Curhat

Setelah memarkirkan motornya dengan rapi di tempat tukang fotokopi, Haris memilih untuk meninggalkan Adel dan berjalan lebih dulu menuju tempat di mana gerobak-gerobak jajanan berbaris rapi di seberang jalan. Seperti biasa, setiap kali suasana hatinya berantakan, Haris menghibur dirinya dengan memakan banyak camilan. Saat-saat seperti ini, Adel-lah yang paling bahagia. Sebab dirinya selalu menjadi orang pertama yang dituju Haris untuk menjadi partner-nya mencari makan hingga akhirnya berujung pada pemuda itu membeberkan isi hatinya.

“Tungguin kenapa sih, maen jalan aja ente!” keluh Adel. Setelahnya ia menyejajarkan langkahnya dengan Haris. “Beli seblak, Ris!”

“Ya udah beli sono. Makan sini aja, Del, bisa nggak? Nanti baru bungkusin buat Hanum,” balas Haris.

“Bisa, tuh situ ada kursi. Lo pake apa?” tanya Adel.

“Apa aja terserah lu dah, yang penting jangan pedes,” jawab Haris lagi. Setelahnya Adel mendelik, “Seblak apaan nggak pedes?”

“Enak ege, lo cobain dah! Anget-anget gitu rasanya, udah buruan sih! Banyak omong amat lu,” ucap Haris lagi.

“Terus lo mau ke mana?” tanya Adel ketika melihat Haris justru akan berjalan ke arah yang berbeda dengannya.

“Sono noh, beli cilor. Lo mau nggak?” tanya Haris.

“Gue mah selama gratis gue sikat, Ris,” ucap Adel.

“Emang anj—”

“Buruan deh lo, ngantri!” potong Adel cepat. Setelahnya Adel hanya tersenyum hingga kedua matanya menyipit kala mendapat tatapan mematikan dari Haris.


“Jadi, kenapa, Ris?” tanya Adel setelah ia berhasil menyeruput kuah seblak miliknya yang masih sedikit panas.

“Gue sebel.”

“Ya, gue rasa satu dunia juga sudah mengetahui itu. Lo pasti marah-marah udah dari pas di sekolah, kan?” balas Adel. Pria yang masih mendiamkan seblaknya yang masih panas itu mengangguk dengan bibir mengerucut.

“Ya makanya, kenapa?” tanya Adel lagi.

Haris terdiam sesaat, mengumpulkan keberanian untuk membeberkan isi hatinya pada sahabatnya sejak kecil itu. “Lo kan waktu itu bilang kalo gue harus let it flow dan mastiin dulu sampe perasaan gue tumbuh lebih besar, sampe seenggaknya gue yakin kalo gue emang suka sama—Gia,” ucapnya gantung.

Adel mengangguk, kemudian dengan setia gadis itu menaruh tatapan pada Haris. Menunggu kelanjutan bicaranya. “Terus?” ucapnya seraya mengaduk-aduk makanannya agar cepat dingin.

“Gue rasa gue udah suka beneran deh, Del,” ucap Haris lugas. Tak sedikitpun ia ragu akan ucapannya.

Sebelah alis Adel terangkat sebagai perwakilan keterkejutannya akan ucapan Haris. Namun setelahnya ia mengangguk-angguk, rasanya ia mulai paham apa yang membuat Haris sebal.

“Hari ini gue sama sekali nggak interaksi sama Gia, bisa dibilang nggak ketemu, tapi gue liat dia. Biasanya pagi-pagi gue liat dia di gerbang, tapi karena hari ini celana gue digunting—”

“CELANA LO DIGUNTING?!”

“KAGET ANJ—Lu kenapa lebih kaget denger celana gue digunting daripada denger gue udah yakin suka sama Gia sih, Del?”

Detik itu juga, tawa Adel menyembur. “Lu bukannya yang biasa nangkep-nangkepin orang yang seragamnya kagak bener? Lo sampe jadi public enemy gara-gara itu now you're the one being punished? Karma kenceng bat ye, Ris? Wakakakakakak!”

