So, Who Won?

“Nih.” Di hadapannya, Aghni menyodorkan sebuah hoodie hitam kepunyaan Damar. Namun Damar tetap bergeming, pemuda itu enggan gadis itu mengembalikannya. Simpan saja semua barang miliknya, kalau bisa selamanya. Jangan dikembalikan.

Damar menggeleng, “Aku belom selesai ngomong.” Membuat Aghni menghela napasnya, “Lupain aja lah, Dam. Udah lama juga.”

“Satu bulan itu nggak lama, Ni.”

“Tapi itu satu bulan paling lama yang pernah aku jalanin!” balas Aghni, tanpa sadar ada sedikit bentakan dalam tuturnya. Kini matanya berkaca-kaca, hilang sudah hampa yang selama ini menguasai relungnya. Lukanya yang seakan sudah merapat beserta seluruh darahnya yang berhasil membeku, kini seakan kembali meluruh. “Harusnya aku nggak marah sama kamu, tapi aku juga NGGAK TAUUUUU HARUS MARAH SAMA SIAPA!”

Bersamaan dengan meningginya intonasi bicara Aghni, sebuah kilat menyambar di langit. Diikuti dengan suara petir yang begitu keras seakan ingin menghancurkan dunia dan seisinya. Dan sekuat apapun Aghni memasang topengnya, ia tetaplah seorang gadis yang takut hujan. Yang selama ini selalu berujung berlindung di balik jaket hangat Damar ketika petir melanda—sebagaimana yang ia lakukan sekarang.

Refleks keduanya sama. Entah karena sudah menjadi kebiasaan, atau karena naluri Damar untuk melindungi gadisnya itu selalu ada. “It's okay, it's okay. Udah pergi petirnya.”

Alih-alih tenang, tangisan Aghni akhirnya pecah. Gadis itu menangis keras hingga tak bersuara. Damar hanya bisa menghela napasnya, hatinya turut sakit melihat seseorang paling ceria yang ia kenali justru hancur di hadapannya. Hilang sudah mataharinya, mungkin itulah sebabnya bumi dihujani tanpa henti sejak tadi.

Sekali lagi, Damar menarik Aghni ke dalam dekapannya. Tak ada yang bersuara di antara keduanya. Damar hanya mengusap surai panjang Aghni yang tergerai, sementara gadis itu masih terus menyelesaikan tangisnya yang sudah tertahan sejak lama.

“Kamu bisa marah sama aku,” ucap Damar lembut, “aku tau aku salah. Makanya aku ke sini untuk minta maaf.”

“Kesalahanku juga jelas. Aku egois, aku nggak percaya sama kamu, aku terlalu nurutin emosiku, aku nggak pernah pikir panjang. Aku minta maaf karena udah bikin kamu kecewa lagi, dan karena udah bikin kamu—jadi bukan kamu.”

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Aghni sebagai jawaban untuk Damar. Gadis itu justru menangis kian keras. Tak apa, Damar mengerti. Mungkin hari ini adalah waktu yang tepat bagi hujan sederas-derasnya.


Entah berapa lama Aghni menangis dalam dekapan hangat seseorang yang kini menyandang status sebagai mantan kekasihnya. Keduanya kini duduk berdampingan di pelataran teras rumah Aghni seraya memandangi gerimis. Aghni tak mengajak Damar masuk sebab kedua orang tuanya sedang menghadiri undangan dari rekan kerja papanya dan mungkin keduanya terjebak hujan deras hingga malas pulang.

“Besok, tuh, Bulan Bahasa. Lo tampil ya?” tanya Damar. Ah, tata bahasanya bahkan sudah berbeda sekarang. Apakah keduanya benar-benar sudah berakhir sekarang?

Sebuah gelengan pelan mewakili suara Aghni untuk menjawab Damar. Membuat pemuda berlesung pipi itu mengernyit intens, “Kenapa? Saman nggak jadi tampil?”

“Mereka jadi, gue enggak.”

“Kenapa?”

