Perbandingan

Setibanya di rumah Eyang, hanya Yasmine yang tidak lekas melepas seatbelt yang selama perjalanan mengamankan tubuhnya. Gadis itu berkali-kali mengatur napas dan memegang dadanya. Ia merasakan tubuhnya sedikit gemetar dan berkeringat. Yasmine mendadak kaku, gadis itu semakin panik ketika sang ayah sudah membuka pintu dan melanglah keluar dari mobil. Ia tahu sebentar lagi ayahnya akan menyuruhnya untuk segera masuk ke rumah eyang dengan cara yang tidak ramah.

Gadis itu tersentak kala tangan lembut ibunya mengusap kedia tangannya yang terkepal menahan gugup. Yasmine mendongak, mendapati bunda tersenyum ke arahnya seraya mengangguk. Seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Senyum menenangkan milik bunda dari kursi depan kala itu, pada akhirnya menjadi satu-satunya sumber kekuatan yang membuatnya berani melangkahkan kakinya keluar dari mobil. Bersama bundanya, Yasmine masuk ke rumah eyang.

Bunda mengucap salam, sementara Yasmine memilih bersembunyi di balik tubuh bunda. Netranya menangkap sebuah keluarga besar yang para anggotanya saling bercengkrama. Entah tulus dari hati atau sekadar basa-basi, Yasmine tidak terlalu mengerti. Toh, ia selalu dianggap bukan bagian dari mereka. Jadi, dirinya dan Azriel pun selalu mengasingkan diri jika ada acara-acara seperti ini.

Mereka semua menyambut kehadiran bunda dengan baik, sangat baik. Mereka semua menatap bunda dengan tatapan mata yang berbinar. Gosipnya, bunda memang menantu paling disayang. Tak heran jika Azriel otomatis menjadi cucu kesayangan. Seharusnya Yasmine juga, namun rasanya dunia tidak berpihak padanya.

Yasmine dapat melihatnya dengan jelas. Bagaimana antusias keluarga besarnya menurun drastis ketika melihat dirinya menampakkan diri dari balik tubuh langsing bunda. Tatapan yang tadinya berbinar itu sirna. Senyuman yang ramah itu pudar. Apa lagi Eyang, tatapan penuh kasih sayang serta raut wajah penuh kebahagiaan itu lenyap seketika. Berganti dengan tatapan mengernyit jijik dan nyalang.

“Kenapa sih dia harus ikut? Mana Azriel?” tanya eyang. Bunda merangkul Yasmine sebelum menjawab pertanyaan ibu mertuanya. Seraya tersenyum dan secara rahasia mengusap punggung Yasmine, memberi kekuatan untuk anak gadisnya melalui tindakannya, bunda mulai bicara. “Azriel lagi ada acara pelatihan dari sekolahnya, Bu. Acaranya tiga bulan, nginep di sana. Jadi nggak bisa ikut. Hari ini saya ajak Yasmine nggak apa-apa ya?”

Eyang berdecak tidak suka. Kejengkelannya begitu terpancar dari matanya yang tak lepas menatap Yasmine dari atas sampai ujung kaki. “Kenapa nggak dia aja sih yang pergi? Biar aja dilatih di sana, nggak usah pulang sekalian!” ucap eyang, kemudian berlalu pergi. Memilih bergabung dengan cucu-cucunya yang masih kecil. Mungkin ingin membangkitkan suasana hatinya yang sempat sirna ketika melihat kehadiran Yasmine.

Yasmine menghela napasnya. Nggak pa-pa, Yasmine. Udah biasaaaaaaa!

“Yayas main gih, Bunda ngobrol yaa di sini. Kalo mau apa-apa bilang Bunda,” ucap bunda. Yasmine mengangguk, kemudian melangkahkan kakinya menuju kolam ikan mikik eyang. Dulu, Yasmine selalu berada di sana bersama eyang kakung jika ada pertemuan seperti ini. Gadis itu membantu eyang memberi pakan ikan-ikan yang selalu berebut penuh semangat ketika makanan mulai disebar. Sesekali cipratan airnya mengenai pakaian yang Yasmine kenakan hari itu, namun ia tak marah. Dirinya, Azriel, dan eyang kakung akan selalu tertawa bersama.

Kepergian seorang eyang kakung rasanya seperti merenggut banyak kebahagiaan dari dunia Yasmine. Dan sekarang, ketidakhadiran Azriel pun seolah menambah penderitaannya. Katakanlah Yasmine hiperbola, namun benar begitu rasanya. Dunia tak pernah berada di sisinya, sejujurnya Yasmine tidak pernah kuat menghadapi semuanya. Alasannya bertahan sejauh ini hanyalah Azriel.

