“Kamu ada yang mau dicari nggak, Kak?” Haris menoleh pada mama yang memulai percakapan setelah mereka keluar dari restoran. Pemuda itu tampak menggeleng, “Nggak ada. Mama ada yang mau dicari?”
“Enggak, tapi Hanum katanya mau beli cat akrilik buat tugas sekolahnya besok. Kamu mau ikut atau?”
“Kayak biasa deh, Ma. Haris sama Haura aja, main,” balas Haris. Memang selalu seperti itu. Jika tidak ada yang ingin atau perlu ia beli, Haris akan membiarkan Hanum mengitari mall bersama mamanya. Membiarkan wanita-wanita itu mencuci mata dan mencari entah apa yang mereka butuhkan. Sebab Haris tahu, meskipun yang dicari hanya satu barang, tetap saja keduanya akan melipir ke tempat-tempat yang tidak ada direncana sebelumnya.
“Ohh, okay. Nanti Mama telepon kalo udah mau jalan ke parkiran ya, Kak? Inget kan tadi parkir di mana?” tanya mama.
“Inget, Ma. Ya udah, gih. Haris sama Haura, yaa!”
Keempatnya berpisah. Dengan Hanum yang bersama mama dan Haris yang berpasangan dengan Haura. Pria itu menggenggam tangan Haura erat agar gadis itu tidak tertinggal. Langkahnya pun menjadi pelan, menyesuaikan langkah Haura yang amat kecil dibandingkan langkahnya yang selalu gagah.
“Haura mau ke mana?” tanya Haris. “Mau jajan nggak?” Dengan pertanyaannya, Haris bermaksud mengajak Haura ke luar mall, menuju taman dekat sana yang memang sering keduanya kunjungi. Setelah gadis kecil itu mengangguk, Haris lantas terkekeh, kemudian beralih menggendong Haura dan menuju tempat yang ingin dituju.
“Eh, Gi gue beli nggak ya?” tanya Agung pada keponakannya. Gia lagi-lagi menghela napasnya. Setelah dijemput secara tiba-tiba oleh Agung, Gia terpaksa menuruti permintaan Agung untuk menemaninya membeli sepatu bola baru untuk bermain bersama teman kantornya. Namun, ketika sampai di toko, Agung kerap mengarahkan pandangannya kepada celana boxer bermerk sport terkenal yang memang biasa Agung beli. Bingung ingin membeli atau tidak.
“Astaghfirullah Om, itu cuma kolor...”
“Dih sembarangan lu, Gi! Itu kolor bukan sembarang kolor ya!” balas Agung. “Astagaaa kolor aja dibelain!” sahut Gia.
“Nggak usah beli dehh! Udah sampe sini jugaaa, masa mau balik lagi?” tanya Gia.
“Duh, beli nggak ya, Gi? Bingung banget dah asli.” Agung kini bertolak pinggang. Isi pikirannya seperti sedang bergelut dengan hatinya. Beli, tidak, beli, tidak. Pria itu bahkan menggigit bibir bawahnya, mempertimbangkan keputusannya selayaknya ini adalah keputusan penting dalam hidupnya.
“PLIS DEH ITU CUMA KOLOR!”
“LU KOLAR KOLOR KOLAR KOLOR! Ini masalah hidup dan mati, Gi!”
“Lebay!”
“Beli deh, Gi. Gue nggak mau menyesal di kemudian hari,” ujar Agung final. “Om beli gituan buat APA sih, Om? Tujuan aslinya tuh AAPAAAH?!” tanya Gia penasaran.
“Pamer lah ama temen gua,” balas Agung. Sementara Gia mendelik geli.
“Ya udah kalo mau beli lagi tapi Gia nggak mau balik lagi ah. Capek. Jauh banget. Gia tunggu sini aja,” ucap Gia.
