She's Exhausted

Hujan deras sore hari, Damar bersikeras menerobosnya meski tubuhnya hanya mendapat perlindungan dari hoodie abu-abunya yang bahkan tidak anti air. Sampailah ia pada sebuah rumah bernuansa hangat nan sederhana. Damar memarkirkan motornya asal, biarlah basah kendaraannya itu. Sekon berikutnya pemuda itu melangkah tergesa menuju pintu rumah Aghni yang nampak terkunci. Damar bahkan ragu rumah yang ia datangi ini ada penghuninya. Sebab ia tak melihat tanda-tanda mobil Aji sore itu.

“Ni?” Tok! Tok! Tok!

“Aghni?” Tok! Tok! Tok!

“Ni...”

Damar terus mengetuk pintu kayu yang tertutup rapat tanpa menunjukkan tanda-tanda akan dibuka untuk menyambutnya seperti biasa. Putus asa, Damar menyandarkan keningnya pada kepalan tangan yang masih bersandar pada pintu. Hancur sudah pertahanannya. Kedua mata rubahnya yang sejak tadi berkilat menahan tangis kini semakin digenangi air mata.

Damar bisa saja menangis kalau saja pintu di hadapannya tak dibuka secara tiba-tiba. Otomatis Damar memundurkan tubuhnya. Nampak di hadapannya seorang gadis dengan setelan kaus beserta celana rumahan dengan cardigan abu-abu. Surai hitamnya terurai sedikit berantakan. Damar menatap ke arah Aghni terperangah, sementara gadis itu menatapnya dengan raut wajah khawatir.

“KAMU NGAPAINN!? UJAN-UJAN KENAPA MALAH KE SINI YA AMPUN, DAMAR!”

Sontak Damar merasa bingung. Bukankah harusnya Aghni—marah? Atau sedih? Mengapa gadis itu bersikap se-kasual ini?

Dengan sedikit berjinjit, Aghni segera mengeringkan rambut Damar menggunakan handuk yang entah sejak kapan berada di tangannya. Mungkin ia mengambilnya dulu sebelum membukakan pintu tadi. “Nanti kamu pusing tau, Dam! Ngapain, sih, ujan-ujanan? Kayak nggak bisa nunggu reda aja, deh! Kenapa kamu nggak ngabarin dulu, si—”

Ucapan Aghni terhenti kala gadis itu berhasil menyadari sesuatu. Pun pergerakannya mengeringkan rambut Damar menggunakan handuk kecil itu ikut terhenti. Gadis itu mendadak terpaku ketika mata cokelatnya bersirobok dengan netra hitam milik Damar. Seketika ia menyadari bahwa keduanya bukan lagi sepasang kekasih seperti dulu. Kali ini, harus ada jarak.

Maka Aghni dengan segera menjauhkan dirinya dari Damar. “Ma-maaf, maaf,” ucap Aghni, “maaf banget. Lupa—eh, maksudnya—duh. Maaf, aku—gue—baru banget bangun tidur. Maaf banget kalo jadi ling-lung.”

Sibuk gelagapan dan salah tingkah, membuat Aghni tak menyadari bahwa tatapan Damar sama sekali tak lepas darinya. Gadis itu kemudian memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan. “Duduk aja dulu. Terakhir hoodie kamu masih di aku, ganti aja ya? Yang kamu pake basah banget, takutnya masuk angin.”

“Ni...”

Ah, suara itu. Suara yang Aghni rindukan selama ini. Baru satu bulan lebih, namun rasanya seperti entah berapa lama. Satu bulan paling sulit yang pernah Aghni jalani. Gadis itu menahan langkahnya, kemudian kembali menghadapkan tubuhnya pada Damar.

“Y-ya?”

Pemuda berlesung pipi itu tak membalas. Damar masih menatap lurus ke dalam netra kecokelatan dengan bentuk bulat sempurna yang selama sebulan ini luput dari jangkauan penglihatannya. Mata yang cantik, yang selama ini selalu menatap penuh binar ke arahnya—namun hari ini menatapnya sendu.