“Teroooos, tawain aja teroooos. Gue sumpahin keselek kuah seblak lu!”

“Bercanda, Ris. Keriput lu marah-marah mulu! Lanjut lanjut,” balas Adel.

“Ya pokoknya pagi gue nggak ketemu Gia, terus temen gue yang biasa gue cerita Gia dikasih cokelat sama—ada deh, namanya Gio. Dia temen SD-nya Gia gitu tapi sekarang satu sekolah lagi dan kayaknya, Gio mau deketin Gia. Soalnya kata temen gue Gio ngasih Gia cokelat gitu tadi pagi.”

“Lucu amat namanya Gia Gio,” Adel menanggapi disela cerita Haris. Membuat pria itu berdecak, “Anjing lah semua orang bilang Gia Gio lucu, besok gue ganti nama lah!”

Adel terkekeh melihat Haris yang begitu terang-terangan menunjukkan kejengkelannya. “Lah, tapi betuuul memang lucu. Lo jangan gitu dong, Ris. Harus sportif jadi orang tuh!”

“Nggak ada deh, gue nggak suka! Iya gue sportif tapi ya nggak suka boleh dong..”

Adel semakin tergelak, lucu baginya melihat Haris yang biasanya paling anti membahas soalan cinta remaja kini justru menjadi pemeran utama yang merasakan hal itu.

“Oke, terus? Cerita lo masih ada lanjutannya nggak?”

“Ada. Terus istirahat gue ngeliat Gia, bercanda sama temen sekelasnya gitu. Namanya Alwan. Kayaknya mereka emang deket banget sih, Del,” ujar Haris. Wajahnya berubah lesu, bibirnya kembali mengerucut seiring benaknya memutar kembali ingatannya tentang Gia yang bersenda gurau dengan Alwan di kantin. Keduanya nampak nyaman dan sama-sama bahagia hingga rasanya Haris ingin mengundurkan diri. Haruskah ia merusak kesenangan itu?

“Lo cemburu ceritanya?”

Pertanyaan Adel jelas menohok Haris. Pemuda yang mulai menyeruput kuah seblaknya itu bahkan tersedak sebelum sempat menikmati suapan pertamanya. “Lu mah!” protesnya.

“Kenapa? Gue bener, kan? Lo cemburu?”

“Iya kali, nggak tau deh. Pokoknya gue sebel aja, gue nggak suka gitu liatnya.”

Adel terkekeh, “Dasaaar, dasar!”

“Itu mah wajar, Ris. Gia juga kan punya dunianya sendiri, dunia yang udah mulai sebelum perasaan lo ke dia muncul. Dari dulu mungkin Alwan udah ada di sana, temen-temennya yang lain juga. Sama kayak lo bilang Gio temen SD-nya. Hal-hal kayak gitu, termasuk sesuatu yang nggak bisa lo kontrol, lah, pokoknya,” ujar Adel.

Haris menunduk dan memilih mengaduk-aduk semangkuk seblak di hadapannya, sama sekali tak berminat memakannya. “Berarti kalo kayak gitu, Alwan sama Gio punya kesempatan lebih besar dong dibanding gue?”

“Yaa, nggak juga sih. Mau sekelas, seangkatan, sekomplek sekalipun kalo Gia-nya naksir sama lo mah ya.. sama aja.”

“Masalahnya kan nggak tau Gia naksir gue apa enggak,” balas Haris.

“Ya lu cari tau lah?!”

“Tapi yang dibilang temen gue bener juga sih, Del. Minder nggak sih kalo ada orang yang keliatannya lebih pantes aja buat dia?”

“Maksudnya lebih pantes tuh gimana?” tanya Adel bingung.

Sudut bibir Haris berkedut, pria itu mengulas senyum tipis seraya menggeleng. “Gue jadi nggak pede aja.”