“Ya udah tunggu sini. Jangan ilang, kalo ada orang ngasih permen jangan mau yak! Kalo ngasih duit baru ambil,” balas Agung. Kemudian mendapat ancaman pukulan dari Gia sebelum ia pergi meninggalkan gadis itu.
Alhasil Gia memilih untuk menyusuri taman yang ia pijaki. Banyak semak-semak lebat yang sengaja ditanam untuk estetika, lampu-lampu taman yang belum menyala lantaran cahaya matahari masih cukup terang. Gia jadi membayangkan, kalau malam-malam jalan ke sini bersama orang yang ia sukai, bukankah akan menjadi kenangan yang akan tertanam dalam hatinya?
Belum selesai Gia berimajinasi, rasanya semesta sudah mendengarnya. Dan mewujudkannya, meskipun tidak persis sama dengan apa yang Gia inginkan. Namun rasanya Tuhan mendengar sepenggal permohonannya untuk berada di taman itu bersama dengan orang yang ia sukai.
Gadis dengan kuncir kuda dan masih lengkap mengenakan seragam sekolah itu mengernyit ketika mendapati sesosok pemuda yang ia kenali. Tak lain dan tidak bukan, Kak Haris. Pemuda itu nampak sedang berjongkok di hadapan seorang gadis kecil yang sedang memakan ice cream sandwich. Tangan kanannya memegang tissue yang siap menghapus jejak es krim yang belepotan, sesekali Gia melihat Haris turut menggigit es krim itu lantaran disuapi oleh gadis kecil di hadapannya.
Gia galau. Samperin, enggak, samperin, enggak?
“Samperin aja kali ya?” ucap Gia bermonolog. Kemudian dengan langkah ragu meski setelah memberanikan diri, Gia memutuskan untuk menghampiri Haris.
Gadis itu berdeham, “Kak Haris?”
Haris dan Haura otomatis menoleh. Haura menoleh santai sementara Haris berjengit, terkejut seseorang memanggilnya di tempat umum seperti ini. “Astaghfirullahaladzim, kaget gua,” ucapnya pada diri sendiri. Sementara Gia masih berdiri di dekatnya dan tertawa pelan melihat Haris yang terkejut di hadapannya.
“Gia? Kok di sini?” tanya Haris. Pemuda itu bangkit berdiri lantaran sinar matahari terlalu menyilaukan, membuatnya tak dapat memandang Gia dengan jelas.
Gia mendongak menatap Haris yang kini berdiri tegap, menjadi lebih tinggi darinya. “Iyaa, tadi nemenin Om saya beli sepatu bola. Tapi dia lagi balik lagi soalnya ada yang masih mau dibeli,” jawab Gia. “Kakak sama siapa?”
“Nih, sama dia,” ucap Haris menunjuk Haura. “Sama Mama sama Hanum juga, sih. Tapi mereka lagi ada yang dicari, jadi saya nunggu sini.”
Setelahnya Gia hanya membulatkan bibir dan mengangguk-angguk. “Duduk, Gi,” ucap Haris. Gadis itu kemudian mengangguk dan mengambil tempat di sebelah Haura.
Gia tersenyum gemas, setelahnya kembali menoleh pada Haris. “Namanya siapa, Kak?”
Haris ikut tersenyum dan kembali berjongkok di hadapan Haura. “Ditanya Kakaknya tuh, namanya siapa katanya.”
Haura melirik Haris, kemudian barulah ia menoleh pada Gia. Setelah berhasil menelan es krim di mulutnya dan melihat ekspresi ramah Gia, Haura akhirnya ikut tersenyum. Menampilkan eye smile turunan dari mamanya yang sangat menggemaskan baik bagi Haris maupun Gia. Kemudian ia menjawab, “Mikhayla Hauwa. Kakak namanya siapa?”
Gia ingin menangis saja rasanya. Ini terlalu gemas untuk bisa ia tangani dengan hati kecilnya. “A-aku Gia.”
