A Princess For A Split Second
“Ini kerannya nyala nggak?”
Yang pertama kali Dhimas lakukan setelah memastikan Adel duduk dengan aman adalah menanyakan sumber air. Seperti yang ia bilang, kotoran dari air selokan ini harus segera dibersihkan sebelum membuat luka-luka Adel semakin parah.
“Nyala, kok.”
Sekon berikutnya Dhimas mengangguk dan berjongkok di hadapan Adel. Tahu apa yang ia lakukan selanjutnya? Pemuda itu membukakan dua sepatu Adel. Adelia tertawa dalam hati, Cinderella who? I only know Adelia.
Tak berhenti sampai di sana, Dhimas kini menggerakkan pergelangan kaki Adel pelan. “Sakit nggak?”
“Nggak, tapi—nggak berasa, sih. Kayaknya karena gue sekarang fokus ke sakit di bagian lain,” ungkap Adel jujur. Dhimas mengangguk pajam setelahnya, “Bisa jadi, sih. Tapi kayaknya lo nggak keseleo, soalnya kalo iya, pasti lo nggak bisa jalan. Nanti kalo seandainya sakit, periksain aja ya?”
“Oke.”
“Ada lagi yang sakit?” tanya Dhimas. “Pinggang gue, sih. Yang kanan sini,” ucap Adel seraya menunjuk bagian pinggang kanannya. Masuk akal, mungkin karena benturan pertama pada ujung dinding selokan itu mengenai pinggangnya lebih dulu. “Sama betis, lengan, siku, semuanya nyut-nyutan.”
“Iya, kalo itu, kan, karena ada lukanya. Lo punya obat merah?”
“Ada.... Tapi paling ini gue cuci aja, deh. Nggak berani gue makenya kalo sendiri.”
“Nanti gue yang pakein,” ucap Dhimas final. Mengabaikan tatapan terkejut Adel, Dhimas berjalan menuju keran air dan membawa selang ke dekat gadis itu. Dengan telaten Dhimas mencucikan setiap luka di tubuh Adel selayaknya seorang tenaga kesehatan—atau selayaknya seorang kekasih, entah mana yang paling tepat.
“Ini lo pake celana training lagi?” tanya Dhimas.
“Pake, lah!”
“Ini kedengerannya nggak sopan, tapi mending lo buka aja rok lo. Biar gue kucekin sekalian. Soalnya ini rok putih, takut nggak ilang nodanya.”
Wah, Adel hanya bisa menutup mulutnya tak percaya. Jelmaan pangeran macam apa yang sekarang ini berdiri di hadapannya? Sudah tampan, very well-mannered, baik hati dan tidak sombong, bersuara rendah namun tetap begitu lembut mengalun di telinga.
Haris? JAUH!
Gilbert Situmorang? LEWAT!
Namun seperti tersihir, Adel pada akhirnya bangkit berdiri dan berniat melepas roknya. Tetapi gadis itu mengernyit bingung ketika mendapati Dhimas berdiri di hadapannya—membelakanginya. “Lo ngapain?”
Pemuda itu menoleh sekilas, melirik Adel dari ekor matanya. “Nutupin lo, lah? Emang mau diliatin orang lewat? Pager lo masih kebuka, by the way.”
“Ah.... Thanks....“
“KAK ADEEEEL, WHAT HAPPENED TO YOUUU!?“
Seseorang menginterupsi Dhimas dan Adel. Itu Hanum, sepertinya Haris menyuruhnya membawakan kotak obat ke rumah Adel. Adik dari sahabat keduanya itu datang dengan raut wajah khawatir yang begitu kentara, berbanding terbalik dengan Haris yang menertawai Adel hingga puas.
“Kak are you okay?” tanya Hanum. Baru saja Adel ingin menjawab, Dhimas menyerobot antrean. “Okay begimana okay? Orang abis kecelakaan, jelas-jelas besot begini masih aja ditanya are you okay? Kagak jelas lu, Mayjura!”
Sebuah pukulan lantas mendarat di bahu Dhimas. “Aku nggak nanya kamu! Sejak kapan kamu di sini, deh!? Modus aja! Itu Kak Haris sama Kak Damar Kak Ojan lagi cuci motor, bukannya dibantuin—”
“Abang lu nggak mau nolongin dia, katanya geli. Abang lu songong banget beneran, Mayzhura. Gue dari tadi nungguin dia di depan gerbang kagak dibuka-bukain, sampe bercucuran keringet gue!”