Mendengar jawaban Haris, seketika netra Adel tak lagi menatap santai pada pemuda di hadapannya. Apa-apaan ini? Haris adalah juara satu dalam hal menyombongkan dirinya sendiri. Setiap hari, tak henti-hentinya ia bersikap seolah dirinya adalah manusia tanpa kurang. Meskipun ada, Haris akan dengan sangat baik menyembunyikan kurang dalam dirinya.

Melihat saat ini seorang Haris merasa tidak percaya pada dirinya sendiri, bahkan merasa dirinya tidak pantas untuk seseorang, membuat Adel menggelengkan kepalanya tidak percaya.

“Ris... Lu dipelet ya? Atau makanan lo keracunan apa gitu nggak, Ris? Apa-apaan dah ini!? Kayak—seriously apa yang Gia lakukan ya sampe dia berhasil membuat seorang Haris—who always braaaaaggggg about himself begini?” ucap Adel dramatis. Gadis itu banyak menunjuk Haris dengan telapak tangan terbuka yang ia naik-turunkan bersamaan dengan pandangannya yang mendelik.

Haris mendecih, “Lebay!”

“Lah serius serius, Riss! Lo kenapa sumpah!? Kayak—OOOOOOOOOHHHHHH I SEEEEE!

Haris memundurkan tubuhnya sedikit menjauh dari Adel yang kini meledak-ledak. Pria itu bahkan membentengi dirinya dengan map plastik yang dibawa Adel untuk menyimpan berkasnya, menjadikan map itu sebagai perisainya. Setelahnya gadis itu menggebrak meja dengan sebelah tangannya, beruntung Haris sudah bersiap untuk hal ini sehingga keterkejutannya dapat ia kendalikan.

“Lo malu ya karena Gio ngasih cokelat mahal tapi lo cuma ngasih beng-beng?” terka Adel. Haris mengerjapkan matanya, tebakan Adel begitu tepat sasaran. Membuatnya memalingkan wajahnya yang mulai memerah.

Tak ada lagi ucapan yang meluncur dari bibir Adel selain tawanya yang menggelegar. Membuat Haris celingak-celinguk panik melihat sekelilingnya, takut tawa keras sahabatnya itu mengganggu pengunjung lain. “SSSTT! Berisik, Del ih!”

“Aduh—sorry sorry,” ucap Adel sambil mengipasi wajahnya yang memerah. Setelahnya ia mengusap air mata yang keluar akibat terlalu geli tertawa.

Entah berapa banyak ekspresi yang gadis itu punya, Haris pun tak pernah paham bagaimana Adel mengubah ekspresi hanya dalam sepersekian detik. Seperti saat ini, gadis itu mendadak serius. “Ris, ini gue ngomong sebagai perempuan ya, bukan sebagai temen lo,” ucapnya.

“Biasanya sih, biasanya yaaa, perempuan tuh nggak ngeliat barangnya apa. Semahal apa harganya, sebesar apa, selangka apa, kita tuh nggak peduli itu, Ris. Yang penting tuh siapa yang ngasih. Kalo orang yang ngasihnya berkesan, mau dikasih pohon toge juga dirawat, Ris.”

Haris terdiam, pemuda itu kini melempar pandangannya ke sembarang arah. Juga membiarkan pikirannya larut layaknya gula pasir yang turut larut dalam es teh manis yang bahkan belum ia sentuh. “Emang iya, Del?”

Gadis itu mengangguk semangat, entah sejak kapan ia menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, namun pipinya itu sudah kembali menggembung. “Yang paling penting itu gimana cara lo menghidupkan suasana sama dia. Gue tau lo jarang ketemu sama dia. Makanya, sekalinya ketemu, buat itu sesuatu yang berkesan. Buat lo, buat dia.”

“Udah jangan galau lagi, kalo udah putus asa banget telepon gue ya. Nanti gue ajak ke suatu tempat buat minta tips agar cinta lo nggak gagal,” ucap Adel lagi.

Haris mengernyit, “Ke mana?”

“Dukun.”

“Goblok!”