Absen

Setibanya Gia di depan gerbang, gadis itu mati-matian menunduk menahan malu. Menghindari tatapan Haris yang sudah berada di sana memeriksa atribut siswa-siswi yang berdatangan. Sekilas Gia melihat kakak kelasnya itu menahan senyum lantaran sudut bibirnya berkedut. Namun, pria itu buru-buru mengalihkan pandangan. Mungkin karena sudah janji untuk pura-pura tidak lihat.

Gia menutup wajahnya dengan rambut panjangnya yang hari itu ia atur menjadi low ponytail sebelum akhirnya pura-pura cuek dan bersembunyi di balik antrean. Gia menyalami tangan Pak Asep dan bermaksud langsung ngebut ke koperasi dan ke kela. Namun, gurunya itu malah mengajaknya bercengkerama.

“Anggia,” sapa Pak Asep. Mau tak mau, Gia tersenyum dan menjawab. “Iyaa, Pak.”

“Bagus nih, udah lebih awal terus datengnya. Udah nggak pernah telat,” balas Pak Asep. Gia cuma nyengir, sementara kakak kelas yang sedang memeriksa atribut di sebelahnya itu tersenyum bangga.

“Nanti ada jam Bapak nggak, Anggia?”

“Ada, Pak. Pelajaran terakhir,” balas Gia. “Ada tugas kan?”

“Iya, Pak.”

“Ya sudah nanti kita bahas,” balas Pak Asep. Selanjutnya Gia berpamitan dan melanjutkan misinya. Kabur.


Gia sampai di kelas dengan sebundel lembar jawaban ulangan pesanan Zahra, gadis itu melangkah menuju tempat duduknya dan meletakkan tasnya di sana. Benar saja, belum sempat Gia mendudukkan dirinya, Zahra sudah menghujaninya dengan pertanyaan kecurigaan.

“GIA! Gimana gimana? Kamu ngapain kok tadi bisa salah kirim? Kamu chat-an sama Kak Haris?” ujar Zahra bertubi-tubi.

“Jaraaaa, pelan-pelan donggg ngomongnyaa!” balas Gia. “Nanti ketauan yang lain berisik ah!”

Zahra tertawa, “Ya udah sini sini duduk. Cerita cerita!”

Gia menghela napas pasrah. Pada akhirnya ia menceritakan semuanya pada teman sebangkunya.

“Ya.. awalnya tuh karena aku terlambat kan, yang waktu disuruh hormat bendera itu loh, Jar. Nah terus Kak Haris chat aku, nanya kenapa telat. Terus katanya besok jangan telat lagi gitu, jangan dateng lebih dari 06.15,” jelas Gia. Ia menjeda bicaranya. Melihat Zahra belum memberikan reaksi apapun, Gia melanjutkan ceritanya.

“Kamu tau kan setiap pagi aku makan beng-beng?” tanya Gia. “Iya.”

“Itu bukan aku bawa sendiri dari rumah. I-itu.. dari Kak Haris..”

Batin Gia bersiap, sebentar lagi pasti Zahra akan menghujaninya dengan teriakan antusias akan keterkejutannya.

“DEMI APA SIH GIIIIIIII?????????” ucap Zahra. Benar kan, tebakannya?

Gia hanya menghela napas pasrah. “Iya serius,” balasnya.

“KOK BISAAAA????”

“Soalnya Kak Haris kan bilang jangan telat, nah aku bales emangnya kalo nggak telat dapet apa. Itu bercanda doang sih aslinya, tapi dia malah bales dapet beng-beng..”

“Dih demi apa sih, Anggia Kalila Maheswari?! Kak Haris yang galak itu?!” Zahra masih tak percaya. Wajar, pada awalnya pun ini sulit dicerna oleh Gia.

“Kak Haris nggak galak sih aslinya,” balas Gia.

“KAGAK GALAK DARI MANEEEE?! Kemaren aja Alwan cerita kaos kaki dia diambilll sama Kak Haris makanya dia nggak pake kaos kaki,” sahut Zahra tak mau kalah.

“Dih, kan itu emang salah Alwan. Siapa suruh kaos kakinya biru tua? Hari Rabu ya kaos kakinya itemm!” balas Gia.

“Kamu belain Kak Haris?” tanya Zahra. Gia otomatis merapatkan bibir. Benar juga, tanpa sadar ada rasa tidak terima dalam dirinya mendengar Haris disalahkan sepenuhnya atas tindakannya menyita kaus kaki Alwan yang memang tidak sesuai peraturan.

Gia menggeleng, “Nggak belain Kak Haris. Itu kalo diliat Pak Asep juga pasti disita!”

Zahra lantas tersenyum lebar, siap meledek teman sebangkunya yang masih saja mengelak meski sudah tertangkap basah. Bahkan kedua pipinya mulai memerah. “Yeuuuuuu bilang aja nggak terima Kak Haris dibilang galak!”

“Terima, kok!”

“Ohhh. Ya emang sih Kak Haris tuh galak banget, nyebelin, nggak punya perasaan, jelek banget hatin—”

“KOK GITU SIH KAMU?!” protes Gia tiba-tiba. Zahra memasang wajah bingung, “Kenapa? Katanya tadi terima Kak Haris dibilang galak?”

