raranotruru

Sepulang sekolah, Damar sudah menunggu di depan kelas Aghniya. Pria itu bersandar pada teralis balkon sekolahnya. Sesekali melempar senyum dan salam pada guru yang ingin kembali ke ruangan lantaran sudah selesai mengajar.

Damar setengah terkejut ketika mendengar seisi kelas Aghniya mengucap salam pada guru mata pelajaran terakhir. Kemudian ia kembali mengumbar senyum dan tundukan hormat pada guru yang baru saja keluar dari kelas gadis itu.

Tak lama setelahnya Damar menangkap Aghniya dengan penglihatannya. Gadis itu tengah merapikan rambutnya dengan mengikatnya ulang menjadi ponytail rendah. Cantik, pikirnya. Senyuman sangat tipis di sudut bibirnya mewakili suaranya yang terpendam.

Matanya tak lepas dari gadis itu. Aghniya yang sesekali memukul Dhimas yang mencoba mengganggunya membereskan buku. Sesekali tersenyum ramah pada temannya yang mengembalikan barang pinjaman. Hingga akhirnya Aghniya keluar kelas setelah beberapa saat. Matanya sedikit melebar dengan pancaran binar yang membuatnya semakin menggemaskan.

“Halooo! Udah di sini aja, Masnya.”

Damar terkekeh, “Dari tadi. Kelas gue keluar duluan.”

“Hah serius? Lama dongg?”

“Nggak pa-pa. Bentar lagi Asar, salat dulu ya?” ujar Damar.

“Iyaaa. Azan jam berapa emang?” tanya Aghniya.

“Lima menit lagi, turun aja, yuk?”

“Weh Kodamar!” panggil Dhimas. Damar hanya mengangkat sebelah alisnya menjawab Dhimas. “Salat di sini?”

“Iya, orang bentar lagi juga. Ntar gue nyampe parkiran azan kan gimane gitu,” balas Damar.

Setelahnya ketiga remaja itu memutuskan untuk segera ke masjid sekolah kemudian menunggu beberapa saat. Namun, setelah waktu azan tiba rupanya hanya ada segelintir orang yang hadir di sana.

“Azan, Dam!” titah Dhimas.

“Kok gue sih?”

“Buruaaan, lo azan gue qomat,” balas Dhimas. “Jangan kabur lo ya! Biasanya ngomong gitu abis itu wudhu-nya dientar-ntarin, giliran disuruh qomat malah kabur,” kesal Damar.

“Iyeee, buru ah. Ngambek muluu kek bocah,” balas Dhimas.

Pada akhirnya pemuda itu mengumandangkan azan dengan suaranya yang merdu. Membuat seorang gadis yang sedaritadi bermain ponsel itu tercengang. Suara Damar tersimpan di luar kepala. Tanpa perlu menoleh dan melirik wujudnya, Aghniya tahu ini suara Damar.

Masya Allah, ya Allah, astaghfirullah...

Damar menyelesaikan kumandang azan-nya dengan baik, sangat baik. Sembari Aghniya merapikan hatinya yang berantakan akibat suara halus Damar, gadis itu membaca doa setelah azan.

Gadis itu baru saja ingin bangkit dan mengambil wudhu, namun sebelum sempat berjalan, ia menangkap Damar yang mengintip dibalik celah tirai yang membatasi jamaah lelaki dan perempuan.

Pria itu tersenyum kemudian bicara pelan pada Aghniya yang memang duduk di saf paling depan, dekat dengan tirai pembatas. “Kirain tidur, nggak ada suaranya.”

Aghniya tersenyum sebelum membalas dengan suara yang sama pelannya, “Nggak lah!”


Seusai salat, Aghniya memakai sepatunya. Sesekali melirik ke arah kumpulan laki-laki, mencari keberadaan Damar yang kemudian dengan mudah gadis itu temukan. Pemuda itu bahkan belum memakai sepatunya, masih asik bercanda dengan Dhimas serta adik kelas yang tiba-tiba menyapanya.

Setelah selesai dengan urusannya, Damar melirik Aghniya. Tatapan keduanya bertemu, kemudian Damar memberi isyarat ajakan untuk segera bergegas yang kemudian Aghniya jawab dengan anggukan.

Gadis itu berjalan lebih dulu, melalui Damar dan gerombolan laki-laki itu. Berpura-pura tidak ada urusan dengan Damar.

“Duluan, yaa! Duluan, Dhim!” pamit Damar. Pria itu meraih ranselnya asal. Setelah langkahnya sejajar dengan gadis yang disusulnya, Damar menegurnya. “Tungguin kali.”

Aghniya menoleh lalu tertawa. Setelahnya keduanya berjalan beriringan menuju parkiran seraya menahan degup jantung masing-masing yang kian berubah tempo menjadi dua kali lebih cepat.

Yasmine berjalan gontai menuju rumahnya sendiri. Ia sengaja memilih turun dari taksi di depan gerbang komplek rumahnya. Berjalan santai mungkin akan membantunya melegakan hati yang berat malam itu.

Gadis itu memilih berhenti pada taman yang sama yang ia datangi sore tadi. Namun, kali ini memilih duduk menjauh dari pohon. Gadis itu duduk di ayunan yang menganggur. Meskipun dalam hatinya ia merasa ketar-ketir, takut akan bahaya yang menghampiri, Yasmine tetap menepis semua takutnya. Ia butuh ketenangan.

Yasmine menatap kosong ke sembarang arah. Gadis itu hanya diam seraya merasakan embusan angin dingin yang menerpa kulitnya. Pikirannya pun menerawang pada perkataan eyang putrinya belum lama tadi. Perihal keluarganya yang dengan riang mengatakan bahwa mereka lebih bahagia menghabiskan waktu tanpa dirinya.

Sesekali Yasmine menerka-nerka, apakah kesalahan yang ia buat di masa lalu hingga membuatnya begitu dibenci oleh keluarga besarnya? Apakah perbedaan yang dimilikinya hingga membuatnya begitu dikucilkan?

Sesekali Yasmine menerka-nerka, apakah bayangannya akan hidup dengan penuh cinta dan pengakuan akan terwujud suatu hari nanti? Akankah suatu hari ia akan mendapat kesempatan menggengang tangan sang ayah?

“Neng, sendirian aja?”

Seseorang menepuk pundaknya membuat Yasmine terlonjak. Ia nyaris berteriak sangat kencang jika tidak lantas menyadari seseorang yang kini berdiri di hadapannya.

“Ihhh, astaghfirullah, Daffa! Ngagetin aja!” balas Yasmine seraya menepuk pundak Satria.

