Gia Defense Force
Hari ini Haris, Damar, Dhimas, Ojan kembali menjadi pusat perhatian di kantin. Alasannya, tidak lain dan tidak bukan adalah suara mereka yang lantang dan topik yang memang aneh-aneh. Terlebih hari ini mereka berempat bergabung bersama Aghniya dan Ayesha yang juga sama nyelenehnya.
“Ris bagi dulu dua rebu dong,” ucap Ojan tiba-tiba. Pemuda itu terlihat berdiri seraya memeriksa uang recehan yang baru saja ia keluarkan dari saku celana. “Mau beli es teh kurang dua rebu. Duit gue cuma serebu nih.”
Haris berdecak, “Yeuh, kebiasaan! Udah tau mau istirahat kagak bawa turun duit.”
“Loh, apa fungsi kalian sebagai temanku kalau begitu caranya?” balas Ojan seraya terkekeh. Setelahnya Haris menyerahkan selembar uang sepuluh ribu ke tangan Ojan sebelum pria itu berlalu, “Nitip asupan gelembung.”
Ayesha mengernyit, “Apaan asupan gelembung?”
“Balon tiup,” sahut Dhimas membuat gadis itu semakin mengerutkan keningnya. “Hah emang di sini ada yang jual balon tiup?”
“Bukan ege, Mettt. Asupan gelembungnya Haris tuh sodaaa. Kan ada gelembung-gelembungnya,” Aghniya menimpali.
“Ohh, yeuu aneh lo, Ris!” balas Ayesha.
Haris terkekeh, kemudian membalas. “Anehan elu, lah! Lo beli es teh kagak bayar kan, Sha?”
“ANJ—jangan umbar aib gue!” balas Ayesha. Membuat Haris tertawa semakin keras.
“Emang kenapa, Ris?” kali ini Damar membuka suara. Sedari tadi ia hanya diam, entah memperhatikan apa.
“Oh—OH GUE TAU CERITA ITU!” sahut Aghniya yang setelahnya tertawa bersama Haris. “Anjir diem, Metttt! Jangan sekali-kali lu sekongkol sama Haris!” ancam Ayesha.
Aghniya masih sibuk tertawa lantaran mengingat kejadian lucu yang kala itu menimpa Ayesha. Sedangkan Haris sudah begitu siap membeberkan ceritanya. Dengan wajahnya yang memerah akibat tertawa terlalu banyak, Haris kembali berujar. “Lagian dongo yak, maen pergi-pergi aja. Aduh, ya Allah.. kelakuan lu, Shaa, Sha.”
“GUE LUPA EGEEEEE BUKAN NGGAK MAU BAYAR!”
“Ada apa sih emang?” tanya Dhimas yang masih bingung.
“Jadi gini, Breee. Ayesha kan beli es teh, nah sebelahnya gue tuh. Itu emang lagi rame banget sih, tiba-tiba es tehnya jadi dia maen pergi pergi aja. Terus itu istrinya Mang Jamet yang manggil 'Eh, Kak, belom dibayar es tehnya!' demi Allah gue ngakak banget! TAPI KESIAN, mana rame banget. Kagak nape ye, Sha. Pengalaman,” ujar Haris.
“Lu mah.. abis perasaan gue tuh waktu itu udah gue kasih duitnya. Tapi kok belommm gitu, mana ibunya manggil kenceng banget lagi orang mah bisik-bisik aja emang nggak bisa apa yak? Kan gue malu jadinya,” balas Ayesha.
“APAAN ANJIR?! Manggil orang lupa bayar bisik-bisik mah melayang udah uangnya, Sha. Lu mah aneh, udah gue bilang lu anehhh!” ucap Haris seraya tertawa.
Tak lama kemudian Ojan kembali dengan segelas es teh manis dan pesanan asupan gelembung milik Haris. Bagaikan anak kecil mengembalikan kembalian pada sang ayah, Ojan meletakkan kembaliannya di atas telapak tangan Haris dan mengucap terima kasih. “Ntar gue ganti di atas apa gue satuin aja jadi uang bensin?” ucap Ojan.
“Bensin aja, dah!” balas Haris. Setelahnya pemuda itu meneguk soda di dalam kaleng merah itu dengan khidmat. Mumpung nggak ada Mama.
“Sha tapi kan kalo nggak bayar utang dosa, Sha.” Haris kembali berujar setelah meminum sodanya.
“Ya emang iyaaaa!!! Tapi kan gue bayar!!!!!” balas Ayesha tidak terima.
“Kalo kata gue sih lo siap-siap aja api neraka, Sha,” balas Haris lagi. Dhimas tertawa di tempatnya seraya menunjuk Haris, “Brengsek banget ni orang mulutnya nih!”
“Tau emang jahat banget! Damar, temen lo nih rante aja kalo istirahat besok-besok!” balas Ayesha.
“Dikerangkeng aja kerangkeng,” Aghniya menimpali.
“Loh, kok jahat? Kan emang betul kalo lo nggak bayar utang mah siap-siap api neraka. Tanya aja tuh Damar kalo nggak percaya,” ucap Haris lagi. Pria itu menunjuk Damar yang menjawabnya dengan anggukan dan senyuman tertahan.
“Tuhhh, Sha. Kata gue si lu packing dah, siap-siap kena api neraka, lu udah tinggal masuk doang, Sha,” canda Haris.