Skakmat! Gia kembali menutup mulutnya rapat-rapat. Gelagapan sendiri, bingung harus membalas apa. Setelahnya Zahra terkekeh, “Kocak lu Gi!”

“Padahal nggak pa-pa sih, ngaku aja. Aku udah paham kali kamu emang demen sama Kak Haris,” balas Zahra.

“Ih..”

“Aku tuh temen kamu, Gi. Tiap hari sama kamu. Santai aja lagi, aku ngerti kok. Kamu bisa cerita apa aja sama aku, nggak usah malu-malu,” balas Zahra pengertian. Selama ini Gia memang tidak pernah memiliki teman dekat. Sebangkunya selama SMP cukup individualis hingga keduanya hanya sedikit berinteraksi. Memiliki teman sebangku seperti Zahra, sejujurnya Gia cukup kaget. Namun hari ini rasanya hatinya sedikit senang karena mendapat keterbukaan dari Zahra.

Thank you loh, Jar..” ucap Gia, tulus dari dalam hatinya. Di hadapannya Zahra hanya tersenyum seraya mengangguk membalas ucapannya.

“Santai aja, Gi. Terus tadi kamu kenapa salkir?” tanya Zahra.

“HAH ITU?! Ah.. aku udah lupa jadi inget lagi, malu deh. Sumpah demi Allah malu banget,” balas Gia. Gadis itu sudah menutup wajahnya dengan sebelah tangannya.

Zahra terkikik, “Yahh sorry deh, kenapa sih emang? Salah kirim ke Kak Haris?”

“Iya.. pagi-pagi biasanya Kak Haris tuh emang chat aku, nanyain udah sampe sekolah apa belom. NAH TADI PAGI CHAT-NYA BARENGAN SAMA PUNYAMU! ATAS BAWAH!”

Gia dapat mendengar tawa Zahra semakin keras. “Terus terus? Kamu ngirim apa ke Kak Haris sampe malu banget demi Allah gitu?”

“Kirim foto...”

“Hah?”

Mirror selfie....”

“HAH? HAHAHAHAH GIAAAAAAAAA!”

“Zahra diem ah!” balas Gia. Pada akhirnya Zahra terpaksa menutup mulut, menyudahi tawanya meskipun perutnya masih geli dan masih ingin tertawa.

“Ya nggak pa-paaaa, siapa tau foto kamu jadi penyemangatnya Kak Haris pagi-pagi,” ejek Zahra. “Apaan, yang ada nanti dipake buat ngusir tikus,” balas Gia. Sementara Zahra hanya tertawa.

“Gi, tapi ya. Menurut aku, Kak Haris tuh ngasih beng-beng, terus mastiin kamu nggak telat tiap hari tuh udah nggak bisa dibilang nggak ada apa-apa sih,” ucap Zahra. Gia mengerutkan dahi, “Maksudnya?”

“Kak Haris begitu ke kamu doang, Gi. Coba deh, pikir. Aku tanya nih, emang Kak Haris tuh sebaik apa sama kamu sampe bisa cuma kamu doang selain temen-temennya Kak Haris yang nganggep dia tuh baik?”

Gia terdiam, pikirannya menerawang pada saat-saat Haris membantunya. Pula ketika setiap pria itu dengan ramah mengajaknya bicara. “Jangan berisik ya? Sini ngolong, aku ceritain.”

Meskipun bingung, Zahra tetap mengikuti Gia untuk bersembunyi di kolong meja. Keduanya kini nampak seperti sedang membicarakan strategi perang yang tidak boleh terdengar oleh musuh. Sesekali Zahra mengeluh karena lapak sempit, namun pada akhirnya pasrah karena hasratnya mengetahui cerita temannya lebih besar ketimbang mendapat space lebih luas.

Gia berbisik, “Kak Haris tuhh pernah nolongin aku kan, aku udah cerita. Nah, terus.. dia pernah bantu ngiketin tali sepatu aku waktu aku nggak sadar, ini pas basket. Terus waktu kamu apalan di masjid, Kak Haris nemenin aku di kantin, dia juga nanyain aku digodain angkatan atas atau enggak. Kak Haris juga.. bantuin aku belajar biologi semalem..”

“DEMI AP—AH ADUH!” Zahra memegangi kepalanya yang terbentur meja sangking terkejutnya. Sementara di hadapannya, Gia ikutan panik. “Duhh, hati-hati dong! Aku bilang kan jangan berisik!”

“Gi, siapa yang bisa diem aja denger cerita kamu begitu?!” balas Zahra. “Ini mah udah fix nih!!”

“Apa?”

“Kak Haris chat kamu tiap pagi tuh bukan buat nanyain absen doang, Gi! Itu mah PDKT berkedok absen!!!”

Ucapan Zahra membuat Gia termenung sendiri.

Iya, kah? Enggak deh, pasti nggak mungkin. Kata Kak Gina juga kan, Kak Haris baik cuma karena aku deket sama Hanum aja. Nggak mungkin lebih dari itu, kan?