Setelahnya Haura kembali tersenyum, gadis kecil itu kemudian menundukkan kepalanya sopan. “Salam kenal Kak Gia.”
Gia tertegun dalam hati. Entah sudah berapa kali Haura membuatnya terpukau pada saat kali pertama keduanya berjumpa. Yang jelas, Gia tahu bahwa Kak Haris dan keluarganya adalah orang-orang yang luar biasa. Sebab bahkan dari yang paling sulung hingga yang paling bungsu, semuanya mempesona. Semuanya berhasil merebut hati Gia dengan mudah.
Gia terkekeh gemas, gadis itu tak lagi dapat menahan dirinya untuk tidak mengelus pipi tembam milik Haura. “Salam kenal Hauraaaaaaaa!” balas Gia dengan ceria. Saat itu, Haris tersenyum. Meski tipis dan sebentar, namun ia tak bisa berbohong bahwa separuh hatinya jatuh lebih dalam pada gadis yang menemuinya tanpa sengaja hari ini.
Diam-diam, Haris jadi salah tingkah. Beruntung ponselnya bergetar sebelum Gia sempat melihat ke arahnya. Jadi ia masih punya kesempatan untuk menutupi sikapnya yang mendadak kikuk.
“Halo, Ma? Udah?” tanya Haris mengangkat telepon.
“Kenapa? Enggak, Kakak di luar sama Haura—oh nggak langsung ke parkiran? Ya udah, sebentar lagi Kakak jalan ya? Haura masih mam es krim. Okeee, Daah.” Haris mematikan ponselnya dan kembali nemasukannya ke saku celana. Setelahnya ia mengulas senyum tipis pada Gia sebelum akhirnya bicara pada Haura.
“Ayok, abisin es-nya. Mama sama Kak Hanum udah selesai,” ucap Haris. Namun, bukannya buru-buru menghabiskan, Haura justru menyodorkannya pada Haris. Membuat pemuda itu mengangkat sebelah alisnya bingung. Haura kemudian menggeleng, Haris kemudian mengerti bahwa adiknya sudah kenyang.
“Udah?” tanyanya. Haura kemudian mengangguk. “Sini,” ucap Haris. Mengambil alih makanan itu dari tangan Haura.
“Kakak abisin ya?” tanya Haris lagi. “Iyah,” balas Haura.
Haris berniat melahap sisa ice cream sandwich milik Haura, namun sebelun itu ia menoleh pada Gia. “Mau, Gi?” tanyanya seraya terkekeh.
Gia balas tertawa, “Enggaakk. Udah tinggal segitu baru nawarin!”
“Basa-basi aja,” balas Haris, membuat Gia tersenyum lebih lebar. Kemudian menghabiskan es krim di tangannya dengan sekali lahap. Setelahnya ia mengelap tangannya sendiri.
“Sini tangannya lap dulu, nanti kena baju diomelin siapa?” ucap Haris pada Haura. “Kak Hawis!” balas Haura. “Hehe, iya betul diomelin Kak Haris bukan diomelin Mama.”
Detik berikutnya pemuda itu dengan telaten membersihkan tangan sang adik, tak lupa kembali memastikan bahwa wajah adiknya itu bersih tanpa ada sisa es krim dan membuang sampahnya ke tempat sampah terdekat. Sedari tadi, Gia banyak diam. Gadis itu memperhatikan interaksi kakak-beradik di hadapannya yang menurutnya begitu.. indah.
Gia baru tahu, kalau Haris yang dikenal galak dan ditakuti seantero sekolah itu punya sisi sehangat ini jika di rumah. Gia baru tahu, kalau Kak Haris yang dulu membalas pesannya dengan kata-kata yang begitu menusuk rupanya adalah sosok penyayang jika di rumah. Gia tersenyum dalam hatinya yang turut menghangat di bawah terpaan matahari sore yang bersinar ramah. Dalam benaknya ia berpikir, Enak ya jadi adeknya Kak Haris dan orang-orang terdekatnya. Pasti bisa liat Kak Haris yang begini setiap hari.
