Camp
“Sat, bagi dong!” ucap Haikal meminta camilan yang sedang dikuasai Satria. Malam itu, mereka semua sedang beristirahat dan diberikan waktu luang untuk melakukan apapun sesuka hati. Ada yang memilih untuk tidur lebih awal lantaran tubuh yang sudah terlalu lelah menghadapi serangkaian aktivitas yang melibatkan banyak tenaga hari itu, ada yang memilih untuk menonton film melalui ponsel, ada yang menghubungi keluarga, ada pula yang memilih untuk bersantai bersama-sama.
Termasuk Satria dan kedua temannya yang memilih untuk berkumpul dan menghabiskan snack yang mereka beli ramai-ramai di koperasi. Setelah makanannya diambil alih oleh Haikal, Satria kini memilih untuk merebahkan dirinya di lantai, menggunakan paha Elzan sebagai sandaran kepalanya.
“Eh kita kapan pulangnya yak? Gue kangen guling gue anjay,” ucap Elzan. Satria terkekeh, begitu pun dengan Haikal yang tidak habis pikir. “Dari sekian banyak anggota keluarga lo, lo memilih untuk kangen sama guling lo, Jan?” tanya Haikal.
“Iya sumpah, gue tuh kangen banget tidur dengan tenang dan nyaman sambil meluk guling tanpa harus panik nanti dibangunin lagi jam empat pagi,” balas Elzan.
“Wah anjir lu, bikin makin kagak betah aja,” balas Haikal seraya terkekeh.
“Gue kangen minum es teh siang-siang, sih,” Satria menimpali.
“Siapa, Sat?” tanya Elzan.
“Gua.”
“Yang nanya.”
“Bangsat!” umpat Satria disusul gelak tawa dari ketiganya. Tak lama kemudian, dua orang yang lebih tua masuk ke kamar mereka. Dua orang itu adalah Adam dan Azriel. Nampaknya kedua kakak kelasnya itu baru saja mandi, terlihat dari rambut keduanya yang masih basah serta tangan kanan yang menenteng keranjang kecil berisi peralatan mandi.
“Buset, Bang Jiel! Lu mandi jam segini, Bang?” tanya Satria.
“Iya, lengket banget badan gua. Pegel-pegel gitu rasanya kalo nggak mandi. Tu si Adam juga mandi,” balas Azriel santai. Pria itu kemudian turut mendudukkan dirinya di lantai dan bergabung bersama dengan para lelaki yang lebih muda darinya itu. Azriel mengambil tempat di sebelah Haikal, membuat Haikal basa-basi menawarkan camilannya pada Azriel. Beruntung Azriel menolak dengan alasan ia tidak makan pada jam malam guna menjaga bentuk dan berat badannya. Setelahnya Adam menyusulnya bergabung dan merebahkan diri di sebelah Satria.
“Lagi pada ngomongin apaan lu pada?” tanya Adam.
“Ini, Bang. Elzan katanya kangen gulingnya,” balas Haikal. Adam terkekeh, “Kagak pernah bener ini orang dari semenjak masuk sini.”
“Dehhh, jujur deh, Bang. Emang lo kagak kangen rumah lu, Bang? Lo beneran seniat itu ikutan ginian?” tanya Elzan pada Adam. Akan tetapi, yang ditanya tidak menjawab. Ia hanya terkekeh kemudian menggeleng menjawab pertanyaan Elzan.
Setelahnya Satria menimpali, “Yang lagi kangen-kangenan mah Haikal tau.”
“Apaan lu?!” ucap Haikal, tidak terima dirinya tiba-tiba menjadi seseorang yang tertuduh.
“Yeuu, lu chat-an kan sama Wilona selama ini? Ngaku deh!” ujar Elzan. Pria itu kini memasang perangai jahil. “Tau gua, Kaal! Orang selama ini tiap dikasih waktu buka HP gercep banget kayaknya ngambil HP-nya. Terus waktu itu lo chat-an sebelah gue jadi gue nggak sengaja baca hehe,” Elzan kembali berujar.
Haikal berdecak, setelahnya tertawa malu. “Lu ribet lu! Ember bat mulut lu!”
“Haikal mah pulang dari sini jadian kayaknya ya, Kal?” Satria menambahkan. “Eh lu gua depak lu!” balas Haikal. Setelahnya Satria hanya tertawa bersama dengan yang lain.
“Wilona tuh yang temennya Yayas bukan sih?” tanya Azriel tiba-tiba. Haikal yang berada di sebelahnya menoleh cepat, “Bang ya Allah kenapa lu ikutan?”
Azriel terkekeh, “Kagak gue nanya doang, hahaha. Tapi bener kan temennya Yayas?”
“Iya bener, Bang. Nah, kalo Satria ama temennya Wilona!” balas Haikal.
