Curhat
Sesuai dugaannya, Haris tidak bisa tidur. Pria itu hanya berguling-guling di kasurnya, berkali-kali merubah posisinya. Berharap mendapatkan posisi tidur yang nyaman dan bisa segera terlelap. Bahkan ketika Haris menelungkupkan wajahnya di bawah bantal, pemuda itu tetap tidak bisa terlelap. Rasanya ia tak ingin hari begitu cepat berakhir, namun juga ingin hari esok cepat tiba. Haris menjadi terlalu bersemangat, dadanya membuncah merasakan kebahagiaan yang belum pernah ia cicipi sebelumnya.
“Waaaa gue meluk Gia beneran nggak sih? Astaghfirullah..”
Haris bermonolog. “Demi Allah saltingnya sampe sekarang kenapa sih?! Gimana dongg ampun, dah!”
Sesaat kemudian Haris terlonjak lantaran seseorang membuka pintu kamarnya. Haris otomatis terduduk dan dengan tampang terkejut ia melihat ke arah pintu. Rupanya itu mama yang baru saja pulang. Ia mengetahuinya dari pakaian sang mama yang belum diganti. Masih rapi seperti saat ia jumpai pagi tadi.
“Loh? Belum tidur, Kak? Atau kebangun?” tanya mama. Haris menghela napasnya sebelum menjawab. “Belum tidur.”
“Kenapa? Ada yang ganggu pikiran Kakak?”
Mau tau mau, Haris mengiyakan. Sebab ia pun tak tahu harus mengganti alasannya dengan apa jika tidak jujur. Toh, siapa tahu mamanya bisa membantu.
“Mind to share?” tanya mama. Haris menggeleng, menandakan bahwa ia sama sekali tidak keberatan. Sang mama akhirnya tersenyum dan menutup pintu. Wanita itu akhirnya mengambil tempat di sebelah Haris dan bersandar di tempat tidur sang anak. Bersiap untuk mendengarkan keluh kesah anak sulungnya itu.
“Kenapa, Kak?”
“Haris nggak bisa tidur,” jawabnya merengek. Membuat mamanya itu terkekeh, “Iyaa, kenapa sayang?”
“Deg-degan,” ucap Haris. Kening mamanya mengkerut, “Emangnya besok ada apa kok deg-degan?”
“Nggak ada apa-apa. Yang ada apa-apa bukan besok tapi tadi..”
“Tadi ada apa?” tanya mama. Haris tak langsung menjawab, ia menunduk. Kemudian mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Ragu bagaimana harus mengungkapkannya.
Sesaat kemudian Haris menggeleng, “Nggak sih. Nggak ada apa-apa.”
“Lah gimana? Terus yang bikin nggak bisa tidur apa?” tanya mama. Haris tidak menjawab. Ia membenarkan posisinya, memilih untuk menyandarkan kepalanya di atas paha mamanya yang masih terbalut celana bahan berwarna hitam. Kemudian memejamkan matanya seiring tangan mamanya mengusap rambut legamnya yang mulai gondrong.
“Adek kelas Haris ada yang cantik,” ucap Haris. Kemudian matanya kembali terbuka karena berhentinya usapan mama. Sepertinya ucapannya kali ini cukup membuat mamanya itu terkejut. Haris mendongak, menatap wajah ayu mamanya yang meski lelah, masih setia mendengarkan ceritanya.
“Jadi itu yang bikin nggak bisa tidur? Iya?” tanya mama. Saat itu juga Haris tak dapat lagi menahan senyumnya. Pemuda itu bahkan terkekeh, namun memilih untuk kembali memejamkan matanya. Malu. “Aaah, anak Mama udah gede. Nggak berasa ya?”
“Adek kelas Haris yang itu.. namanya Anggia, Ma,” ucap Haris lagi. Memilih memulai percakapan dengan topik baru tanpa membalas perkataan mamanya barusan.
“Anggia? Kayak kakak kelasnya Han—”
“Emang iya.”
“Hah? Gimana, Kak?”
“Adek kelasnya Haris itu Kakak kelasnya Hanum yang itu. Anggia yang sering kita omongin. Nggak tau gimana caranya, tiba-tiba dia satu sekolah sama Haris. Bahkan waktu MOS, kelasnya dia Haris yang megang. Terus dia kena masalah, Haris yang nanganin. Jadi kenal,” jelas Haris singkat. Pemuda itu bercerita dengan matanya yang sengaja ia pejamkan.
“Wah.. dunia tuh sempit banget ya?” ucap mama. Sementara Haris hanya terkekeh.
“Terus, Kak?”
“Awalnya Haris sebel sama dia, karena ngerepotin. Tapi setelah sering ngobrol ternyata anaknya baik. Itu sebelum Haris tau kalo dia deket sama Hanum. Nah, waktu Haris jemput Hanum, Haris ketemu dia. Dia lagi cap tiga jari,” ucap Haris. “Terus.. Haris pikir, Haris mau baik aja sama dia karena dia selama ini juga udah baik sama Hanum. Tapi malah nggak sesuai tujuan deh, Ma.”
Mama tersenyum meski Haris tidak melihatnya, “Kakak suka sama dia?”
“Can I?”
“Totally, Kak. Kenapa enggak?”