Pemuda itu terkekeh, “Malem-malem, sendirian, bengong lagi. Bahaya tau, kalo kesambet gimana, Yayas?”

Yasmine menghela napas seraya mengumbar senyuman tipis pada wajah cantiknya yang terlihat lesu. Jejak air mata yang mengering di pipinya pun membuat Satria mengerutkan keningnya.

“Kok di luar malem-malem gini? Bawa tas segala, lo lagi mau jadi rebel apa gimana?” tanya Satria.

Rebel?” sahut Yasmine bingung.

“Iya lo lagi mau kabur dari rumah apa gimana?” tanya Satria lebih jelas.

“Ah, haha. Enggak. Tadi aku disuruh nyusul ke rumah Eyang sama Mas Jiel, soalnya dia, Ayah, sama Bunda disuruh nginep di sana.”

“Terus udah ke sana? Atau lo lagi nunggu ojol di sini?” tanya Satria.

“Enggak, Daf. Aku udah ke sana, tapi pulang lagi.”

“Kenapa?”

Yasmine terdiam sejenak. Gadis itu menunduk dan menghela napas kecewa sebelum menjawab. “Mereka nggak pengen aku gabung di sana, Daf.”

Satria lantas tertegun mendengar jawaban Yasmine. Ia hanya bisa mengangguk-angguk paham dengan perasaan tidak enak menyeruak dalam diri. Merasa salah melontarkan pertanyaan.

“Lo udah makan, Yas?” tanya Satria.

Yasmine menggeleng. “Nggak mau makan, masih kenyang.”

“Boong banget, nggak ada orang belom makan tapi kenyang,” balas Satria lagi.

Yasmine hanya terkekeh membalasnya. “Kamu ngapain di luar juga? Kenapa ya, tiap aku lagi sedih pasti ketemu kamu terus?”

“Itu tandanya gue harus menghibur lo, Yas. Makanya, lo kalo sedih hubungin gue aja. Nanti pasti ketawa,” balas Satria dengan senyum manisnya yang bisa Yasmine lihat dengan bantuan lampu taman yang kekuningan.

“Ini gue abis beliin Bang Juna makanan. Nasi goreng yang waktu itu kita ketemu. Bang Juna masa baru bangun, Yas. Kuat banget doi tidurnya,” cerita Satria.

“Oh iya? Ih ya udah kamu buruan pulang ajaa! Kasian Kak Juna nungguin makanannya.”

“Santai. Gue pulangnya nanti aja bareng lo. Gue ngeri lo bengong lagi terus nanti beneran kesambet,” balas Satria.

“Aku nggak pa-pa, Daf. Ini juga mau pulang, kok.”

“Ya udah, bareng aja yuk? Gue bawa motor, lumayan kan, lo nggak capek jalan. Tas lo pasti berat.”

“Hm? Ng- nggak usah deh, aku jalan kaki aja,” sahut Yasmine.

“Yakin? Udah gelap, loh. Liat tuh kanan kiri, yang terang cuma taman ini doang.”

Ucapan Satria membuat Yasmine dengan segera memperhatikan sekeliling. Benar, hanya taman yang ia tempati yang memiliki penerangan yang cukup terang. Sekelilingnya banyak rumah yang sudah gelap, hanya ada cahaya dari lampu-lampu jalan. Gadis itu bergidik ngeri.

“Tapi kalo nggak mau nggak pa-pa, gue nggak maks—”

“IKUT! AKU IKUT YA, DAFF?”

Satria terkekeh melihat Yasmine kembali menggenggam lengannya erat dengan ketakutan yang sama seperti sore tadi ketika ia menjumpai gadis itu diganggu lelaki tongkrongan yang entah berasal dari mana.

“Iyaa, ayo. Sini tasnya, taro depan aja biar nggak berat!” balas Satria.


Di atas motor, Yasmine tak banyak bicara. Gadis itu merasa sangat canggung lantaran ini merupakan kali pertama baginya berboncengan dengan pemuda lain selain kakaknya sendiri. Satria melirik sekilas dari spion, kemudian sudut bibirnya berkedut menahan tawa melihat ekspresi bingung yang menggemaskan milik Yasmine.

“Kenapa, Yas?”

“Hah? En- enggak.”

“Grogi?” tanya Satria.

“E-enggaaak, biasa aja.”

“Hahaha, kalo grogi ya nggak pa-pa. Ayo ngobrol, biar nggak grogi,” ucap Satria.

“Ngobrol apa?”

“Lo tau nggak dulu waktu kecil gue pernah manjat pohon terus nggak bisa turun,” Satria memulai cerita.

“Kok bisa? Ngapain kamu manjat pohon?”

“Dulu temen gue pada saingan gitu. Pada sombong bisa naik pohon mangga depan rumah punya tetangga. Nah, gue nggak mau kalah dong. Gue ikutan manjat nih. Behh, lancar kan pas naik sat set sat set, pas mau turun gue nggak bisa turun. Terus temen-temen gue manggilin Ibu gue deh,” lanjut Satria.

Yasmine mulai tertawa, “Terus diapain sama Ibu kamu?”

“Ya dimarahin dulu baru dibantuin turun. Ibu bilang 'teroooss, naik teros yang jauh! Sukurin kamu nggak bisa turun, jadi anak kok buuuaanndeleee minta ampun!' gitu. Nyuruh naik terus tapi dibantuin turun, kan aneh, ya?”

Yasmine tertawa semakin keras. “Eh, Mas Jiel juga dulu kecil bandel tauu! Dia pernah main sepeda gitu, kata Bunda jangan ngebut-ngebut soalnya jalanannya lagi dibenerin, got-nya pada kebuka gitu kan. Terus Mas Jiel iya iya aja. Pas pulang badannya udah item semua dari pala sampe kaki, katanya kecebur got. Sepedanya juga ditinggal Daaaf! Hahahaha.”

Satria ikut tertawa, “Terus itu Mas Jiel ditolongin siapa pas keluar got?”

“Sama abang-abang yang lagi bersihin got-nya! Terus dia nggak boleh masuk sama Bundaa, soalnya kotor banget. Jadi mandi di luar hahahaha,” balas Yasmine.

Keduanya lanjut bercerita sepanjang jalan menuju rumah Yasmine. Diam-diam, Satria tersenyum tipis. Dalam hatinya merasa lega karena berhasil mengubah kerutan sedih pada wajah Yasmine menjadi kerutan tawa. Dan pemuda itu berharap agar hanya tawa dan senyuman bahagia yang menguar dari gadis itu.

Yasmine berjalan gontai menuju rumahnya sendiri. Ia sengaja memilih turun dari taksi di depan gerbang komplek rumahnya. Berjalan santai mungkin akan membantunya melegakan hati yang berat malam itu.

