It's Okay

Sudah pulang sekolah, hari ini Gia kembali miliki jadwal untuk ekskul basket yang sangat ia gemari itu. Gia mengikat sepatunya di pinggir lapangan. Kali ini, gadis itu memastikan sepatunya terikat sempurna agar tidak mengulang kejadian tali sepatu yang terlepas tanpa sepengetahuannya. Pula mengulang kejadian di mana Haris mengikatkan tali sepatunya di pinggir lapangan. Malu.

Setelah selesai dengan sepatunya, Gia duduk bersila. Menunggu pelatih mereka yang belum datang seraya meminum air putih miliknya dan memainkan ponselnya. Membalas pesan Zahra yang sedang mengantre jajan di luar. Sesekali Gia tertawa meladeni keluhan-keluhan Zahra lantaran sering kali diselak.

Gi, masa abangnya pake kaos tapi keteknya bolong😭😭

Gia terkikik geli sambil memandangi ponselnya sebelum akhirnya mengetikkan balasan untuk Zahra.

Gia : KAMU NGAPAIN MERHATIIN?!

Zahra : Orang abangnya lagi goreng di depan aku, ya keliatan😭😭😭

Gia nyaris menyemburkan air minumnya sendiri. Teman sebangkunya itu, entah bergaul dengan siapa. Selalu ada saja Zahra mengalami kejadian yang tak diduga-duga. Namun, justru menjadi sebuah cerita yang sering kali muncul di otak dan membuat tertawa tiba-tiba bahkan ketika sedang melamun.

“Serem banget ketawa-tawa sendiri,” ucap seseorang dari arah samping membuat Gia terkejut. Gadis itu menoleh, rupanya ada Haris di sana. Pemuda itu terlihat sedang memasukkan seragamnya ke dalam tas, baru saja selesai berganti baju. Jodoh kah? Pasalnya sering kali Gia dan Haris meletakkan tas mereka berdekatan tanpa rencana.

Gia hanya tersenyum, “Hehe, Kak Haris.”

Haris membalasnya dengan anggukan singkat. Setelahnya mengambil tempat duduk di sebelah Gia. “Bisa nggak tadi Biologinya?” tanya Haris.

“Lumayan, Kak. Dari materi yang Kakak kirim lumayan banyak yang keluar.”

Haris kembali mengangguk, “Bagus, deh. Belom ketauan nilainya? Biasanya kalo kuis langsung dikoreksi?”

“Udah kok, Kak,” balas Gia.

“Gia dapet berapa?”

“Pas KKM,” sahut Gia lagi, kali ini dengan nada kecewa.

“Kok bisa? Katanya dari materi kemaren banyak yang keluar?” tanya Haris santai.

“Iya sih, tapi saya nggak apal. Pas ngerjain lupa banget, jadi ngisi sebisanya aja.”

Haris mengangguk santai, “Ooh, ya nggak pa-pa. Segitu juga udah bagus.”

“Tapi temen saya ada yang 100 masa, Kak,” adu Gia. Tanpa sadar gadis itu mengerucutkan bibir seakan mengadu kepada kakaknya sendiri. Sudut bibir Haris melengkung membuat senyuman, hingga akhirnya pemuda itu terkekeh pelan melihat pemandangan di hadapannya. “Ya nggak pa-pa, Gi. Rejeki orang kan beda-beda. Nggak boleh iri gitu, lagi.”

“Ya tapi kan sebel, Kak. Masalahnya yang dapet 100 tuh karena dia liat buku, Kak. Ngolong gitu,” ucap Gia. Menanggapi ucapan gadis yang lebih muda satu tahun darinya itu, Haris menghela napas seraya tersenyum. Paham, Haris paham rasanya. Bagaimana ia belajar mati-matian untuk mendapat nilai sempurna, namun hasil sempurna tetap jatuh ke tangan orang lain. Haris paham rasanya.

“Iya, ngerti. Yang paling penting itu bukan hasil akhirnya, Gi, tapi usahanya,” balas Haris. “Emangnya nggak lega dapet 75 tapi usaha sendiri?” tanyanya lagi.

Gia terdiam sejenak, setelahnya kembali melihat ke arah Haris. “Lega, sih..”

“Nah, ya udah. Apa lagi yang dicari?” tanya Haris. Kalimat Haris berhasil membungkam Gia. Gadis itu kini menunduk menghindari tatapan Haris. Padahal Haris hanya berbicara santai, namun entah mengapa kalimatnya, nada bicaranya, suaranya, berhasil merasuki relungnya. Rasanya seperti mendengar nasihat dari papanya yang begitu jauh. Rasanya.. ada sedikit rindu yang terbayarkan.

“Nggak selamanya kita bisa ngeliat angka, Gi. Karena angka itu nggak ada habisnya dan manusia nggak pernah puas,” ucap Haris. Gia menoleh, dan yang ia temukan adalah tatapan Haris yang belum pernah ia temui sebelumnya. Begitu teduh, hingga Gia tak ingin memalingkan wajahnya.

Entah berapa detik keduanya saling pandang, yang jelas Haris adalah orang pertama yang mengembalikan kesadarannya sendiri. Pemuda itu berdeham, membuat Gia gelagapan dan mengerjapkan matanya. Gia pun merapikan sisa anak rambutnya yang tak ikut terikat guna menutupi gelagatnya yang salah tingkah seraya merapal doa dalam hatinya agar wajahnya tidak memerah. Setidaknya tidak di hadapan Haris.

Setelah sama-sama selesai dengan degup jantung yang kian meletup, Haris kembali berujar. “It's Okay, Anggia. You did a great job!”

Belum sempat Gia membalas, Haris justru sudah bangkit berdiri dan meminta izin untuk pergi lebih dulu. “Saya ke sana duluan ya!” ucapnya. Kemudian kaki jenjangnya menelusuri koridor, meninggalkan Gia yang masih memandangi pemuda yang selalu bisa membuatnya merasakan perasaan tidak wajar dalam hatinya, bahkan hanya dengan melihat punggung lebar nan kekarnya.