Yudhistira(s)
Damar memandangi Haidar dengan tatapan datar nan cenderung tajam. Entah karena dendam pribadi atau karena memang ia sama sekali tak berminat berurusan dengan pemuda yang berhasil menghancurkan hubungannya dengan Aghni itu. Keduanya bertemu di depan ruang Seni Budaya, sebab Haidar ingin berlatih band dan Damar baru saja dari kantin.
“Kenapa? Buruan, gue nggak mau lama-lama ketemu lo,” ucap Damar tegas.
“Gue nembak Aghni,” pungkas Haidar. Yang jelas membuat Damar kembali merasakan sesak di dadanya. Susah-susah ia menepisnya, Haidar malah datang mengingatkan.
“Lo pikir gue peduli?”
“Lo harus peduli, karena—Aghni nolak gue. Malah dia marah-marah sama gue.”
Sungguh sebuah jawaban yang sangat melenceng dari perkiraan Damar. Namun ia begitu ahli menutupi keterkejutannya. Alih-alih terperangah, Damar justru tersenyum miring. “Congratulations, now we're both losing her.“
“Gue, Dam. Cuma gue. Lo enggak.”
Ucapan Haidar barusan lantas membuat Damar mengurungkan niatnya untuk melenggang pergi. Kini kebingungannya tak lagi dapat ia tutupi. “Gimana, gimana?”
“Gue suka sama lo, Ni. Gue yakin lo udah tau. Sebenernya selama ini gue emang merhatiin lo, gue juga tau Damar itu cowok lo. Gue emang nungguin lo putus sama dia. Dan sekarang, karena lo udah putus sama dia—lo mau nggak jadi pacar gue?”
Sederetan kalimat yang baru saja keluar dari mulut Haidar itu berhasil membuat Aghni memundurkan tubuhnya. Raut wajahnya yang tadi cenderung terlihat tanpa ekspresi itu kini berubah defensif. Jujur saja, Aghni tersinggung.
“Lo, tuh—emang selalu se-nggak tau diri ini ya, Dar?”
“Hah?”
*“Awalnya gue santai sama lo, karena gue pikir kita bisa temenan aja. Lagian, lo juga yang udah nolongin gue waktu di lab. Tapi, Dar... Kalo lo mau bertemen sama gue, tandanya lo juga harus bisa menghargai status hubungan gue. Jelas-jelas gue pacaran sama Damar, masih bisa-bisanya lo flirting yang serius ke gue? Even ngedeketin gue sampe Damar salah paham dan mutusin gue dan sekarang lo masih bisa dengan lantangnya, dengan bangganya minta gue jadi pacar lo!?” tutur Aghni dengan amarah tertahan.*
“Dar, asal lo tau, ya. Buat gue, Damar itu bukan cuma pacar atau temen doang. Buat gue Damar, tuh, lebih dari itu. Damar termasuk orang-orang yang nerima gue, dan gue sangat, sangat, menghormati Damar sebagai orang yang sayang sama gue—dan yang gue sayang. Perasaan gue nggak se-bercanda itu. Hubungan gue sama Damar juga nggak se-main-main itu!”
“Gue udah banyak ketemu orang kayak lo di hidup gue, Dar. Lo, tuh... Udah orang kesekian yang nggak suka gue deket-deket sama Damar. And sorry, i don't tolerate those who cannot respect me. Tanpa perlu gue jawab dengan jelas, lo pasti udah tau, kan, apa jawaban gue?” pungkas Aghni lagi. Kali ini lebih tegas. Seluruh keramah-tamahannya? Sirna. Sebagaimana Haidar tidak menghargai dirinya, Aghni sudah tidak peduli jika kata-katanya terdengar kasar atau menusuk. Setelahnya gadis itu meninggalkan Haidar pergi.
Haidar bercerita secara keseluruhan, beserta kejadian sebelum Damar akhirnya salah paham dan mengucapkan kalimat sakral yang membuat hubungannya dengan Aghni berakhir. Dan yang bisa Damar lakukan hanyalah—terpaku. Berbagai umpatan rasanya berbaris di kepalanya, antre untuk diutarakan lewat bibirnya. Beruntung Damar memilih untuk mengesampingkan amarahnya, sehingga pemuda itu bisa memanfaatkan waktu untuk menanyakan semuanya pada Haidar. Sejelas-jelasnya.
“Seriusan Aghni bilang gitu?” tanya Damar. Suaranya sama bergetarnya dengan tatapannya.
Hari itu Haidar tak lagi sembunyikan apapun. Pemuda yang sedikit lebih tinggi dari Damar itu mengatakan yang sejujur-jujurnya. Maka Haidar mengangguk pasti, meski ada bagian dalam dirinya yang tidak menerimanya. Namun ia sudah tertolak mentah-mentah ketika ia menyatakan perasaannya pada Aghni waktu istirahat kedua tadi. Itulah yang membuat Haidar menghubungi Damar sepulang sekolah. Bagaimanapun juga, ia telah melakukan kesalahan dengan memisahkan orang yang saling menghargai eksistensinya masing-masing.
“Mendingan—lo temuin Aghni lagi, deh. Gue minta maaf banget, Dam. Sama lo sama Aghni. Gue bener-bener berharap lo berdua bisa balikan lagi,” ucap Haidar tulus.
Sementara Damar? Pemuda itu membuang napasnya kasar. Setelahnya mengeluarkan satu dari sekian banyak umpatan yang berbaris di benaknya sejak tadi.
“Bangsat lo, Dar!”
Iya. Haidar mengakuinya. Kemudian seiring matanya memperhatikan punggung Damar yang menjauh menerobos hujan dengan langkahnya yang terburu-buru, Haidar menghela napasnya.
“Yudhistira-nya... Akan selalu Damar ya, Ni?”