Gadis itu memilih berhenti pada taman yang sama yang ia datangi sore tadi. Namun, kali ini memilih duduk menjauh dari pohon. Gadis itu duduk di ayunan yang menganggur. Meskipun dalam hatinya ia merasa ketar-ketir, takut akan bahaya yang menghampiri, Yasmine tetap menepis semua takutnya. Ia butuh ketenangan.

Yasmine menatap kosong ke sembarang arah. Gadis itu hanya diam seraya merasakan embusan angin dingin yang menerpa kulitnya. Pikirannya pun menerawang pada perkataan eyang putrinya belum lama tadi. Perihal keluarganya yang dengan riang mengatakan bahwa mereka lebih bahagia menghabiskan waktu tanpa dirinya.

Sesekali Yasmine menerka-nerka, apakah kesalahan yang ia buat di masa lalu hingga membuatnya begitu dibenci oleh keluarga besarnya? Apakah perbedaan yang dimilikinya hingga membuatnya begitu dikucilkan?

Sesekali Yasmine menerka-nerka, apakah bayangannya akan hidup dengan penuh cinta dan pengakuan akan terwujud suatu hari nanti? Akankah suatu hari ia akan mendapat kesempatan menggengang tangan sang ayah?

“Neng, sendirian aja?”

Seseorang menepuk pundaknya membuat Yasmine terlonjak. Ia nyaris berteriak sangat kencang jika tidak lantas menyadari seseorang yang kini berdiri di hadapannya.

“Ihhh, astaghfirullah, Daffa! Ngagetin aja!” balas Yasmine seraya menepuk pundak Satria.

Pemuda itu terkekeh, “Malem-malem, sendirian, bengong lagi. Bahaya tau, kalo kesambet gimana, Yayas?”

Yasmine menghela napas seraya mengumbar senyuman tipis pada wajah cantiknya yang terlihat lesu. Jejak air mata yang mengering di pipinya pun membuat Satria mengerutkan keningnya.

“Kok di luar malem-malem gini? Bawa tas segala, lo lagi mau jadi rebel apa gimana?” tanya Satria.

Rebel?” sahut Yasmine bingung.

“Iya lo lagi mau kabur dari rumah apa gimana?” tanya Satria lebih jelas.

“Ah, haha. Enggak. Tadi aku disuruh nyusul ke rumah Eyang sama Mas Jiel, soalnya dia, Ayah, sama Bunda disuruh nginep di sana.”

“Terus udah ke sana? Atau lo lagi nunggu ojol di sini?” tanya Satria.

“Enggak, Daf. Aku udah ke sana, tapi pulang lagi.”

“Kenapa?”

Yasmine terdiam sejenak. Gadis itu menunduk dan menghela napas kecewa sebelum menjawab. “Mereka nggak pengen aku gabung di sana, Daf.”

Yasmine mengemas barang-barangnya ke dalam sebuah tas yang kiranya cukup untuk menampung semua kebutuhannya. Gadis itu melakukannya dengan terpaksa, mengingat ucapan sang kakak yang jika dipikir banyak benarnya. Bisa bahaya baginya jika berada sendirian di rumah pada malam hari. Manusia berencana, namun Tuhan yang menentukan. Yasmine tetap tidak tahu apa yang akan terjadi nanti meski ia merasa aman-aman saja sejak tadi. Maka gadis itu memilih untuk menurut dan berjaga-jaga.

Setelah semua perlengkapannya siap, Yasmine kemudian memesan ojek online untuk mengantarnya ke rumah eyang. Gadis yang memakai jaket beserta celana panjang hitam itu kemudian turun dari kamarnya dengan membawa ransel berisi berlengkapannya.

Gadis itu berjalan keluar rumah, tak lupa mengunci pintu rumahnya dengan membiarkan lampu depannya menyala. Kemudian memilih menunggu ojek pesanannya di depan rumah.


Setelah sekitar 20 menit perjalanan, Yasmine akhirnya sampai di rumah eyang. Ia berjalan tanpa suara, berusaha tidak mengganggu semua orang yang sedang hadir menikmati waktu kekeluargaan bersama. Yasmine mengintip di balik pintu, masih ragu untuk masuk dan bergabung.

Gadis itu masih berdiri di tempatnya. Sembari bersembunyi di balik pintu, Yasmine mengeluarkan ponsel berniat untuk menghubungi sang kakak yang memintanya menyusul. Namun, belum sempat gadis itu menelepon Azriel, ia malah harus mendengar perkataan yang tak mengenakan.

“Jiel nyuruh Yayas ke sini, Eyang. Soalnya kasian dia di rumah sendirian, bahaya. Jiel takut Yayas kenapa-napa karena nggak ada yang jagain.” Yasmine menguping di balik pintu, ia tahu yang barusan bicara adalah kakaknya.

Yasmine mendengar eyang putri berdecak sebal, “Ngapain sih kamu suruh dia ke sini? Biarin aja anak itu di rumah sendirian. Malah bagus dia nggak ikut. Toh, kita dari tadi di sini semua happy tanpa dia.”

“Nggak bisa gitu dong, Eyang. Gimanapun juga Yayas tetep adeknya Jiel, Jiel nggak mau Yayas kenapa-napa. Pokoknya Jiel suruh Yayas ke sini, anaknya mungkin udah di jalan, kalo nanti Eyang nyuruh dia pulang lagi, Jiel juga pulang,” balas Azriel tegas. Yasmine masih mengintip, ia melihat kakaknya itu mulai emosi dan meninggalkan ruang keluarga.

“Emang dasar anak paling nyusahin, udah perempuan sendiri, nyusahin, nggak tau diuntung. Selalu aja bikin orang lain jadi kurang ajar. Selalu bikin Azriel kurang ajar sama saya, bahkan sama ayahnya sendiri. Azriel jadi berani ngelawan gara-gara dia. Biarin aja aturan dia di rumah, toh aku lebih bahagia kalo ngumpulnya begini, nggak ada dia. Lebih terasa kekeluargaannya,” eyang bermonolog.

Yasmine, yang sedari tadi bersembunyi di balik pintu kini merasakan matanya berkaca-kaca. Gadis itu menahan nyeri yang familiar pada dadanya yang kian menusuk. Sudah biasa mendengar hal seperti ini, bukankah harusnya ia terlatih? Tidak, kata-kata yang keluar dari mulut eyang seakan memiliki level menyakitkan yang kian bertambah. Membuat Yasmine selalu tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.

