Battle
Tidak seperti biasanya, kali ini Gia berjalan bersama Alwan menuju kantin sebab Zahra sedang tidak bisa diganggu. Gadis itu sedang buru-buru menyelesaikan laporan praktikum Biologi miliknga yang harus segera dikumpulkan sebelum bel masuk berbunyi.
“Alwan mau beli minum?” tanya Gia. Pemuda itu mengangguk. “Lo mau beli juga?”
“Mau dong, Wan. Tapi sama punya Zahra juga. Nitip mylo ya dua ehehe. Kamu mau beli donat nggak? Sini aku beliin biar cepet,” balas Gia.
Setelahnya raut wajah Alwan berubah ceria, “Nah, yang begini nih gue demen. Nitip ya, Gi. Goceng.”
“Ya Allah banyak banget,” ucap Gia terperangah. Setelahnya Alwan hanya terkekeh dan menyerahkan selembar uang lima ribu ke tangan Gia sebelum akhirnya mengantre untuk membeli minum.
“Ibu, donatnya lima ribu, ya! Sama ini deh,” ucap Gia seraya mengambil empat buah basreng yang akan ia gunakan sebagai amunisi penghilang kantuk pada jam-jam pelajaran terakhir. Bersama Zahra, gadis itu suka sekali memakan camilan diam-diam.
“Eh, Gi!” panggil seseorang. Saat gadis itu menoleh, nampak di sebelahnya Gio berdiri menghadapnya. Gia menelaah penampilan lelaki itu dari ujung kepala hingga kakinya. Seragam sekolahnya bahkan sudah keluar dari celananya sebelum jam pulang, dasinya sudah tidak bertengger di kerah yang juga tidak dikancing—entah sengaja atau tidak. Batinnya diam-diam membandingkan penampilan Gio dengan Haris yang selalu nampak rapi dan menawan meski bel pulang sudah berbunyi.
“Halo, Gi!” balas Gia. “Sendirian aja?” tanya pemuda itu.
“Enggak, tadi sama temenku cuma dia lagi beli minum,” balas Gia lagi.
Gio mengangguk-angguk, “Cokelatnya udah dimakan, Gi?”
“Belum, masih aku simpen. Buat di rumah aja,” ucap Gia beralasan. Sejujurnya gadis itu bahkan tidak berminat untuk menerima cokelat pemberian Gio. Meskipun mahal, tapi rasanya Gia tidak membutuhkannya.
“Oh, pasti karena nggak rela dimintain orang ya kalo dibuka di sini?” tanya Gio dengan seringainya. Nampak begitu yakin dengan tebakannya.
Gia tak banyak bicara, gadis itu hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan Gio. Setelahnya—terima kasih kepada ibu kantin—gadis itu memalingkan wajah seiring pesanan donat milik Alwan sudah siap. Setelah membayar, Gia berniat pamit dan menghindari Gio. Namun pria itu kembali berujar, sebelah alisnya terangkat melihat satu plastik berisi lima buah donat bertabur gula bubuk itu di tangan Gia. “Lo makan sebanyak itu, Gi? Gokil juga lo! Gue kira makan lo sedikit makanya bisa jadi kurus begini? Nggak taunya masih sama aja kayak SD?”
Gia mengerutkan alisnya, “Maksudnya?”
Gio tersenyum meremehkan, setelahnya menggeleng seraya tertawa. “Enggak, cuma mau ngasih tau aja. Jangan gendut-gendut, badan lo segini tuh udah bagus banget, Gi! Jangan banyak makan ya, nanti jadi.. sorry nih, nggak menarik,” ucap Gio.
Gia semakin mengerutkan keningnya. Dirinya sedikit tersinggung dengan perkataan Gio yang baru saja masuk ke telinganya. Setelahnya gadis itu mengangguk dengan senyum dipaksakan, “Iya, makasih Gio sarannya. Tapi pertama, donat ini punya temenku. Kedua, aku nggak butuh terlihat menarik di mata kamu juga, sih.”
Sekon berikutnya Gia meninggalkan Gio. Gadis itu tak lagi peduli apakah perkataannya melukai Gio atau tidak, sebab hari itu pemuda itu pun melanggar batas. Ia tak peduli lagi terhadap pemikiran Gio akan dirinya. Gia benar-benar tidak peduli. Gadis itu memilih menghampiri Alwan yang masih belum selesai dengan urusannya.
“Wan, nih punya kamu!”
