raranotruru

Setelah menghabiskan sekitar tiga jam kerja kelompok untuk tugas Prakarya, tugas itu akhirnya selesai. Sisi baiknya adalah Yasmine tidak perlu lagi membuat slide power point untuk presentasi karena sudah dikerjakan bersama di rumah Wilona tadi. Sisi buruknya, akan tiba sebentar lagi.

Yasmine memasuki rumah dengan tenang, berusaha untuk mengusir gugupnya. Ia tahu, saat ayahnya menemuinya nanti, pasti dirinya akan segera menerima hujatan-hujatan yang selalu familiar di telinganya.

“Dari mana kamu?” tanya ayah, yang rupanya sudah bersiap di meja makan. Ayah melirik jam dinding di ruang keluarga sebelum lanjut bicara. “Jam tujuh malem baru pulang, kemana aja?!”

Yasmine menunduk seraya menelan ludahnya sendiri. Terbata, gadis itu menjawab perkataan ayah. “Ya-Yasmine kan udah izin Ayah, Yasmine ada kerja kelompok hari ini.”

“Tadi saya bilang apa? Pulang sekolah langsung pulang. Kamu nggak dengerin orang tua?! Mulai berani ngelawan kamu?!”

“Ayah, nggak gitu.. kalo Yasmine nggak ikut kerja kelompok nanti Yasmine nggak dapet nilai,” balas Yasmine. Gadis itu sudah ingin menangis saat itu juga. Namun sebiss mungkin ia menahan air matanya.

“Alesan! Kamu pasti cuma kelayapan nggak jelas kan?!”

Yasmine menggeleng cepat, “Enggak, Yah. Yasmine beneran kerja kelompok, kok.”

Sekon berikutnya, Yasmine buru-buru mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto sketsa motif batik yang ia buat dengan Wilona dan Yuna. Sebagai bukti bahwa ia tidak berbohong. “Ini, beneran Yasmine tadi kerja kelompok, Yah. Yasmine nggak mungkin bohong sama Ayah!”

“Halah, gambar itu bisa diambil dari internet biar kebohongan kamu ini saya percaya. Jangan mentang-mentang selama ini ada Azriel kamu jadi semena-mena ya sama saya! Sekarang nggak ada Azriel, nggak ada yang belain kamu,” ucap ayah penuh amarah. “Kamu tuh dari dulu nggak pernah berubah! Benar-benar anak nggak tau diuntung, masih bagus saya nggak buang kamu waktu kecil. MASIH BAGUS SAYA MAU RAWAT KAMU! Tapi begini kelakuan kamu sama orang tua! Nggak tau diri!”

“Mas! Ada apa sih? Kenapa ribut-ribut begini?” bunda yang baru saja turun karena mendengar keributan itu akhirnya ikut nimbrung. Wanita itu kemudian segera memeluk Yasmine yang nampak gemetar dan wajahnya berlinang air mata yang sudah tak dapat lagi ia bendung.

“Tanya tuh anak kesayangan kamu. Saya udah bilang dari dulu jangan dimanja! Begini jadinya. Seenaknya, nggak tau diri, nggak mau denger apa kata orang tua!” balas ayah.

Sekilas, Yasmine menatap ayah yang balas menatapnya nyalang. Tidak begitu jelas lantaran matanya yang berkilat akibat air mata, namun tatapan ayah tetap menusuk. Bersamaan dengan ucapan-ucapannya yang selalu tertuju padanya selama menjadi anak ayah. Atau pantaskah ia menyebut dirinya sebagai anak ayah? Sebab selama ini yang menganggapnya ada hanyalah bunda dan kakaknya. Ayah sama sekali tidak pernah menyayanginya. Sejak kecil, yang Yasmine tahu adalah sosok ayah yang selalu marah ketika melihatnya. Satu-satunya lelaki yang memberinya tatapan kasih sayang adalah Azriel.

Setelahnya ayah kembali bicara padanya. “Kamu pulang malem-malem ngapain? Mau jadi perempuan nggak bener kamu?! Iya?! Nggak usah pulang aja sekalian! Saya malah seneng kalo nggak ada kamu di sini. Tau kamu?”

Perkataan ayah rasanya begitu ringan diucapkan oleh pemiliknya. Begitu mudah masuk ke telinganya, begitu mudah menusuk hati kecilnya. Yasmine menangis semakin keras dalam pelukan bunda yang kini beradu mulut dengan ayah. Tidak terima suaminya berkata begitu pada anaknya sendiri.

“Mas, gimanapun juga Yasmine tetep anak kamu. Darah daging kamu! Nggak seharusnya kamu ngomong gitu ke Yasmine!” ucap bunda menggebu.

Ayah tidak peduli. Ia tetap dengan angkuh berdiri di hadapan bunda yang dengan erat memeluk Yasmine yang menangis tersedu-sedu. “Eh, denger ya! Saya nggak pernah anggep kamu anak saya. Anak saya cuma Azriel, kalopun ada dua, satu lagi bukan kamu! Seharusnya bukan kamu!”

Setelahnya ayah berlalu keluar. Entah ke mana, tetapi bagus lah. Yasmine jadi bisa dengan leluasa menenangkan dirinya. Seiring berbunyinya suara pintu ditutup dengan keras dan penuh amarah, Yasmine menghela napasnya. Gadis itu terduduk di lantai, dan di dalam pelukan bunda, ia menangis lebih keras. Pada saat-saat seperti ini lah ia mulai merindukan Azriel. Jika kakaknya ada di sana, pasti Yasmine akan mendapat perlindungan penuh. Jika ada Azriel, Yasmine pasti akan merasa aman. Dari siapapun, termasuk orang yang selama ini dipanggilnya ayah, namun tak pernah berperan sebagai seorang ayah.

Dengan matanya yang berkaca-kaca, Yasmine melihat sekelilingnya. Sebuah ruangan yang familiar di matanya, sebuah bangunan yang ia tinggali sejak dulu dan disebutnya 'rumah'. Yasmine memang pulang hari itu, namun ia tahu persis. Ini bukan rumah yang ia tuju.

Sesuai dugaannya, Haris tidak bisa tidur. Pria itu hanya berguling-guling di kasurnya, berkali-kali merubah posisinya. Berharap mendapatkan posisi tidur yang nyaman dan bisa segera terlelap. Bahkan ketika Haris menelungkupkan wajahnya di bawah bantal, pemuda itu tetap tidak bisa terlelap. Rasanya ia tak ingin hari begitu cepat berakhir, namun juga ingin hari esok cepat tiba. Haris menjadi terlalu bersemangat, dadanya membuncah merasakan kebahagiaan yang belum pernah ia cicipi sebelumnya.

“Waaaa gue meluk Gia beneran nggak sih? Astaghfirullah..”

Haris bermonolog. “Demi Allah saltingnya sampe sekarang kenapa sih?! Gimana dongg ampun, dah!”

Sesaat kemudian Haris terlonjak lantaran seseorang membuka pintu kamarnya. Haris otomatis terduduk dan dengan tampang terkejut ia melihat ke arah pintu. Rupanya itu mama yang baru saja pulang. Ia mengetahuinya dari pakaian sang mama yang belum diganti. Masih rapi seperti saat ia jumpai pagi tadi.

“Loh? Belum tidur, Kak? Atau kebangun?” tanya mama. Haris menghela napasnya sebelum menjawab. “Belum tidur.”

“Kenapa? Ada yang ganggu pikiran Kakak?”

Mau tau mau, Haris mengiyakan. Sebab ia pun tak tahu harus mengganti alasannya dengan apa jika tidak jujur. Toh, siapa tahu mamanya bisa membantu.

Mind to share?” tanya mama. Haris menggeleng, menandakan bahwa ia sama sekali tidak keberatan. Sang mama akhirnya tersenyum dan menutup pintu. Wanita itu akhirnya mengambil tempat di sebelah Haris dan bersandar di tempat tidur sang anak. Bersiap untuk mendengarkan keluh kesah anak sulungnya itu.

“Kenapa, Kak?”

“Haris nggak bisa tidur,” jawabnya merengek. Membuat mamanya itu terkekeh, “Iyaa, kenapa sayang?”

“Deg-degan,” ucap Haris. Kening mamanya mengkerut, “Emangnya besok ada apa kok deg-degan?”

“Nggak ada apa-apa. Yang ada apa-apa bukan besok tapi tadi..”

“Tadi ada apa?” tanya mama. Haris tak langsung menjawab, ia menunduk. Kemudian mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Ragu bagaimana harus mengungkapkannya.

Sesaat kemudian Haris menggeleng, “Nggak sih. Nggak ada apa-apa.”

“Lah gimana? Terus yang bikin nggak bisa tidur apa?” tanya mama. Haris tidak menjawab. Ia membenarkan posisinya, memilih untuk menyandarkan kepalanya di atas paha mamanya yang masih terbalut celana bahan berwarna hitam. Kemudian memejamkan matanya seiring tangan mamanya mengusap rambut legamnya yang mulai gondrong.

“Adek kelas Haris ada yang cantik,” ucap Haris. Kemudian matanya kembali terbuka karena berhentinya usapan mama. Sepertinya ucapannya kali ini cukup membuat mamanya itu terkejut. Haris mendongak, menatap wajah ayu mamanya yang meski lelah, masih setia mendengarkan ceritanya.

“Jadi itu yang bikin nggak bisa tidur? Iya?” tanya mama. Saat itu juga Haris tak dapat lagi menahan senyumnya. Pemuda itu bahkan terkekeh, namun memilih untuk kembali memejamkan matanya. Malu. “Aaah, anak Mama udah gede. Nggak berasa ya?”

“Adek kelas Haris yang itu.. namanya Anggia, Ma,” ucap Haris lagi. Memilih memulai percakapan dengan topik baru tanpa membalas perkataan mamanya barusan.

“Anggia? Kayak kakak kelasnya Han—”

“Emang iya.”

“Hah? Gimana, Kak?”

“Adek kelasnya Haris itu Kakak kelasnya Hanum yang itu. Anggia yang sering kita omongin. Nggak tau gimana caranya, tiba-tiba dia satu sekolah sama Haris. Bahkan waktu MOS, kelasnya dia Haris yang megang. Terus dia kena masalah, Haris yang nanganin. Jadi kenal,” jelas Haris singkat. Pemuda itu bercerita dengan matanya yang sengaja ia pejamkan.

“Wah.. dunia tuh sempit banget ya?” ucap mama. Sementara Haris hanya terkekeh.

“Terus, Kak?”

“Awalnya Haris sebel sama dia, karena ngerepotin. Tapi setelah sering ngobrol ternyata anaknya baik. Itu sebelum Haris tau kalo dia deket sama Hanum. Nah, waktu Haris jemput Hanum, Haris ketemu dia. Dia lagi cap tiga jari,” ucap Haris. “Terus.. Haris pikir, Haris mau baik aja sama dia karena dia selama ini juga udah baik sama Hanum. Tapi malah nggak sesuai tujuan deh, Ma.”

Mama tersenyum meski Haris tidak melihatnya, “Kakak suka sama dia?”

