Tamu
Gia bergegas keluar setelah membaca pesan Alwan yang menyatakan bahwa pria itu sudah sampai (lagi) di depan rumahnya. Setelah tadi mengantarnya pulang, Alwan kembali untuk mengantarkan buku catatan Sosiologi milik Gia yang ia pinjam. Terpaksa, sebab ada tugas yang harus dikerjakan dan dikumpulkan esok hari.
Gadis itu celingak-celinguk, mencari keberadaan Alwan di depan pagar rumahnya. Setelahnya menengok ke sebelah kanan lantaran mendengar suara klakson dan deru mesin motor yang masih menyala. Saat itu, Gia terdiam kaku.
Pernahkah melihat teman sekelas laki-laki yang setiap hari mengenakan seragam sekolah yang sama, lalu kemudian melihatnya dengan baju bebas untuk pertama kalinya? Ada yang berbeda di sana. Di lubuk hatinya, Gia menyatakan bahwa Alwan mempesona malam itu. Pemuda itu muncul di hadapannya dengan celana olahraga panjang dan kaus hitam berlengan pendek yang menampilkan otot-otot lengannya. Kaus hitam yang membingkai bahu kekarnya jauh lebih baik daripada seragam sekolah.
“Gi!” panggilnya. Gadis itu tersentak, kemudian segera menghampiri Alwan dengan senyum yang ramah.
“Nih bukunya,” ucap Alwan.
Sebelah tangan Gia meraih buku catatan bersampul cokelat yang diberikan Alwan, kemudian membuka lembarannya. Matanya ia sapukan pada setiap baris tulisan yang merupakan hasil karyanya, mengecek sampai mana tugasnya terakhir kali ia kerjakan.
Setelahnya gadis itu kembali melihat ke arah Alwan, “Kamu udah selesai ngerjainnya? Ini nggak pa-pa kalo aku ambil lagi?”
“Udah, udah semua kok. Makasih banyak yaa, maaf banget tadi gue lupa bawa ke sekolah. Gue baru inget besok ada Sosiologi, gue pikir pelajarannya masih lusa.”
“Iyaa, sama aku juga baru inget gara-gara tadi Zahra nanyain,” balas Gia. “Makasih ya, Alwan! Maaf jadi ngerepotin harus balik lagi ke sini.”
Pria itu menggeleng dengan senyuman tipis seakan permintaan Gia bukan masalah besar. “Santai, Gi.”
“Hmm, kamu mau langsung pulang?” tanya Gia. Sejujurnya gadis itu canggung. Dalam hatinya, Gia merasa tidak enak hati jika langsung menyuruh Alwan pulang sebab Alwan harus kembali menempuh jarak dari rumahnya untuk sampai ke sini. Namun, ia pun tidak bisa mengajaknya masuk sebab Gia adalah satu-satunya orang yang sedang berada di rumah saat itu. Rasanya tidak etis jika mengajak Alwan masuk malam-malam begini.
Belum sempat sebuah kata meluncur dari bibir Alwan, suara deru motor yang lebih berisik menginterupsi percakapan keduanya. Kedua remaja itu menoleh ke arah yang sama, kemudian sama-sama menyipitkan matanya lantaran sinar lampu depan motor yang begitu menyilaukan.
Sang tamu tak diundang itu akhirnya mematikan mesin. Membuat Alwan dan Gia tak perlu lagi menghindari pancaran sinar lampu yang begitu terang itu. Sepersekian detik, Gia terkejut. Rupanya tamu tak diundang itu adalah Gio. Seorang Giovanno Sadewa, yang jika semua orang tahu hadir di rumahnya malam ini, maka akan membuat keributan dan kehebohan dalam sekejap.
“Gio? Kamu ngapain?” tanya Gia. Di sebelahnya, Alwan memasang ekspresi sama bingungnya dengan Gia.
Sementara yang menjadi pusat perhatian itu tersenyum miring, “Hai, Gi! Gue nggak ganggu, kan?”
Percayalah, saat itu Gia tak tahu harus menjawab apa. Bukankah tidak sopan bertamu ke rumah orang lain secara tiba-tiba tanpa mengabari sang penghuni rumah? Apalagi sekarang Gia sedang menerima tamu, yang benar-benar ia undang sebelumnya.