Yasmine memilih berlari menjauh dari rumah eyang. Gadis itu tak ingin bergabung di sana. Sejak awal ia tahu bahwa sendirian di rumah merupakan pilihan yang jauh lebih baik daripada ikut hadir di rumah eyang. Setidaknya walaupun kesepian, tak ada yang menghinanya.

Sembari menangis sesenggukan, Yasmine memilih untuk memberhentikan taksi yang lewat, kemudian kembali pulang ke rumah. Biarlah nanti dirinya memikirkan cara untuk beralasan pada Azriel yang sudah menunggunya di sana.

Satria menuntun Yasmine untuk duduk di salah satu kursi taman yang kosong di bawah sebuah pohon rindang. Setelah duduk, pria itu menunjukkan tautan jemari mereka yang belum terlepas sambil terkekeh.

“Ini udah mau dilepas atau belum?” tanya Satria.

Yasmine gelagapan, dengan segera ia melepas tautan mereka kemudian menunduk malu sembari memegangi tangannya yang tadi ia gunakan untuk bergandengan dengan Satria. Merinding, itu yang Yasmine rasakan. Seperti ada sengatan listrik kecil dalam tubuhnya ketika bersentuhan dengan pemuda itu.

“Nih.” Tiba-tiba Satria menyodorkan selembar tissue ke hadapan Yasmine. Membuat gadis itu mengerutkan alisnya.

“Tangan lo keringetan banget, nih lap dulu,” ucap Satria lagi. Setelah paham maksud pria itu, Yasmine menerima tissue itu kemudian menggunakannya untuk menghilangkan keringat di tangannya.

“Kamu tadi dari mana, Daf? Kok bisa tiba-tiba ada?” tanya Yasmine.

“Abis jalan-jalan aja, soalnya Bang Juna tidur. Gue bosen di rumah.”

Yasmine mengangguk-angguk. “Lo kenapa sendirian di rumah?” tanya Satria balik.

“Pada ke rumah Eyang.”

“Kok lo nggak ikut?”

Yasmine menggeleng, “Enggak ah. Capek.”

“Oohh,” balas Satria tanpa curiga.

“Capek, Daf, nggak dianggep.”

Kening Satria berkerut, “Maksudnya?”

“Hm? Enggakk,” ucap Yasmine, gadis itu menggeleng dengan senyum tanpa beban.

Satria tahu gadis itu hanya mengalihkan pembicaraan. Ia mendengar dengan jelas Yasmine berkata bahwa dirinya lelah menjadi seseorang yang tidak dianggap. Namun, melihat Yasmine yang enggan membahasnya, maka pemuda itu memilih diam dan berpura-pura tidak mendengar apapun.

“Terus lo ngapain Yas di rumah? tanya Satria.

“Nonton Frozen, hehe.”

“Ooh, yang ke-1 atau 2?” tanya Satria.

“Dua-duanyaa! Aku tadi streaming dua-duanyaa,” jawab Yasmine ceria, yang jujur membuat Satria kaget. Gadis itu barusan saja gemetaran, namun berubah menjadi begitu semangat ketika membahas Disney?

“Ohhh, seruan yang kedua ye? Gue juga nonton tau. Elsa-nya cantik banget yang kedua,” ucap Satria.

“Hah, seriusan kamu nonton, Daf?” tanya Yasmine.

“Iya, emang kenapa?”

“ANEHH, aneh banget aja nemuin cowok nonton film Disney, Frozen lagi,” balas Yasmine.

“Nonton guaaaa, di bioskop. Sendirian wakakakak, tau gitu gue ajak lo aja ya, Yas?” ujar Satria.

Yasmine tertawa kecil guna menutupi salah tingkah. “Hehe, iya ya? Aku nonton sama Mamas sih waktu itu. Aku paksa. Tapi dia nggak merhatiin gituu.”

“Terus kamu nonton film Disney yang lain nggak, Daf?” tanya Yasmine.

“Nonton, lah. Gue nonton Coco, Aladdin, Sleeping Beauty, Snow White, banyak.”

Jawaban Satria membuat Yasmine semakin terkejut. “SERIUSAN?! Kamu kok nontonin sihhh?”

Satria tertawa, membuat matanya menyipit dengan sedikit kerutan di sudutnya. “Ya, emang kenapa? Orang gue suka. Emang ada larangannya gitu cowok nggak boleh nonton film Disney?”

“Yaa, enggak sihh. Tapi maksudnya kan jarang gitu, aku aja sering diomelin Mamas. Katanya kayak anak kecil,” balas Yasmine.

“Enggak lah. Emang lo nggak pernah denger never too old for Disney?”

“NAH, IYAKANN!! Aku juga selalu bales gitu kalo Mamas ngomel.”

Satria tertawa, “Kalo mau nonton Disney sama gue aja berarti, Yass.”

“Emang Daffa belom nonton apa?” tanya Yasmine.

“Onwardd, pengen nonton Onward, lo udah nonton?”

“OH IYA ONWARD. Itu juga bagus Daaff, aku udah nonton tapi hehehe. Terus nonton ini deh, Spies in Disguise! Bagusss, lucu banget.”

Satria tidak membalas, pria itu hanya memberikan seluruh atensinya pada Yasmine yang kian menggebu-gebu menceritakan film-film Disney. Dan Satria diam di sana tanpa merasa keberatan. Entah mengapa pria itu merasa ada sesuatu yang menghalangi Yasmine untuk menjadi se-periang ini. Maka ia tak ingin memberi batasan bagi gadis itu hari ini. Yasmine bisa utarakan apapun, Satria akan siap mendengarkan.

“Ah, kalo lo udah nonton semua terus gue nonton apa nanti sama lo?” tanya Satria.

“Ahahahaha, ya kan nanti pasti ada film baruu, Daaaf! Emangnya dia nggak mau produksi film lagi?”

“Iyaa sih, ya udah nanti kalo ada film baru kita nonton bareng,” balas Satria.

“Daffa kenapa suka Disney?”

Satria diam sejenak, menerawang dan mengingat masa kecilnya. “Emang suka nonton sih dari kecil. Dulu Ibu gue ngajarin Bahasa Inggris ke gue pake cara itu. Diajak nonton Disney, terus ikutin lagu-lagunya.”

“Oh iya? Ih, seru banget ya?”

Satria mengangguk yakin. “Lo kenapa suka Disney?”

Yasmine tertegun. Satria tiba-tiba mendapati sorot mata yang tadinya penuh binar itu jadi meredup. Sepertinya ia melontarkan pertanyaan yang salah.

“Eh, kalo nggak mau jawab nggak pa-pa, Yas.”

“Aku suka Disney, sama sih kayak kamu. Dari kecil emang nontonnya itu. Tapi makin gede, aku justru nemu kekuatan untuk lanjutin hidup aku dari sana..”

