Sudah pulang sekolah, Dhimas dan Damar pun sudah berganti pakaian. Keduanya kini kembali bertemu sesuai perjanjian, membahas sesuatu di antara mereka sebelum terjadi salah paham. Atau yang lebih parah, rusaknya hubungan persahabatan mereka.
Keduanya kini duduk berhadapan di tempat yang biasa mereka datangi berempat. Namun, meskipun begitu, keduanya sama sekali tak merasa canggung walau kali ini hanya datang berdua. Baik Dhimas maupun Damar, keduanya merasa hal ini harus diluruskan.
“Lo— udah denger yang gue omongin ke Haris, Dhim?” tanya Damar.
Dhimas menyeruput minuman yang ia pesan seraya mengangguk menjawab Damar.
“Sekali lagi, sorry banget, gue nggak bermaksud ngomongin lo di belakang,” ujar Damar lagi. Dhimas menghela napas sembari tersenyum. “Santai aja, gue ngerti kok.”
“Jujur, waktu Revan bilang gitu gue bingung. Sebenernya gue juga nggak mau percaya, tapi tetep aja gue kemakan juga omongannya,” ujar Damar lagi.
Hening sejenak. Damar memilih menjeda bicaranya seraya memainkan jemarinya guna menepis ragu. Haruskah ia tanyakan ini? Bukankah harusnya ia mempercayai Dhimas yang sudah menjadi sahabatnya tanpa ragu?
“Jadi— lo sama Aghniya tuh gimana, Dhim?” tanya Damar. Setelah lewati banyak pertimbangan dan perdebatan dalam dirinya, akhirnya pertanyaan itu keluar juga.
Dhimas menerawang sebelum menjawab, “Hmm. Gue sama Aghni?”
“You seem to love her that much,” ucap Damar.
Dhimas terkekeh, “Siapa yang enggak? Revan yang brengsek gitu aja nggak bisa lepas dari Aghni.”
“Serius?” tanya Damar.
Dhimas mengangguk yakin. “Tadi Aghni akhirnya cerita, soalnya waktu itu dia nggak sempet cerita karena gue ngurusin Mama. Waktu lo nemenin dia ngerjain tugas Bahasa, pas lo lagi keluar, Revan sempet cegat dia.”
Damar membelakakkan matanya, “Serius?”
Dhimas mengangguk untuk kesekian kalinya. Membuat rasa bersalah tiba-tiba menyeruak dalam hatinya. Seharusnya ia tidak meninggalkan Aghniya sendirian kala itu. Ingatannya akan mata Aghniya yang berkaca-kaca, membuat Damar lantas menghela napas berat.
“Harusnya gue nggak ninggalin dia waktu itu. Sorry,” ucap Damar.
“Lo nggak salah. Aghni nggak diapa-apain, kok. Revan cuma nanya kenapa Aghni benci sama dia,” balas Dhimas.
“Tapi waktu ketemu gue lagi matanya kayak mau nangis gitu? Beneran nggak diapa-apain?”
Dhimas terkekeh, “Kayak nggak tau omongan Revan aja. Ngeselin.”
“Balik lagi, soal gue sama Aghni,” ucap Dhimas. Damar mengangguk kecil kemudian menyiapkan telinganya untuk mendengar ucapan Dhimas dengan seksama.
“Gue sayang sama Aghni, iyaaaa bisa dibilang begitu. Gue nggak suka dia nangis, gue nggak mau dia kenapa-napa, gue nggak mau dia sakit. Fisiknya, hatinya,” ucap Dhimas.
“Soalnya dia juga gitu sama gue. Keluarganya juga gitu sama gue. That makes us a family. Bukan lovey-dovey kayak yang dibilang orang-orang,” lanjut Dhimas.
“Abis putus dari Revan, Aghni jadi lebih pendiem. Jarang ketawa juga, padahal lo tau kan anaknya se-berisik apa?”
Damar mengangguk menjawab pertanyaan Dhimas. Benar, meskipun belum menjadi teman, Damar selalu mengetahui Aghniya adalah orang yang bicara tanpa henti. Rasanya kalau gadis itu bisa, maka ia akan mengajak ngobrol semua orang di muka bumi.
“Tapi, pas tau gue diem aja juga gara-gara si itu pindah sekolah, dan karena masalah Ayah, Aghniya langsung berisik lagi. Ngajak gue bercanda, ngajak gue ngobrol. Dia sama sekali nggak ngasih gue waktu buat bengong. Gue menyendiri, tapi dia nggak pernah bikin gue merasa sendiri,” ucap Dhimas. “Makanya gue juga sebisa mungkin, nggak membiarkan dia merasa sendirian.”
“Gue beneran dukung lo sama Aghni kok, Dam. Kalian temen gue, gue kenal kalian kayak apa. And i think you guys are really meant for each other.“
“Jujur gue nggak pernah tenang kalo tau Aghni kenapa-napa tapi gue nggak bisa nemenin. Tapi waktu gue nggak masuk kemaren, gue bisa tenang,” ujar Dhimas.
“karena gue tau ada lo yang selalu liatin dia dari jauh, Dam,” sambung Dhimas.
