Someone You Could Turn To

Sepulang sekolah Gia sudah dengan semangat menunggu di kursi panjang berisikan tas-tas yang ditinggal pemiliknya selagi menunggu ekskul basket dimulai. Gadis itu tak henti-hentinya tersenyum dan mengayunkan kakinya seraya menaruh pandang pada lapangan yang mempersembahkan setiap orang yang berlalu-lalang dengan pesonanya masing-masing.

Seperti teman-teman satu ekskulnya yang lain, gadis itu pun sudah berganti baju menggunakan celana dan kaus pendek dengan surai panjangnya yang sudah terikat rapi menjadi sebuah ponytail. Sesekali matanya memejam merasakan angin sore yang menerpa wajahnya. Gia berada dalam suasana hati paling baik lantaran menanti sang pujaan hati hari itu. Sampai ketika ia mendapati seseorang mengisi tempat di sebelahnya.

Dengan semangat Gia menoleh, namun senyumannya seketika luntur ketika mendapati orang itu bukanlah yang ia nantikan. Di sebelahnya, adalah Giovanno Sadewa yang dengan senyumannya menyodorkan sebuah cokelat yang sama dengan yang kemarin ia terima ke hadapannya.

“Nih! Buat lo, Gi,” ucap Gio.

Gia memundurkan tubuhnya sedikit, namun senyumnya berusaha ia pertahankan. “Hah? Eh—nggak usah Gio, yang kemarin juga masih ada kok!” Gia menolak halus.

Namun pemuda itu pantang menyerah, “Nggak apa-apa, Gi. Buat stock camilan di rumah.”

“Ya ampun, nggak usah, Gio. Beneran deh! Camilan di rumah aku masih banyak, takut nggak kemakan,” balas Gia. Masih berusaha menolak pemberian Gio.

“Gitu ya? Tapi masa lo nggak mau nerima pemberian gue sih, Gi? Gue beli ini susah payah loh. Ujan-ujanan semalem gue beli ini, karena gue beneran berniat ngasih lo ini. Lagian, gue kan temen SD lo, Gi. Lo sendiri yang bilang kan dulu kita deket banget, sering main bareng. Kita pisah lama banget loh, masa sekarang kita ketemu lagi lo nggak mau nerima pemberian gue? Lo ngindarin gue ya, Gi?” cecar Gio. Dalam hati ia menyeringai puas mendapati Gia yang mulai terjebak dalam rasa bersalah dan tidak enak hati.

“B-bukan gitu, Gio. Tapi beneran deh, aku takutnya jadi mubazir aja. Soalnya yang kemarin aja belum aku makan. Kamu kasih orang lain aja ya?” ujar Gia.

Gio berdecak, “Masa dikasih orang lain? Gue tuh usaha beli ini ya buat lo, Gi. Bukan buat orang lain. Terima ya?”

Gia sama sekali tak tahu harus bagaimana lagi ia menolak pemberian Gio. Gadis itu sejujurnya enggan, dan dirinya tak sepenuhnya berbohong sebab memang benar. Cokelat pemberian Gio yang ia terima kemarin pun sama sekali belum disentuhny. Jika ia menerima satu lagi, maka hanya akan memenuhi lemari camilan di kamarnya yang entah kapan akan ia habiskan.

Namun semesta berpihak kepadanya kali ini. Entah hanya kebetulan atau memang keduanya ditakdirkan bersama, Haris tiba untuk memasukkan seragamnya ke dalam tas yang ternyata ia letakkan di sebelah Gia. Tepat di mana Gio mendudukkan dirinya. Secara tidak langsung, berniat ataupun tidak, Haris memiliki alibi yang sah untuk mengusir Gio dari sana.

Sorry, misi dong! Tas gue di belakang lo,” ucap Haris. Tatapan dinginnya ia arahkan tepat pada Gio yang menatapnya tanpa takut.

Gio tersenyum meremehkan, “Iya, ambil aja. Sorry juga nih, bisa nggak bawa tas lo ke sana aja? Gue lagi ngomong sama temen gue, nih.”

Gia membelalakkan matanya detik itu juga. Berani-beraninya Gio mengusir seorang Haris. Seorang Kak Haris yang disegani seluruh manusia di sekolah ini?

