Pulang

Setelah menghabiskan sekitar tiga jam kerja kelompok untuk tugas Prakarya, tugas itu akhirnya selesai. Sisi baiknya adalah Yasmine tidak perlu lagi membuat slide power point untuk presentasi karena sudah dikerjakan bersama di rumah Wilona tadi. Sisi buruknya, akan tiba sebentar lagi.

Yasmine memasuki rumah dengan tenang, berusaha untuk mengusir gugupnya. Ia tahu, saat ayahnya menemuinya nanti, pasti dirinya akan segera menerima hujatan-hujatan yang selalu familiar di telinganya.

“Dari mana kamu?” tanya ayah, yang rupanya sudah bersiap di meja makan. Ayah melirik jam dinding di ruang keluarga sebelum lanjut bicara. “Jam tujuh malem baru pulang, kemana aja?!”

Yasmine menunduk seraya menelan ludahnya sendiri. Terbata, gadis itu menjawab perkataan ayah. “Ya-Yasmine kan udah izin Ayah, Yasmine ada kerja kelompok hari ini.”

“Tadi saya bilang apa? Pulang sekolah langsung pulang. Kamu nggak dengerin orang tua?! Mulai berani ngelawan kamu?!”

“Ayah, nggak gitu.. kalo Yasmine nggak ikut kerja kelompok nanti Yasmine nggak dapet nilai,” balas Yasmine. Gadis itu sudah ingin menangis saat itu juga. Namun sebiss mungkin ia menahan air matanya.

“Alesan! Kamu pasti cuma kelayapan nggak jelas kan?!”

Yasmine menggeleng cepat, “Enggak, Yah. Yasmine beneran kerja kelompok, kok.”

Sekon berikutnya, Yasmine buru-buru mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto sketsa motif batik yang ia buat dengan Wilona dan Yuna. Sebagai bukti bahwa ia tidak berbohong. “Ini, beneran Yasmine tadi kerja kelompok, Yah. Yasmine nggak mungkin bohong sama Ayah!”

“Halah, gambar itu bisa diambil dari internet biar kebohongan kamu ini saya percaya. Jangan mentang-mentang selama ini ada Azriel kamu jadi semena-mena ya sama saya! Sekarang nggak ada Azriel, nggak ada yang belain kamu,” ucap ayah penuh amarah. “Kamu tuh dari dulu nggak pernah berubah! Benar-benar anak nggak tau diuntung, masih bagus saya nggak buang kamu waktu kecil. MASIH BAGUS SAYA MAU RAWAT KAMU! Tapi begini kelakuan kamu sama orang tua! Nggak tau diri!”

“Mas! Ada apa sih? Kenapa ribut-ribut begini?” bunda yang baru saja turun karena mendengar keributan itu akhirnya ikut nimbrung. Wanita itu kemudian segera memeluk Yasmine yang nampak gemetar dan wajahnya berlinang air mata yang sudah tak dapat lagi ia bendung.

“Tanya tuh anak kesayangan kamu. Saya udah bilang dari dulu jangan dimanja! Begini jadinya. Seenaknya, nggak tau diri, nggak mau denger apa kata orang tua!” balas ayah.

Sekilas, Yasmine menatap ayah yang balas menatapnya nyalang. Tidak begitu jelas lantaran matanya yang berkilat akibat air mata, namun tatapan ayah tetap menusuk. Bersamaan dengan ucapan-ucapannya yang selalu tertuju padanya selama menjadi anak ayah. Atau pantaskah ia menyebut dirinya sebagai anak ayah? Sebab selama ini yang menganggapnya ada hanyalah bunda dan kakaknya. Ayah sama sekali tidak pernah menyayanginya. Sejak kecil, yang Yasmine tahu adalah sosok ayah yang selalu marah ketika melihatnya. Satu-satunya lelaki yang memberinya tatapan kasih sayang adalah Azriel.

Setelahnya ayah kembali bicara padanya. “Kamu pulang malem-malem ngapain? Mau jadi perempuan nggak bener kamu?! Iya?! Nggak usah pulang aja sekalian! Saya malah seneng kalo nggak ada kamu di sini. Tau kamu?”

Perkataan ayah rasanya begitu ringan diucapkan oleh pemiliknya. Begitu mudah masuk ke telinganya, begitu mudah menusuk hati kecilnya. Yasmine menangis semakin keras dalam pelukan bunda yang kini beradu mulut dengan ayah. Tidak terima suaminya berkata begitu pada anaknya sendiri.

“Mas, gimanapun juga Yasmine tetep anak kamu. Darah daging kamu! Nggak seharusnya kamu ngomong gitu ke Yasmine!” ucap bunda menggebu.

Ayah tidak peduli. Ia tetap dengan angkuh berdiri di hadapan bunda yang dengan erat memeluk Yasmine yang menangis tersedu-sedu. “Eh, denger ya! Saya nggak pernah anggep kamu anak saya. Anak saya cuma Azriel, kalopun ada dua, satu lagi bukan kamu! Seharusnya bukan kamu!”

Setelahnya ayah berlalu keluar. Entah ke mana, tetapi bagus lah. Yasmine jadi bisa dengan leluasa menenangkan dirinya. Seiring berbunyinya suara pintu ditutup dengan keras dan penuh amarah, Yasmine menghela napasnya. Gadis itu terduduk di lantai, dan di dalam pelukan bunda, ia menangis lebih keras. Pada saat-saat seperti ini lah ia mulai merindukan Azriel. Jika kakaknya ada di sana, pasti Yasmine akan mendapat perlindungan penuh. Jika ada Azriel, Yasmine pasti akan merasa aman. Dari siapapun, termasuk orang yang selama ini dipanggilnya ayah, namun tak pernah berperan sebagai seorang ayah.

Dengan matanya yang berkaca-kaca, Yasmine melihat sekelilingnya. Sebuah ruangan yang familiar di matanya, sebuah bangunan yang ia tinggali sejak dulu dan disebutnya 'rumah'. Yasmine memang pulang hari itu, namun ia tahu persis. Ini bukan rumah yang ia tuju.