“Kak Haris nggak bilang ada tamu,” balas Hanum membela diri.
“Yaah elahh, Num. Mana mungkin, sih, abang lu membiarkan lu menerima tamu? Biar jelek tabiatnya, dia tetep seorang abang yang sangat amat posesif. Takut banget adeknya dideketin orang padahal nggak ada juga yang berani modusin.” Kini giliran Adel yang menyerobot antrean. Namun Dhimas segera menyetujuinya. “SETUJU! DIHHHH, lu harus liat betapa najisnya dia kalo lagi pacaran di sekolah. Nama ceweknya kesebut dikit aja pasti matanya langsung tajem gitu terus kupingnya langsung CEP! NANCEP GITU LANGSUNG.”
“IYA, SUMPAH! LO HARUS TAU—tadi, kan, gue minta tolong anterin ke bengkel ya—”
“HEIII, JANGAN NGOMONGIN KAKAKKU!” tegur Hanum. Membuat Dhimas dan Adel kembali tersadar bahwa mereka bahkan belum mengenal sejauh itu. Kedua remaja itu otomatis terdiam dan kompak memalingkan wajah canggung. “Udah, sini, Kak Adel. Aku obatin lukanya.”
“Iya—IYA! Eh, makasih ya, temennya Haris. Tapi beneran nggak pa-pa, kok. Hanum aja yang obatin lukanya. Makasih banyak sekali lagi udah nolongin gue hari ini,” ucap Adel. Panik, sebab ia benar-benar takut jatuh cinta secepat itu akan pemuda yang baru saja dikirim semesta untuknya hari itu.
Hanum dan Dhimas bertukar pandang bingung. “Serius?” Dhimas memastikan.
“Iya, seratus persen serius!”
“Beneran nggak pa-pa?” tanya Dhimas lagi. “Wuih, gila gue udah sehat banget sekarang!”
Ucapan Adel yang ngawur itu lantas membuat Dhimas terkekeh pelan. “Ya udah kalo gitu. Tolong obatin yang bener lukanya ya, Num. Itu roknya jangan lupa dicuci. Inget, nanti kalo kakinya sakit jangan lupa diperiksain ke dokter. Takutnya kenapa-napa.”
“Siap!” balas Adel seraya memberi hormat singkat. Lagi-lagi Dhimas memamerkan senyum manisnya, sudah familier dengan kepribadian sejenis Adelia. Pemuda itu mengangguk setelahnya. “Beneran nggak pa-pa, nih, gue tinggal?”
“Nggak pa-pa, beneran. It's all good. Makasih banyak sekali lagi!”
“Oke,” balas Dhimas, “kalo ada apa-apa, panggil lagi aja ya. Gue di sebelah, di rumah Haris.”
“Oke.”
“Kunci pager lo masih nyantel, jangan lupa diambil,” ucap Dhimas lagi.
“Oke.”
Tak ada lagi jawaban dari Dhimas. Pemuda itu hanya mengulas senyum sebelum akhirnya melenggang pergi. Sementara Adel? Gadis itu masih terpaku memandangi pintu pagarnya yang terbuka. Ah, sepertinya pikirannya sudah terpaut pada pemuda yang baru saja hilang di balik sana.
“ANJ—SAKIT BANGET, PELAN-PELAN DONG, NUM!”
“What are you staring at, Kak Adel?” tanya Hanum jahil setelah ia menotolkan sedikit obat merah pada luka di betis Adel. Adel sontak menoleh panik, “Hah? Enggak! Nggak ada!”
“You sure?” tanya Hanum lagi, semakin jahil. Gadis itu bahkan memainkan alisnya untuk meledek Adel yang tertangkap basah memandangi Dhimas dengan tatapan berbinar.
“SERATUS PERSEN!” Not sure.....
Silakan tertawa sepuasnya. Yang jelas, hari ini meniggalkan kesan berbarga bagi seorang Adelia. Semesta mungkin tak membawakannya seseorang yang membukakan pintu mobil mewah atau memasangkan sepatunya layaknya kisah Cinderella. Tetapi hari ini, semesta membawakannya seseorang yang dengan sabar dan telaten memapahnya berjalan, juga membukakan serta mencucikan sepatunya setelah tercebur di selokan.
Sekarang, bagaimana bisa Adel melupakan kejadian hari ini?