Can I?”

Totally, Kak. Kenapa enggak?”

“Ini sih sebenernya udah mulai ngedeketin. Tapi, takut,” balas Haris. “Apa yang bikin takut?”

“Mama,” balas Haris. Dengan begitu, mama menautkan alisnya tidak terima. “Emang Mama kenapa? Galak?”

Haris terkekeh, kemudian kembali membuka matanya. Namun kali ini, ia menatap langit-langit kamarnya sendiri. Membawa pikirannya menerawang bersamanya. “Bukan Mamanya sih. Cuma Haris takut aja akan berakhir kayak Mama sama Papa. Sekeras apapun usaha Haris buat perjuangin semuanya, tetep ujungnya pisah pisah juga.”

Kali ini keduanya terdiam. Terlebih mamanya yang kini menatap sendu ke arah anak sulungnya yang ternyata, menyimpan banyak gelisah yang tak terucap. Dalam hatinya mama tahu, Haris, bagaimanapun juga, sama seperti papanya. Yang tidak mudah jatuh hati, namun sekalinya pemuda itu menemukan yang dapat memikat hatinya, it lasts forever.

Sebagai seorang ibu, melihat dari tatapan dan biar mata Haris, mama mengerti anak sulungnya jatuh cinta. Layaknya bunga di musim semi, cintanya baru saja bermekaran. Bahkan hingga empunya tak bisa tidur, entah apa yang terjadi di sekolah hari itu. Mama juga tahu, Haris bukan tipe orang yang bertele-tele dengan perasaannya. Jika ia tidak suka terhadap sesuatu, Haris akan menyatakannya secara gamblang tanpa memikirkan perasaan lawan bicaranya. Dan jika ia menyukai sesuatu—dalam kasus ini, seseorang—maka Haris tak akan menyia-nyiakan waktu untuk membuat pujaan hatinya menjadi miliknya.

Tetapi rupanya hatinya masih bimbang. Masalah yang sempat terjadi di keluarganya rupanya membuat Haris serba takut. Takut untuk memulai gerakan lebih jauh, takut untuk melanjutkan perasaannya, takut hubungannya dengan Gia jika berhasil nanti justru akan berakhir seperti kedua orang tuanya. Juga, takut dirinya tidak pantas untuk Gia yang menurutnya sangat sangat baik.

“Sebenernya Haris bisa aja terang-terangan deketin Gia, tapi rasanya masih banyak yang harus Haris pikirin. Masih banyak yang bikin Haris takut,” ucapnya.

Mama menghela napas, setelahnya tangan kanannya menangkup pipi tirus milik Haris. “Kak,” panggilnya.

“Mama minta maaf,” lanjut mama. Kini giliran Haris yang menautkan alisnya. Pemuda itu lantas bangkit dan duduk menghadap sang mama yang kini menampakkan raut sedih di wajahnya.

“Kenapa, Ma? Mama nggak salah apa-apa, kok!”

Mama menggeleng, “Maafin Mama karena pisahnya Papa sama Mama jadi bikin kamu takut untuk ngerasain perasaan yang kamu rasain sekarang.”

Haris terdiam, ia kini menunduk seraya menggenggam sebelah tangan sang ibu. Memilih mendengarkan ucapan wanita itu lebih lanjut. “Maafin Mama karena pisahnya Mama sama Papa bikin kamu jadi takut untuk ngejalin hubungan sama orang lain,” mama kembali bicara.

“Tapi, Kak. Just because kamu anak Mama sama Papa, bukan berarti cerita kamu juga akan berakhir sama kayak kami, Kak. Mama sama Papa pisah, karena.. ada kesalahan di antara kami yang udah nggak bisa diperbaiki,” ujar mama. “Papa sama Mama berhenti saling memperjuangkan untuk satu sama lain, dan itu salah. Nah kamu, Kak. Kalo kamu suka, perjuangin sampe akhir. Kalo ternyata nanti dia bukan jodoh kamu, seenggaknya kamu nggak nyesel. Karena kamu udah berjuang.”

“Pisah itu pasti. Segala sesuatu yang ada di dunia ini sifatnya emang cuma sementara, Kak. Tapi yang harus kamu pikirin bukan perpisahannya yang masih entah kapan terjadinya. You should live in the moment, and be grateful for everything.

Haris termenung. Namun, sudut bibirnya kembali berkedut menahan senyuman. Mencurahkan segalanya kepada mamanya memang selalu menjadi pilihan yang paling tepat. Gelisahnya mereda, Haris kembali lega.

Pemuda itu kembali menatap mamanya yang kini menatapnya seraya tersenyum. Wanita di hadapannya mengangguk, “Go for her! Now it's your turn to be happy, Kak Haris.”

Sebuah senyuman lebar yang mewakili perasaan leganya muncul di wajah Haris. Disusul tawa kecil dari sang mama. Sekon berikutnya mamanya itu melirik jam dinging yang menyatakan waktu sudah semakin larut. Setelahnya wanita itu mengacak-acak rambut Haris dan bangkit berdiri.

“Dah, tidur ya, Kak! Besok kesiangan, loh!”

“Iyaaa,” balas Haris. Kemudian membaringkan dirinya dan mengambil posisi nyaman untuk tidur. Kemudian tertidur lelap ketika mama mematikan lampu kamarnya dan memberikan kecupan ringan penuh cinta di keningnya.

Sesuai dugaannya, Haris tidak bisa tidur. Pria itu hanya berguling-guling di kasurnya, berkali-kali merubah posisinya. Berharap mendapatkan posisi tidur yang nyaman dan bisa segera terlelap. Bahkan ketika Haris menelungkupkan wajahnya di bawah bantal, pemuda itu tetap tidak bisa terlelap. Rasanya ia tak ingin hari begitu cepat berakhir, namun juga ingin hari esok cepat tiba. Haris menjadi terlalu bersemangat, dadanya membuncah merasakan kebahagiaan yang belum pernah ia cicipi sebelumnya.

“Waaaa gue meluk Gia beneran nggak sih? Astaghfirullah..”

Haris bermonolog. “Demi Allah saltingnya sampe sekarang kenapa sih?! Gimana dongg ampun, dah!”

Sesaat kemudian Haris terlonjak lantaran seseorang membuka pintu kamarnya. Haris otomatis terduduk dan dengan tampang terkejut ia melihat ke arah pintu. Rupanya itu mama yang baru saja pulang. Ia mengetahuinya dari pakaian sang mama yang belum diganti. Masih rapi seperti saat ia jumpai pagi tadi.

“Loh? Belum tidur, Kak? Atau kebangun?” tanya mama. Haris menghela napasnya sebelum menjawab. “Belum tidur.”

“Kenapa? Ada yang ganggu pikiran Kakak?”

Mau tau mau, Haris mengiyakan. Sebab ia pun tak tahu harus mengganti alasannya dengan apa jika tidak jujur. Toh, siapa tahu mamanya bisa membantu.

Mind to share?” tanya mama. Haris menggeleng, menandakan bahwa ia sama sekali tidak keberatan. Sang mama akhirnya tersenyum dan menutup pintu. Wanita itu akhirnya mengambil tempat di sebelah Haris dan bersandar di tempat tidur sang anak. Bersiap untuk mendengarkan keluh kesah anak sulungnya itu.

“Kenapa, Kak?”

“Haris nggak bisa tidur,” jawabnya merengek. Membuat mamanya itu terkekeh, “Iyaa, kenapa sayang?”

“Deg-degan,” ucap Haris. Kening mamanya mengkerut, “Emangnya besok ada apa kok deg-degan?”

“Nggak ada apa-apa. Yang ada apa-apa bukan besok tapi tadi..”

“Tadi ada apa?” tanya mama. Haris tak langsung menjawab, ia menunduk. Kemudian mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Ragu bagaimana harus mengungkapkannya.

Sesaat kemudian Haris menggeleng, “Nggak sih. Nggak ada apa-apa.”

“Lah gimana? Terus yang bikin nggak bisa tidur apa?” tanya mama. Haris tidak menjawab. Ia membenarkan posisinya, memilih untuk menyandarkan kepalanya di atas paha mamanya yang masih terbalut celana bahan berwarna hitam. Kemudian memejamkan matanya seiring tangan mamanya mengusap rambut legamnya yang mulai gondrong.

“Adek kelas Haris ada yang cantik,” ucap Haris. Kemudian matanya kembali terbuka karena berhentinya usapan mama. Sepertinya ucapannya kali ini cukup membuat mamanya itu terkejut. Haris mendongak, menatap wajah ayu mamanya yang meski lelah, masih setia mendengarkan ceritanya.

“Jadi itu yang bikin nggak bisa tidur? Iya?” tanya mama. Saat itu juga Haris tak dapat lagi menahan senyumnya. Pemuda itu bahkan terkekeh, namun memilih untuk kembali memejamkan matanya. Malu. “Aaah, anak Mama udah gede. Nggak berasa ya?”

“Adek kelas Haris yang itu.. namanya Anggia, Ma,” ucap Haris lagi. Memilih memulai percakapan dengan topik baru tanpa membalas perkataan mamanya barusan.

“Anggia? Kayak kakak kelasnya Han—”

“Emang iya.”

“Hah? Gimana, Kak?”

“Adek kelasnya Haris itu Kakak kelasnya Hanum yang itu. Anggia yang sering kita omongin. Nggak tau gimana caranya, tiba-tiba dia satu sekolah sama Haris. Bahkan waktu MOS, kelasnya dia Haris yang megang. Terus dia kena masalah, Haris yang nanganin. Jadi kenal,” jelas Haris singkat. Pemuda itu bercerita dengan matanya yang sengaja ia pejamkan.

“Wah.. dunia tuh sempit banget ya?” ucap mama. Sementara Haris hanya terkekeh.

“Terus, Kak?”

“Awalnya Haris sebel sama dia, karena ngerepotin. Tapi setelah sering ngobrol ternyata anaknya baik. Itu sebelum Haris tau kalo dia deket sama Hanum. Nah, waktu Haris jemput Hanum, Haris ketemu dia. Dia lagi cap tiga jari,” ucap Haris. “Terus.. Haris pikir, Haris mau baik aja sama dia karena dia selama ini juga udah baik sama Hanum. Tapi malah nggak sesuai tujuan deh, Ma.”

Mama tersenyum meski Haris tidak melihatnya, “Kakak suka sama dia?”

Can I?”

Totally, Kak. Kenapa enggak?”

“Ini sih sebenernya udah mulai ngedeketin. Tapi, takut,” balas Haris. “Apa yang bikin takut?”

“Mama,” balas Haris. Dengan begitu, mama menautkan alisnya tidak terima. “Emang Mama kenapa? Galak?”

Haris terkekeh, kemudian kembali membuka matanya. Namun kali ini, ia menatap langit-langit kamarnya sendiri. Membawa pikirannya menerawang bersamanya. “Bukan Mamanya sih. Cuma Haris takut aja akan berakhir kayak Mama sama Papa. Sekeras apapun usaha Haris buat perjuangin semuanya, tetep ujungnya pisah pisah juga.”

