(Not So) First Meet

Seperti biasa, tepat ketika kakinya menginjak lantai ruangan bimbel yang familier itu, Adel akan otomatis melangkah menuju kursi paling belakang. Singgasananya yang tak lekang oleh waktu—setidaknya sampai hari ini. Sebab sesampainya Adel di sana, ada seonggok ransel menduduki kursi itu. Pemiliknya? Entah ada di mana.

Malas cari ribut, Adel menghela napas dan memilih untuk menduduki kursi lain meskipun masih dalam deret baris yang sama. Tatapan-tatapan sinis mulai dilayangkan ke arahnya, desas-desus mulai terdengar, maka Adel memilih untuk menyumpal telinganya sendiri dengan earphone miliknya.

Tak berselang lama, Kak Rizqa datang, membuat Adel buru-buru melepaskan earphone-nya seraya segera mematikan lagu yang sejak tadi berputar memenuhi rungunya. Adel selalu tak peduli, tatapannya ke arah papan tulis selalu datar dan cenderung sinis. Well, not for today.

Kedua matanya resmi membulat ketika netranya menangkap sosok lelaki mengenakan seragam sekolah berlapis sweater ungu berlengan panjang yang digulung sebatas siku. Ada jam tangan hitam melingkari lengan kirinya, menambah kesan keren namun tak menghilangkan kesan manis yang sudah ada sejak awal. Adelia terpaku, lebih-lebih ketika pemuda itu berdiri di depan kelas dan... Menatap tepat pada matanya.

“Silakan, kenalkan diri kamu dulu ke teman-teman yang lain,” ucap Kak Rizqa. Maka pemuda itu berdeham, membersihkan tenggorokannya sendiri agar suaranya terdengar jelas dan lantang.

“Hai, semuanya! Perkenalkan, saya Dhimas Wijaya. Asal sekolah dari SMA Pelita Nusantara, salam kenal semuanya,” ucap Dhimas lancar.

“Berarti dipanggilnya Dhimas, ya?” tanya Kak Rizqa.

Sekon berikutnya, seraya tersenyum, Dhimas memamerkan melodi tawanya yang renyah. “Emmm, mau panggil sayang juga boleh kalo buat Kak Rizqa,” jawabnya ringan. Memancing sorak-sorai ramai dari seisi ruangan. Bahkan kakak pengajarnya itu berhasil tersipu akibat ulah Dhimas.

“Bercanda, Kak. Jangan serius-serius dulu, atuh, baru kenal. Kita jalanin dulu aja,” ucap Dhimas lagi. Memancing reaksi yang lebih heboh dari teman-teman barunya. Mencegah aksi Dhimas untuk menjadi lebih liar dan cringe, Rizqa segera menyuruh Dhimas untuk duduk.

“Udah, udah. Duduk, ya, Dhimas!”

Seraya menahan senyumnya, Dhimas segera melangkah menuju kursi yang sudah ia tag sebelumnya. Adelia masih terpaku, gadis itu sejak tadi jelas menyadari siapa sosok yang memperkenalkan diri di depan kelas. Dan yang bisa ia lakukan hanyalah memalingkan wajahnya, berharap agar Dhimas tak mengenalinya.

Mau ditaruh di mana wajahnya jika Dhimas berhasil mengenali Adel sebagai tetangga Haris yang pernah tercebur di selokan sepulang sekolah?

Dhimas kini duduk di sebelah Adel. Pria itu sedikit menarik kursi agar posisinya lebih nyaman. Ah, jadi dia yang mengambil singgasana Adelia hari itu.

“Halo,” sapa Dhimas. Adel melirik sekilas, setelahnya balas mengangguk sopan menanggapi sapaan pemuda di sebelahnya.

Sorry, boleh pinjem pulpen nggak? Pulpen gue habis,” ucap Dhimas lagi.

“Oh? Boleh,” jawab Adel singkat. Sekon berikutnya ia merogoh tempat pensilnya sendiri, memberikan satu buah pulpen yang tutupnya sudah patah akibat ulahnya sendiri. “Nih.”

Dhimas mengambilnya dengan sukarela sebelum akhirnya terkekeh. “Temen sebangku gue juga kalo ngasih pulpen selalu yang tutupnya udah patah,” bisik Dhimas, “makasih, btw.”

Lagi-lagi Adel hanya mengangguk pelan. Hari itu dalam benak Adel, ada satu lagi kesan yang terpatri untuk Dhimas. Pemuda ini benar-benar ramah pada siapapun yang ditemuinya, dan bahkan cenderung—flirty.

Namun Adel tak peduli. Persetan juga akan bagaimana Dhimas memandangnya. Judes, jutek, galak, terserah. Adel sudah biasa dengan kata-kata seperti itu. Yang ia pedulikan sejak tadi hanya satu, semoga Dhimas tidak mengenalinya.

Tetapi Adel akhirnya bisa bernapas lega. Sebab hingga ujung waktu, Dhimas tetap bersikap santai dan tenang seakan tak pernah terjadi apapun di antara mereka. Seakan hari ini benar-benar pertama kalinya mereka bertemu. Dan Adel benar-benar mensyukuri itu.

Ini sudah pasti. Itu artinya Dhimas tidak mengenalinya, dan semua berjalan aman terkendali. . . . . . . .

Kan?