Congratulations, You Teared Us Apart

“Ni, dicariin, tuh!” Nadia bersuara, memanggil Aghni yang sedang rebahan di atas matras. Gadis itu benar-benar lelah, serasa seluruh energinya terbakar dan terbuang sia-sia. Aghni lunglai bagai tanpa tulang. Namun mendengar suara Nadia, gadis itu otomatis bangkit. “SIAPA, NAD? DAMAR YA!?”

“Bukann. Itu... Aku nggak kenal siapa,” ucap Nadia, “katanya ada perlu sama kamu.”

Ada kerutan pada kening Aghni yang mewakili kebingungan empunya. Meskipun begitu, gadis itu tetap bangkit dan menghampiri guna menemui seseorang yang menghampirinya. Jika seseorang mengatakan ada keperluan, pasti itu merupakan sesuatu yang penting, kan?

Maka Aghni berjalan sedikit menjauh dari tempat latihannya. Mencari keberadaan orang yang alih-alih terlihat mencarinya, malah justru bersembunyi. Melihat dari posisinya yang cenderung mengumpat di balik dinding.

“Loh? Kirain Damar, lo yang nyari gue, Dar?” tanya Aghni, tepat ketika matanya menangkap sosok Haidar yang sedang bersandar pada dinding. Sebelah tangannya memegang botol air putih dingin yang berembun—sesuatu yang sangat Aghni butuhkan sekarang.

“Nih, buat lo. Aus, kan?” ujar Haidar tanpa basa-basi. Aghni sedikit terperangah, sekon berikutnya ia segera menggeleng—panik, takut-takut Damar melihat keduanya dan malah kembali salah paham seperti yang sebelumnya.

“Hah? Nggak usah, Dar. Minum gue masih ada, kok. Terima kasih banyak,” balas Aghni ramah. Berusaha tidak menyakiti perasaan seseorang di hadapannya.

Sebelah alis Haidar terangkat, sekon berikutnya pemuda itu tertawa lepas. Memamerkan lesung pipi yang juga ia miliki, seakan ingin bersaing dengan Damar secara terang-terangan. “Ini bukan dari gue, kok.”

“Oh? Terus dari siapa?” tanya Aghni lagi.

“Ya, masa lo nggak tau, Ni?”

Sekali lagi kedua alis Aghni bertautan, namun setelahnya gadis itu teringat sesuatu. Perihal Damar yang mengiriminya pesan terakhir kali bahwa pria itu akan memberikannya minum. “Ooohh, iya, iya. Ya udah, deh. Makasih banyak ya, Dar. Maaf banget jadi ngerepotin,” ucap Aghni lagi.

Sekon berikutnya, karena sudah haus dan terlampau lelah, Aghni segera meneguk air dingin pemberian Haidar. Gadis itu menghela napas lega setelahnya. Wajahnya kembali cerah, energinya serasa seperti kembali penuh, dan senyuman manis merekah sempurna. “Hwaaah, seger banget, sumpah! Makasih banyak ya, Dar!”

Haidar terkekeh, “Iyaa, sama-sama, Ni.” Dan Aghni hanya membalasnya dengan sebuah senyuman, sebelum akhirnya senyum itu tergantikan dengan raut wajah tertegun lantaran Haidar secara tiba-tiba mengusapkan peluh Aghni yang membasahi pelipis gadis itu. Seketika, Aghni mengambil langkah mundur, memilih untuk menjauhkan dirinya dari Haidar. Yang barusan itu, sudah terhitung lancang.

“Dar—”

“Aghniya,” panggil seseorang. Berhasil membuat Aghni menahan napasnya ketakutan. Bagaimanapun juga, ia telah membuat kesalahan dan tertangkap basah. Yang barusan memanggil namanya adalah Damar, dan Aghni tahu ini tidak akan berakhir baik.