Kali ini keduanya terdiam. Terlebih mamanya yang kini menatap sendu ke arah anak sulungnya yang ternyata, menyimpan banyak gelisah yang tak terucap. Dalam hatinya mama tahu, Haris, bagaimanapun juga, sama seperti papanya. Yang tidak mudah jatuh hati, namun sekalinya pemuda itu menemukan yang dapat memikat hatinya, it lasts forever.

Sebagai seorang ibu, melihat dari tatapan dan biar mata Haris, mama mengerti anak sulungnya jatuh cinta. Layaknya bunga di musim semi, cintanya baru saja bermekaran. Bahkan hingga empunya tak bisa tidur, entah apa yang terjadi di sekolah hari itu. Mama juga tahu, Haris bukan tipe orang yang bertele-tele dengan perasaannya. Jika ia tidak suka terhadap sesuatu, Haris akan menyatakannya secara gamblang tanpa memikirkan perasaan lawan bicaranya. Dan jika ia menyukai sesuatu—dalam kasus ini, seseorang—maka Haris tak akan menyia-nyiakan waktu untuk membuat pujaan hatinya menjadi miliknya.

Tetapi rupanya hatinya masih bimbang. Masalah yang sempat terjadi di keluarganya rupanya membuat Haris serba takut. Takut untuk memulai gerakan lebih jauh, takut untuk melanjutkan perasaannya, takut hubungannya dengan Gia jika berhasil nanti justru akan berakhir seperti kedua orang tuanya. Juga, takut dirinya tidak pantas untuk Gia yang menurutnya sangat sangat baik.

“Sebenernya Haris bisa aja terang-terangan deketin Gia, tapi rasanya masih banyak yang harus Haris pikirin. Masih banyak yang bikin Haris takut,” ucapnya.

Mama menghela napas, setelahnya tangan kanannya menangkup pipi tirus milik Haris. “Kak,” panggilnya.

“Mama minta maaf,” lanjut mama. Kini giliran Haris yang menautkan alisnya. Pemuda itu lantas bangkit dan duduk menghadap sang mama yang kini menampakkan raut sedih di wajahnya.

“Kenapa, Ma? Mama nggak salah apa-apa, kok!”

Mama menggeleng, “Maafin Mama karena pisahnya Papa sama Mama jadi bikin kamu takut untuk ngerasain perasaan yang kamu rasain sekarang.”

Haris terdiam, ia kini menunduk seraya menggenggam sebelah tangan sang ibu. Memilih mendengarkan ucapan wanita itu lebih lanjut. “Maafin Mama karena pisahnya Mama sama Papa bikin kamu jadi takut untuk ngejalin hubungan sama orang lain,” mama kembali bicara.

“Tapi, Kak. Just because kamu anak Mama sama Papa, bukan berarti cerita kamu juga akan berakhir sama kayak kami, Kak. Mama sama Papa pisah, karena.. ada kesalahan di antara kami yang udah nggak bisa diperbaiki,” ujar mama. “Papa sama Mama berhenti saling memperjuangkan untuk satu sama lain, dan itu salah. Nah kamu, Kak. Kalo kamu suka, perjuangin sampe akhir. Kalo ternyata nanti dia bukan jodoh kamu, seenggaknya kamu nggak nyesel. Karena kamu udah berjuang.”

“Pisah itu pasti. Segala sesuatu yang ada di dunia ini sifatnya emang cuma sementara, Kak. Tapi yang harus kamu pikirin bukan perpisahannya yang masih entah kapan terjadinya. You should live in the moment, and be grateful for everything.

Haris termenung. Namun, sudut bibirnya kembali berkedut menahan senyuman. Mencurahkan segalanya kepada mamanya memang selalu menjadi pilihan yang paling tepat. Gelisahnya mereda, Haris kembali lega.

Pemuda itu kembali menatap mamanya yang kini menatapnya seraya tersenyum. Wanita di hadapannya mengangguk, “Go for her! Now it's your turn to be happy, Kak Haris.”

Sebuah senyuman lebar yang mewakili perasaan leganya muncul di wajah Haris. Disusul tawa kecil dari sang mama. Sekon berikutnya mamanya itu melirik jam dinging yang menyatakan waktu sudah semakin larut. Setelahnya wanita itu mengacak-acak rambut Haris dan bangkit berdiri.

“Dah, tidur ya, Kak! Besok kesiangan, loh!”

“Iyaaa,” balas Haris. Kemudian membaringkan dirinya dan mengambil posisi nyaman untuk tidur. Kemudian tertidur lelap ketika sang ibu mematikan lampu kamarnya dan kecupan ringan di kening dari mama.

Gia melangkahkan kakinya menuju pinggir lapangan dan memilih berdiri di sana seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Gia menonton pertandingan basket laki-laki yang menampilkan Haris dan Ojan yang dengan cekatan saling mengoper bola guna memasukannya ke dalam ring lawan. Sudut bibir Gia berkedut menahan senyuman, Haris dalam mode pertandingan memang tak pernah gagal dalam hal mempesona. Tubuhnya yang jangkung membuatnya dengan mudah membantunya mencetak gol.

Satu komentar, keren. Di mata Gia, Haris selalu melakukannya dengan keren. Seakan tanpa usaha, pemuda itu melempar bola dengan tepat sasaran memasuki ring basket yang cukup tinggi. “Naaaaiiissss!” seru Ojan seraya mengacungi jempol pada Haris. Keduanya kemudian bertepuk tangan, senyuman bangga tercetak di wajah mereka.

Permainan dilanjutkan dengan tim lawan yang mendapat kesempatan melempar dari pinggir lapangan. Lagi-lagi dengan cekatan Ojan memblokirnya dan men-dribble bola menerobos lawan dengan gayanya yang tak kalah keren dari sahabatnya itu.

Tetapi dunia hanya berpihak sementara pada Ojan, kesempatannya melakukan hal kharismatik seakan hanya berlaku untuk sekejap mata. Belum sampai satu menit Ojan menguasai lapangan, pria itu melakukan kecerobohan.

“Risss!” jerit Ojan, bermaksud mengoper bola ke arah Haris. Namun entah dosanya yang mana yang membuatnya kembali sial hari itu, Ojan tersandung tali sepatunya sendiri. Membuat bola basket yang sebelumnya berhasil ia kuasai menggelinding ke sembarang arah.

Haris yang tadinya siap menerima bola Ojan pun malah berlutut di lapangan. Tawanya meledak bersamaan dengan teman-temannya yang lain beserta mereka yang menonton. Termasuk Gia.

Haris kemudian bangkit dan menghampiri Ojan, masih dengan tawanya yang terbahak-bahak. “Lo kenapeeeee?”

“Kesandung anjrit sakit banget yak. Nyusruk gua,” balas Ojan. “Besot nggak, Ris, muka gua?”

“Waduuh makin jelek dah!” balas Haris seraya tertawa. “Anying!”

“Sakit nggak, Jan?” tanya Vio yang turut bermain kala itu. Sang ketua basket yang bermain dalam tim yang sama dengan Ojan itu pun turut mengecek keadaan anggotanya yang mengalami 'kecelakaan'.

“Sakit sih enggak begitu, Kak. Malunya itu lho, sampe udel!” balas Ojan, kembali mengundang gelak tawa Vio dan Haris. “Bahasa lu jelek banget udel udel!” balas Haris.

Vio hanya tertawa menanggapi keduanya. “Ayo bangun lagi, main. Iket tali sepatu lu yang bener,” ucap Vio sebelum berlalu lebih dulu mengejar bola yang out.

Gia masih memperhatikan dari pinggir lapangan, ia melihat Haris berlutut dan membantu Ojan mengikatkan sebelah tali sepatunya agar lebih cepat selesai. Haris terkekeh di sana, nampaknya ia menjahili Ojan dengan mengikat tali sepatunya terlalu kencang. Membuat Ojan menoyor kepalanya pelan dengan wajah merajuk. “Kenceng banget anjrit kaki gue nggak bisa napas, ntar!”

De javu, sudut bibir Gia berkedut. Gadis itu mati-matian menahan senyum ketika memorinya tentang Haris yang membantunya mengikatkan tali sepatu hari itu kembali terputar di kepala. Pun, suara Haris mendadak terngiang di telinganya.

“Iket dulu tali sepatunya kalo mau main, Anggia!”

Gila. Gia merasa dirinya gila karena senyum-senyum sendiri tanpa bisa mengendalikan diri untuk menghentikannya. Gadis itu pun segera menggelengkan kepalanya. Berusaha kembali pada fokusnya dan juga realita.

Kali ini pandangannya tertuju pada Vio yang membawa bola. Dengan mudah pemuda itu mendominasi lapangan, tidak sedikitpun memberi kesempatan lawan untuk menyentuh bola basket yang dikuasainya. Dan dengan sekali tembakan, Vio kembali mencetak skor. Tiga poin untuk kali ini, membuat anggota timnya termasuk Haris dan Ojan turut selebrasi meskipun tidak berkontribusi apa-apa.

Pluit kembali dibunyikan, lawan main kembali melempar bola dari bawah ring basket. Kali ini berhasil lolos dari blokiran tim Haris. Namun hal itu tak berlangsung lama. Ketika tim lawan sampai di tengah lapangan, rupanya Ojan dengan sigap mencegat dan merebut kembali bola. Setelahnya ia melempar bola basket pada Haris yang berada di dekat pinggir lapangan, dekat dengan ring basket tempat mereka memasukan bola guna mencetak skor.

Namun sayangnya, lemparan Ojan terlalu kuat hingga meleset dari tangan Haris. Pemuda itu gagal menangkapnya. Sesaat, Haris berniat mengabaikan bola yang terlepas dari tangannya itu. Ia paham bola itu akan segera out dan rasanya percuma jika diperjuangkan. Tetapi, melihat seseorang yang berdiri di pinggir lapangan, Haris mengurungkan niatnya.

Secepat kilat, Haris berlari mengejar bola dan menepisnya dengan kuat hingga membuat Gia dan orang-orang di sekelilingnya terkejut akan kencangnya tepisan Haris. Karena kalau tidak, bola itu akan mengenai wajah Gia dengan cukup keras. Gadis itu bisa pingsan saat itu juga.

Haris hanya berniat menepis bola, namun akibat larinya yang kencang dan terburu-buru, pemuda itu kehilangan keseimbangan. Mau tak mau, Haris menubruk tubuh Gia. Membuat gadis itu terhuyung hingga mundur beberapa langkah. Gia terkejut, terlebih ketika menyadari Haris... Memeluknya.

Gia masih tertegun, badannya terasa kaku. Ia tak tahu harus bagaimana mencerna semua kejadian yang terjadi secepat kilat ini. Yang ia tahu, di hadapannya kini adalah dada bidang Haris yang tertutup kaus penuh keringat.

Haris lebih dulu sadar, pria itu dengan segera menjauhkan tubuhnya dari Gia. Kedua tangannya beralih pada pundak Gia yang bisa ia rasakan menegang, “Gi? Nggak pa-pa?”

