Us Three

Dengan membonceng kedua adiknya, Haris membawa mereka ke sebuah taman tak jauh dari rumah yang memang ramai pengunjung ketika sore hingga malam hari. Haris tak berharap apapun, ia hanya ingin menyegarkan pikiran serta menghabiskan waktu dengan kedua adiknya setelah sekian lama tidak bermain dengan keduanya lantaran jadwal sekolah yang berbeda.

Ketiganya berjalan menyusuri taman yang dipenuhi sinar lampu warna-warni yang berpendar cantik. Pelengkap yang tepat untuk sebuah taman pada malam hari, menambah suasana romantik nan mengangatkan hati meski angin malam semakin dingin.

Haris mengambil posisi di tengah, kedua tangannya tak menganggur lantaran digunakan untuk bertautan dengan tangan adik-adiknya yang lebih kecil. Haris menggenggam tangan keduanya erat di kedua sisinya. Telapak tangannya yang paling besar di tengah-tengah keluarga seolah adalah representasi bahwa dirinya-lah yang harus menjaga anggota lain dalam keluarganya. Melindunginya dan mendekapnya hangat hingga tak seorang pun jumpai bahaya.

Sementara si anak sulung berjalan dengan santai, berusaha mengurangi lebar langkahnya supaya adik-adiknya tak kesusahan menyamai langkahnya, sang anak tengah dan bungsu sudah sibuk celingak-celinguk. Memilah-milah jajanan mana yang harus pertama kali dihampiri sebab semuanya nampak memanjakan mata.

“Mau ke mana dulu?” Haris memulai sebuah komunikasi terbuka, membebaskan adik-adiknya untuk memberi jawaban.

“ES KRIM KAKKK!!” jawab Haura semangat. Haris terkekeh kemudian menoleh pada Hanum yang masih belum memberi jawaban, “Hanum mau ke mana?”

“Mau corn dog dong, Kak. Tapi di sanaaa,” balas Hanum. Menunjuk arah yang berlawanan dengan yang dimaksud Haura.

“Mau beli sendiri? Kakak temenin Haura dulu, nanti kita ketemu di meja itu aja tuh. Gimana?” usul Haris yang langsung mendapat persetujuan dari Hanum. Dengan semangat gadis itu menadahkan tangannya, meminta uang dari sang kakak yang berjanji memberikan traktiran.

“Kakak mau juga nggak?” tanya Hanum. “Mau mau, samain aja kayak punya kamu. Nanti sekalian Kakak beli jajanan yang lain abis itu kita makan bareng di situ,” jawab Haris.

“OKEEE! SEE YOU! Daah Hauraa! Kak Hanum ke sana dulu yaaa!”

Setelahnya mereka berpisah. Selang sepuluh menit, ketiganya kembali berjumpa di tempat yang sudah disepakati. Haris meletakkan sekantung penuh jajanan dengan berbagai jenis. Bakso bakar, sosis goreng, takoyaki, serta tiga air putih dingin kini hadir memenuhi meja. Sementara Hanum yang kembali dengan hanya membawa dua buah corn dog itu terperangah. “KAKAK?! Banyak banget, abis emangnya ini?”

“Halah lo kayak nanti nggak ikut makan aja!” balas Haris. Sekon berikutnya Hanum tertawa, “Iya sih, tapi tetep aja ini berasanya banyak banget.”

“Ini kok pedes semua, Kak? Nanti Haura makan apa?” tanya Hanum.

Haris menggeleng, “Enggak, ini takoyaki nggak pedes kok isinya keju. Atasnya juga cuma saos tomat, ini sosis nggak pedes juga.”

Mendengar jawaban Haris yang begitu memikirkan adik bungsu mereka, Hanum bertepuk tangan, “Keren banget emang kakakku. Jadi makin sayyyyang deeeech!”

Haris bergidik, “Jijay!”

“Duduk sini, nanti Kakak ambil kursi lagi,” titah Haris pada Hanum yang masih berdiri. Setelahnya pria itu bangkit guna mengambil kursi untuk dirinya sendiri dan kembali bergabung dengan Hanum dan Haura.