Damar yang sedari tadi diam, melirik ke arah Dhimas. Mencari tahu apakah pemuda itu sungguh-sungguh dengan ucapannya.
“Aghni bahagia waktu sama Revan. Tapi, cara dia ngeliat kehadiran lo di hidup dia itu beda sama cara dia ngeliat Revan,” ujar Dhimas lagi.
“Aghniya selalu pengen temenan sama lo sebenernya, haha. Tapi dia ngerti gelagat lo nggak nyaman setiap dia main sama gue atau Ojan Haris. Makanya dia nggak berani reach lo waktu itu.”
“Sebenernya Aghni selalu nanya ke gue, tentang lo. Kenapa lo jutek banget sama dia waktu itu hahahaha. Kadang dia juga suka sebel, katanya lo kalo disapa suka melengos aja. Tapi abis itu dia tetep bilang lo keren. Keren banget. Gue juga nggak ngerti jalan pikirannya, emang aneh,” jelas Dhimas.
Damar mengumbar senyum tipis yang kian merekah. Tak bisa dipungkiri, hatinya berbunga mendengar penuturan Dhimas mengenai Aghniya yang selalu berusaha berinteraksi dengannya.
Pada akhirnya Damar tak lagi menahan senyumnya, pria itu membiarkannya merekah mewakili perasaannya terhadap gadis itu yang kian membuncah.
“Nah, mampus dah lo. Sekarang elu kan yang kena karma. Demen juga kan lo sama temen gue,” ejek Dhimas.
Damar hanya tertawa, “Yaa, gimana yaa. A girl like her is impossible to find..“
Dhimas mengangguk, “Setuju.”
“Gue harap abis ini lo nggak bingung lagi ya, Dam? Gue dukung lo sama Aghniya 100%. Karena kalo enggak, dari awal gue nggak akan nitipin topi yang lo pinjem ke dia biar lo berdua nggak temenan,” ucap Dhimas lagi.
Damar tertawa malu, “Oh iya ya anjir! Lo paling berjasa dah! Makasih ya, Dhim. Sumpah makasih banyak! Kalo nggak gara-gara itu gue sama Aghni nggak bakal temenan sih.”
Dhimas tertawa, namun setelahnya berdecak jengkel. “Lo tau nggak? Abis lo ajak temenan, Aghni malemnya telepon gue isinya tereak-tereak doang ngaung-ngaung kayak orang kesurupan.”
“Hah? Serius? Gimana?” Damar penasaran. Pemuda itu bertanya seraya menahan senyumnya.
“Gue baru ngangkat ya kan, belom juga bilang halo, tiba-tiba dia udah 'DHIMAAAAAAASS SUMPAH LO TAU NGGAK SIH HUEEEEEEEEEEEEEEEE HUUUUUUUUU HNGGGGGG GIMANA DONG' gitu,” jawab Dhimas.
Damar lagi-lagi tak bisa menahan senyumnya. Lagi-lagi bahagia mendengar jawaban Dhimas perihal gadis yang mengisi hatinya. Rupanya begini rasanya jatuh cinta. Kini Damar mengerti alasan dibalik setiap rona yang muncul di pipi ibu ketika ia bercerita perihal bapak yang menanyakan keberadaan ibu. Pula, Damar mengerti alasan dibalik setiap gelagat bapak yang salah tingkah tiap kali melihat ibu selesai berdandan untuk menghadiri sebuah acara.
Damar mengerti rasanya jatuh cinta. Dan pria itu bersyukur dirinya jatuh pada seorang yang diciptakan Tuhan dengan begitu indah. Parasnya, lakunya, serta hatinya.
“Mingkem!” titah Dhimas pada Damar yang tak henti-hentinya tersenyum lebar hingga lesung pipinya terlihat sempurna, pun deretan giginya yang rapi.
“Nyengir aja lo! Salting lo jelek!” ujar Dhimas lagi. Sementara Damar merapatkan bibirnya. Kemudian mendelik tak suka. “Sirik aja lo!”
Keduanya kini terdiam. Dhimas menghela napas lega. “Dam, bareng ya?”
“Apaan?”
“Jagain Aghni.”
Damar tertegun sesaat. Kemudian mengulas senyuman tipis di wajahnya sebelum mengangguk yakin. “Pasti.”
“Kalo nggak dijagain gue ngeri makin bececeran,” canda Dhimas.
“Apanya?” tanya Damar.
“Otaknya, hahahaha,” balas Dhimas. Kemudian keduanya tergelak bersama.
Setelah gelak tawa keduanya reda, Dhimas kembali berucap.
“Dam, deal ya? Jagain Aghni bareng-bareng.”
“Deal.”
“Nah, sakit perut tujuh turunan lo kalo boong sama gue,” ucap Dhimas yang kemudian dibalas gelak tawa Damar.
Namun, keduanya tetap berjabat tangan. Sebagai teman yang baru saja hindari kesalahpahaman, sebagai teman yang baru saja hilangkan keraguan dan pemicu pertengkaran.
Juga sebagai sepasang sayap pelindung untuk bidadari yang layak untuk keduanya jaga.