Gia masih tak menjawab, kemudian Haris memanggilnya sekali lagi. “Anggia?”

“Hah?” balasnya terkejut. Gia mengerjapkan matanya, kini terlihat jelas di hadapannya wajah Haris yang cukup dekat dengan penglihatannya. Nampak jelas raut wajah khawatir milik Haris, pula struktur wajahnya yang mendekati sempurna. Entah bagaimana caranya, Haris tetap terlihat menawan meski wajahnya memerah dan keningnya dialiri keringat-keringat jagung.

“Kamu nggak pa-pa?”

“I-iya, nggak pa-pa. Makasih, Kak!” balas Gia gelagapan.

“Nontonnya munduran, jangan deket banget yang main! Bahaya,” ucap Haris.

“Iya, Kak,” balas Gia lemas. Setelahnya Haris terkekeh, kemudian berniat memasuki lapangan. Tentu saja dengan sorakan dan ejekan-ejekan dari seluruh anggota basket yang melihat kejadian antara Haris dan Gia itu. Paling keras berasal dari Ojan yang bahkan membuat suara pluit keras-keras. Haris cuek, pria itu menanggapinya dengan senyuman santai dan kekehan pelan.

Namun sebelum benar-benar memasuki lapangan, Haris menoleh ke arah Gia, memastikan sekali lagi bahwa gadis itu tidak berdiri terlalu dekat dengan lapangan agar kejadian serupa tidak terulang. Sementara Gia memilih untuk menunduk, menghindari tatapan Haris. Haris terkekeh gemas.

“Gia,” panggilnya. Gia hanya mendongak tanpa menjawab apapun. Masih gemetar tidak karuan, bahkan ia merasakan darahnya berdesir mengalir ke seluruh tubuh seiring jantungnya belum kembali pada tempo detakan normal.

“Kaget banget ya? Kenceng banget bunyi jantungnya,” ucap Haris dengan senyuman sebelum akhirnya berlari masuk kembali ke lapangan.

Gia menghela napas panjang, setelahnya ia bergumam dalam hatinya. INI BEGINI GARA-GARA KAKAK, KAKKKK!

Gia melangkahkan kakinya menuju pinggir lapangan dan memilih berdiri di sana seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Gia menonton pertandingan basket laki-laki yang menampilkan Haris dan Ojan yang dengan cekatan saling mengoper bola guna memasukannya ke dalam ring lawan. Sudut bibir Gia berkedut menahan senyuman, Haris dalam mode pertandingan memang tak pernah gagal dalam hal mempesona. Tubuhnya yang jangkung membuatnya dengan mudah membantunya mencetak gol.

Satu komentar, keren. Di mata Gia, Haris selalu melakukannya dengan keren. Seakan tanpa usaha, pemuda itu melempar bola dengan tepat sasaran memasuki ring basket yang cukup tinggi. “Naaaaiiissss!” seru Ojan seraya mengacungi jempol pada Haris. Keduanya kemudian bertepuk tangan, senyuman bangga tercetak di wajah mereka.

Permainan dilanjutkan dengan tim lawan yang mendapat kesempatan melempar dari pinggir lapangan. Lagi-lagi dengan cekatan Ojan memblokirnya dan men-dribble bola menerobos lawan dengan gayanya yang tak kalah keren dari sahabatnya itu.

Tetapi dunia hanya berpihak sementara pada Ojan, kesempatannya melakukan hal kharismatik seakan hanya berlaku untuk sekejap mata. Belum sampai satu menit Ojan menguasai lapangan, pria itu melakukan kecerobohan.

“Risss!” jerit Ojan, bermaksud mengoper bola ke arah Haris. Namun entah dosanya yang mana yang membuatnya kembali sial hari itu, Ojan tersandung tali sepatunya sendiri. Membuat bola basket yang sebelumnya berhasil ia kuasai menggelinding ke sembarang arah.

Haris yang tadinya siap menerima bola Ojan pun malah berlutut di lapangan. Tawanya meledak bersamaan dengan teman-temannya yang lain beserta mereka yang menonton. Termasuk Gia.

Haris kemudian bangkit dan menghampiri Ojan, masih dengan tawanya yang terbahak-bahak. “Lo kenapeeeee?”

“Kesandung anjrit sakit banget yak. Nyusruk gua,” balas Ojan. “Besot nggak, Ris, muka gua?”

“Waduuh makin jelek dah!” balas Haris seraya tertawa. “Anying!”

“Sakit nggak, Jan?” tanya Vio yang turut bermain kala itu. Sang ketua basket yang bermain dalam tim yang sama dengan Ojan itu pun turut mengecek keadaan anggotanya yang mengalami 'kecelakaan'.

“Sakit sih enggak begitu, Kak. Malunya itu lho, sampe udel!” balas Ojan, kembali mengundang gelak tawa Vio dan Haris. “Bahasa lu jelek banget udel udel!” balas Haris.

Vio hanya tertawa menanggapi keduanya. “Ayo bangun lagi, main. Iket tali sepatu lu yang bener,” ucap Vio sebelum berlalu lebih dulu mengejar bola yang out.

Gia masih memperhatikan dari pinggir lapangan, ia melihat Haris berlutut dan membantu Ojan mengikatkan sebelah tali sepatunya agar lebih cepat selesai. Haris terkekeh di sana, nampaknya ia menjahili Ojan dengan mengikat tali sepatunya terlalu kencang. Membuat Ojan menoyor kepalanya pelan dengan wajah merajuk. “Kenceng banget anjrit kaki gue nggak bisa napas, ntar!”

De javu, sudut bibir Gia berkedut. Gadis itu mati-matian menahan senyum ketika memorinya tentang Haris yang membantunya mengikatkan tali sepatu hari itu kembali terputar di kepala. Pun, suara Haris mendadak terngiang di telinganya.

“Iket dulu tali sepatunya kalo mau main, Anggia!”

Gila. Gia merasa dirinya gila karena senyum-senyum sendiri tanpa bisa mengendalikan diri untuk menghentikannya. Gadis itu pun segera menggelengkan kepalanya. Berusaha kembali pada fokusnya dan juga realita.

Kali ini pandangannya tertuju pada Vio yang membawa bola. Dengan mudah pemuda itu mendominasi lapangan, tidak sedikitpun memberi kesempatan lawan untuk menyentuh bola basket yang dikuasainya. Dan dengan sekali tembakan, Vio kembali mencetak skor. Tiga poin untuk kali ini, membuat anggota timnya termasuk Haris dan Ojan turut selebrasi meskipun tidak berkontribusi apa-apa.

Pluit kembali dibunyikan, lawan main kembali melempar bola dari bawah ring basket. Kali ini berhasil lolos dari blokiran tim Haris. Namun hal itu tak berlangsung lama. Ketika tim lawan sampai di tengah lapangan, rupanya Ojan dengan sigap mencegat dan merebut kembali bola. Setelahnya ia melempar bola basket pada Haris yang berada di dekat pinggir lapangan, dekat dengan ring basket tempat mereka memasukan bola guna mencetak skor.

Namun sayangnya, lemparan Ojan terlalu kuat hingga meleset dari tangan Haris. Pemuda itu gagal menangkapnya. Sesaat, Haris berniat mengabaikan bola yang terlepas dari tangannya itu. Ia paham bola itu akan segera out dan rasanya percuma jika diperjuangkan. Tetapi, melihat seseorang yang berdiri di pinggir lapangan, Haris mengurungkan niatnya.

Secepat kilat, Haris berlari mengejar bola dan menepisnya dengan kuat hingga membuat Gia dan orang-orang di sekelilingnya terkejut akan kencangnya tepisan Haris. Karena kalau tidak, bola itu akan mengenai wajah Gia dengan cukup keras. Gadis itu bisa pingsan saat itu juga.

Haris hanya berniat menepis bola, namun akibat larinya yang kencang dan terburu-buru, pemuda itu kehilangan keseimbangan. Mau tak mau, Haris menubruk tubuh Gia. Membuat gadis itu terhuyung hingga mundur beberapa langkah. Gia terkejut, terlebih ketika menyadari Haris... Memeluknya.

Gia masih tertegun, badannya terasa kaku. Ia tak tahu harus bagaimana mencerna semua kejadian yang terjadi secepat kilat ini. Yang ia tahu, di hadapannya kini adalah dada bidang Haris yang tertutup kaus penuh keringat.

Haris lebih dulu sadar, pria itu dengan segera menjauhkan tubuhnya dari Gia. Kedua tangannya beralih pada pundak Gia yang bisa ia rasakan menegang, “Gi? Nggak pa-pa?”

Gia masih tak menjawab, kemudian Haris memanggilnya sekali lagi. “Anggia?”

“Hah?” balasnya terkejut. Gia mengerjapkan matanya, kini terlihat jelas di hadapannya wajah Haris yang cukup dekat dengan penglihatannya. Nampak jelas raut wajah khawatir milik Haris, pula struktur wajahnya yang mendekati sempurna. Entah bagaimana caranya, Haris tetap terlihat menawan meski wajahnya memerah dan keningnya dialiri keringat-keringat jagung.

“Kamu nggak pa-pa?”

“I-iya, nggak pa-pa. Makasih, Kak!” balas Gia gelagapan.

“Nontonnya munduran, jangan deket banget yang main! Bahaya,” ucap Haris.

“Iya, Kak,” balas Gia lemas. Setelahnya Haris terkekeh, kemudian berniat memasuki lapangan. Tentu saja dengan sorakan dan ejekan-ejekan dari seluruh anggota basket yang melihat kejadian antara Haris dan Gia itu. Paling keras berasal dari Ojan yang bahkan membuat suara pluit keras-keras. Haris cuek, pria itu menanggapinya dengan senyuman santai dan kekehan pelan.

Namun sebelum benar-benar memasuki lapangan, Haris menoleh ke arah Gia, memastikan sekali lagi bahwa gadis itu tidak berdiri terlalu dekat dengan lapangan agar kejadian serupa tidak terulang. Sementara Gia memilih untuk menunduk, menghindari tatapan Haris. Haris terkekeh gemas.

“Gia,” panggilnya. Gia hanya mendongak tanpa menjawab apapun. Masih gemetar tidak karuan, bahkan ia merasakan darahnya berdesir mengalir ke seluruh tubuh seiring jantungnya belum kembali pada tempo detakan normal.

“Kaget banget ya? Kenceng banget bunyi jantungnya,” ucap Haris dengan senyuman sebelum akhirnya berlari masuk kembali ke lapangan.

Gia menghela napas panjang, setelahnya ia bergumam dalam hatinya. INI BEGINI GARA-GARA KAKAK, KAKKKK!

Gia melangkahkan kakinya menuju pinggir lapangan dan memilih berdiri di sana seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Gia menonton pertandingan basket laki-laki yang menampilkan Haris dan Ojan yang dengan cekatan saling mengoper bola guna memasukannya ke dalam ring lawan. Sudut bibir Gia berkedut menahan senyuman, Haris dalam mode pertandingan memang tak pernah gagal dalam hal mempesona. Tubuhnya yang jangkung membuatnya dengan mudah membantunya mencetak gol.