Dan tanpa basa-basi, Damar menarik Aghni ke dalam sebuah pelukan erat. Seakan ia tak ingin melepaskan gadis itu untuk kesekian kali. Berbeda dari biasanya, kali ini Aghni tidak membalas pelukannya, tetapi juga tidak memberontak. Namun tak apa, Damar mengerti soal itu.

Masih seraya mendekap gadisnya, entah masih bisa disebut begitu atau tidak, Damar kembali berbicara. “Haidar... Udah jelasin semuanya ke aku...”

Detik itu, Damar bisa merasakan Aghni menegang di tempatnya. Damar melonggarkan pelukannya, kemudian menunduk menatap wajah Aghni yang seakan kehilangan sinarnya. “Aku minta maaf...”

Gadis itu menatap Damar dengan wajah datar. Sama sekali tak ada hujan di pipinya, namun Damar tahu tangis yang ingin dikeluarkan Aghni itu sama derasnya dengan hujan di luar. “Bukannya harusnya aku yang minta maaf? Kenapa jadi kamu?”

“Kesalahanku jelas. Kamu minta aku untuk nggak deket-deket Haidar, tapi aku masih deket-deket dia. Kamu? Kamu minta maaf untuk apa?”

Damar terdiam. Pertanyaan yang sederhana, namun ia sendiri tak tahu jawabannya. Pria itu kemudian menggeleng, “I don't know either, tapi aku merasa aku terlalu egois. Dan aku minta maaf untuk itu.”

Aghni mengangguk pelan. “Oke. Aku juga minta maaf untuk kesalahanku kalo gitu.”

“Lupain aja,” balas Damar cepat. Sekon berikutnya hening mendominasi. Hanya terdengar suara hujan yang masih bersikeras menghajar tanah di bumi. Namun posisi keduanya masih tak berubah, masih berhadapan dengan Aghni yang menatap ke sembarang arah guna menghindari tatapan Damar. Hingga lirihnya suara Damar kembali terdengar.

Can we start over?

Sontak Aghni kembali mendongak, turut melihat ke arah Damar. Setelahnya gadis itu terkekeh miris.

What about a no?

Satu kalimat yang berhasil membuat Damar sesak napas. “Kamu—”

“Aku—sayang banget sama kamu, sumpah. Tapi aku capek banget, Dam,” ungkap Aghni, “bahkan dari sebelum hubungan kita dimulai aja udah digangguin orang. Salsa, Revan. Terus sekarang Haidar, Nana—”

“Nana?”

Mendadak Aghni tertegun. Gadis itu baru saja membeberkan apa yang tidak seharusnya Damar ketahui. “Haidar, Haidar doang,” balasnya.

“Kamu diapain Nana?”

“Nggak diapa-apain. Kamu salah denger,” ucap Aghni, dan Damar hanya menurut.

“Biasanya aku nggak marah kalo ada orang yang berusaha ganggu. Tapi kali ini aku marah banget. Karena aku nggak pernah merasa ganggu siapapun, tapi aku selalu diganggu. Mereka ngelakuin itu semua ke aku, tanpa alesan yang jelas tau nggak, sih?” ungkap Aghni sedikit menggebu-gebu. “But you know what? All those obstacle could just disappear—if you trust me fully.

Deg! Aghni berhasil membuat Damar bungkam dan tak berkutik. Apa yang dikatakan gadis itu, seakan air es yang mengguyur sekujur tubuhnya hingga membuat kedua matanya terbuka selebar-lebarnya.

“Dua kali, Dam,” tegas Aghni, “udah dua kali kamu nggak bisa percaya sama aku. Buat apa kita jalanin semuanya kalo kamu nggak bisa percaya sama aku? Kamu sadar nggak sih, kamu lebih percaya sama orang lain dibanding sama aku? Ada satu orang lagi bilang aku cuma manfaatin kamu doang juga pasti kamu percaya. Iya, kan?”

“Aku capek banget, Dam. Kalo kamu emang mau ninggalin aku, tinggalin aja udah. Cari orang yang nggak kayak Salsa—dan aku.”

Baru saja Damar ingin membalas, lagi-lagi Aghni menyerobot gilirannya bicara. “Tunggu sini, aku balikin hoodie kamu.”