“Ini sih sebenernya udah mulai ngedeketin. Tapi, takut,” balas Haris. “Apa yang bikin takut?”
“Mama,” balas Haris. Dengan begitu, mama menautkan alisnya tidak terima. “Emang Mama kenapa? Galak?”
Haris terkekeh, kemudian kembali membuka matanya. Namun kali ini, ia menatap langit-langit kamarnya sendiri. Membawa pikirannya menerawang bersamanya. “Bukan Mamanya sih. Cuma Haris takut aja akan berakhir kayak Mama sama Papa. Sekeras apapun usaha Haris buat perjuangin semuanya, tetep ujungnya pisah pisah juga.”
Kali ini keduanya terdiam. Terlebih mamanya yang kini menatap sendu ke arah anak sulungnya yang ternyata, menyimpan banyak gelisah yang tak terucap. Dalam hatinya mama tahu, Haris, bagaimanapun juga, sama seperti papanya. Yang tidak mudah jatuh hati, namun sekalinya pemuda itu menemukan yang dapat memikat hatinya, it lasts forever.
Sebagai seorang ibu, melihat dari tatapan dan biar mata Haris, mama mengerti anak sulungnya jatuh cinta. Layaknya bunga di musim semi, cintanya baru saja bermekaran. Bahkan hingga empunya tak bisa tidur, entah apa yang terjadi di sekolah hari itu. Mama juga tahu, Haris bukan tipe orang yang bertele-tele dengan perasaannya. Jika ia tidak suka terhadap sesuatu, Haris akan menyatakannya secara gamblang tanpa memikirkan perasaan lawan bicaranya. Dan jika ia menyukai sesuatu—dalam kasus ini, seseorang—maka Haris tak akan menyia-nyiakan waktu untuk membuat pujaan hatinya menjadi miliknya.
Tetapi rupanya hatinya masih bimbang. Masalah yang sempat terjadi di keluarganya rupanya membuat Haris serba takut. Takut untuk memulai gerakan lebih jauh, takut untuk melanjutkan perasaannya, takut hubungannya dengan Gia jika berhasil nanti justru akan berakhir seperti kedua orang tuanya. Juga, takut dirinya tidak pantas untuk Gia yang menurutnya sangat sangat baik.
“Sebenernya Haris bisa aja terang-terangan deketin Gia, tapi rasanya masih banyak yang harus Haris pikirin. Masih banyak yang bikin Haris takut,” ucapnya.
Mama menghela napas, setelahnya tangan kanannya menangkup pipi tirus milik Haris. “Kak,” panggilnya.
“Mama minta maaf,” lanjut mama. Kini giliran Haris yang menautkan alisnya. Pemuda itu lantas bangkit dan duduk menghadap sang mama yang kini menampakkan raut sedih di wajahnya.
“Kenapa, Ma? Mama nggak salah apa-apa, kok!”
Mama menggeleng, “Maafin Mama karena pisahnya Papa sama Mama jadi bikin kamu takut untuk ngerasain perasaan yang kamu rasain sekarang.”
Haris terdiam, ia kini menunduk seraya menggenggam sebelah tangan sang ibu. Memilih mendengarkan ucapan wanita itu lebih lanjut. “Maafin Mama karena pisahnya Mama sama Papa bikin kamu jadi takut untuk ngejalin hubungan sama orang lain,” mama kembali bicara.
“Tapi, Kak. Just because kamu anak Mama sama Papa, bukan berarti cerita kamu juga akan berakhir sama kayak kami, Kak. Mama sama Papa pisah, karena.. ada kesalahan di antara kami yang udah nggak bisa diperbaiki,” ujar mama. “Papa sama Mama berhenti saling memperjuangkan untuk satu sama lain, dan itu salah. Nah kamu, Kak. Kalo kamu suka, perjuangin sampe akhir. Kalo ternyata nanti dia bukan jodoh kamu, seenggaknya kamu nggak nyesel. Karena kamu udah berjuang.”
“Pisah itu pasti. Segala sesuatu yang ada di dunia ini sifatnya emang cuma sementara, Kak. Tapi yang harus kamu pikirin bukan perpisahannya yang masih entah kapan terjadinya. You should live in the moment, and be grateful for everything.“
Haris termenung. Namun, sudut bibirnya kembali berkedut menahan senyuman. Mencurahkan segalanya kepada mamanya memang selalu menjadi pilihan yang paling tepat. Gelisahnya mereda, Haris kembali lega.
Pemuda itu kembali menatap mamanya yang kini menatapnya seraya tersenyum. Wanita di hadapannya mengangguk, “Go for her! Now it's your turn to be happy, Kak Haris.”
Sebuah senyuman lebar yang mewakili perasaan leganya muncul di wajah Haris. Disusul tawa kecil dari sang mama. Sekon berikutnya mamanya itu melirik jam dinging yang menyatakan waktu sudah semakin larut. Setelahnya wanita itu mengacak-acak rambut Haris dan bangkit berdiri.
“Dah, tidur ya, Kak! Besok kesiangan, loh!”
“Iyaaa,” balas Haris. Kemudian membaringkan dirinya dan mengambil posisi nyaman untuk tidur. Kemudian tertidur lelap ketika sang ibu mematikan lampu kamarnya dan kecupan ringan di kening dari mama.