Satu komentar, keren. Di mata Gia, Haris selalu melakukannya dengan keren. Seakan tanpa usaha, pemuda itu melempar bola dengan tepat sasaran memasuki ring basket yang cukup tinggi. “Naaaaiiissss!” seru Ojan seraya mengacungi jempol pada Haris. Keduanya kemudian bertepuk tangan, senyuman bangga tercetak di wajah mereka.

Permainan dilanjutkan dengan tim lawan yang mendapat kesempatan melempar dari pinggir lapangan. Lagi-lagi dengan cekatan Ojan memblokirnya dan men-dribble bola menerobos lawan dengan gayanya yang tak kalah keren dari sahabatnya itu.

Tetapi dunia hanya berpihak sementara pada Ojan, kesempatannya melakukan hal kharismatik seakan hanya berlaku untuk sekejap mata. Belum sampai satu menit Ojan menguasai lapangan, pria itu melakukan kecerobohan.

“Risss!” jerit Ojan, bermaksud mengoper bola ke arah Haris. Namun entah dosanya yang mana yang membuatnya kembali sial hari itu, Ojan tersandung tali sepatunya sendiri. Membuat bola basket yang sebelumnya berhasil ia kuasai menggelinding ke sembarang arah.

Haris yang tadinya siap menerima bola Ojan pun malah berlutut di lapangan. Tawanya meledak bersamaan dengan teman-temannya yang lain beserta mereka yang menonton. Termasuk Gia.

Haris kemudian bangkit dan menghampiri Ojan, masih dengan tawanya yang terbahak-bahak. “Lo kenapeeeee?”

“Kesandung anjrit sakit banget yak. Nyusruk gua,” balas Ojan. “Besot nggak, Ris, muka gua?”

“Waduuh makin jelek dah!” balas Haris seraya tertawa. “Anying!”

“Sakit nggak, Jan?” tanya Vio yang turut bermain kala itu. Sang ketua basket yang bermain dalam tim yang sama dengan Ojan itu pun turut mengecek keadaan anggotanya yang mengalami 'kecelakaan'.

“Sakit sih enggak begitu, Kak. Malunya itu lho, sampe udel!” balas Ojan, kembali mengundang gelak tawa Vio dan Haris. “Bahasa lu jelek banget udel udel!” balas Haris.

Vio hanya tertawa menanggapi keduanya. “Ayo bangun lagi, main. Iket tali sepatu lu yang bener,” ucap Vio sebelum berlalu lebih dulu mengejar bola yang out.

Gia masih memperhatikan dari pinggir lapangan, ia melihat Haris berlutut dan membantu Ojan mengikatkan sebelah tali sepatunya agar lebih cepat selesai. Haris terkekeh di sana, nampaknya ia menjahili Ojan dengan mengikat tali sepatunya terlalu kencang. Membuat Ojan menoyor kepalanya pelan dengan wajah merajuk. “Kenceng banget anjrit kaki gue nggak bisa napas, ntar!”

De javu, sudut bibir Gia berkedut. Gadis itu mati-matian menahan senyum ketika memorinya tentang Haris yang membantunya mengikatkan tali sepatu hari itu kembali terputar di kepala. Pun, suara Haris mendadak terngiang di telinganya.

“Iket dulu tali sepatunya kalo mau main, Anggia!”

Gila. Gia merasa dirinya gila karena senyum-senyum sendiri tanpa bisa mengendalikan diri untuk menghentikannya. Gadis itu pun segera menggelengkan kepalanya. Berusaha kembali pada fokusnya dan juga realita.

Kali ini pandangannya tertuju pada Vio yang membawa bola. Dengan mudah pemuda itu mendominasi lapangan, tidak sedikitpun memberi kesempatan lawan untuk menyentuh bola basket yang dikuasainya. Dan dengan sekali tembakan, Vio kembali mencetak skor. Tiga poin untuk kali ini, membuat anggota timnya termasuk Haris dan Ojan turut selebrasi meskipun tidak berkontribusi apa-apa.

Pluit kembali dibunyikan, lawan main kembali melempar bola dari bawah ring basket. Kali ini berhasil lolos dari blokiran tim Haris. Namun hal itu tak berlangsung lama. Ketika tim lawan sampai di tengah lapangan, rupanya Ojan dengan sigap mencegat dan merebut kembali bola. Setelahnya ia melempar bola basket pada Haris yang berada di dekat pinggir lapangan, dekat dengan ring basket tempat mereka memasukan bola guna mencetak skor.

Namun sayangnya, lemparan Ojan terlalu kuat hingga meleset dari tangan Haris. Pemuda itu gagal menangkapnya. Sesaat, Haris berniat mengabaikan bola yang terlepas dari tangannya itu. Ia paham bola itu akan segera out dan rasanya percuma jika diperjuangkan. Tetapi, melihat seseorang yang berdiri di pinggir lapangan, Haris mengurungkan niatnya.

Secepat kilat, Haris berlari mengejar bola dan menepisnya dengan kuat hingga membuat Gia dan orang-orang di sekelilingnya terkejut akan kencangnya tepisan Haris. Karena kalau tidak, bola itu akan mengenai wajah Gia dengan cukup keras. Gadis itu bisa pingsan saat itu juga.

Haris hanya berniat menepis bola, namun akibat larinya yang kencang dan terburu-buru, pemuda itu kehilangan keseimbangan. Mau tak mau, Haris menubruk tubuh Gia. Membuat gadis itu terhuyung hingga mundur beberapa langkah. Gia terkejut, terlebih ketika menyadari Haris... Memeluknya.

Gia masih tertegun, badannya terasa kaku. Ia tak tahu harus bagaimana mencerna semua kejadian yang terjadi secepat kilat ini. Yang ia tahu, di hadapannya kini adalah dada bidang Haris yang tertutup kaus penuh keringat.

Haris lebih dulu sadar, pria itu dengan segera menjauhkan tubuhnya dari Gia. Kedua tangannya beralih pada pundak Gia yang bisa ia rasakan menegang, “Gi? Nggak pa-pa?”

Gia masih tak menjawab, kemudian Haris memanggilnya sekali lagi. “Anggia?”

“Hah?” balasnya terkejut. Gia mengerjapkan matanya, kini terlihat jelas di hadapannya wajah Haris yang cukup dekat dengan penglihatannya. Nampak jelas raut wajah khawatir milik Haris, pula struktur wajahnya yang mendekati sempurna. Entah bagaimana caranya, Haris tetap terlihat menawan meski wajahnya memerah dan keningnya dialiri keringat-keringat jagung.

“Kamu nggak pa-pa?”

“I-iya, nggak pa-pa. Makasih, Kak!” balas Gia gelagapan.

“Nontonnya munduran, jangan deket banget yang main! Bahaya,” ucap Haris.

“Iya, Kak,” balas Gia lemas. Setelahnya Haris terkekeh, kemudian berniat memasuki lapangan. Tentu saja dengan sorakan dan ejekan-ejekan dari seluruh anggota basket yang melihat kejadian antara Haris dan Gia itu. Paling keras berasal dari Ojan yang bahkan membuat suara pluit keras-keras. Haris cuek, pria itu menanggapinya dengan senyuman santai dan kekehan pelan.

Namun sebelum benar-benar memasuki lapangan, Haris menoleh ke arah Gia, memastikan sekali lagi bahwa gadis itu tidak berdiri terlalu dekat dengan lapangan agar kejadian serupa tidak terulang. Sementara Gia memilih untuk menunduk, menghindari tatapan Haris. Haris terkekeh gemas.

“Gia,” panggilnya. Gia hanya mendongak tanpa menjawab apapun. Masih gemetar tidak karuan, bahkan ia merasakan darahnya berdesir mengalir ke seluruh tubuh seiring jantungnya belum kembali pada tempo detakan normal.

“Kaget banget ya? Kenceng banget bunyi jantungnya,” ucap Haris dengan senyuman sebelum akhirnya berlari masuk kembali ke lapangan.

Sudah pulang sekolah, hari ini Gia kembali miliki jadwal untuk ekskul basket yang sangat ia gemari itu. Gia mengikat sepatunya di pinggir lapangan. Kali ini, gadis itu memastikan sepatunya terikat sempurna agar tidak mengulang kejadian tali sepatu yang terlepas tanpa sepengetahuannya. Pula mengulang kejadian di mana Haris mengikatkan tali sepatunya di pinggir lapangan. Malu.

Setelah selesai dengan sepatunya, Gia duduk bersila. Menunggu pelatih mereka yang belum datang seraya meminum air putih miliknya dan memainkan ponselnya. Membalas pesan Zahra yang sedang mengantre jajan di luar. Sesekali Gia tertawa meladeni keluhan-keluhan Zahra lantaran sering kali diselak.

Gi, masa abangnya pake kaos tapi keteknya bolong😭😭

Gia terkikik geli sambil memandangi ponselnya sebelum akhirnya mengetikkan balasan untuk Zahra.

Gia : KAMU NGAPAIN MERHATIIN?!

Zahra : Orang abangnya lagi goreng di depan aku, ya keliatan😭😭😭

Gia nyaris menyemburkan air minumnya sendiri. Teman sebangkunya itu, entah bergaul dengan siapa. Selalu ada saja Zahra mengalami kejadian yang tak diduga-duga. Namun, justru menjadi sebuah cerita yang sering kali muncul di otak dan membuat tertawa tiba-tiba bahkan ketika sedang melamun.

“Serem banget ketawa-tawa sendiri,” ucap seseorang dari arah samping membuat Gia terkejut. Gadis itu menoleh, rupanya ada Haris di sana. Pemuda itu terlihat sedang memasukkan seragamnya ke dalam tas, baru saja selesai berganti baju. Jodoh kah? Pasalnya sering kali Gia dan Haris meletakkan tas mereka berdekatan tanpa rencana.

Gia hanya tersenyum, “Hehe, Kak Haris.”

Haris membalasnya dengan anggukan singkat. Setelahnya mengambil tempat duduk di sebelah Gia. “Bisa nggak tadi Biologinya?” tanya Haris.

“Lumayan, Kak. Dari materi yang Kakak kirim lumayan banyak yang keluar.”

Haris kembali mengangguk, “Bagus, deh. Belom ketauan nilainya? Biasanya kalo kuis langsung dikoreksi?”

“Udah kok, Kak,” balas Gia.

“Gia dapet berapa?”

“Pas KKM,” sahut Gia lagi, kali ini dengan nada kecewa.

“Kok bisa? Katanya dari materi kemaren banyak yang keluar?” tanya Haris santai.

“Iya sih, tapi saya nggak apal. Pas ngerjain lupa banget, jadi ngisi sebisanya aja.”

Haris mengangguk santai, “Ooh, ya nggak pa-pa. Segitu juga udah bagus.”