“Haura awas kena baju yaa esnya!” ucap Hanum lembut. “Tissue-nya mana?”

Gadis kecil itu tak menjawab, ia hanya asik mengeksekusi es krimnya dan menunjukkan selembar tissue yang ia letakkan di atas meja. Setelahnya Hanum hanya mengangguk dan mengacungkan jempol pada Haura sebelum akhirnya mulai memakan makanannya.

“Kemaren kamu kok belajar, Num? Emang udah ulangan?” tanya Haris yang juga mulai memakan makanannya.

“Udah, ulangan harian gitu. Guruku minta ulangan tiba-tiba soalnya beliau nggak mau nanti pas ulangan harian materinya malah kebanyakan. Katanya materi sedikit aja nilainya anjlok semua gimana kalo banyak, hehehehe.”

Haris mengangguk-angguk, “Ohh. Tapi bisa?”

“Bisaa, masih awal jadi masih belom terlalu susah, Kak. Lagian juga guruku ngajarnya enak, aku jadi nggak sungkan nanya sama beliau kalo emang aku nggak ngerti. TAPI YA, pas pertama kali beliau masuk aku kayak—TAKUT banget. Eh tapi pas udah kenal asik banget ternyata,” celoteh Hanum panjang lebar.

Sejujurnya, ini-lah yang Haris tunggu-tunggu setiap kali berkumpul bertiga dengan adik-adiknya. Mereka bisa bertukar cerita hingga akhirnya Hanum dan dirinya berakhir tertawa bersama lantaran menahan gemas pada sang bungsu yang tingkah lakunya selalu menghangatkan hati.

Haris selalu mensyukuri momen ini, bahkan jika ia bisa menghentikan waktu, Haris akan menghentikannya pada momen ini. Haris senang rutinitas seperti ini tak pernah menghilang dari dalam hidupnya.

Dulu, Haris-lah yang menjadi penutur cerita. Sementara mama dan papa akan duduk manis, menatapnya dengan penuh cinta seraya menyimak ceritanya yang disampaikan dengan penuh ekspresi. Haris kecil selalu berbahagia setiap kali melakukan itu. Meja makan rasanya adalah jantung yang menghidupkan suasana rumah. Sebab di sana selalu terkumpul anggota keluarganya, selalu terkumpul keluh dan kesah yang pada akhirnya disingkirkan dengan pelukan hangat.

Sekarang, Haris dengan senang hati menjadi pendengar. Haris dengan senang hati menjadi seseorang yang menatap adik-adiknya dengan penuh cinta seraya menyimak cerita mereka dengan seksama. Pemuda itu dengan senang hati melakukannya, sebab kebahagiaan yang sama bahkan berlebih dengan yang ia miliki ketika kecil bagi adik-adiknya adalah harapan yang tak pernah berhenti ia langitkan.

“Kakak tau nggak? Tadi pulang sekolah aku kan ke tempat Mama, terus Haura juga di sana, kan,” ucap Hanum lagi. Haris mengangguk sebagai bukti bahwa ia mendengarkan setiap tutur kata yang keluar dari mulut Hanum.

“Mama cerita Haura disuruh gambar lagi sama sekolahnya,” ucap Hanum. “Gambar mulu ege sekolahnya. Kagak ada kerjaan lain apa ya? Suruh ngitung kek adek gue, suruh baca cerita gitu, ini ngegambaaaaaaar mulu!” protes Haris.

Hanum tergelak, “IYA KAN! Gambar mulu ya namanya juga TK, Kakak kalo nggak suka mending Kakak aja yang jadi kepala sekolahnya!”

“Iya besok gue ngelamar deh jadi kepala sekolahnya! Eh, terus gimana?”

Hanum tersenyum kemudian beralih pada Haura yang sedari tadi sibuk sendiri. “Haura, cerita dong tadi disuruh gambar apa di sekolah?”

Gadis kecil itu mendongak menatap kedua kakaknya, “Hauwa disuruh buat gambar sama disuruh ceritain pekerjaan kepala keluarga di rumah, Kak. Waktu Hauwa tanya temen-temen, katanya kepala keluarga itu Papa.”