“K-kok bisa?” tanya Satria kaget.

“Hidup aku nggak seenak keliatannya, Daf. Banyak orang iri karena aku adeknya Mas Jiel. Aku bisa deket sama dia kapanpun, aku bisa disayang Mas Jiel, yang famous, yang hebat banget. Tapi ya gitu, duniaku rasanya isinya cuma Mas Jiel. Nggak ada orang yang bener-bener ngeliat aku, mereka cuma peduli Mas Jiel,” ucap Yasmine. “Ayah aku juga gitu..”

Ucapan terakhir Yasmine membuat Satria menoleh cepat ke arahnya.

“Tapi karena aku nonton Disney, aku jadi selalu percaya kalo hidup aku nanti pasti punya masa magical-nya sendiri. Aku juga bakal hidup happily ever after nanti,” jawab Yasmine lagi.

“Hidup happily ever after-nya sama siapa?” tanya Satria iseng.

“Sama— sama p- IH GITU DEH, MALU!” jawab Yasmine sembari menutupi wajahnya. Membuat Satria menertawai gadis itu.

Sudah pulang sekolah, Dhimas dan Damar pun sudah berganti pakaian. Keduanya kini kembali bertemu sesuai perjanjian, membahas sesuatu di antara mereka sebelum terjadi salah paham. Atau yang lebih parah, rusaknya hubungan persahabatan mereka.

Keduanya kini duduk berhadapan di tempat yang biasa mereka datangi berempat. Namun, meskipun begitu, keduanya sama sekali tak merasa canggung walau kali ini hanya datang berdua. Baik Dhimas maupun Damar, keduanya merasa hal ini harus diluruskan.

“Lo— udah denger yang gue omongin ke Haris, Dhim?” tanya Damar.

Dhimas menyeruput minuman yang ia pesan seraya mengangguk menjawab Damar.

“Sekali lagi, sorry banget, gue nggak bermaksud ngomongin lo di belakang,” ujar Damar lagi. Dhimas menghela napas sembari tersenyum. “Santai aja, gue ngerti kok.”

“Jujur, waktu Revan bilang gitu gue bingung. Sebenernya gue juga nggak mau percaya, tapi tetep aja gue kemakan juga omongannya,” ujar Damar lagi.

Hening sejenak. Damar memilih menjeda bicaranya seraya memainkan jemarinya guna menepis ragu. Haruskah ia tanyakan ini? Bukankah harusnya ia mempercayai Dhimas yang sudah menjadi sahabatnya tanpa ragu?

“Jadi— lo sama Aghniya tuh gimana, Dhim?” tanya Damar. Setelah lewati banyak pertimbangan dan perdebatan dalam dirinya, akhirnya pertanyaan itu keluar juga.

Dhimas menerawang sebelum menjawab, “Hmm. Gue sama Aghni?”

You seem to love her that much,” ucap Damar.

Dhimas terkekeh, “Siapa yang enggak? Revan yang brengsek gitu aja nggak bisa lepas dari Aghni.”

“Serius?” tanya Damar.

Dhimas mengangguk yakin. “Tadi Aghni akhirnya cerita, soalnya waktu itu dia nggak sempet cerita karena gue ngurusin Mama. Waktu lo nemenin dia ngerjain tugas Bahasa, pas lo lagi keluar, Revan sempet cegat dia.”

Damar membelakakkan matanya, “Serius?”

Dhimas mengangguk untuk kesekian kalinya. Membuat rasa bersalah tiba-tiba menyeruak dalam hatinya. Seharusnya ia tidak meninggalkan Aghniya sendirian kala itu. Ingatannya akan mata Aghniya yang berkaca-kaca, membuat Damar lantas menghela napas berat.

“Harusnya gue nggak ninggalin dia waktu itu. Sorry,” ucap Damar.

“Lo nggak salah. Aghni nggak diapa-apain, kok. Revan cuma nanya kenapa Aghni benci sama dia,” balas Dhimas.

“Tapi waktu ketemu gue lagi matanya kayak mau nangis gitu? Beneran nggak diapa-apain?”

Dhimas terkekeh, “Kayak nggak tau omongan Revan aja. Ngeselin.”

“Balik lagi, soal gue sama Aghni,” ucap Dhimas. Damar mengangguk kecil kemudian menyiapkan telinganya untuk mendengar ucapan Dhimas dengan seksama.

“Gue sayang sama Aghni, iyaaaa bisa dibilang begitu. Gue nggak suka dia nangis, gue nggak mau dia kenapa-napa, gue nggak mau dia sakit. Fisiknya, hatinya,” ucap Dhimas.

“Soalnya dia juga gitu sama gue. Keluarganya juga gitu sama gue. That makes us a family. Bukan lovey-dovey kayak yang dibilang orang-orang,” lanjut Dhimas.

“Abis putus dari Revan, Aghni jadi lebih pendiem. Jarang ketawa juga, padahal lo tau kan anaknya se-berisik apa?”

Damar mengangguk menjawab pertanyaan Dhimas. Benar, meskipun belum menjadi teman, Damar selalu mengetahui Aghniya adalah orang yang bicara tanpa henti. Rasanya kalau gadis itu bisa, maka ia akan mengajak ngobrol semua orang di muka bumi.

“Tapi, pas tau gue diem aja juga gara-gara si itu pindah sekolah, dan karena masalah Ayah, Aghniya langsung berisik lagi. Ngajak gue bercanda, ngajak gue ngobrol. Dia sama sekali nggak ngasih gue waktu buat bengong. Gue menyendiri, tapi dia nggak pernah bikin gue merasa sendiri,” ucap Dhimas. “Makanya gue juga sebisa mungkin, nggak membiarkan dia merasa sendirian.”

“Gue beneran dukung lo sama Aghni kok, Dam. Kalian temen gue, gue kenal kalian kayak apa. And i think you guys are really meant for each other.

“Jujur gue nggak pernah tenang kalo tau Aghni kenapa-napa tapi gue nggak bisa nemenin. Tapi waktu gue nggak masuk kemaren, gue bisa tenang,” ujar Dhimas.

“karena gue tau ada lo yang selalu liatin dia dari jauh, Dam,” sambung Dhimas.

Damar yang sedari tadi diam, melirik ke arah Dhimas. Mencari tahu apakah pemuda itu sungguh-sungguh dengan ucapannya.

“Aghni bahagia waktu sama Revan. Tapi, cara dia ngeliat kehadiran lo di hidup dia itu beda sama cara dia ngeliat Revan,” ujar Dhimas lagi.

