Peluk?
Gia melangkahkan kakinya menuju pinggir lapangan dan memilih berdiri di sana seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Gia menonton pertandingan basket laki-laki yang menampilkan Haris dan Ojan yang dengan cekatan saling mengoper bola guna memasukannya ke dalam ring lawan. Sudut bibir Gia berkedut menahan senyuman, Haris dalam mode pertandingan memang tak pernah gagal dalam hal mempesona. Tubuhnya yang jangkung membuatnya dengan mudah membantunya mencetak gol.
Satu komentar, keren. Di mata Gia, Haris selalu melakukannya dengan keren. Seakan tanpa usaha, pemuda itu melempar bola dengan tepat sasaran memasuki ring basket yang cukup tinggi. “Naaaaiiissss!” seru Ojan seraya mengacungi jempol pada Haris. Keduanya kemudian bertepuk tangan, senyuman bangga tercetak di wajah mereka.
Permainan dilanjutkan dengan tim lawan yang mendapat kesempatan melempar dari pinggir lapangan. Lagi-lagi dengan cekatan Ojan memblokirnya dan men-dribble bola menerobos lawan dengan gayanya yang tak kalah keren dari sahabatnya itu.
Tetapi dunia hanya berpihak sementara pada Ojan, kesempatannya melakukan hal kharismatik seakan hanya berlaku untuk sekejap mata. Belum sampai satu menit Ojan menguasai lapangan, pria itu melakukan kecerobohan.
“Risss!” jerit Ojan, bermaksud mengoper bola ke arah Haris. Namun entah dosanya yang mana yang membuatnya kembali sial hari itu, Ojan tersandung tali sepatunya sendiri. Membuat bola basket yang sebelumnya berhasil ia kuasai menggelinding ke sembarang arah.
Haris yang tadinya siap menerima bola Ojan pun malah berlutut di lapangan. Tawanya meledak bersamaan dengan teman-temannya yang lain beserta mereka yang menonton. Termasuk Gia.
Haris kemudian bangkit dan menghampiri Ojan, masih dengan tawanya yang terbahak-bahak. “Lo kenapeeeee?”
“Kesandung anjrit sakit banget yak. Nyusruk gua,” balas Ojan. “Besot nggak, Ris, muka gua?”
“Waduuh makin jelek dah!” balas Haris seraya tertawa. “Anying!”
“Sakit nggak, Jan?” tanya Vio yang turut bermain kala itu. Sang ketua basket yang bermain dalam tim yang sama dengan Ojan itu pun turut mengecek keadaan anggotanya yang mengalami 'kecelakaan'.
“Sakit sih enggak begitu, Kak. Malunya itu lho, sampe udel!” balas Ojan, kembali mengundang gelak tawa Vio dan Haris. “Bahasa lu jelek banget udel udel!” balas Haris.
Vio hanya tertawa menanggapi keduanya. “Ayo bangun lagi, main. Iket tali sepatu lu yang bener,” ucap Vio sebelum berlalu lebih dulu mengejar bola yang out.
Gia masih memperhatikan dari pinggir lapangan, ia melihat Haris berlutut dan membantu Ojan mengikatkan sebelah tali sepatunya agar lebih cepat selesai. Haris terkekeh di sana, nampaknya ia menjahili Ojan dengan mengikat tali sepatunya terlalu kencang. Membuat Ojan menoyor kepalanya pelan dengan wajah merajuk. “Kenceng banget anjrit kaki gue nggak bisa napas, ntar!”
De javu, sudut bibir Gia berkedut. Gadis itu mati-matian menahan senyum ketika memorinya tentang Haris yang membantunya mengikatkan tali sepatu hari itu kembali terputar di kepala. Pun, suara Haris mendadak terngiang di telinganya.
“Iket dulu tali sepatunya kalo mau main, Anggia!”
Gila. Gia merasa dirinya gila karena senyum-senyum sendiri tanpa bisa mengendalikan diri untuk menghentikannya. Gadis itu pun segera menggelengkan kepalanya. Berusaha kembali pada fokusnya dan juga realita.
Kali ini pandangannya tertuju pada Vio yang membawa bola. Dengan mudah pemuda itu mendominasi lapangan, tidak sedikitpun memberi kesempatan lawan untuk menyentuh bola basket yang dikuasainya. Dan dengan sekali tembakan, Vio kembali mencetak skor. Tiga poin untuk kali ini, membuat anggota timnya termasuk Haris dan Ojan turut selebrasi meskipun tidak berkontribusi apa-apa.