Gadis itu menoleh dengan tatapan bergetar, kedua tangannya refleks meremas botol plastik guna menyalurkan semua takutnya. Tertangkap oleh kedua netranya, Damar menatapnya dengan tatapan membunuh. “Jadi, di sini tempatnya kalo lo mau ketemuan sama dia di belakang gue?”

“Nggak gitu, Dam—”

“Gue tau lo sakit hati karena perlakuan gue waktu gue salah paham gara-gara ulah Salsa, tapi nggak seharusnya lo bales gue pake cara kayak gini, tau nggak!?”

“Iya... Aku tau, tapi kejadiannya nggak kayak gitu, Dam. Kamu salah paham,” balas Aghni. Tentu saja deretan kalimatnya itu adalah hasil keberanian yang ia kumpulkan agar menjadi bulat. Begitu saja, suaranya masih bergetar. Sebab meskipun tak ada makian yang keluar dari mulutnya, ataupun amarah yang meletup-letup, Damar terlihat sangat menakutkan.

Damar mendecih seraya memalingkan wajahnya, “Semua orang yang kepergok selingkuh juga alesannya salah paham.”

“Tapi yang tadi itu beneran nggak gitu kejadiannya! Kamu dengerin aku dulu, please...” pinta Aghni sungguh-sungguh, setelahnya tatapannya beralih pada Haidar yang sejak tadi memilih diam dan menyaksikan perdebatan sepasang kekasih yang kini berada di ambang kehancuran. “Dar, jelasin ke Damar, lah, jangan diem aja gitu! Damar salah paham, kan? Iya, kan?”

Aghni terus menatap Haidar penuh harap. Menuntut pria itu untuk meluruskan kesalahpahaman yang kini kembali memenangkan pikiran Damar. Namun yang Haidar lakukan hanya bungkam. Pemuda itu menunduk dalam, menghindari tatapan Aghni yang sudah berkilat menunda kehancurannya sendiri.

“Damar..”

“Kita putus, Ni. Gue nggak mau jadi penghalang hubungan lo sama dia,” ucap Damar final, dan tegas, seraya menunjuk Haidar dengan lirikan matanya. “Nggak ada bedanya lo sama Salsa,” cetus Damar lagi.

Ah, runtuh sudah pertahanan Aghni. Kedua kakinya melemas, seiring dadanya kembali merasakan sakit hingga napasnya menjadi sesak. Serasa ada beban yang menjadi penghalang jalan napasnya. Kepalanya itu bahkan mendadak pening, entah karena terlalu lelah atau terlalu hancur sore itu.

Kedua mata berairnya kini memandangi punggung Damar yang berbalik. Dan baru saja Aghni sadari, Damar juga memegang botol air putih dingin yang masih tersegel. Minuman yang Haidar berikan sebelumnya, bukan berasal dari Damar. Dan fakta yang baru saja berhasil ia cerna itu hanya semakin membuat hatinya pecah berkeping-keping. Lebih-lebih ketika gadis itu melihat Damar membuang air minum yang ia beli untuknya.

Baru saja Aghni ingin menyusul langkah Damar, pemuda itu justru meluapkan emosinya di tengah lapangan. Damar menendang bola yang menggelinding ke arahnya dengan begitu kencang menggunakan kaki kanannya. Bunyinya bahkan membuat semua orang menghentikan aktivitasnya hanya untuk memandang Damar yang melenggang dengan penuh amarah.

Sementara Aghni? Sekuat tenaga gadis itu menghentikan tangisnya agar tidak pecah sepenuhnya. Dihapusnya sisa air mata yang sejak tadi turun membuat jejak di pipinya. Aghni menghadapkan tubuhnya pada Haidar yang kini memasang wajah tanpa dosa. Pemuda itu bahkan masih bisa menaikkan sebelah alisnya pada Aghni.

“Gue nggak nyangka lo setega ini, Dar. Congratulations, tho, you teared us apart.

Dan Aghni tahu, semenjak hari itu, ada yang mati di dalam dirinya.