“Aghniya selalu pengen temenan sama lo sebenernya, haha. Tapi dia ngerti gelagat lo nggak nyaman setiap dia main sama gue atau Ojan Haris. Makanya dia nggak berani reach lo waktu itu.”

“Sebenernya Aghni selalu nanya ke gue, tentang lo. Kenapa lo jutek banget sama dia waktu itu hahahaha. Kadang dia juga suka sebel, katanya lo kalo disapa suka melengos aja. Tapi abis itu dia tetep bilang lo keren. Keren banget. Gue juga nggak ngerti jalan pikirannya, emang aneh,” jelas Dhimas.

Damar mengumbar senyum tipis yang kian merekah. Tak bisa dipungkiri, hatinya berbunga mendengar penuturan Dhimas mengenai Aghniya yang selalu berusaha berinteraksi dengannya.

Pada akhirnya Damar tak lagi menahan senyumnya, pria itu membiarkannya merekah mewakili perasaannya terhadap gadis itu yang kian membuncah.

“Nah, mampus dah lo. Sekarang elu kan yang kena karma. Demen juga kan lo sama temen gue,” ejek Dhimas.

Damar hanya tertawa, “Yaa, gimana yaa. A girl like her is impossible to find..

Dhimas mengangguk, “Setuju.”

“Gue harap abis ini lo nggak bingung lagi ya, Dam? Gue dukung lo sama Aghniya 100%. Karena kalo enggak, dari awal gue nggak akan nitipin topi yang lo pinjem ke dia biar lo berdua nggak temenan,” ucap Dhimas lagi.

Damar tertawa malu, “Oh iya ya anjir! Lo paling berjasa dah! Makasih ya, Dhim. Sumpah makasih banyak! Kalo nggak gara-gara itu gue sama Aghni nggak bakal temenan sih.”

Dhimas tertawa, namun setelahnya berdecak jengkel. “Lo tau nggak? Abis lo ajak temenan, Aghni malemnya telepon gue isinya tereak-tereak doang ngaung-ngaung kayak orang kesurupan.”

“Hah? Serius? Gimana?” Damar penasaran. Pemuda itu bertanya seraya menahan senyumnya.

“Gue baru ngangkat ya kan, belom juga bilang halo, tiba-tiba dia udah 'DHIMAAAAAAASS SUMPAH LO TAU NGGAK SIH HUEEEEEEEEEEEEEEEE HUUUUUUUUU HNGGGGGG GIMANA DONG' gitu,” jawab Dhimas.

Damar lagi-lagi tak bisa menahan senyumnya. Lagi-lagi bahagia mendengar jawaban Dhimas perihal gadis yang mengisi hatinya. Rupanya begini rasanya jatuh cinta. Kini Damar mengerti alasan dibalik setiap rona yang muncul di pipi ibu ketika ia bercerita perihal bapak yang menanyakan keberadaan ibu. Pula, Damar mengerti alasan dibalik setiap gelagat bapak yang salah tingkah tiap kali melihat ibu selesai berdandan untuk menghadiri sebuah acara.

Damar mengerti rasanya jatuh cinta. Dan pria itu bersyukur dirinya jatuh pada seorang yang diciptakan Tuhan dengan begitu indah. Parasnya, lakunya, serta hatinya.

“Mingkem!” titah Dhimas pada Damar yang tak henti-hentinya tersenyum lebar hingga lesung pipinya terlihat sempurna, pun deretan giginya yang rapi.

“Nyengir aja lo! Salting lo jelek!” ujar Dhimas lagi. Sementara Damar merapatkan bibirnya. Kemudian mendelik tak suka. “Sirik aja lo!”

Keduanya kini terdiam. Dhimas menghela napas lega. “Dam, bareng ya?”

“Apaan?”

“Jagain Aghni.”

Damar tertegun sesaat. Kemudian mengulas senyuman tipis di wajahnya sebelum mengangguk yakin. “Pasti.”

“Kalo nggak dijagain gue ngeri makin bececeran,” canda Dhimas.

“Apanya?” tanya Damar.

“Otaknya, hahahaha,” balas Dhimas. Kemudian keduanya tergelak bersama.

Setelah gelak tawa keduanya reda, Dhimas kembali berucap.

“Dam, deal ya? Jagain Aghni bareng-bareng.”

Deal.”

“Nah, sakit perut tujuh turunan lo kalo boong sama gue,” ucap Dhimas yang kemudian dibalas gelak tawa Damar.

Namun, keduanya tetap berjabat tangan. Sebagai teman yang baru saja hindari kesalahpahaman, sebagai teman yang baru saja hilangkan keraguan dan pemicu pertengkaran.

Juga sebagai sepasang sayap pelindung untuk bidadari yang layak untuk keduanya jaga.

Sudah pulang sekolah, Dhimas dan Damar pun sudah berganti pakaian. Keduanya kini kembali bertemu sesuai perjanjian, membahas sesuatu di antara mereka sebelum terjadi salah paham. Atau yang lebih parah, rusaknya hubungan persahabatan mereka.

Keduanya kini duduk berhadapan di tempat yang biasa mereka datangi berempat. Namun, meskipun begitu, keduanya sama sekali tak merasa canggung walau kali ini hanya datang berdua. Baik Dhimas maupun Damar, keduanya merasa hal ini harus diluruskan.

“Lo— udah denger yang gue omongin ke Haris, Dhim?” tanya Damar.

Dhimas menyeruput minuman yang ia pesan seraya mengangguk menjawab Damar.

“Sekali lagi, sorry banget, gue nggak bermaksud ngomongin lo di belakang,” ujar Damar lagi. Dhimas menghela napas sembari tersenyum. “Santai aja, gue ngerti kok.”

“Jujur, waktu Revan bilang gitu gue bingung. Sebenernya gue juga nggak mau percaya, tapi tetep aja gue kemakan juga omongannya,” ujar Damar lagi.

Hening sejenak. Damar memilih menjeda bicaranya seraya memainkan jemarinya guna menepis ragu. Haruskah ia tanyakan ini? Bukankah harusnya ia mempercayai Dhimas yang sudah menjadi sahabatnya tanpa ragu?

“Jadi— lo sama Aghniya tuh gimana, Dhim?” tanya Damar. Setelah lewati banyak pertimbangan dan perdebatan dalam dirinya, akhirnya pertanyaan itu keluar juga.

Dhimas menerawang sebelum menjawab, “Hmm. Gue sama Aghni?”

You seem to love her that much,” ucap Damar.

Dhimas terkekeh, “Siapa yang enggak? Revan yang brengsek gitu aja nggak bisa lepas dari Aghni.”

“Serius?” tanya Damar.