Pemuda jangkung itu menoleh, “Udah, Gi? Cepet amat. Gue masih lama nih, maaf ya. Lo mau duluan aja atau gimana? Nanti gue bawain minumnya ke atas nggak apa-apa, kok!”
“Nggak apa-apa?” Gia memastikan. Setelahnya Alwan mengangguk. Namun gadis itu malah ragu, rasanya ia pun tak ingin kembali ke kelas sendirian.
“Nggak usah deh, Wan. Aku di sini aja. Nanti kamu malah susah lagi bawa minumnya,” ucap Gia lagi. Gadis itu kemudian berdiri di sebelah Alwan, menemaninya menunggu pesanan.
“Lo tadi ketemu siapa, Gi?” tanya Alwan seraya melipat tangannya di depan dada.
Gia menoleh, “Hm? Gio.”
“Gio? Gio anak IPS?”
“Iya, kamu kenal, Wan?”
“Enggak sih, tapi kan dia emang terkenal,” balasnya disertain tawa ringan.
“Iya juga sih, hehehe.”
“Lo kenal Gio, Gi?” tanya Alwan.
“Iya, temen SD sih. Dulu emang deket gitu, tapi sekarang kayaknya males deh, Wan.”
“Kenapa?”
“Nggak tau, Gio-nya udah beda aja. Sekarang dia jadi.. aneh.”
Alwan tidak langsung membalas, pemuda itu tampak diam dan memikirkan sesuatu di kepalanya. Rasanya ia ingin tahu lebih lanjut, namun di sisi lain Alwan pun menghargai privasi Gia.
“Emang lo nggak aneh, Gi?” tanya Alwan.
“Maksudnya?”
“Lo kan juga aneh, kemaren aja roll depan malah ke samping bukan ke depan,” ejek Alwan. Pemuda itu menutup mulutnya guna menyembunyikan tawanya.
Balasan Alwan membuat Gia membelalakkan matanya, sekon berikutnya tawanya lepas mengingat kejadian memalukan dirinya sendiri ketika pengambilan nilai olahraga. Saat itu semua peserta didik harus melakukan dua gerakan, roll depan dan sikap lilin. Namun ketika Gia akan melakukan roll depan, bukannya menggelinding ke arah depan, Gia malah menggelinding keluar matras. Masih terpatri jelas dalam ingatan Alwan betapa memerahnya wajah gadis itu akibat menahan malu lantaran menjadi bahan tertawaan semua orang yang menyaksikan.
“Ih kamu mah! ITU AIB AKU JANGAN DIOMONGIN LAGI!”
Alwan tidak menggubrisnya, pemuda itu sibuk tertawa terbahak-bahak. “Gimana gimana, Gi? Contohin dong!”
“Alwaaaaaan! Jangan dibahas lagi tolong banget!!!!! Maluuuu!!!!!” ucap Gia mengguncang tubuh Alwan yang bahkan tidak bergerak seinci pun oleh tenaganya.
“Aib apanya sih, Gi?”
“Ya aib lah kan aku malu! Jangan dibahas lagiiiii! Udah nggak?!”
Alwan masih asik tertawa, membuat Gia berusaha menutup mulut Alwan. Pemuda itu menghindar, menahan tangan Gia yang mengudara dengan sebelah tangannya. “Iya iya, udah udah! Nggak gue bahas lagi nggak,” ucap Alwan seraya terkekeh.
“Bener ya?!”
“Bener, tapi gimana, Gi kok disuruh jungkir balik ke depan tapi malah minggir gitu?”
“ALWAN IH MALESIN BANGET!”
Mendengar protesan Gia, Alwan kembali terkikik geli. Kemudian secara otomatis menghentikan tawanya ketika Gia mengerucutkan bibir seraya melipat tangannya di depan dada. Satu kata yang terlintas dalam benaknya, menggemaskan.
“Jangan cemberut, Gi. Bulet jadinya mukanya. Nanti dikira lima tahun, loh! Soalnya pipinya makin bulleeedd!” canda Alwan.
“Jangan ngomong sama aku, kita nggak kenal!”
Alwan tersenyum menahan tawanya. “Beneran tapi, kan orang tua kalo ngeledekin anak kecil begitu. 'Adek umur berapa, Dek? Bulat sekali pipinya utututututu' gitu!”
Sebuah senyuman mulai mengembang di wajah Gia, matanya kembali melirik Alwan yang berada di sebelahnya. “Wan, please, deh!”
Alwan terkekeh, “Jangan ngambek makanya!”