“Ehm, gimana ya? Aku juga lagi ada temenku sih ini. Kamu ada perlu apa?” tanya Gia. Masih berusaha menyamarkan ketidaksukaannya akan kehadiran Gio melalui setiap tutur katanya.
Seraya menampilkan wajah sombongnya, Gio dengan bangga mengangkat sebuah bingkisan berisi kue bolu yang memang terlihat menggiurkan. “Ini, titipan dari Mama.”
“Kok Mama kamu bisa nitipin buat aku? Kamu tau rumahku juga dari mana deh?” tanya Gia bertubi-tubi.
“Gue cerita kita satu sekolah lagi. Kalo soal rumah lo, gue nggak pernah lupa dari dulu,” balas Gio. “By the way, ini siapa, Gi?” tanyanya seraya menunjuk Alwan.
Sopan, meskipun jengkel setengah mati, Alwan menjulurkan tangan kanannya. “Alwan, temen sekelasnya Gia.”
Gio tak membalas, pria itu hanya mengangguk-angguk dengan tatapan yang begitu jelas merendahkan Alwan. Sikapnya seolah-olah ia akan menderita gatal-gatal jika tangan mulus terawatnya itu bersentuhan dengan tangan penuh urat milik Alwan.
Dengan kesal kemudian Alwan menarik kembali tangannya yang sengaja diabaikan oleh lawan bicaranya. Dalam hati ia mengumpat, ia bersumpah bahwa badan mungil Gio bisa remuk seketika jika Anggia tidak ada di sebelahnya saat itu.
“Oh, temen sekelas. Thankfully he's not your boyfriend ya, Gi? You're lowering your standard deh, kalo sama dia,” balas Gio.
Tak hanya Alwan, Gia pun tersinggung mendengarnya. “Maksud kamu apa ya? Kamu dateng ke sini mau buat keributan, kah?”
Gio terkekeh, “No offense, Anggi. Gue kan cuma berpendapat.”
Pendapat lu sampah banget, bajingan. Laki-laki mulutnya lemes amat, batin Alwan.
Sebelum mendengar lebih jauh perdebatan antara Gio dan Gia, dan sebelum batas kesabarannya dihabiskan oleh Gio yang terus-menerus merendahkannya secara terang-terangan, Alwan memilih untuk pamit.
“Gi, gue balik ya? Takutnya kemaleman buat ngerjain tugasnya. Makasih sekali lagi pinjeman bukunya,” ucap Alwan.
Gia menoleh cepat, kemudian mengangguk meski ragu. “Gitu ya? Ya udah, hati-hati ya, Alwan! Aku yang makasih kamu mau repot-repot balik lagi ke sini.”
Alwan hanya mengangguk cepat, setelahnya ia membunyikan klakson sebagai tanda perpisahan sebelum akhirnya melajukan motornya menjauh dari rumah Gia.
Sekarang hanya tersisa Gio dan Gia yang menatap Alwan yang kian menghilang dari pandangannya. Gadis itu mendesah kecewa dalam hatinya, bukan Alwan yang ia harapkan untuk pergi saat itu. Melainkan Gio. Namun, malah Gio yang kini tersisa di hadapannya.
“Kamu cuma mau nitipin ini doang, kan? Aku terima ya, makasih banyak,” ucap Gia, berniat mengambil bingkisan yang dibawakan Gio. Namun Gio mencegahnya.
“Eits, nanti dulu kali? Emangnya lo nggak mau ngobrol sama gue? Gue nggak ditawarin masuk nih? Kok lo gitu sih sama sahabat lama lo?”
Sahabat, katanya? Gia mendecih dalam hati. Keduanya memang dekat sewaktu masih di Sekolah Dasar. Namun, selalu bersama bukan berarti Gio selalu memperlakukannya dengan baik, kan? Gia kecil mungkin menganggap Gio yang dulu sebagai pangeran dengan kuda putih. Baik hati, Sempurna, dikagumi setiap mata yang memandangnya. Tetapi Gio tak pernah sekalipun memandangnya sebagai seorang putri kerajaan yang selalu digambarkan sebagai sandingannya.
