berlebihan. Lengan panjang dengan cutting yang menyerupai mermaid itu membingkai postur tubuhnya dengan baik. Surai panjangnya dibiarkan terurai dengan style bergelombang. Ditambah polesan riasan wajah yang secukupnya, membuat Vanessa lantas merebut tahta perempuan paling cantik yang hadir di sana.

Gadis itu duduk dengan tegap di sebelah Haris, pemuda yang mengenakan setelan tuxedo hitam yang lebih mirip blazer. Kemeja putihnya tak polos, ada sedikit motif hitam di pojok kanan bawah yang sesekali mengintip dari balik balutan jas empunya. Ah, pilihan baju mama memang tak akan pernah gagal untuk membuatnya menawan.

“Lu, kok, akhirnya dateng?” bisik Ojan dari sebelah kanan Haris. Mendengar pertanyaan itu, Haris otomatis berdecak. “Lo, mah, gue dateng salah, nggak dateng salah!”

Ojan hanya terkekeh. “Lo takut kalah saing sama gue-Sesil, kan?”

“Ah, kita, mah, nggak usah saingan. Orang-orang juga udah tau siapa yang menang.”

“SONGONG LU!” seru Ojan seraya memukul pundak Haris penuh sayang. Membuat Haris mengaduh kesakitan dengan tatapan penuh emosi. Di sebelah keduanya, Vanessa dan Sesil hanya bisa tertawa menanggapi keributan kedua belahan jiwa itu.

“Eh, lo pada mau lanjut ke mana?” tanya Sesil.

“Gue kayaknya ngikut Haris, deh,” ucap Ojan. Lagi-lagi Haris berdecak, “Jangan ngintilin gue mulu, sih! Bosen gue liat muka lu dari pagi sampe sore! Mana tiga tahun sekelas mulu lagi.”

“Kenapa, sih, Ris? Lo ngeri naksir gue ya?”

“Ih, amit-amit jabang bayi ya Allah!” seru Haris, buru-buru memukul-mukul meja di hadapannya.

“Emang kamu mau lanjut ke SMA mana, Ris?” Pada akhirnya Vanessa memberanikan diri untuk bertanya. Haris akhirnya menoleh pada gadis itu setelah mati-matian menghindari tatapannya. “Hm? Gue? Belom tau.”

“Ngibul dia, Nes! Emangnya lo nggak jadi ke SMA yang waktu itu kita bilang itu?” tanya Ojan. Duh, si mulut ember. Gagal sudah rencana Haris memperhalus aksinya untuk merahasiakan SMA tujuannya pada Vanessa.

“Ya, tapi, kan, masih belom tau jadi ke sana atau enggak,” balas Haris. Berusaha tetap tenang. Beruntung setelah itu Ojan pun segera menangkap maksud Haris. “Oh—OOOHHHH, iya juga, sih. Bener, bener.”

Sayangnya, Vanessa pun tidak bodoh untuk menangkap maksud keduanya. Bahwa Haris tak ingin lagi bertemu dengannya. Merahasiakan SMA tujuannya adalah salah satu upaya untuk mencegah Vanessa bertemu dengannya, kan?


Selang dua jam, acara itu akhirnya selesai juga. Haris memilih untuk menemani Vanessa hingga jemputannya tiba. Meskipun hari belum terlalu malam, tetap menjadi tanggung jawabnya untuk menjaga Vanessa hingga pulang dengan selamat.

“Makasih banyak ya, Ris. Udah mau dateng hari ini,” ucap Vanessa tulus.

“Santai.”

Hening menyelimuti. Keduanya kini sama-sama menunduk menatap alas kaki yang melindungi telapak masing-masing. “Jadi, kamu sebenernya udah tau mau lanjut ke SMA mana atau belum, Ris?”

“Hm?” Haris sontak mendongak, kemudian ia mengulum bibirnya sebelum terkekeh pelan. “I won't tell you that. Tapi lo boleh nebak. Jadi, kalo nanti ternyata kita satu SMA lagi, berarti emang ada campur tangan Tuhan.”

Vanessa tersenyum tipis—miris, lebih tepatnya. “So, is this a good bye or is this a see you later?”

Kedua mata Haris menerawang ke udara untuk sesaat. Sekon berikutnya ia kembali menatap ke arah Vanessa. “Let's make it a good bye. Gue udah bilang, kan? Setelah lulus, lo harus ninggalin gue di sini, Ness. Jangan simpen gue di hati atau pikiran lo lagi. Lo harus lanjutin hidup tanpa gue, Vanessa.”

Lagi-lagi Vanessa menunduk dalam. Tidak, ia tak akan menangis lagi di hadapan Haris. Orang seperti Haris tidak pantas untuk ia tangisi, kan? Maka Vanessa mengangguk pasti.

I will.

Good.

Canggung mendominasi di antara keduanya. Lebih-lebih dari ketika keduanya harus sedikit bercengkerama di dalam gedung tadi. Beruntung supir Vanessa telah tiba, membuat gadis itu mau tak mau harus segera pamit pulang.

“Itu jemputanku udah dateng,” ucap Nessa. Dan Haris mengangguk menanggapinya. “Iya, hati-hati pulangnya.”

Namun Nessa masih belum beranjak. Masih ada yang ingin ia sampaikan, namun lidahnya kelu seiring batin dan pikirannya bergejolak di dalam dirinya. Di hadapannya, Haris masih menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Menunggunya entah untuk bicara atau untuk pergi. Dan Nessa memilih untuk—

I love you.

—mengutarakannya.

Ah, untuk ketiga kalinya, Haris menatapnya datar. Sama sekali tak ada keterkejutan ketika mendengar Vanessa menyatakan perasaannya secara gamblang. Pemuda itu membiarkan sudut bibirnya sedikit naik membentuk lekukan senyum kecil, setelahnya ia mengangguk pelan.

I know.

Lagi-lagi jawaban yang tidak sesuai harapan. Maka Nessa resmi menyerah malam ini. Gadis itu memaksakan senyum manis di wajahnya sebelum mengucap pamit terakhirnya pada pemuda dambaannya.

Bye, Ris.”

Bye.

Tepat setelah Haris membalas, Nessa segera melenggang pergi. Sementara Haris? Menatap punggung gadis itu menjauh. Dan malam itu, resmi menjadi terakhir kali keduanya bertemu.