“Tapi temen saya ada yang 100 masa, Kak,” adu Gia. Tanpa sadar gadis itu mengerucutkan bibir seakan mengadu kepada kakaknya sendiri. Sudut bibir Haris melengkung membuat senyuman, hingga akhirnya pemuda itu terkekeh pelan melihat pemandangan di hadapannya. “Ya nggak pa-pa, Gi. Rejeki orang kan beda-beda. Nggak boleh iri gitu, lagi.”

“Ya tapi kan sebel, Kak. Masalahnya yang dapet 100 tuh karena dia liat buku, Kak. Ngolong gitu,” ucap Gia. Menanggapi ucapan gadis yang lebih muda satu tahun darinya itu, Haris menghela napas seraya tersenyum. Paham, Haris paham rasanya. Bagaimana ia belajar mati-matian untuk mendapat nilai sempurna, namun hasil sempurna tetap jatuh ke tangan orang lain. Haris paham rasanya.

“Iya, ngerti. Yang paling penting itu bukan hasil akhirnya, Gi, tapi usahanya,” balas Haris. “Emangnya nggak lega dapet 75 tapi usaha sendiri?” tanyanya lagi.

Gia terdiam sejenak, setelahnya kembali melihat ke arah Haris. “Lega, sih..”

“Nah, ya udah. Apa lagi yang dicari?” tanya Haris. Kalimat Haris berhasil membungkam Gia. Gadis itu kini menunduk menghindari tatapan Haris. Padahal Haris hanya berbicara santai, namun entah mengapa kalimatnya, nada bicaranya, suaranya, berhasil merasuki relungnya. Rasanya seperti mendengar nasihat dari papanya yang begitu jauh. Rasanya.. ada sedikit rindu yang terbayarkan.

“Nggak selamanya kita bisa ngeliat angka, Gi. Karena angka itu nggak ada habisnya dan manusia nggak pernah puas,” ucap Haris. Gia menoleh, dan yang ia temukan adalah tatapan Haris yang belum pernah ia temui sebelumnya. Begitu teduh, hingga Gia tak ingin memalingkan wajahnya.

Entah berapa detik keduanya saling pandang, yang jelas Haris adalah orang pertama yang mengembalikan kesadarannya sendiri. Pemuda itu berdeham, membuat Gia gelagapan dan mengerjapkan matanya. Gia pun merapikan sisa anak rambutnya yang tak ikut terikat guna menutupi gelagatnya yang salah tingkah seraya merapal doa dalam hatinya agar wajahnya tidak memerah. Setidaknya tidak di hadapan Haris.

Setelah sama-sama selesai dengan degup jantung yang kian meletup, Haris kembali berujar. “It's Okay, Anggia. You did a great job!”

Belum sempat Gia membalas, Haris justru sudah bangkit berdiri dan meminta izin untuk pergi lebih dulu. “Saya ke sana duluan ya!” ucapnya. Kemudian kaki jenjangnya menelusuri koridor, meninggalkan Gia yang masih memandangi pemuda yang selalu bisa membuatnya merasakan perasaan tidak wajar dalam hatinya, bahkan hanya dengan melihat punggung lebar nan kekarnya.

Setibanya Gia di depan gerbang, gadis itu mati-matian menunduk menahan malu. Menghindari tatapan Haris yang sudah berada di sana memeriksa atribut siswa-siswi yang berdatangan. Sekilas Gia melihat kakak kelasnya itu menahan senyum lantaran sudut bibirnya berkedut. Namun, pria itu buru-buru mengalihkan pandangan. Mungkin karena sudah janji untuk pura-pura tidak lihat.

Gia menutup wajahnya dengan rambut panjangnya yang hari itu ia atur menjadi low ponytail sebelum akhirnya pura-pura cuek dan bersembunyi di balik antrean. Gia menyalami tangan Pak Asep dan bermaksud langsung ngebut ke koperasi dan ke kela. Namun, gurunya itu malah mengajaknya bercengkerama.

“Anggia,” sapa Pak Asep. Mau tak mau, Gia tersenyum dan menjawab. “Iyaa, Pak.”

“Bagus nih, udah lebih awal terus datengnya. Udah nggak pernah telat,” balas Pak Asep. Gia cuma nyengir, sementara kakak kelas yang sedang memeriksa atribut di sebelahnya itu tersenyum bangga.

“Nanti ada jam Bapak nggak, Anggia?”

“Ada, Pak. Pelajaran terakhir,” balas Gia. “Ada tugas kan?”

“Iya, Pak.”

“Ya sudah nanti kita bahas,” balas Pak Asep. Selanjutnya Gia berpamitan dan melanjutkan misinya. Kabur.


Gia sampai di kelas dengan sebundel lembar jawaban ulangan pesanan Zahra, gadis itu melangkah menuju tempat duduknya dan meletakkan tasnya di sana. Benar saja, belum sempat Gia mendudukkan dirinya, Zahra sudah menghujaninya dengan pertanyaan kecurigaan.

“GIA! Gimana gimana? Kamu ngapain kok tadi bisa salah kirim? Kamu chat-an sama Kak Haris?” ujar Zahra bertubi-tubi.

“Jaraaaa, pelan-pelan donggg ngomongnyaa!” balas Gia. “Nanti ketauan yang lain berisik ah!”

Zahra tertawa, “Ya udah sini sini duduk. Cerita cerita!”

Gia menghela napas pasrah. Pada akhirnya ia menceritakan semuanya pada teman sebangkunya.

“Ya.. awalnya tuh karena aku terlambat kan, yang waktu disuruh hormat bendera itu loh, Jar. Nah terus Kak Haris chat aku, nanya kenapa telat. Terus katanya besok jangan telat lagi gitu, jangan dateng lebih dari 06.15,” jelas Gia. Ia menjeda bicaranya. Melihat Zahra belum memberikan reaksi apapun, Gia melanjutkan ceritanya.

“Kamu tau kan setiap pagi aku makan beng-beng?” tanya Gia. “Iya.”

“Itu bukan aku bawa sendiri dari rumah. I-itu.. dari Kak Haris..”

Batin Gia bersiap, sebentar lagi pasti Zahra akan menghujaninya dengan teriakan antusias akan keterkejutannya.

“DEMI APA SIH GIIIIIIII?????????” ucap Zahra. Benar kan, tebakannya?

Gia hanya menghela napas pasrah. “Iya serius,” balasnya.

“KOK BISAAAA????”

“Soalnya Kak Haris kan bilang jangan telat, nah aku bales emangnya kalo nggak telat dapet apa. Itu bercanda doang sih aslinya, tapi dia malah bales dapet beng-beng..”

“Dih demi apa sih, Anggia Kalila Maheswari?! Kak Haris yang galak itu?!” Zahra masih tak percaya. Wajar, pada awalnya pun ini sulit dicerna oleh Gia.

“Kak Haris nggak galak sih aslinya,” balas Gia.

“KAGAK GALAK DARI MANEEEE?! Kemaren aja Alwan cerita kaos kaki dia diambilll sama Kak Haris makanya dia nggak pake kaos kaki,” sahut Zahra tak mau kalah.

“Dih, kan itu emang salah Alwan. Siapa suruh kaos kakinya biru tua? Hari Rabu ya kaos kakinya itemm!” balas Gia.

“Kamu belain Kak Haris?” tanya Zahra. Gia otomatis merapatkan bibir. Benar juga, tanpa sadar ada rasa tidak terima dalam dirinya mendengar Haris disalahkan sepenuhnya atas tindakannya menyita kaus kaki Alwan yang memang tidak sesuai peraturan.

Gia menggeleng, “Nggak belain Kak Haris. Itu kalo diliat Pak Asep juga pasti disita!”

Zahra lantas tersenyum lebar, siap meledek teman sebangkunya yang masih saja mengelak meski sudah tertangkap basah. Bahkan kedua pipinya mulai memerah. “Yeuuuuuu bilang aja nggak terima Kak Haris dibilang galak!”

“Terima, kok!”

“Ohhh. Ya emang sih Kak Haris tuh galak banget, nyebelin, nggak punya perasaan, jelek banget hatin—”

“KOK GITU SIH KAMU?!” protes Gia tiba-tiba. Zahra memasang wajah bingung, “Kenapa? Katanya tadi terima Kak Haris dibilang galak?”

Skakmat! Gia kembali menutup mulutnya rapat-rapat. Gelagapan sendiri, bingung harus membalas apa. Setelahnya Zahra terkekeh, “Kocak lu Gi!”

“Padahal nggak pa-pa sih, ngaku aja. Aku udah paham kali kamu emang demen sama Kak Haris,” balas Zahra.

“Ih..”

“Aku tuh temen kamu, Gi. Tiap hari sama kamu. Santai aja lagi, aku ngerti kok. Kamu bisa cerita apa aja sama aku, nggak usah malu-malu,” balas Zahra pengertian. Selama ini Gia memang tidak pernah memiliki teman dekat. Sebangkunya selama SMP cukup individualis hingga keduanya hanya sedikit berinteraksi. Memiliki teman sebangku seperti Zahra, sejujurnya Gia cukup kaget. Namun hari ini rasanya hatinya sedikit senang karena mendapat keterbukaan dari Zahra.

Thank you loh, Jar..” ucap Gia, tulus dari dalam hatinya. Di hadapannya Zahra hanya tersenyum seraya mengangguk membalas ucapannya.

“Santai aja, Gi. Terus tadi kamu kenapa salkir?” tanya Zahra.

“HAH ITU?! Ah.. aku udah lupa jadi inget lagi, malu deh. Sumpah demi Allah malu banget,” balas Gia. Gadis itu sudah menutup wajahnya dengan sebelah tangannya.

Zahra terkikik, “Yahh sorry deh, kenapa sih emang? Salah kirim ke Kak Haris?”

“Iya.. pagi-pagi biasanya Kak Haris tuh emang chat aku, nanyain udah sampe sekolah apa belom. NAH TADI PAGI CHAT-NYA BARENGAN SAMA PUNYAMU! ATAS BAWAH!”

Gia dapat mendengar tawa Zahra semakin keras. “Terus terus? Kamu ngirim apa ke Kak Haris sampe malu banget demi Allah gitu?”

“Kirim foto...”

“Hah?”

Mirror selfie....”

“HAH? HAHAHAHAH GIAAAAAAAAA!”

“Zahra diem ah!” balas Gia. Pada akhirnya Zahra terpaksa menutup mulut, menyudahi tawanya meskipun perutnya masih geli dan masih ingin tertawa.

“Ya nggak pa-paaaa, siapa tau foto kamu jadi penyemangatnya Kak Haris pagi-pagi,” ejek Zahra. “Apaan, yang ada nanti dipake buat ngusir tikus,” balas Gia. Sementara Zahra hanya tertawa.

“Gi, tapi ya. Menurut aku, Kak Haris tuh ngasih beng-beng, terus mastiin kamu nggak telat tiap hari tuh udah nggak bisa dibilang nggak ada apa-apa sih,” ucap Zahra. Gia mengerutkan dahi, “Maksudnya?”

“Kak Haris begitu ke kamu doang, Gi. Coba deh, pikir. Aku tanya nih, emang Kak Haris tuh sebaik apa sama kamu sampe bisa cuma kamu doang selain temen-temennya Kak Haris yang nganggep dia tuh baik?”