Gadis itu menelan ludahnya kasar, diarahkan pandangannya pada Haris yang dengan jelas memasang raut wajah tersinggung lantaran diusir oleh seseorang yang sama sekali tidak tahu sopan santun. Haris mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa harus gue yang pergi? Tas gue jelas-jelas di sini dan lo yang duduk di depan tas gue. Gue udah berusaha menghargai lo dengan minta baik-baik, tapi lo malah begini?”

Suasana menegang antara Haris dan Gio. Sementara satu-satunya perempuan di antara mereka itu kini memandang keduanya dengan bibir yang bergetar. Dalam hatinya ingin melerai, namun kalau boleh jujur, Gia tidak seberani itu. Apalagi ketika melihat Haris memasang raut wajah semarah yang ia tampakkan di depan mata gadis itu.

Haris kembali meletakkan tasnya yang sudah sempat ia jinjing, kali ini dengan sebuah hentakan yang cukup untuk membuat Gio dan Gia terkejut. Setelahnya ia membanting sepatu yang akan ia gunakan untuk bermain basket ke lantai, membuat dirinya terlihat jauh lebih menyeramkan. “Minggir!” ucap Haris. Pelan, namun intonasinya cukup untuk membuat jantung Gia seakan berhenti sesaat meski ucapan itu bukan tertuju padanya.

“Lo nggak denger? Gue bilang gue lagi ngobrol sama temen gue, lo aja yang pergi!” balas Gio, rupanya ia masih tak gentar untuk meninggalkan tempat itu.

“Lo juga nggak denger? Gue bilang minggir. Gue nggak peduli lo lagi ngobrol kek, lagi ngaca kek. Urusan lo nggak sepenting itu untuk bikin gue pergi dari sini. Ngerti?” balas Haris tegas.

Setelahnya, Gio terlihat sangat jengkel lantaran tak dapat lagi membalas perkataan Haris. Setelahnya pria itu menoleh pada Gia, berusaha tersenyum meskipun hatinya memanas tersulut emosi. “Gi, ini gue taro sini ya! Gue cabut dulu!”

Gia mengangguk kaku, kemudian seraya tersenyum kecil gadis itu membalas, “I-iya, makasih Gio.” Kemudian dengan cepat Gia menyimpan cokelat itu di tempat menaruh minum sebelah kiri pada tasnya.

Seperginya Gio, Gia hanya menunduk tanpa berani bersuara. Gadis itu berkali-kali menelan ludahnya dan berusaha menetralkan detak jantungnya. Kepalanya tertoleh cepat ketika mendengar kekehan yang berasal dari Haris. “Kalo nggak suka kasih orang aja, Gi!” ucapnya. Gia terperangah sepersekian detik mendapati nada bicara dan raut wajah yang berbanding terbalik dengan ketika Haris berbicara pada Gio.

Haris tersenyum semakin lebar kala Gia tak kunjung menjawab. “Kenapa, takut?”

Barulah saat itu gadis itu mengerjapkan matanya. Menatap Haris yang kini memakai kaus kakinya. Setelahnya ia tersenyum tipis, “Abis Kakak kayak marah banget gitu.”

“Ya iya, tapi kan marahnya sama dia. Bukan sama kamu,” balas Haris.

Detik itu juga, Gia merasakan hatinya menghangat seiring panas menjalar di pipinya. Dengan segera ia memalingkan wajah, menyembunyikan pipinya yang sudah pasti memerah.

“Dia temen kamu?” tanya Haris, pura-pura tidak tahu.

“Temen SD, Kak.”

Haris mengangguk-angguk, “Dia tuh yang waktu itu nyiram kamu kan?”

“Iya bener—eh, Kakak liat?”

“Saya waktu itu di kantin lagi ngobrol sama yang lain,” jawab Haris yang kemudian hanya mendapat anggukan dari Gia.

“Kak, boleh nanya nggak?” tanya Gia.

Haris menoleh sesaat sebelum akhirnya menjawab, “Tanya aja.”

Gadis itu nampak ragu meski Haris sudah mengizinkannya bertanya. Namun pada akhirnya pertanyaan itu berhasil diluncurkan setelah melihat wajah Haris yang meyakinkannya untuk mengutarakan apa yang ingin dirinya tanyakan. “Kakak—kalo lagi ngumpul sama temen-temen Kakak tuh bahasnya apa?”

Haris sedikit terkejut, sebelum menjawab, pria itu memikirkan dulu jawabannya. “Banyak. Macem-macem. Kayaknya kalo sama temen-temen saya, apa aja juga dibahas deh. Soalnya mereka nggak jelas.”

