Uluran Tangan Pertama

Dhimas memilih untuk menunggu di atas motor dengan satu kaki terangkat. Pemuda dengan kaus hitam dan celana seragam putih yang masih setia ia kenakan itu berusaha sabar menunggu si teman sultannya untuk keluar. Seperti yang Dhimas bilang, mendatangi rumah Haris itu setara susahnya dengan mendatangi Buckingham Palace.

Sesekali ia mengusap peluhnya yang muncul akibat matahari yang masih terik meski sudah sore. Di tangannya bertengger plastik minuman berembun berisi es teh manis, pula ponselnya yang kini menampilkan cuitan teman-temannya di ranah Twitter. Pemuda itu mati-matian berusaha membunuh waktu dengan segala cara. Dhimas sejak tadi bahkan hanya diam dan memperhatikan motor-motor yang sesekali lewat. Sungguh sebuah atmosfer yang menenangkan jika saja panas tidak membara sore itu.

Dhimas menyeruput es teh manisnya yang masih bersisa setengah itu, kemudian berniat untuk lanjut berselancar menjelajah akun sosial medianya sampai Haris—atau Ojan dan Damar datang. Namun tiba-tiba—

WHOA, WHOA, WHOA! AAAAAAAAAA!

CKIIITT! BRAKK! JDAR! JDER!

Sontak Dhimas terkejut, matanya membulat seiring di depan matanya tersuguh sebuah crime scene.

It was a hell of a crime scene.

Seseorang tersungkur dengan kaki kanannya terjepit badan motor di selokan yang menganga. Benar, sebuah motor beserta pengendaranya itu baru saja tersungkur di selokan depan rumah Haris yang sedang dibersihkan. Tanpa pikir panjang, Dhimas buru-buru membuang es teh manisnya ke tempat sampah dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Sekon berikutnya ia berlari secepat kilat menuju korban kecelakaan yang ia saksikan dengan mata kepalanya.

Seorang gadis merintih kesakitan. Tangan kanannya lecet dan penuh luka, mungkin akibat bergesekan dengan dinding selokan yang tajam dan tidak rata. Kaki kanannya itu—jangan ditanya. Rok putihnya bahkan kini berubah abu-abu kehitaman.

“Eh—eh, bisa bangun nggak?” tanya Dhimas. Tentu saja pemuda itu otomatis berusaha mengangkat badan motor yang menjepit perempuan di hadapannya. Perempuan itu masih merintih kesakitan, nyaris menangis, namun sekuat tenaga berusaha menggerakkan tubuhnya untuk menyingkir dari tindihan motornya sendiri. Sulit bagi Dhimas untuk mengeluarkan motor itu dari selokan sendirian, namun usahanya barusan cukup untuk memberi si korban akses untuk meloloskan diri dari timpaan motor.

“ASTAGA, ADEL!?”

Dhimas dan perempuan itu menoleh ke sumber suara. Itu Haris, si sultan paling laknat sedunia. Pemuda itu baru saja turun, mengenakan celana pendek dan kaus rumahan berwarna cokelat. Sungguh sebuah penampilan yang—kalau kata Dhimas, santai beneuuur.

Sama seperti reaksi Dhimas sebelumnya, Haris pun tergopoh-gopoh menghampiri TKP. Namun, sesampainya di sana, inilah yang menunjukkan pada Adelia mana yang seorang gentle man, dan mana yang.... Seorang bajingan.

Alih-alih menolong dan mengkhawatirkan kondisi Adel, Haris justru tertawa terbahak-bahak hingga harus memegangi perutnya sendiri. “DEL—BWAHAHAHAHAHAHAHAHAH! DONGO BANGET! KENAPA LU!?”*

Adel kesakitan, tapi tenaganya masih cukup untuk memberi umpatan pada Haris. “GUE KEJEBUR GOT! MASIH LU TANYA KENAPA—DASAR BAJINGAN!”

Dhimas yang tak tahu apa-apa itu kini hanya bisa terpaku dengan tatapan bingung menyaksikan interaksi dua orang di hadapannya. “Aduh, aduh sumpah nggak ada lagi yang jalan hidupnya sekocak lu, Deli! Aduh!” ucap Haris sebelum akhirnya batuk-batuk. Mampus, tua bau tanah! umpat Adel diam-diam.

Sorry, sorry, Dhim. Ini tetangga gue, namanya—WAHAHAHAHAHAHAH ROKNYA ITEM! IH IH BELATUNGANN!”

“MANA ADA IHHH YANG SERIUS DONG!!”

