Osis yang Ta'at

Seperti biasa Haris datang pagi. Tak ada yang berbeda dari sebelumnya, pria itu akan segera menaruh tas di ruang OSIS dan meletakkan beng-beng di saku almetnya untuk diberikan pada seseorang yang selalu ia tunggu di gerbang sekitar pukul 06.15 pagi.

Yang berbeda hanyalah celana yang ia kenakan. Entah mengapa rasanya ia tidak melangkah seleluasa biasanya. Kerap kali ia menarik-narik celananya sebab bagian pahanya terasa ketat. Pula ia berkali-kali merasakan tidak nyaman pada mata kakinya yang terasa lebih terekspos dari biasanya.

“Kenapa sih, Ris? Lu rusuh sendiri gue liat-liat dari tadi,” ucap Dhimas, yang seperti biasa setia di sebelahnya.

“Tau, dah. Dari tadi nggak bisa diem. Kebelet pipis lo? Sana ke toilet dulu nggak masalah,” balas Yuna yang juga mendapat giliran jaga.

Haris menoleh seraya mengernyit, “Kagakk. Ini nih, celana gue nggak enak hari ini nggak tau kenapa.”

Dhimas dan Yuna otomatis menunduk, mengarahkan pandangannya pada celana Haris yang memang lebih ketat dan pendek.

“Lo nggak salah pake celana, Ris? Itu pendek sih emang, terus ketat banget,” balas Yuna.

“Iya ya? Masa sih, Kak? Gue ngambil di mana ya tadi. Masih ngantuk banget tadi pagi gue ngambil baju, apa salah kali ya?” tanyanya seraya masih terus memperhatikan celananya, depan dan belakang. Setelahnya ia terkekeh, “Emak gue kok diem aja sih anaknya pake celana begini? Apa dia nggak sadar juga ya? Tapi biasanya dia paling teliti kalo soal baju anak-anaknya. Sedih gua jadinya.”

Sementara Dhimas dan Yuna tertawa, muncul Pak Asep yang datang sembari melipat tangannya di depan dada. Otomatis ketiga pengurus OSIS itu menyalami Pak Asep. Tiba giliran Haris, mata tajam Pak Asep menangkap celana Haris yang berbeda dari biasanya.

“Muhammad Haris biasanya sepertinya OSIS yang ta'at,” ujar Pak Asep dengan pengucapan kata 'taat'-nya yang khas.

Dhimas dan Yuna sudah memalingkan wajah, menahan agar tawa mereka tak meledak. Sementara Haris tercengang di tempatnya. Ia tahu hari ini akan menjadi hari yang memalukan baginya. Hari ini ia akan menjadi bulan-bulanan satu sekolah. Bagaimana tidak? Seorang pengurus OSIS yang biasanya begitu tegas dan galak menyita perlengkapan siswa-siswi dan membuat mereka terkena poin, malah melanggar aturan.

“Bosan ya? Hari ini makanya mau bandel, begitu?” tanya Pak Asep.

“Enggak, Pak. Ini tadi salah ambil celananya, saya salah pake celana. Yang ini udah kecil, saya juga baru sadar barusan,” jawab Haris. Tangannya itu masih setia menjabat tangan Pak Asep sebab beliau masih enggan melepaskannya.

“Ah, masa iya? Kamu nih. Memangnya nggak malu kamu? Saya pikir kamu ini OSIS yang ta'at tapi ternyata sama saja?” ucap Pak Asep lagi.

“PAK INI BENERAN NGGAK SENGAJA YA ALLAHHHH, ta'at beneran deh aslinya mah. Ini pinjem ke BK dulu deh celana, yang ini jangan digunting yak?” balas Haris.

“Kenapa atuh nggak boleh digunting? Supaya bisa dipakai kembali begitu?” tanya Pak Asep.

“Ya Allah.. ya sayang atuh, Pak digunting-gunting. Bisa saya lungsurin ke tetangga saya yang badannya kecil.”

“Nggak bisa begitu, kamu kan biasa tegas. Masa sama dirimu sendiri mendadak nggak tegas begitu? Sini guntingnya, Dhimas!” ucap Pak Asep. Kemudian Dhimas menyerahkannya seraya tertawa.

“Maap ye, Ris. Bukan kagak cinte, nih!” ucap Dhimas.

Setelah gunting itu berada di tangan Pak Asep, Haris berjalan mundur. “Pak, ini semua bisa kita bicarakan baik-baik, Pak,” ucapnya seraya menahan senyum. Di sisi lain, Yuna dan Dhimas sudah tertawa hingga berjongkok-jongkok.

“Kamu mau diem atau sekalian saya gunting rambut kamu?” tanya Pak Asep. Ancaman itu langsung membuat Haris diam tak berkutik dan memilih untuk merelakan celana abu-abunya digunting begitu saja.