Pluit kembali dibunyikan, lawan main kembali melempar bola dari bawah ring basket. Kali ini berhasil lolos dari blokiran tim Haris. Namun hal itu tak berlangsung lama. Ketika tim lawan sampai di tengah lapangan, rupanya Ojan dengan sigap mencegat dan merebut kembali bola. Setelahnya ia melempar bola basket pada Haris yang berada di dekat pinggir lapangan, dekat dengan ring basket tempat mereka memasukan bola guna mencetak skor.
Namun sayangnya, lemparan Ojan terlalu kuat hingga meleset dari tangan Haris. Pemuda itu gagal menangkapnya. Sesaat, Haris berniat mengabaikan bola yang terlepas dari tangannya itu. Ia paham bola itu akan segera out dan rasanya percuma jika diperjuangkan. Tetapi, melihat seseorang yang berdiri di pinggir lapangan, Haris mengurungkan niatnya.
Secepat kilat, Haris berlari mengejar bola dan menepisnya dengan kuat hingga membuat Gia dan orang-orang di sekelilingnya terkejut akan kencangnya tepisan Haris. Karena kalau tidak, bola itu akan mengenai wajah Gia dengan cukup keras. Gadis itu bisa pingsan saat itu juga.
Haris hanya berniat menepis bola, namun akibat larinya yang kencang dan terburu-buru, pemuda itu kehilangan keseimbangan. Mau tak mau, Haris menubruk tubuh Gia. Membuat gadis itu terhuyung hingga mundur beberapa langkah. Gia terkejut, terlebih ketika menyadari Haris... Memeluknya.
Gia masih tertegun, badannya terasa kaku. Ia tak tahu harus bagaimana mencerna semua kejadian yang terjadi secepat kilat ini. Yang ia tahu, di hadapannya kini adalah dada bidang Haris yang tertutup kaus penuh keringat.
Haris lebih dulu sadar, pria itu dengan segera menjauhkan tubuhnya dari Gia. Kedua tangannya beralih pada pundak Gia yang bisa ia rasakan menegang, “Gi? Nggak pa-pa?”
Gia masih tak menjawab, kemudian Haris memanggilnya sekali lagi. “Anggia?”
“Hah?” balasnya terkejut. Gia mengerjapkan matanya, kini terlihat jelas di hadapannya wajah Haris yang cukup dekat dengan penglihatannya. Nampak jelas raut wajah khawatir milik Haris, pula struktur wajahnya yang mendekati sempurna. Entah bagaimana caranya, Haris tetap terlihat menawan meski wajahnya memerah dan keningnya dialiri keringat-keringat jagung.
“Kamu nggak pa-pa?”
“I-iya, nggak pa-pa. Makasih, Kak!” balas Gia gelagapan.
“Nontonnya munduran, jangan deket banget yang main! Bahaya,” ucap Haris.
“Iya, Kak,” balas Gia lemas. Setelahnya Haris terkekeh, kemudian berniat memasuki lapangan. Tentu saja dengan sorakan dan ejekan-ejekan dari seluruh anggota basket yang melihat kejadian antara Haris dan Gia itu. Paling keras berasal dari Ojan yang bahkan membuat suara pluit keras-keras. Haris cuek, pria itu menanggapinya dengan senyuman santai dan kekehan pelan.
Namun sebelum benar-benar memasuki lapangan, Haris menoleh ke arah Gia, memastikan sekali lagi bahwa gadis itu tidak berdiri terlalu dekat dengan lapangan agar kejadian serupa tidak terulang. Sementara Gia memilih untuk menunduk, menghindari tatapan Haris. Haris terkekeh gemas.
“Gia,” panggilnya. Gia hanya mendongak tanpa menjawab apapun. Masih gemetar tidak karuan, bahkan ia merasakan darahnya berdesir mengalir ke seluruh tubuh seiring jantungnya belum kembali pada tempo detakan normal.
“Kaget banget ya? Kenceng banget bunyi jantungnya,” ucap Haris dengan senyuman sebelum akhirnya berlari masuk kembali ke lapangan.
Gia menghela napas panjang, setelahnya ia bergumam dalam hatinya. INI BEGINI GARA-GARA KAKAK, KAKKKK!