Gadis itu mengangguk-angguk, namun Haris dapat dengan mudah menangkap raut wajah yang masih belum lega. Pria itu tahu, masih ada yang disimpan oleh Gia. “Kenapa emangnya? Kamu digangguin anak tongkrongan?”

Gia menoleh cepat, “Hah? Enggak kok, Kak. Tapi gimana ya..”

“Menurut Kakak, laki-laki tuh boleh atau enggak bahas bentuk tubuhnya perempuan?” tanya Gia tiba-tiba yang sejujurnya membuat Haris terkejut. Namun berhasil segera ia kendalikan.

Pria itu terdiam hingga beberapa saat. Tidak tahu jawaban apa yang harus ia sampaikan sebab dirinya tak pernah menyangka akan mendapat pertanyaan seperti ini dari Gia. Namun ia tak masalah, situasi ini familiar baginya. Sama seperti ketika kedua adiknya menanyakan pertanyaan yang di luar nalarnya, Haris pun memaklumi Gia. Mengingat gadis itu pun pernah bercerita mengenai sang ayah yang berada jauh darinya serta ibunya yang sibuk berkarir, membuat Haris paham akan suatu hal. Gia tidak memiliki seseorang yang bisa langsung ia tuju ketika merasa tidak nyaman.

“Menurut saya, nggak bisa disamaratakan juga sih. Tergantung konteksnya apa. Temen-temen Mama saya lelaki, tapi mereka kerjaannya malah bahas bentuk tubuh perempuan soalnya mereka perancang busana. Mau nggak mau memang harus ngerti. Yang jelas sih, Gi, kalo itu bikin kamu nggak nyaman, kamu boleh tegur atau langsung jauhin aja. Dan itu nggak berlaku buat laki-laki aja sih, buat siapapun. Bahkan kalo dia temen deket kamu sekalipun.”

“Gitu ya, Kak?”

Haris mengangguk, “Kamu punya hak kok untuk ngutarain apa yang kamu rasain. Kalo misalnya ada candaan atau omongan temen kamu yang bikin kamu tersinggung atau terganggu, bilang aja. Saya sering kok sama temen-temen saya begitu. Sama Ojan biasanya, kalo dia bercandanya udah keterlaluan pasti saya bilang.”

“Biasanya Kakak bilang apa?” tanya Gia.

“Saya bilang, 'bercandaan lo dikit lagi bikin tangan gue mampir ke muka lo', nanti abis itu dia nyengir doang.”

Setelahnya Gia hanya tergelak dengan suara tawa renyah yang membuat Haris turut melepaskan sebuah lekukan di bibirnya. “Udah nanyanya?”

“Udahh, makasih banyak ya, Kak! Maaf jadi nanya-nanya,” balas Gia.

“Nggak apa-apa. Lain kali kalo mau ditanya tapi bingung nanya siapa, tanya saya aja nggak apa-apa. Jangan dipendem sendiri, nanti bisulan!” ucap Haris seraya mengikat tali sepatunya.

Gia terperangah, “Emang iya apa?”

“Coba aja kalo nggak percaya,” canda Haris yang kemudian mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Kini di tangannya terdapat dua bungkus beng-beng yang pada akhirnya ia sodorkan ke hadapan Gia. Seraya tersenyum, Haris kembali berucap, “Nih, buat hari ini sama kemarin.”

Berbeda dengan saat ia menerima pemberian Gio, sebuah senyuman tercetak jelas di wajah Gia. Gadis itu menerimanya dengan senang hati. “Makasih, Kak Hariss!”

Haris hanya terkekeh tanpa membalas ucapan terima kasih Gia. “Yang ini bakal dikasih orang nggak?” tanya Haris. Merujuk pada biskuit cokelat pemberiannya.

Sekon berikutnya gadis di hadapannya itu menggeleng, “Enggak, lah.”

“Kenapa?”

“Soalnya—” yang ini dari Kak Haris.

“Soalnya yang ini kan dapetinnya usaha dulu. Bangun pagi dulu, berangkat ke sini pagi-pagi biar nyampenya jam 06.15 atau kurang dari itu,” balas Gia disertai usaha kerasnya untuk menahan tawa yang akan meledak akibat dadanya membuncah begitu hebat.

Haris mengangguk-angguk sambil tersenyum meledek, “Ooh, kirain karena dari saya.”

“Pede!”