Gia terdiam, pikirannya menerawang pada saat-saat Haris membantunya. Pula ketika setiap pria itu dengan ramah mengajaknya bicara. “Jangan berisik ya? Sini ngolong, aku ceritain.”

Meskipun bingung, Zahra tetap mengikuti Gia untuk bersembunyi di kolong meja. Keduanya kini nampak seperti sedang membicarakan strategi perang yang tidak boleh terdengar oleh musuh. Sesekali Zahra mengeluh karena lapak sempit, namun pada akhirnya pasrah karena hasratnya mengetahui cerita temannya lebih besar ketimbang mendapat space lebih luas.

Gia berbisik, “Kak Haris tuhh pernah nolongin aku kan, aku udah cerita. Nah, terus.. dia pernah bantu ngiketin tali sepatu aku waktu aku nggak sadar, ini pas basket. Terus waktu kamu apalan di masjid, Kak Haris nemenin aku di kantin, dia juga nanyain aku digodain angkatan atas atau enggak. Kak Haris juga.. bantuin aku belajar biologi semalem..”

“DEMI AP—AH ADUH!” Zahra memegangi kepalanya yang terbentur meja sangking terkejutnya. Sementara di hadapannya, Gia ikutan panik. “Duhh, hati-hati dong! Aku bilang kan jangan berisik!”

“Gi, siapa yang bisa diem aja denger cerita kamu begitu?!” balas Zahra. “Ini mah udah fix nih!!”

“Apa?”

“Kak Haris chat kamu tiap pagi tuh bukan buat nanyain absen doang, Gi! Itu mah PDKT berkedok absen!!!”

Ucapan Zahra membuat Gia termenung sendiri.

Iya, kah? Enggak deh, pasti nggak mungkin. Kata Kak Gina juga kan, Kak Haris baik cuma karena aku deket sama Hanum aja. Nggak mungkin lebih dari itu, kan?

“Kamu ada yang mau dicari nggak, Kak?” Haris menoleh pada mama yang memulai percakapan setelah mereka keluar dari restoran. Pemuda itu tampak menggeleng, “Nggak ada. Mama ada yang mau dicari?”

“Enggak, tapi Hanum katanya mau beli cat akrilik buat tugas sekolahnya besok. Kamu mau ikut atau?”

“Kayak biasa deh, Ma. Haris sama Haura aja, main,” balas Haris. Memang selalu seperti itu. Jika tidak ada yang ingin atau perlu ia beli, Haris akan membiarkan Hanum mengitari mall bersama mamanya. Membiarkan wanita-wanita itu mencuci mata dan mencari entah apa yang mereka butuhkan. Sebab Haris tahu, meskipun yang dicari hanya satu barang, tetap saja keduanya akan melipir ke tempat-tempat yang tidak ada direncana sebelumnya.

“Ohh, okay. Nanti Mama telepon kalo udah mau jalan ke parkiran ya, Kak? Inget kan tadi parkir di mana?” tanya mama.

“Inget, Ma. Ya udah, gih. Haris sama Haura, yaa!”

Keempatnya berpisah. Dengan Hanum yang bersama mama dan Haris yang berpasangan dengan Haura. Pria itu menggenggam tangan Haura erat agar gadis itu tidak tertinggal. Langkahnya pun menjadi pelan, menyesuaikan langkah Haura yang amat kecil dibandingkan langkahnya yang selalu gagah.

“Haura mau ke mana?” tanya Haris. “Mau jajan nggak?” Dengan pertanyaannya, Haris bermaksud mengajak Haura ke luar mall, menuju taman dekat sana yang memang sering keduanya kunjungi. Setelah gadis kecil itu mengangguk, Haris lantas terkekeh, kemudian beralih menggendong Haura dan menuju tempat yang ingin dituju.


“Eh, Gi gue beli nggak ya?” tanya Agung pada keponakannya. Gia lagi-lagi menghela napasnya. Setelah dijemput secara tiba-tiba oleh Agung, Gia terpaksa menuruti permintaan Agung untuk menemaninya membeli sepatu bola baru untuk bermain bersama teman kantornya. Namun, ketika sampai di toko, Agung kerap mengarahkan pandangannya kepada celana boxer bermerk sport terkenal yang memang biasa Agung beli. Bingung ingin membeli atau tidak.

“Astaghfirullah Om, itu cuma kolor...”

“Dih sembarangan lu, Gi! Itu kolor bukan sembarang kolor ya!” balas Agung. “Astagaaa kolor aja dibelain!” sahut Gia.

“Nggak usah beli dehh! Udah sampe sini jugaaa, masa mau balik lagi?” tanya Gia.

“Duh, beli nggak ya, Gi? Bingung banget dah asli.” Agung kini bertolak pinggang. Isi pikirannya seperti sedang bergelut dengan hatinya. Beli, tidak, beli, tidak. Pria itu bahkan menggigit bibir bawahnya, mempertimbangkan keputusannya selayaknya ini adalah keputusan penting dalam hidupnya.

“PLIS DEH ITU CUMA KOLOR!”

“LU KOLAR KOLOR KOLAR KOLOR! Ini masalah hidup dan mati, Gi!”

“Lebay!”

“Beli deh, Gi. Gue nggak mau menyesal di kemudian hari,” ujar Agung final. “Om beli gituan buat APA sih, Om? Tujuan aslinya tuh AAPAAAH?!” tanya Gia penasaran.

“Pamer lah ama temen gua,” balas Agung. Sementara Gia mendelik geli.

“Ya udah kalo mau beli lagi tapi Gia nggak mau balik lagi ah. Capek. Jauh banget. Gia tunggu sini aja,” ucap Gia.

“Ya udah tunggu sini. Jangan ilang, kalo ada orang ngasih permen jangan mau yak! Kalo ngasih duit baru ambil,” balas Agung. Kemudian mendapat ancaman pukulan dari Gia sebelum ia pergi meninggalkan gadis itu.

Alhasil Gia memilih untuk menyusuri taman yang ia pijaki. Banyak semak-semak lebat yang sengaja ditanam untuk estetika, lampu-lampu taman yang belum menyala lantaran cahaya matahari masih cukup terang. Gia jadi membayangkan, kalau malam-malam jalan ke sini bersama orang yang ia sukai, bukankah akan menjadi kenangan yang akan tertanam dalam hatinya?

Belum selesai Gia berimajinasi, rasanya semesta sudah mendengarnya. Dan mewujudkannya, meskipun tidak persis sama dengan apa yang Gia inginkan. Namun rasanya Tuhan mendengar sepenggal permohonannya untuk berada di taman itu bersama dengan orang yang ia sukai.

Gadis dengan kuncir kuda dan masih lengkap mengenakan seragam sekolah itu mengernyit ketika mendapati sesosok pemuda yang ia kenali. Tak lain dan tidak bukan, Kak Haris. Pemuda itu nampak sedang berjongkok di hadapan seorang gadis kecil yang sedang memakan ice cream sandwich. Tangan kanannya memegang tissue yang siap menghapus jejak es krim yang belepotan, sesekali Gia melihat Haris turut menggigit es krim itu lantaran disuapi oleh gadis kecil di hadapannya.

Gia galau. Samperin, enggak, samperin, enggak?

“Samperin aja kali ya?” ucap Gia bermonolog. Kemudian dengan langkah ragu meski setelah memberanikan diri, Gia memutuskan untuk menghampiri Haris.

Gadis itu berdeham, “Kak Haris?”

Haris dan Haura otomatis menoleh. Haura menoleh santai sementara Haris berjengit, terkejut seseorang memanggilnya di tempat umum seperti ini. “Astaghfirullahaladzim, kaget gua,” ucapnya pada diri sendiri. Sementara Gia masih berdiri di dekatnya dan tertawa pelan melihat Haris yang terkejut di hadapannya.

“Gia? Kok di sini?” tanya Haris. Pemuda itu bangkit berdiri lantaran sinar matahari terlalu menyilaukan, membuatnya tak dapat memandang Gia dengan jelas.

Gia mendongak menatap Haris yang kini berdiri tegap, menjadi lebih tinggi darinya. “Iyaa, tadi nemenin Om saya beli sepatu bola. Tapi dia lagi balik lagi soalnya ada yang masih mau dibeli,” jawab Gia. “Kakak sama siapa?”

“Nih, sama dia,” ucap Haris menunjuk Haura. “Sama Mama sama Hanum juga, sih. Tapi mereka lagi ada yang dicari, jadi saya nunggu sini.”

Setelahnya Gia hanya membulatkan bibir dan mengangguk-angguk. “Duduk, Gi,” ucap Haris. Gadis itu kemudian mengangguk dan mengambil tempat di sebelah Haura.

Gia tersenyum gemas, setelahnya kembali menoleh pada Haris. “Namanya siapa, Kak?”

Haris ikut tersenyum dan kembali berjongkok di hadapan Haura. “Ditanya Kakaknya tuh, namanya siapa katanya.”

Haura melirik Haris, kemudian barulah ia menoleh pada Gia. Setelah berhasil menelan es krim di mulutnya dan melihat ekspresi ramah Gia, Haura akhirnya ikut tersenyum. Menampilkan eye smile turunan dari mamanya yang sangat menggemaskan baik bagi Haris maupun Gia. Kemudian ia menjawab, “Mikhayla Hauwa. Kakak namanya siapa?”

Gia ingin menangis saja rasanya. Ini terlalu gemas untuk bisa ia tangani dengan hati kecilnya. “A-aku Gia.”

Setelahnya Haura kembali tersenyum, gadis kecil itu kemudian menundukkan kepalanya sopan. “Salam kenal Kak Gia.”

Gia tertegun dalam hati. Entah sudah berapa kali Haura membuatnya terpukau pada saat kali pertama keduanya berjumpa. Yang jelas, Gia tahu bahwa Kak Haris dan keluarganya adalah orang-orang yang luar biasa. Sebab bahkan dari yang paling sulung hingga yang paling bungsu, semuanya mempesona. Semuanya berhasil merebut hati Gia dengan mudah.

Gia terkekeh gemas, gadis itu tak lagi dapat menahan dirinya untuk tidak mengelus pipi tembam milik Haura. “Salam kenal Hauraaaaaaaa!” balas Gia dengan ceria. Saat itu, Haris tersenyum. Meski tipis dan sebentar, namun ia tak bisa berbohong bahwa separuh hatinya jatuh lebih dalam pada gadis yang menemuinya tanpa sengaja hari ini.

Diam-diam, Haris jadi salah tingkah. Beruntung ponselnya bergetar sebelum Gia sempat melihat ke arahnya. Jadi ia masih punya kesempatan untuk menutupi sikapnya yang mendadak kikuk.

“Halo, Ma? Udah?” tanya Haris mengangkat telepon.

“Kenapa? Enggak, Kakak di luar sama Haura—oh nggak langsung ke parkiran? Ya udah, sebentar lagi Kakak jalan ya? Haura masih mam es krim. Okeee, Daah.” Haris mematikan ponselnya dan kembali nemasukannya ke saku celana. Setelahnya ia mengulas senyum tipis pada Gia sebelum akhirnya bicara pada Haura.