“Anj—apaan lo tiba-tiba gue?” Satria menatap Haikal kaget, kemudian tangannya terjulur untuk mencubit kaki Haikal yang bersila. Setelahnya memberi kode bahwa tidak seharusnya ia membicarakan itu di hadapan Azriel. Sebab meskipun sudah yakin dengan perasaannya, Satria masih perlu persiapan untuk meminta izin Azriel untuk menyatakan perasaannya pada Yasmine yang notabene-nya adalah adik pemuda itu.
Azriel terkekeh, “Selaw, Sat. Udah paham gua konsep lo ke adek gue.”
“Uwaduh kayaknya dapet restu tuh, Sat!” ucap Adam. Satria hanya tertawa malu, “Adehh, jangan suka gitu, Bang! Ini nanti kalo lo semua pergi gue digeprek Bang Jiel gimana?” canda Satria.
“Tapi kalo diitung-itung, kita udah berapa lama sih di sini? Kapan pulangnya ya?” Haikal mulai bertanya-tanya. Menimbulkan pertanyaan yang sama di benak ketiga pemuda yang lain yang juga bersamanya.
Azriel menimpali, “Udah mau dua bulan sih. Nggak berasa ya? Gue juga dari yang selalu excited mau pulang sampe yang udah nggak nungguin pulang. Kayak, jalanin aja udah.” Lelaki yang paling tua di kerumunan itu terkekeh ketika mengakhiri ucapannya.
“Iya sih. Lagian kalo ditunggu-tunggu malah berasa makin lama,” balas Adam.
Satria refleks menoleh pada Adam, begitukah? Itu kah yang membuatnya merasa hari-harinya di sini terasa lebih panjang dibanding ketika ia bersekolah dan dibebani tugas-tugas akademik yang terkadang merepotkan? Karena ia tak menikmati waktu sebagaimana ia menikmatinya ketika di sekolah?
“Woi, malah bengong!” tepukan keras Azriel pada bahu Satria membuat Satria tersentak. “Mikirin apaan?”
Elzan tertawa, “Mikirin adek lu lah, Bang. Kangen itu dia.”
Satria hanya menghela napas pasrah. Nampaknya ia tak lagi dapat menyembunyikan perasaannya dari siapapun. Perlahan, rahasianya pun akan tersebar. Perlahan dan entah kapan, pasti ia pun harus memberanikan diri untuk meminta izin Azriel untuk menyatakan perasaannya pada Yasmine, bukan? Jadi, biarlah. Biarlah mulut-mulut Haikal dan Elzan yang selalu dengan ringan membocorkan rahasianya itu berkoar. Satria hanya bisa tersenyum pasrah mendapati dirinya menjadi bulan-bulanan ejekan kedua temannya. Dalam hatinya, ia hanya berharap agar dirinya tidak menjadi sasaran gertakan Azriel. Itu saja.
Ucapan Elzan berhasil memecah tawa Azriel di sana. “Gue juga kangen, Sat. Tenang aja, jalanin aja. Nggak usah ditungguin. Bentar lagi kita ketemu, kok. Tadi Kakaknya manggil gue, ngasih tau kalo pelatihan kita dipercepat jadi cuma dua setengah bulan. Nggak sampe tiga bulan kayak rencana karena ternyata bentrok sama program selanjutnya yang mau mereka jalanin.”
“Serius lu, Bang?” tanya Satria. Pria itu bahkan bangun dari posisinya sangking senang dan bersemangatnya. Seruan tak menyangka milik Elzan dan Haikal pun menyusul. Sementara Adam hanya mengulas senyum tipis melihat kelakuan tiga adik kelasnya, dirinya santai karena sudah mengetahui informasi yang baru saja Azriel beberkan.
Azriel, dengan senyum manisnya yang menimbulkan eye smile di wajahnya kemudian menjawab pertanyaan Satria. “Beneran. Bentar lagi kita pulang.”
Satria dan kedua temannya berseru senang, ketiganya kini menghela napas lega. Terlebih Satria. Semenjak membaca pesan yang dikirimkan Yasmine, pikirannya tidak menentu. Satria ingin hadir dan menemani Yasmine, mendengarkan keluh kesah perempuan itu secara langsung. Sejujurnya, melihat wajah Azriel di hadapannya saat ini pun menimbulkan kebimbangan yang cukup besar serta perasaan tak nyaman yang nenggerayangi hatinya. Ingin sekali Satria memberitahukan pada Azriel bahwa Yasmine, menurut keyakinannya, tidak sedang baik-baik saja. Namun, perempuan itu meminta untuk merahasiakannya dari Azriel. Membeberkannya sama saja ia tidak menghormati keputusan Yasmine.
Jadi, yang Satria lakukan hanyalah mengucap permohonan dalam hati. Semoga gadis pujaannya masih kuat bertahan, dan dalam kondisi baik-baik saja. Setidaknya tidak memiliki luka apapun di tubuhnya.
Tunggu ya, Yas. Jangan pergi. Sebentar lagi gue sama Bang Jiel pulang. Jangan tinggalin gue! Jangan tinggalin kita! Jangan pergi dulu..