“Males.”

“Bukannya lo nungguin banget? Kenapa malah jadi lo yang nggak jadi tampil gitu?” tanya Damar. Membuat gadis itu menoleh pada akhirnya.

“Males. Gue besok nggak masuk juga kayaknya,” jawab Aghni. Gadis itu kemudian memalingkan wajahnya kembali. Sekon berikutnya suaranya kembali terdengar. “Kayaknya juga gue mau keluar saman.”

“Jangan.”

“Kenapa?” Kini Aghni balas bertanya. “Kan gue yang mau keluar?”

Saman would be my only chance to see you smile brightly setelah ini, Ni.

“Jangan, please?”

“Ya, kenapa?”

Damar tidak menjawab. Pemuda itu lagi-lagi terdiam. Namun kini Damar memalingkan wajahnya, setidaknya sebelum akhirnya ia menyugar rambutnya frustrasi. “Ah, sumpah. Aku nggak bisa begini, Ni.”

“Apa?”

“Tolong banget... Tolong kasih aku kesempatan sekali lagi. Please, it won't happen again.

“Susah, Dam,” balas Aghni. “Kayaknya emang langkah kamu kemarin itu tepat, mending kamu sama orang lain aja daripada sama aku.”

“Aku nggak mau sama yang lain—”

“Dam,” tegur Aghni. “Banyak yang lebih tau tentang kamu, banyak yang suka sama kamu. Jauh lebih cantik dari aku, lebih semuanya dari aku. Bahkan kayaknya aku nggak akan menang.”

Damar mengerutkan keningnya. Entah mengapa pemuda itu merasakan ada yang aneh. Kecurigaannya meninggi sekarang. Sekon berikutnya, Damar menyadari sesuatu. Maka pemuda itu tersenyum tipis, “Nana yang bilang gitu, ya?”

“Apaan, sih, enggak!”

“Kalo boong idung kamu gatel sekarang juga,” tuduh Damar. Dan ajaibnya, gadis itu otomatis menggerakkan hidungnya. Bahkan Aghni sampai harus mengusak hidung mancungnya sendiri. Mau tak mau keduanya tergelak bersamaan.

“Nana, ya?”

“Aku nggak mau ngadu.”

“Aku tau sendiri. Dikasih tau idung kamu barusan,” balas Damar, membuatnya mendapat hadiah pukulan keras di bahunya yang kini terbalut hoodie hitam. Pada akhirnya pria itu menurut pada Aghni untuk mengganti pakaiannya yang basah.

Hening kembali mengisi seiring tawa keduanya mereda. Hujan di luar pun tanpa terasa turut mereda. Entah sudah berapa banyak detik yang terbunuh seiring keduanya kembali duduk bersama setelah sekian lama. Aghni kembali memalingkan wajahnya. Namun pemuda di sebelahnya ini justru meraih sebelah tangannya, Damar bahkan menautkan jemarinya dengan milik Aghni. Membuat gadis itu sontak menoleh dengan kedua mata yang mengerjap lucu.

“Jangan keluar saman. I love how you smile brightly when you're being part of them. Mungkin kamu nggak di tengah, tapi pusatku selalu kamu,” ungkap Damar. “Aku nggak tau Nana bilang apa aja sama kamu, tapi aku cuma mau bilang—kalo aku harus buat kompetisi antara Nana dan Nini—”

Ucapan Damar terputus untuk kedua kalinya sebab Aghni kini mendorong tubuhnya keras dari samping. Membuat pria itu sedikit terhuyung. Damar terkekeh pelan, kemudian ia kembali melanjutkan kalimatnya. “Nini pemenangnya.”

Aghni tertegun di tempatnya. Gadis itu terperangah, namun juga ingin sekali membiarkan senyumnya merekah seiring ada sesuatu yang kembali hidup dalam dirinya. Tetapi Aghni masih diam, maka Damar memilih untuk menyerobot giliran bicara. “Would you shine on me again? And again?