“Lu juga packing, anjir! Mulut jahannam lu juga akan membawa lu masuk sana, Ris,” sahut Aghniya. Gadis itu membela temannya kali ini.
“Iya ege, Haris kan yang jaga gerbangnya,” ucap Ojan.
“WAHAHAHAH Bener! Makanya dia kan di sini jaga gerbang mulu tiap pagi tuh sebenernya Haris lagi training jaga pintu neraka ege,” Dhimas ikut menimpali.
“WAHAHAHAHAHAH, IYA JUGA YA ANJRITT GUE JAGAIN GERBANG MULU. Ya nanti ketemu pintu surga aja ya Allah nggak mau pintu neraka,” Haris menanggapi.
“Kagak, gue yakin nanti pintu surga kalo liat lu dari jauh langsung nutup sendiri. Langsung 'idih males ah ada Haris' gitu,” ucap Ayesha ekspresif. Gadis itu bahkan menggendikkan bahu saat berbicara. Membuat Aghniya di sebelahnya semakin terbahak-bahak.
“Ni orang brengsek juga ya mulutnya,” ujar Haris seraya menunjuk Ayesha di hadapannya. “HEH LU NGACA YA!” balas Ayesha.
Baru saja Haris ingin memperpanjang perdebatan dirinya dengan Ayesha, sebuah suara mengalihkan atensinya.
Haris menoleh, mendapati Gia yang kini memegangi pundaknya yang entah bagaimana caranya bisa basah. Beruntung gadis itu mengenakan seragam olahraganya, bukan seragam untuk belajar formal di kelas. Matanya menajam, memperhatikan siapa yang berani-beraninya membasahi baju seorang Anggia. Senyum mengembang di wajahnya pun sirna.
Dilihatnya orang itu hanya berjalan melalui Gia dan Zahra tanpa ada niat untuk meminta maaf. Rahangnya mengeras, namun baru saja Haris ingin bangkit, Zahra sudah lebih dulu memaki pemuda yang seenaknya berlalu itu.
“Woi! Kalo tau diri minta maaf kali, lo nyiram temen gue tapi nggak ada rasa bersalahnya sama sekali?! Baju temen gue basah!” ujar Zahra. Memang seringkali orang-orang salah menilainya. Zahra yang biasanya terlihat di mata orang lain adalah Zahra yang selalu imut, bersikap seolah-olah seorang adik kecil yang tidak akan mencari ribut. Namun, Zahra yang sebenarnya keluar hari ini.
Haris mengurungkan diri untuk bangkit, pemuda itu memilih bertukar pandang dengan Aghniya yang juga mengisyaratkannya untuk menahan diri dan tetap memperhatikan situasi sebab sudah ada Zahra yang dapat mewakili keduanya. Pun ia melihat Gia yang kini berusaha menenangkan Zahra.
Pemuda itu menoleh dan kembali menghampiri Gia dan Zahra dengan wajah sombongnya. “Apaan sih? Kesiram gitu doang aja lebay banget. Orang nggak sengaja juga. Nggak sampe basah kuyup juga, kan?” balasnya.
Amarah Zahra meningkat. Pemuda di hadapannya itu benar-benar tidak tahu sopan santun. “Ohh gitu?” ujarnya.
Setelahnya secepat kilat Zahra merebut botol plastik berisi air putih dingin milik Gia dan menyiramkannya pada pemuda itu. Tepat di wajahnya.
“Anjing, apa-apaan sih?!”
Zahra mengangkat sebelah alisnya, “Apaan sih? Kesiram gitu doang aja LEBAY BANGET! Nggak sampe basah kuyup juga kan? Makan tu aer! Gue sumpahin masuk angin tujuh turunan lu!”
“Ayo, Gi!” ucap Zahra menarik lengan Gia yang masih tercengang di tempatnya. Gadis itu sama sekali tidak menyangka Zahra akan seberani ini. Namun ketika keduanya akan melangkah, pemuda itu kembali bicara.
“Eh, lo nggak tau siapa gue?!”
Zahra berbalik dengan tampang berani. Gadis itu tak gencar sama sekali. “Tau gue. Lo Giovanno Sadewa yang katanya selebgram itu kan?! Nggak peduli. Mau selebgram atau anak presiden sekalipun, kita semua sama di sini. Nggak usah songong deh lo, nggak usah belagu dan merasa lo paling hebat di sini. Followers lo banyak nggak serta-merta ngejadiin lo punya alesan untuk semena-mena di sini ya, Gio. Gue tunggu maaf lo ke temen gue, kalo lo tau diri.”
Setelahnya ia benar-benar menarik Gia pergi menjauh dari sana. Meninggalkan Gio yang masih terdiam di sana, mengendus tidak suka seraya menyeka wajahnya yang tersiram air dingin.
Dari kejauhan, Haris tersenyum miring seraya terkekeh. “Canggih juga tetangga lu, Ni.”
“Didikan gue mah canggih,” balas Aghniya.
“Tapi tadi gue denger namanya Gio. Cocok dah kayaknya ama Gia. Biar jadi Gia-Gio, kalo Gia-Haris kayaknya kurang cocok ya?” canda Dhimas yang tawanya langsung meyembur tepat ketika ia melihat tatapan tidak terima datang dari Haris.
“Besok gua ganti nama, Dhim. Gue urus akte gue sekalian. Emang penghuni neraka lu!” balas Haris jengkel. Setelahnya ia bangkit dan meninggalkan teman-temannya yang masih puas menertawainya.