“Om kamu masih lama nggak, Gi?” tanya Haris.
“Nggak tau sih, Kak. Tapi Kakak duluan aja nggak pa-pa, kok,” balas Gia.
“Bener, nih? Kamu nggak pa-pa sendirian?”
“Iya, bener.”
“Ya udah, saya duluan ya, Gi? Maaf nggak bisa nemenin,” ujar Haris lagi.
“Iyaa, nggak pa-pa, Kak Haris.”
“Haura, yuk!” Haris mengajak Haura, gadis kecil itu kemudian bangkit dan merapikan gaunnya yang sedikit berantakan akibat dipakai untuk duduk. “Nggak mau say bye-bye dulu sama Kak Gia?” ucap Haris lagi.
Haura tertawa pelan, “Oh, iya lupa. Bye-bye, Kak Gia!”
Gia balas tersenyum ramah, “Iyaaa, dadah, Hauraa! Hati-hati pulangnya yaa!”
Haris kembali terkekeh melihat interaksi keduanya. Kemudian sekon berikutnya Haura sudah dalam gendongannya. Biar cepet, kata Haris.
“Duluan ya, Gi!”
“Iya, Kakk. Hati-hati yaa!” balas Gia. Sesaat berikutnya gadis itu berniat untuk menyusul Agung yang tak kunjung kembali. Namun, suara Haris menghentikannya.
“Eh, Gi!”
“Ya? Kenapa, Kak?”
Haris merogoh saku celananya dengan sebelah tangannya yang bebas, kemudian mengeluarkan dua bungkus beng-beng dan menyodorkannya ke arah Gia.
“Lupa, hari ini Gia belom dapet beng-beng.”
Gia lantas tertawa, “Kakak ngantongin ini ke mana-mana?”
“Iya, harusnya kan tadi pas istirahat, tapi lupa. Saya juga nggak liat kamu di kantin.”
“Iya emang saya nggak turun sih hari ini,” balas Gia. “Lagian tadi Kak Haris sibuk main odong-odong, kan?” canda Gia.
Haris tergelak malu, “Kamu kenapa selalu liat aja sih kalo saya begitu? Pura-pura nggak liat aja nggak bisa, Gi?”
“Nggak bisa, Kak. Kalo mau kayak gitu berarti nanti beng-bengnya nambah,” balas Gia. Dan tanpa diduga, Haris kembali mengeluarkan sebungkus beng-beng dari saku celananya.
“Nih,” ujarnya, membuat Gia terperangah sekaligus terkikik geli.
“Kakak ngantongin berapa beng-beng sehari?”
“Secukupnya aja. Buat kamu, sama sisanya cadangan kalo dibetak Ojan,” balas Haris disusul tawa ringan setelahnya. “Nih, ambil aja.” Haris kembali menyerahkan sebungkus beng-beng pada Gia. Gadis itu kemudian menerimanya dengan senang hati, “Makasih ya, Kak!”
“Sama-sama, Gia. Besok jangan telat, ya!”
Setelahnya Haris berlalu pergi. Dan Gia menatap punggung pemuda itu dengan perasaan yang berbunga-bunga. Ditatapnya ketiga biskuit cokelat di tangannya, memang jatuh cinta mengubah segala sesuatu yang sederhana menjadi jauh lebih bernilai. Rasanya kalau bisa, Gia ingin menyimpan semua bungkusan beng-beng yang diberikan Haris.
Haris dan Gia berjalan berlawanan arah setelah pertemuan sore itu. Keduanya sama-sama merahasiakan, namun Tuhan mendengar ucapan syukur keduanya karena dipertemukan tanpa diminta. Pun, Tuhan mendengar detak jantung keduanya yang berdegup lebih kencang dari biasanya.