Jawaban gadis itu membuat Haris kembali tertohok, pria itu secepat kilat melirik ke arah Hanum. Alisnya bertaut ketika mendapati ekspresi Hanum yang sama sekali tidak menampakkan kesedihan. “Hauwa kan nggak punya Papa—”

“Terus Haura gambar apa?” tanya Haris. Pandangannya kembali ia taruh pada Haura yang juga sama sekali tidak menunjukkan raut wajah sedih seperti saat pertama kali ia menanyakan soal papa.

“Gambar Kakak,” jawab Hanum. Haris seketika menoleh kembali, “Kok gambar Kakak?”

Haura tersenyum tanpa beban, gadis itu terkekeh sebelum menjawab. “Temen-temen Hauwa kan pada gambar papanya. Hauwa nggak punya papa dari dulu, Kak. Hauwa punyanya Kak Hawis, dari Hauwa bayi sampe sekarang, Hauwa punyanya Kak Hawis. Jadi aku gambar Kakak,” balasnya.

Haris terperangah mendengar jawaban yang rasanya tak mungkin keluar dari mulut seorang gadis berumur lima tahun. Detik berikutnya pria itu tersenyum meskipun nyaris meneteskan air matanya. “Pinter banget, sih?” ucap Haris seraya mengusap pucuk kepala Haura. Gadis manis itu tersenyum ceria hingga menampillan deretan giginya yang bersih dan rapi lantaran tak pernah absen disikat setiap pagi dan malam.

“Makasih ya, nanti kasih unjuk Kakak gambarnya oke?” ucap Haris pada Haura. “Terus katanya suruh ceritain, Haura cerita apa?”

“Hauwa bilang, Kakak masih sekolah. Sekolahnya jauh. Kak Hawis pinter banget, Kakak baikkk sekali sama Hauwa, Hauwa suka dibeliin jajan, suka dijemput sekolah, suka diajak jalan-jalan. Hauwa sayang banget sama Kak Hawis,” celotehnya.

Haris memeluk dirinya sendiri, setelahnya memilih mengumpat di bahu Hanum yang juga terbahak-bahak. Sudah dibilang, keduanya sama sekali tidak dapat menahan gemasnya si adik bungsu.

“Iyaa, Kak Haris juga sayang banget sama Haura. Tapi sebenernya, kepala keluarga kita itu Mama. Besok kalo ditanya kepala keluarga kita siapa Haura udah tau ya jawabannya?” balasnya. Haura kemudian mengangguk ceria.

I have the picture of her drawing, by the way,” ucap Hanum. Haris melirik gadis itu semangat, “Mana mau liat dong!”

Dengan segera Hanum mengeluarkan ponselnya dari dalam saku hoodie yang dikenakannya. Kemudian menunjukkan hasil gambar Haura pada sang kakak. Haris tersenyum penuh, setelahnya sebuah kekehan lolos dari bibirnya.

“Ini ceritanya Kak Haris pake seragam?” tanya Haris pada Haura. Haura hanya mengangguk dengan tatapan polosnya.

Seraya terkekeh, Haris kembali membalas. “Seragam Kakak sekarang warna abu-abu, sayang.”

Masih dengan tatapan polosnya, Haura kembali menjawab. “Abu-abunya nggak ada, Kak.. ilang..”

Seketika tawa Haris dan Hanum menyembur bersamaan. Rupanya rencananya berhasil, tak ada lagi kekesalan dalam hatinya akibat cemburu melihat Gia dan Alwan sepulang sekolah tadi. Amarahnya berhasil sirna dengan waktu yang ia putuskan untuk dihabiskan bersama adik-adiknya.

Perkataan Haura ada benarnya. Adik-adiknya memang tidak memiliki sosok orang tua yang lengkap seperti yang dimiliki Haris kecil dahulu kala. Namun kurangnya seorang itu tak menjadikan keluarga yang dimiliki Hanum dan Haura tidak lengkap.

Sebab selain mama, it's always been them three.