Dhimas mengangguk yakin. “Tadi Aghni akhirnya cerita, soalnya waktu itu dia nggak sempet cerita karena gue ngurusin Mama. Waktu lo nemenin dia ngerjain tugas Bahasa, pas lo lagi keluar, Revan sempet cegat dia.”

Damar membelakakkan matanya, “Serius?”

Dhimas mengangguk untuk kesekian kalinya. Membuat rasa bersalah tiba-tiba menyeruak dalam hatinya. Seharusnya ia tidak meninggalkan Aghniya sendirian kala itu. Ingatannya akan mata Aghniya yang berkaca-kaca, membuat Damar lantas menghela napas berat.

“Harusnya gue nggak ninggalin dia waktu itu. Sorry,” ucap Damar.

“Lo nggak salah. Aghni nggak diapa-apain, kok. Revan cuma nanya kenapa Aghni benci sama dia,” balas Dhimas.

“Tapi waktu ketemu gue lagi matanya kayak mau nangis gitu? Beneran nggak diapa-apain?”

Dhimas terkekeh, “Kayak nggak tau omongan Revan aja. Ngeselin.”

“Balik lagi, soal gue sama Aghni,” ucap Dhimas. Damar mengangguk kecil kemudian menyiapkan telinganya untuk mendengar ucapan Dhimas dengan seksama.

“Gue sayang sama Aghni, iyaaaa bisa dibilang begitu. Gue nggak suka dia nangis, gue nggak mau dia kenapa-napa, gue nggak mau dia sakit. Fisiknya, hatinya,” ucap Dhimas.

“Soalnya dia juga gitu sama gue. Keluarganya juga gitu sama gue. That makes us a family. Bukan lovey-dovey kayak yang dibilang orang-orang,” lanjut Dhimas.

“Abis putus dari Revan, Aghni jadi lebih pendiem. Jarang ketawa juga, padahal lo tau kan anaknya se-berisik apa?”

Damar mengangguk menjawab pertanyaan Dhimas. Benar, meskipun belum menjadi teman, Damar selalu mengetahui Aghniya adalah orang yang bicara tanpa henti. Rasanya kalau gadis itu bisa, maka ia akan mengajak ngobrol semua orang di muka bumi.

“Tapi, pas tau gue diem aja juga gara-gara si itu pindah sekolah, dan karena masalah Ayah, Aghniya langsung berisik lagi. Ngajak gue bercanda, ngajak gue ngobrol. Dia sama sekali nggak ngasih gue waktu buat bengong. Gue menyendiri, tapi dia nggak pernah bikin gue merasa sendiri,” ucap Dhimas. “Makanya gue juga sebisa mungkin, nggak membiarkan dia merasa sendirian.”

“Gue beneran dukung lo sama Aghni kok, Dam. Kalian temen gue, gue kenal kalian kayak apa. And i think you guys are really meant for each other.

“Jujur gue nggak pernah tenang kalo tau Aghni kenapa-napa tapi gue nggak bisa nemenin. Tapi waktu gue nggak masuk kemaren, gue bisa tenang,” ujar Dhimas.

“karena gue tau ada lo yang selalu liatin dia dari jauh, Dam,” sambung Dhimas.

Damar yang sedari tadi diam, melirik ke arah Dhimas. Mencari tahu apakah pemuda itu sungguh-sungguh dengan ucapannya.

“Aghni bahagia waktu sama Revan. Tapi, cara dia ngeliat kehadiran lo di hidup dia itu beda sama cara dia ngeliat Revan,” ujar Dhimas lagi.

“Aghniya selalu pengen temenan sama lo sebenernya, haha. Tapi dia ngerti gelagat lo nggak nyaman setiap dia main sama gue atau Ojan Haris. Makanya dia nggak berani reach lo waktu itu.”

“Sebenernya Aghni selalu nanya ke gue, tentang lo. Kenapa lo jutek banget sama dia waktu itu hahahaha. Kadang dia juga suka sebel, katanya lo kalo disapa suka melengos aja. Tapi abis itu dia tetep bilang lo keren. Keren banget. Gue juga nggak ngerti jalan pikirannya, emang aneh,” jelas Dhimas.

Damar mengumbar senyum tipis yang kian merekah. Tak bisa dipungkiri, hatinya berbunga mendengar penuturan Dhimas mengenai Aghniya yang selalu berusaha berinteraksi dengannya.

Pada akhirnya Damar tak lagi menahan senyumnya, pria itu membiarkannya merekah mewakili perasaannya terhadap gadis itu yang kian membuncah.

“Nah, mampus dah lo. Sekarang elu kan yang kena karma. Demen juga kan lo sama temen gue,” ejek Dhimas.

Damar hanya tertawa, “Yaa, gimana yaa. A girl like her is impossible to find..

Dhimas mengangguk, “Setuju.”

“Gue harap abis ini lo nggak bingung lagi ya, Dam? Gue dukung lo sama Aghniya 100%. Karena kalo enggak, dari awal gue nggak akan nitipin topi yang lo pinjem ke dia biar lo berdua nggak temenan,” ucap Dhimas lagi.

Damar tertawa malu, “Oh iya ya anjir! Lo paling berjasa dah! Makasih ya, Dhim. Sumpah makasih banyak! Kalo nggak gara-gara itu gue sama Aghni nggak bakal temenan sih.”

Dhimas tertawa, namun setelahnya berdecak jengkel. “Lo tau nggak? Abis lo ajak temenan, Aghni malemnya telepon gue isinya tereak-tereak doang ngaung-ngaung kayak orang kesurupan.”

“Hah? Serius? Gimana?” Damar penasaran. Pemuda itu bertanya seraya menahan senyumnya.

“Gue baru ngangkat ya kan, belom juga bilang halo, tiba-tiba dia udah 'DHIMAAAAAAASS SUMPAH LO TAU NGGAK SIH HUEEEEEEEEEEEEEEEE HUUUUUUUUU HNGGGGGG GIMANA DONG' gitu,” jawab Dhimas.

Damar lagi-lagi tak bisa menahan senyumnya. Lagi-lagi bahagia mendengar jawaban Dhimas perihal gadis yang mengisi hatinya. Rupanya begini rasanya jatuh cinta. Kini Damar mengerti alasan dibalik setiap rona yang muncul di pipi ibu ketika ia bercerita perihal bapak yang menanyakan keberadaan ibu. Pula, Damar mengerti alasan dibalik setiap gelagat bapak yang salah tingkah tiap kali melihat ibu selesai berdandan untuk menghadiri sebuah acara.

Damar mengerti rasanya jatuh cinta. Dan pria itu bersyukur dirinya jatuh pada seorang yang diciptakan Tuhan dengan begitu indah. Parasnya, lakunya, serta hatinya.