Tak ada jawaban. Alih-alih bersuara, Aghni malah menunduk. “I think i just died inside,” ucapnya kemudian. “Aku udah nggak punya cling-cling lagi kalo itu yang kamu maksud.”

“Nggak pa-pa. Sekarang aku yang punya karena kamu selalu kasih banyak banget ke aku,” balas Damar. Sekon berikutnya pemuda itu menadahkan air hujan dengan sebelah tangannya yang bebas, yang tidak bertautan dengan jemari Aghni. Setelah tangannya cukup basah, Damar menyipratkan air hujan itu ke wajah Aghni. “Nih, aku bagi cling-cling.

“IH—BASAAAAH!” kesal Aghni. Gadis itu kemudian melepas tautannya dengan Damar untuk mengusap wajahnya yang basah akibat ulah jahil pemuda berlesung pipi di hadapannya. Yang paling manis, entah ada lagi atau tidak di dunia ini.

“Ni, sekarang aku nanya serius,” ucap Damar, “can we start over? Dengan hari ini yang akan jadi pelajaran buat aku selamanya.”

Hening sementara. Hingga Aghni menghela napas panjang. “Untung kamu nanya lagi.”

“Hah?”

“Ayo mulai lagi semuanya, but this time—i want you to light up on me too.

Detik itu, Damar merasa sangat lega hingga pria itu nyaris tidak mempercayainya. Namun sekon berikutnya, Damar mengulas senyum tipis dan mengangguk pasti. “I will.

Gadis bermata sembab di hadapannya itu kemudian mengangguk sebelum akhirnya memalingkan wajahnya. “Deal.

Terlampau senang, Damar akhirnya memeluk Aghni untuk kesekian kali. Kali ini pemuda itu memeluknya erat-erat seakan tak akan pernah ia lepaskan. Gadis itu bahkan sampai harus menepuk-nepuk lengan Damar agar pria itu mau melepaskannya.

Thank you,” ucap Damar yang hanya ditimpali oleh anggukan beserta senyuman tipis dari Aghni. Detik itu, baru lah Damar bisa bernapas dengan lega. Seakan seluruh beban yang menghimpit dadanya itu sirna. Pun Aghni, yang kini memilih untuk menyadarkan kepalanya di bahu kekar milik Damar. Ah, sepertinya Aghni memang selalu membutuhkan Damar sebagai sandarannya selain Aji.

“Haidar nembak aku,” cetus Aghni tiba-tiba. Damar tentu tidak lagi terkejut, pemuda itu hanya menghela napas tenang dan mengangguk. “Iya, aku tau.”

“Tapi aku tolak.”

Damar terkekeh geli, “Iya, aku juga tau itu.”

“Aku nggak suka sama Haidar, kamu juga harus tau itu,” ujar Aghni. Lagi-lagi Damar terkekeh di tempatnya. Mungkin sudah terlalu banyak kekehan yang lolos dari bibirnya, namun tak apa. Toh, Aghni memang begitu merindukannya.

“Jadi, kalo antara Haidar Yudhistira sama Yudhistira Damar, siapa yang menang?”

Aghni memalingkan wajahnya jengkel, sekaligus membenarkan posisi kepalanya di bahu Damar. Mencari posisi paling nyaman seraya melihat mendung yang kini mulai disusupi cahaya matahari. Sekon berikutnya, gadis itu kembali menjawab dengan intonasi datar.

“Nggak perlu ada kompetisi, Damar,” ucap Aghni, “it's always been you.

Bersamaan dengan finalnya jawaban Aghni, Damar merasakan hatinya menghangat. Pemuda itu bahkan tersenyum dalam hati. Sama halnya dengan bumi yang kembali disinari mentari, Damar mendapatkan kembali mataharinya. Dan tentu saja ia lega, sebab gadisnya itu baru saja mendeklarasikan bahwa Yudhistira Damar akan selalu jadi pemenangnya.

Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi. Bahwa meski harus melawan seisi dunia, . . . . . . . Mereka pemenangnya.