“BAPAK BULU KAKI SAYA JANGAN IKUT DIGUNTING YA ALLAH!”

“Apa sih? Orang saya gunting celanamu ini, lho!”

“Tapi sakit, Pak, ya ampunn! Guntingnya nusuk-nusuk betis begini.”

“Ya kamunya nggak bisa diem!”

“YA GIMANA MAU DIEM PAK SAYA KETAR-KETIR!”

“Ya kenapa ketar-ketir? Orang Bapak gunting celana kamu bukan kaki kamu,” balas Pak Asep.

“Dih tapi dari tadi bulu kaki saya ikut kegunting, ini mah nyampe rumah botak nih,” balas Haris tak mau kalah. Memang hanya Haris-lah yang berani mendebat Pak Asep, guru Matematika yang terkenal dengan label cerewet dan merepotkan itu.

“Udah dong, Pak. Ini udah kegunting begini masih aja mau gunting lagi. Bapak nggak kasian sama saya? Nanti saya masuk angin gimana?” ujar Haris. Tangannya terangkat di udara sebagai pertahanan dari gunting Pak Asep yang selalu siap menghunus celananya yang sudah tergunting menjadi pola asal-asalan. Membuatnya compang-camping di setiap sisi.

Setelahnya Pak Asep mengalah dan menyerahkan kembali gunting itu pada Dhimas. Sang guru pun tertawa melihat Haris menatap nanar pada celananya yang kini rusak dan menjadi tak layak pakai. “Sana ke BK, minta celana lagi,” ucap Pak Asep seraya tertawa.

“Bapak mah. Emang ada ukuran saya, Pak? Pasti pada ngatung semua tau, Pak! Emang Bapak tega banget, dah!”

“LAH IYA PAK HARIS KAN KAKINYA PALING PANJANG SENDIRI HAHAHAHAH! Pasti nggak ada ukuran dia, Pak. Jatohnya nanti sama aja kayak dia pake celana ini, sempit terus ngatung,” Dhimas menimpali.

“Oh iya, ya?” tanya Pak Asep. Pria paruh baya itu kemudian menatap Haris, sesaat kemudian tertawa terbahak-bahak.

“Kan... Bapak, kan....”

Pak Asep kini mengikuti jejak Yuna dan Dhimas untuk menertawakan Haris yang memasang wajah jengkel setengah mati. Bagaimana tidak? Setiap pagi harusnya ia berbahagia sebab bertemu Gia di gerbang sekolah, namun hari ini ia harus menuju BK untuk mencatat poinnya sendiri dan meminjam celana yang entah tersedia dalam ukurannya atau tidak.

“Ya sudah sana ke BK. Semakin lama kamu berdiri di sini nanti betulan masuk angin,” ucap Pak Asep seraya kembali melipat kedua tangannya di depan dada.

“Ngakak banget demi Allah lu kayak mau fashion show, Ris!” ujar Yuna. “Jalan ke sana gih, runway-nya ke BK langsung WAHAHAHAHAH!”

“Jahat banget padaan,” gerutu Haris. Kemudian ia melepas almetnya dan berjalan menuju BK. Namun, sebelum itu ia memilih untuk mendekatkan diri dengan Dhimas dan menyelundupkan beng-beng yang selama ini ia sembunyikan di saku almetnya.

“Nitip.”

“Nitip ini doang nih?” tanya Dhimas.

“Nitip salam sekalian, deh.”

Dhimas terkekeh, “Duh, Kak. Makanya jadi OSIS yang ta'at dong. Gerbang macetin lagi nggak, nih?”

“Anjeng,” umpat Haris. Membuat tawa Dhimas semakin lepas.

“Weh, mau ke mana lu?” tanya Dhimas ketika melihat Haris langsung berlari secepat kilat menuju ruang BK.

“BK LAH! TAKUT KEBURU DATENG ANAKNYA NANTI MUKA GUE TARO MANA KALO DIA LIAT CELANA GUE BEGINI?!”

Sebagai teman yang baik, Dhimas tertawa semakin geli. Setelahnya ia hanya menggelengkan kepalanya bersama Yuna dan Pak Asep yang masih tak habis pikir dengan Haris.

“Muka doang sangar, sama aja anehnya kayak kamu, Dhim,” ucap Pak Asep. “Nggak heran saya kamu temenannya sama Jauzan. Yudhistira juga sama itu. Kelihatannya aja kalem, aslinya mah haduh. Bisa ancur satu sekolah kayaknya kalo dihuni kalian berempat doang.”

“WAHAHAH YA ALLAH BAPAK, bener sih. Emang mereka sama aja, Pak. Makanya temenannya berempat doang nggak punya temen lagi,” ujar Yuna.

“Deeeee, yang penting saya OSIS yang ta'at, Pak!” balas Dhimas.