Tak jarang Gio memarahi Gia sebab selalu berada di dekatnya hingga tercipta rumor bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Tak jarang Gio menghina fisik Gia, mengatainya gemuk, pendek, jelek. Bahkan tak jarang Gio berkata bahwa dirinya malu mempunyai teman seperti Gia. Satu-satunya alasan Gia menganggap pemuda itu baik adalah karena mamanya.
Mama Gio memang selalu menganggapnya sebagai anak sendiri, setiap pagi ketika melihat rambut Gia masih terurai karena tak sempat dikuncir lantaran kebiasaannya bangun siang, Mama Gio akan selalu menata rambutnya dengan rapi. Kepang satu, kuncir dua, cepol kanan-kiri, apapun yang membuat Gia-setidaknya-lebih percaya diri. Sebab setelahnya, Mama Gio akan memberikan usapan lembut di wajahnya seraya mengatakan bahwa Gia adalah anak perempuan paling cantik yang pernah hadir di hadapannya.
“Maaf ya, Gio. Bukannya aku nggak mau, tapi sekarang rumahku lagi nggak ada siapa-siapa. Nggak etis rasanya kalo aku nerima kamu masuk, apalagi ini udah malem. Aku juga ada tugas yang harus dikerjain, bukan rencanaku untuk ngobrol sama kamu malem ini. Lain kali, kalo mau bertamu coba komunikasikan dulu ya?” balas Gia lugas. Halus, namun cukup tegas.
“Lagipula kamu bukannya seleb gitu ya? Bukannya harusnya kamu ngerti kalo apa-apa itu harus dikomunikasikan dulu? Nggak bisa langsung dadakan, kan?” ujarnya lagi. “Aku yakin kamu pasti nggak suka kalo jadwalmu dirusak karena event dadakan. Sama, aku juga. Kedatangan kamu kan tanpa undangan aku, tanpa permintaan aku. Jadi, aku berhak nolak kamu. Maaf ya, sekali lagi. Aku nggak bisa ngajak kamu ngobrol lama-lama, aku harus masuk. Ini udah jam delapan, mending kamu pulang juga. Besok kita masih ada kewajiban untuk sekolah.” Setelahnya Gia beranjak masuk.
Gio mendecih terang-terangan, “Lo kalo nggak suka gue dateng ke sini, ngomong!”
Seketika Gia membalikkan badan, kembali menatap Gio. Kali ini sorot matanya terlihat lebih jelas memancarkan ketidaksukaannya. “Iya, aku nggak suka kamu dateng ke sini. Nggak ada ngomong dulu, nggak ada izin dulu, terus tiba-tiba kamu dateng ke sini kemudian ngerendahin temen aku. Satu hal yang harus kamu tau, Gio, kamu nggak sopan!”
Gio mendelik tidak suka, “Heh, denger ya! Satu hal yang harus lo tau juga, Gia, lo belagu! Lo pikir lo sehebat apa sampe bisa ngusir gue? Sampe bisa sok-sokan nolak gue? Lo pikir gue nggak tau lo ngasih cokelat pemberian gue ke temen lo itu?”
Gia terdiam, cukup terkejut dengan penuturan Gio yang tiba-tiba meledak-ledak dan kasar. “Ngaca, Gi! Lo nggak ada bedanya sama lo waktu SD. Lo pikir sekarang lo udah cantik? Enggak! Lo sama aja, dan lo nggak secantik yang lo bayangin. Lo pikir ada yang mau sama lo, Gi? Gue mau deketin lo aja udah keitung baik banget. Harusnya lo bersyukur bisa gue sapa, bisa gue datengin ke rumah lo begini. Tapi emang dari dulu lo sama aja—”
Gio menggantung kalimatnya. Sekon berikutnya pemuda itu mendekatkan bibirnya ke telinga Gia. Membisikkan kata-kata yang membuat hati gadis itu terasa seperti ditimpa batu besar yang turut membuat harga dirinya jatuh.
“Nggak tau diri,” bisik Gio.
Setelahnya Gia terpaku. Gadis itu bahkan mengabaikan Gio yang meletakkan bingkisannya asal, kemudian berlalu. Malam itu Gia tahu hanya raga Gio yang pergi. Namun rasanya pemuda itu turut membawa pergi seluruh kepercayaan dirinya yang telah Gia pupuk sendiri selama bertahun-tahun.