Sesaat Yasmine melamun, gadis itu kembali tersadarkan akan panggilan bunda yang memintanya masuk dan bergabung. Gadis itu sempat tertegun dan menunjuk dirinya sendiri, benarkah keluarga besarnya ingin dirinya bergabung? Meskipun bingung, Yasmine tetap menghampiri bunda tanpa membantah. Beberapa saat kemudian, gadis itu sudah bergabung di dalan lingkaran kecil berisi kumpulan keluarga besarnya.

“Gimana, Yas sekolahnya?” tanya salah satu omnya. Yasmine tersenyum canggung, ini pertama kalinya ia menghadapi mereka tanpa bantuan Azriel.

“Lancar, Om alhamdulilah,” balas Yasmine sopan. Omnya itu hanya mengangguk, setelahnya menyesap kopi hitam yang tersuguh di hadapannya. Buatan sang istri yang diperintahkan langsung oleh eyang. “Kemaren Arya baru aja menang lomba futsal wakilin sekolahnya, kaptennya dia!”

“Oh ya? Betul itu, Arya?” tanya eyang. Nadanya ramah sekali, khas seorang nenek yang bicara pada cucunya. Tuturnya lembut namun penuh penegasan. Secuil iri muncul dalam hati kecil Yasmine, tak pernah sekalipun eyang bicara selembut itu padanya.

Sepupunya, Arya, yang satu tahun lebih tua darinya itu pun mengangguk. Setelahnya eyang menarik Arya ke dalam pelukan hangatnya, mengecup pucuk kepalanya perlahan. Ada tatapan yang tak pernah eyang arahkan pada Yasmine, tatapan kebanggaan.

“Oh iya, Bu. Sampe lupa ngabarin, kemarin Nicho ada acara di sekolahnya. Dia jadi perwakilan cerdas cermat loh, Bu. Lombanya antar kelas tapi kelasnya Nicho juara satu!” ucap kerabatnya yang lain seolah tak mau kalah dalam perbincangan keluarga yang berisi persaingan.

“Aduh, hebatnya cucu eyang!” balas eyang, kali ini membanggakan sepupu Yasmine yang lebih muda darinya. “Pasti itu karena Nicho paling pinter jawabnya ya? Keren!”

Yasmine menatap nanar perkumpulan yang ia sebut keluarga. Dalam hatinya bergejolak, ia bisa saja turut memamerkan prestasinya yang selama ini tenggelam—lebih tepatnya sengaja ditenggelamkan hanya karena ia seorang perempuan dan dianggap tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan seluruh sepupunya yang merupakan seorang lelaki yang dianggap membanggakan.

“Eh, Azriel kemana, Mbak? Nggak ikut?”

Bunda tersenyum sebelum menjawab pertanyaan adik ayah, “Nggak bisa ikut, lagi ikut pelatihan bela negara tiga bulan. Jadi anak militer dulu dia. Kayaknya padat jadwalnya sampe nggak pernah nelepon.”

“Azriel tuh ya, emang paling kece dia! Keren anakmu, Mbak!” balasnya.

Bunda mengangguk mengucap syukur dan rasa terima kasih. Setelahnya bunda memegang tangan Yasmine yang ia letakkan di pahanya. “Yasmine juga keren loh, waktu itu Yayas menang lomba pidato Bahasa Inggris kan ya? Juara 2 kan, Yas?” tanya bunda. Yasmine menelan ludahnya, sesaat kemudian ia mengangguk.

Eyang mendelik tidak suka, “Cuma juara 2. Apa yang mau dibanggakan? Itu kalau Azriel yang ikut pasti bisa juara 1. Harusnya kamu bisa dapatkan hasil yang lebih maksimal. Itu lah, terlalu sering dimanja. Jadi kurang kerja kerasnya, kurang usahanya. Baru juara 2 sudah bangga.”

Yasmine menelan ludahnya kasar. Air matanya hampir menerobos pertahanan. Pada akhirnya, setinggi apapun prestasinya, ia tetap akan menjadi juara terakhir di mata keluarganya sendiri. Yasmine tetap tak kasat mata.

Ini kah yang disebut keluarga? Kalau iya, mengapa semuanya seakan bersaing untuk menjadi yang utama? Ini kah yang disebut keluarga? Kalau iya, mengapa semuanya seolah berebut kejayaan hingga rela menginjak satu sama lain? Ini kah yang disebut keluarga?

Kalau iya, mengapa Yasmine seakan ditempatkan di anak tangga paling bawah agar mereka bisa menginjaknya untuk naik lebih tinggi?