“Ayok, abisin es-nya. Mama sama Kak Hanum udah selesai,” ucap Haris. Namun, bukannya buru-buru menghabiskan, Haura justru menyodorkannya pada Haris. Membuat pemuda itu mengangkat sebelah alisnya bingung. Haura kemudian menggeleng, Haris kemudian mengerti bahwa adiknya sudah kenyang.

“Udah?” tanyanya. Haura kemudian mengangguk. “Sini,” ucap Haris. Mengambil alih makanan itu dari tangan Haura.

“Kakak abisin ya?” tanya Haris lagi. “Iyah,” balas Haura.

Haris berniat melahap sisa ice cream sandwich milik Haura, namun sebelun itu ia menoleh pada Gia. “Mau, Gi?” tanyanya seraya terkekeh.

Gia balas tertawa, “Enggaakk. Udah tinggal segitu baru nawarin!”

“Basa-basi aja,” balas Haris, membuat Gia tersenyum lebih lebar. Kemudian menghabiskan es krim di tangannya dengan sekali lahap. Setelahnya ia mengelap tangannya sendiri.

“Sini tangannya lap dulu, nanti kena baju diomelin siapa?” ucap Haris pada Haura. “Kak Hawis!” balas Haura. “Hehe, iya betul diomelin Kak Haris bukan diomelin Mama.”

Detik berikutnya pemuda itu dengan telaten membersihkan tangan sang adik, tak lupa kembali memastikan bahwa wajah adiknya itu bersih tanpa ada sisa es krim dan membuang sampahnya ke tempat sampah terdekat. Sedari tadi, Gia banyak diam. Gadis itu memperhatikan interaksi kakak-beradik di hadapannya yang menurutnya begitu.. indah.

Gia baru tahu, kalau Haris yang dikenal galak dan ditakuti seantero sekolah itu punya sisi sehangat ini jika di rumah. Gia baru tahu, kalau Kak Haris yang dulu membalas pesannya dengan kata-kata yang begitu menusuk rupanya adalah sosok penyayang jika di rumah. Gia tersenyum dalam hatinya yang turut menghangat di bawah terpaan matahari sore yang bersinar ramah. Dalam benaknya ia berpikir, Enak ya jadi adeknya Kak Haris dan orang-orang terdekatnya. Pasti bisa liat Kak Haris yang begini setiap hari.

“Om kamu masih lama nggak, Gi?” tanya Haris.

“Nggak tau sih, Kak. Tapi Kakak duluan aja nggak pa-pa, kok,” balas Gia.

“Bener, nih? Kamu nggak pa-pa sendirian?”

“Iya, bener.”

“Ya udah, saya duluan ya, Gi? Maaf nggak bisa nemenin,” ujar Haris lagi.

“Iyaa, nggak pa-pa, Kak Haris.”

“Haura, yuk!” Haris mengajak Haura, gadis kecil itu kemudian bangkit dan merapikan gaunnya yang sedikit berantakan akibat dipakai untuk duduk. “Nggak mau say bye-bye dulu sama Kak Gia?” ucap Haris lagi.

Haura tertawa pelan, “Oh, iya lupa. Bye-bye, Kak Gia!”

Gia balas tersenyum ramah, “Iyaaa, dadah, Hauraa! Hati-hati pulangnya yaa!”

Haris kembali terkekeh melihat interaksi keduanya. Kemudian sekon berikutnya Haura sudah dalam gendongannya. Biar cepet, kata Haris.

“Duluan ya, Gi!”

“Iya, Kakk. Hati-hati yaa!” balas Gia. Sesaat berikutnya gadis itu berniat untuk menyusul Agung yang tak kunjung kembali. Namun, suara Haris menghentikannya.

“Eh, Gi!”

“Ya? Kenapa, Kak?”

Haris merogoh saku celananya dengan sebelah tangannya yang bebas, kemudian mengeluarkan dua bungkus beng-beng dan menyodorkannya ke arah Gia.

“Lupa, hari ini Gia belom dapet beng-beng.”

Gia lantas tertawa, “Kakak ngantongin ini ke mana-mana?”

“Iya, harusnya kan tadi pas istirahat, tapi lupa. Saya juga nggak liat kamu di kantin.”

“Iya emang saya nggak turun sih hari ini,” balas Gia. “Lagian tadi Kak Haris sibuk main odong-odong, kan?” canda Gia.

Haris tergelak malu, “Kamu kenapa selalu liat aja sih kalo saya begitu? Pura-pura nggak liat aja nggak bisa, Gi?”

“Nggak bisa, Kak. Kalo mau kayak gitu berarti nanti beng-bengnya nambah,” balas Gia. Dan tanpa diduga, Haris kembali mengeluarkan sebungkus beng-beng dari saku celananya.

“Nih,” ujarnya, membuat Gia terperangah sekaligus terkikik geli.

“Kakak ngantongin berapa beng-beng sehari?”

“Secukupnya aja. Buat kamu, sama sisanya cadangan kalo dibetak Ojan,” balas Haris disusul tawa ringan setelahnya. “Nih, ambil aja.” Haris kembali menyerahkan sebungkus beng-beng pada Gia. Gadis itu kemudian menerimanya dengan senang hati, “Makasih ya, Kak!”

“Sama-sama, Gia. Besok jangan telat, ya!”

Setelahnya Haris berlalu pergi. Dan Gia menatap punggung pemuda itu dengan perasaan yang berbunga-bunga. Ditatapnya ketiga biskuit cokelat di tangannya, memang jatuh cinta mengubah segala sesuatu yang sederhana menjadi jauh lebih bernilai. Rasanya kalau bisa, Gia ingin menyimpan semua bungkusan beng-beng yang diberikan Haris.

Haris dan Gia berjalan berlawanan arah setelah pertemuan sore itu. Keduanya sama-sama merahasiakan, namun Tuhan mendengar ucapan syukur keduanya karena dipertemukan tanpa diminta. Pun, Tuhan mendengar detak jantung keduanya yang berdegup lebih kencang dari biasanya.

“Maaaaaaaa?” panggil Haris ketika sudah sampai di butik milik ibunya. Pemuda itu berjalan santai seraya menyapa para pegawai dengan senyumnya. Meskipun cuek, Haris masih tau sopan santun.

“Eh Mas Haris, lama nggak keliatan,” ucap salah satu pegawai di sana. Haris tersenyum ramah, “Iya, Mbak. Kemaren-kemaren aku lagi ngurusin MOS jadi nggak bisa ke sini. Pulang sekolah rapat terus.”

Sang pegawai hanya membulatkan bibir. “Mama mana, Mbak?” tanya Haris.

“Itu lagi ada yang fitting, Mas. Tunggu di ruangan Mama aja. Ada Mbak Hanum sama Dek Haura, kok,” jawabnya.

“Oh, ya udah. Makasih ya, Mbak!”

Setelahnya ia bergegas menuju ruangan mamanya yang jelas sudah ia hapal di luar kepala. Sesampainya di sana, pemuda itu mengetuk pintu dan membukanya. Haris mengintip sebelum membuka pintu lebih lebar, membuat kedua mata adik-adiknya itu mengarah padanya. Setelah menyadari Haris yang datang, keduanya langsung buru-buru menghampirinya dan memeluknya. Satu memeluk perutnya, satu lagi memeluk kakinya.

“KAKAAKK!!”

“Ssttttt! Berisik. Nanti ganggu yang lain,” sahut Haris dengan kedua tangannya balas memeluk Hanum dan Haura.

“Lagi pada ngapain?” tanya Haris. “Lagi ngomongin Kakak,” sahut Hanum.

“Emang iya, Ra?” tanya Haris. Setelah Haura menggeleng sambil tertawa, Haris mencibir Hanum yang tidak menyangka Haura tidak mendukungnya. “Ngomongin gue mah kerjaan lu, Num. Haura mah baik.”

“Ish nyebelin,” kesal Hanum.

Tak lama ketiganya menoleh lantaran pintu kembali terbuka. Menampilkan sang mama yang baru saja selesai mengurus pekerjaannya. Di lehernya masih terkalung alat pengukur yang biasa dilingkarkan di tubuh pelanggannya. “Halooo anak-anak Mamaaaa! Udah kumpul semua nih?”

“Udahh,” balas Hanum.

“Halo, Kakkk! Udah dari tadi kamu sampe?” tanya mama. Haris menggeleng, “Enggak, kok. Baru aja.”

“Laper nggak?”

Haris tak menjawab, pria itu melirik adiknya satu-persatu yang sama-sama mengangguk. Barulah ia ikut mengangguk, “Lumayan sih.”

“Jalan-jalan, yuk? Sekalian mam.”

“AYOK! YES AKHIRNYA AKU IKUT YA ALLAH,” sahut Hanum heboh. Mamanya hanya tertawa, memang Hanum yang paling sering absen ketika diajak pergi. Setelahnya mereka bersiap-siap dan bergegas.

“LARI-LARI KUNCIIN HANUM KUNCIIN!” ujar Haris. “IH KAKAK IHHHHH!!!!”


Keluarga kecil itu duduk di sebuah meja berisikan empat orang. Masing-masing dari mereka sibuk dengan piringnya. Haris memilih untuk duduk di sebelah Haura seraya mengawasi gadis kecil itu selama mengeksekusi makanannya. Sebisa mungkin Haris membuat gadis itu tak menyentuh pisau sama sekali. Sesekali juga ia membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel di sudut bibir atau pipi Haura.

“Kak, kentangnya nggak di makan?” tanya Hanum. Haris yang sedang mengelap pipi Haura dengan selembar tissue itu mendelik, “Dimakan, lah. Enak aja lu! Udah punya sendiri juga.”

“Kurang, punyaku dikit,” balas Hanum seraya mengerucutkam bibir. “Itu namanya derita loe,” balas Haris.

Sementara ibunya hanya tertawa pelan, kemudian melerai pertikaian ringan anak-anaknya. “Nih, nih, makan punya Mama!” ujarnya.

“Beneran, Ma?” tanya Hanum. Wajahnya sumringah menatap kentang goreng di piring sang mama. Tangannya siap di udara dengan sebuah garpu, layaknya cakar elang yang bersiap mengambil mangsa. “Iyaa abisin, jangan gangguin Kakak.”

“YES!”

“Parah lu, Num. Makanya kalo makan bismillah. Kagak ada kenyangnya makanannya diambil setan semua,” ejek Haris. “Dih? Hanum baca doa kok tadi,” balas Hanum.

“Mang iya? Kakak nggak denger,” balas Haris.

“Lah, emangnya aku berdoa ke Kak Haris? Yang harus denger doaku ya Tuhanku.”

“Idiss sedep banget dah ah, Mamah Hanum. Berasa Qultum Ramadhan ya, Ma? Sambil makan dengerin ceramah,” canda Haris.

“Kakak ngomong lagi aku colok nih pake garpu!” ancam Hanum.

“Berani?”

“Enggak.”