Dhimas terkekeh setelahnya. Oh, ini yang namanya Adel, pikirnya. Sekon berikutnya pemuda itu memilih untuk mengakhiri pertengkaran antara Haris dan Adel. “Udah, Ris. Tolongin dulu, takut lukanya makin infeksi. Kotor soalnya kena air got.”

“Motornya angkat dulu, Ris, ayo!”

Haris tak langsung bertindak, pemuda itu menggelengkan kepalanya seraya berkacak pinggang. “Ya Allah, Del, mentang-mentang mau ke bengkel. Sengaja banget lu rusakin dulu di motor?”

“Ris.... Udah, lah.... Lama-lama gue kejer banget, nih, kalo lo gituin terus.”

Tak berselang lama, Damar dan Ojan tiba. Tentu saja atensinya langsung tersedot menuju TKP, tempat di mana Haris dan Dhimas berdiri seraya berusaha mengangkat motor milik Adel.

“Nah, tuh, ada Ojan sama Damar. Lo tolongin temen lo aja, Ris. Motornya biar gue sama mereka yang angkat,” usul Dhimas. Namun Haris otomatis bergidik defensif, “IH, OGAH! Lu liat itu belatung menari-nari di roknya, Dhimas! Lu aja, dah, tolongin dia. Gue ngangkat motor bareng Ojan sama Damar, gue cuciin sekalian sumpah!”

Mau tak mau Dhimas menghela napasnya, ia tak punya pilihan lain. Maka Dhimas mengulurkan tangannya di hadapan Adel—ah, sebuah uluran tangan yang selalu Adelia nantikan sejak lama. Tetapi bukan yang seperti ini maksudnya.

“Ayo, gue temenin pulang!” ajak Dhimas. Di hadapannya, Adel hanya bisa menatap dengan kedua mata mengerjap dan mulut menganga. Seorang pangeran mempesona dengan pipi mochi namun rahang yang tetap tegas kini hadir di hadapannya. Bersiap membantunya untuk melanjutkan harinya yang sudah berantakan dan memalukan ini. Namun Adel buru-buru menyambut uluran tangan Dhimas, setidaknya sebelum Haris menangkap raut wajahnya yang begitu terpesona akan kehadiran pemuda di hadapannya.

Bukan modus, tapi Adel benar-benar kesakitan dan kakinya itu tak bisa digerakkan dengan sempurna. Nyaris saja ia tersungkur kembali ke dalam selokan jika saja Dhimas tak memegang tangannya dengan erat. “E—eh, pelan-pelan aja. Kaki lo sakit banget ya?”

“Haduh, gue udah nggak ngerasain kaki gue lagi, sumpah....”

“Oh—sorry kalo gitu, gue bantu nggak pa-pa?” tawar Dhimas kikuk. Sebelah tangannya masih memegang tangan Adel erat. Keduanya kini bertatapan canggung, hingga akhirnya Adel mengangguk kaku. Sekon berikutnya, Dhimas melepas tangan Adel—beralih pada pinggang ramping Adel untuk memapahnya berjalan.

Keduanya kompak menelan ludah saking canggungnya. “Ru-rumah gue yang itu,” ucap Adel, menunjuk sebuah rumah bertingkat dengan cat putih dan pagar hitam yang melindunginya. Dhimas hanya mengangguk, diam-diam ia lega karena rumah Adel tidak jauh dari tempat kejadian.

“Dikunci,” kata Dhimas. Pemuda itu tahu karena ia baru saja mencoba membuka pagarnya. Adel berdecak, “Duh, iya lagi. Lupa. Sebentar.”

Adel segera melepaskan diri dari 'rangkulan' Dhimas dan mati-matian berusaha untuk meraih ranselnya guna mengambil kunci rumah. Namun pemuda itu lagi-lagi bertingkah sebagai penyelamat.

“Sini, sini, gue ambilin. Kunci rumah lo ada di mana?” Dhimas bertanya seraya meraih ransel Adel yang nampak semakin memberatkan empunya. “Itu—di resleting yang paling depan.”

Sorry ya,” izin Dhimas. Lagi-lagi Adel hanya mengangguk. Tak menunggu lama, Dhimas menemukan kunci rumah milik Adel dan segera membukakan gerbang untuk gadis itu. Tentu saja, tak lupa kembali memapahnya dan membantunya duduk di teras rumahnya sendiri.

Hari itu, barulah Adelia merasakan bagaimana hatinya berbunga. Sebab ada seseorang yang memperlakukannya sebagaimana Gilbert memperlakukan Ivonne. Sebagaimana yang selalu ia dambakan—to be treated as a princess.

Uluran tangan pertama hari itu, Adel berharap itu bukan yang terakhir kali.