“Ya kamu jangan ngomongin itu lagi makanya! Rahasia aja rahasia!”
“Rahasia gimana orang satu kelas kita udah tau?!”
“Ya tapi kan kalo kamu ngomongin terus nanti jadi satu sekolah tau!”
“Hahahaha, iyaaa iya enggak—YA UDAH UDAH JANGAN NYUBIT. Ampun, ampun. Damai,” ucap Alwan sambil menunjukkan peace sign.
“Dah jangan marah-marah nih, makan donat!” ujar Alwan lagi. Pria itu menyodorkan satu buah donat ke depan wajah Gia. Sengaja membuat gula bubuk itu mengenai dagunya.
“Ih, iseng banget sih?” protes Gia seraya tertawa. “Ini lengket dagu aku nanti jadinya!”
Alwan terkekeh seraya menggigit donat yang ia beli, setelahnya pemuda itu mengusap dagu gadis di hadapannya, menghilangkan jejak gula bubuk yang menempel di sana akibat ulahnya. “Ngomel mulu dah. Tinggal dilap aja gini loh!”
“Nyebelin banget sih kamu, Waaan?”
“Tapi kan kalo lo sabar jadi banyak pahalanya, Anggiaaaaa!”
Gia mendelik, “Malesin banget! Kayak nggak ada ibadah yang lain aja!”
Sekon berikutnya keduanya kembali tertawa. Gia bersyukur hari itu Alwan-lah yang menemaninya ke kantin, sebab emosinya akibat perkataan Gio tadi kini berhasil hilang. Meskipun menyebalkan dan begitu jahil, keberadaan Alwan di dekatnya tak pernah membuatnya merasa terganggu atau tidak nyaman. Sebaliknya, dengan Alwan, gadis itu merasa banyak sekali waktu yang berlalu terasa mengesankan.
Menjadi seseorang dengan hidup monoton yang hanya tahu sekolah, les, lalu kembali pulang membuat Gia tak sempat bersosialisasi dengan banyak orang sewaktu SMP. Satu-satunya media untuknya bersosialisasi adalah ketika mengikuti ekskul, tempat di mana ia bertemu dengan Hanum. Maka tak jarang gadis itu merasa kesepian di hari-harinya yang masih terlalu panjang untuk dihabiskan sendirian di rumahnya yang selalu kosong.
Memasuki masa SMA, awalnya Gia tak berharap banyak. Gadis itu tak mengharapkan masa SMA sebagaimana yang sering diiklankan orang-orang. Namun pikirannya berubah semenjak bertemu dengan Alwan dan Zahra. Melihat keduanya selalu berdebat bahkan hanya untuk sekadar giliran menggunakan penggaris pinjaman, membuat Gia tahu, bersama kedua temannya itu, masa SMA-nya terasa jauh lebih indah. Mungkin ditambah satu orang lagi yang pada akhirnya berhasil menumbuhkan benih-benih asmara dalam hati kecilnya, membuatnya merasakan hal-hal baru yang menurutnya, fantastis.
“Udah nih, mau naik nggak? Bengong aja sih dari tadi?”
Ucapan Alwan berhasil mengembalikan Gia pada realita. Sekon berikutnya dengan sigap ia mengambil alih minumannya dan minuman Zahra agar tidak merepotkan Alwan. “Ngagetin aja! Ayo naik!”
“Ngomel mulu nanti cepet tua Gia ih! Mana minumnya dua-dua lagi, emang lo nggak beser, Gi?”
“Ini kan punya Zahra satu lagi.”
“Kirain lo minum dua-duaan gitu.”
“Ya enggak lah?!”
Keduanya berjalan seraya bercengkerama, dengan Alwan yang masih setia menjahili Gia. Membuat gadis itu melesat mengejar Alwan hingga keduanya menghilang di balik tembok. Sayangnya, tanpa keduanya ketahui, interaksi mereka sama sekali tak luput dari penglihatan seseorang yang diam-diam memperhatikan dari salah satu meja.
Haris berdecak dalam hati, rahangnya mengeras seiring tatapannya berubah menusuk. Hatinya memanas, benaknya mengatakan bahwa ini adalah sebuah pertarungan. Biasanya Haris adalah orang yang selalu menerima apapun hasil pertarungannya. Pemuda itu tidak terlalu peduli menang atau kalah. Namun kali ini berbeda.
Untuk pertarungan yang satu ini, Haris tak akan menoleransi sebuah kekalahan.