“Mingkem!” titah Dhimas pada Damar yang tak henti-hentinya tersenyum lebar hingga lesung pipinya terlihat sempurna, pun deretan giginya yang rapi.

“Nyengir aja lo! Salting lo jelek!” ujar Dhimas lagi. Sementara Damar merapatkan bibirnya. Kemudian mendelik tak suka. “Sirik aja lo!”

Keduanya kini terdiam. Dhimas menghela napas lega. “Dam, bareng ya?”

“Apaan?”

“Jagain Aghni.”

Damar tertegun sesaat. Kemudian mengulas senyuman tipis di wajahnya sebelum mengangguk yakin. “Pasti.”

“Kalo nggak dijagain gue ngeri makin bececeran,” canda Dhimas.

“Apanya?” tanya Damar.

“Otaknya, hahahaha,” balas Dhimas. Kemudian keduanya tergelak bersama.

Setelah gelak tawa keduanya reda, Dhimas kembali berucap.

“Dam, deal ya? Jagain Aghni bareng-bareng.”

Deal.”

“Nah, sakit perut tujuh turunan lo kalo boong sama gue,” ucap Dhimas yang kemudian dibalas gelak tawa Damar.

Namun, keduanya tetap berjabat tangan. Sebagai teman yang baru saja hindari kesalahpahaman, sebagai teman yang baru saja hilangkan keraguan dan pemicu pertengkaran.

Juga sebagai dua sayap pelindung untuk bidadari yang layak untuk keduanya jaga.

Damar dan Dhimas sampai ke kantin sedikit terlambat. Karena sesampainya mereka di sana, teman-temannya termasuk Aghniya dan Ayesha sudah memiliki makanan dan minuman masing-masing untuk dieksekusi. Keduanya tersenyum melihat satu meja kantin yang hanya dipenuhi teman-temannya.

“Woi, buset rame amat dah lo pada!” ucap Dhimas. “Tau, ngapain sih?” Damar ikut penasaran.

“INI NIH! Aghniya bocah banget anjir dari tadi,” balas Ojan.

“Baru tau lo?” tanya Dhimas sambil terkekeh. Pria itu kemudian mengambil posisi di hadapan Ayesha. Sengaja agar Damar dapat duduk di hadapan Aghniya. “Duduk, Dam.”

Ucapan Dhimas membuat Damar tersadar dan segera mengambil tempat di hadapan gadis yang masih belum selesai tertawa itu.

“Aduh, kasian. Haris dibuang terus kenapa sih ya Allah capek,” ucap Aghniya. Gadis itu mengusap air matanya yang turun karena terlalu banyak tertawa.

“Kenapa kenapa, eluuu yang buang gue! Gue mulu yang kena!” balas Haris tidak terima.

“Apa sih buang apa?” tanya Damar bingung.

“Buang, Daam. Yang beda sendiri dibuang,” jawab Dhimas mewakili. Tentu saja ia menjawab berdasarkan pengalamannya.

“Haris jangan emosi dongg, kita jadi manusia harus berani beda tau,” ucap Aghniya.

“Berani guaaa! Tapi kalo dibuang gitu orang jadi bete nggak sihh?” balas Haris.

“Enggak, Ojan nggak bete ya Jan waktu dibuang? Lo bete Sha?” tanya Aghniya pada Ojan dan Ayesha. Serempak keduanya menjawab dengan gelengan, turut serta menjahili Haris.

“Nohh, enggak! Lo emosian sih, Ris. Nggak boleh gitu tau nanti cepet tua luu!” ujar Aghniya lagi.

“Tau marah-marah mulu ye, Agh? Kayak kakek-kakek,” sambung Ojan.

“Iya ih emang.”

“TERUS AJA TERUUUUS! GUA MULU GUAAA!” ucap Haris jengkel. Membuat tawa Ayesha, Aghniya, dan Ojan semakin keras.

“Itu Dam temen lu Dam emosian ih, dari tadi kita dimarahin mulu ya Jan, ya?” adu Ayesha pada Damar.

“EH, lo kandangin tuh temen lo! Bawa jauh-jauh!” ucap Haris sebal. Sementara Ayesha hanya tertawa bersama Aghniya di tempatnya.

“Udah Ris, udah. Tahan, tahan! Semua bisa dibicarakan baik-baik. Tenang tenang! DHIMAS DHIMAS MONITOR DHIMAS!” ucap Ojan yang tiba-tiba heboh. Ia bahkan menoyor bahu Dhimas hingga lelaki itu terhuyung. Dhimas hampir saja jatuh jika tidak berpegangan pada pundak Damar di sebelahnya.

“Anjing! Goblok, Ojan! Gue mau jatoh, anjir!” ucap Dhimas.

“Oh sorry, sorry sorry! EH GIMANA AYO BANGKIT DONG INI KLIEN KITA GIMANA NIH? Monitor monitor!” balas Ojan, masih dengan perannya. Mendengar penuturan Ojan, Dhimas akhirnya ikut andil. Keduanya bersemangat memerankan kru sebuah acara yang bertujuan memisahkan hubungan sepasang kekasih yang biasa tayang di TV. Sementara Haris terpaksa menjadi klien yang harus ditangani.

“Dah, duduk dulu Ris, tenang, tenang. Coba lo cerita gimana sebenernya hubungan lo sama dia?” tanya Ojan, botol minum yang terisi tinggal setengah itu ia jadikan mik guna mewawancarai Haris.

Btw, siapa nih nama cewek sebenernya?” tanya Dhimas.

“Juleha,” jawab Haris. Membuat Aghniya dan Ayesha tertawa tanpa suara. Namun, bahu kanan dan kiri kedua gadis itu sudah bergetar hebat akibat menahan tawa.

“Oke, coba ceritain gimana hubungan lo sama Juleha!” ujar Ojan.

“Gue sama dia sebenernya baru ketemu hari ini. Cinta pandangan pertama, tapi gue yakin banget sama dia. Terus akhirnya, gue ajak pacaran. Tapi baru sepuluh menit pacaran dia udah selingkuh, ngebuang gue gitu aja..” Haris mulai bercerita asal.

“Bentar, mohon maap Bapak-Bapak, ini mah kliennya yang bodoh nggak sih? Baru ketemu ngapain langsung ngajak pacaran?” tanya Aghniya.

“TAU ANJIR! Orang mah baru ketemu tuh ngajak kenalaaaan, ngajak ngobrool, ini ngajak pacaran, mana cuma sepuluh menit doang lagi abis itu diselingkuhin,” Ayesha ikut menimpali.

Haris tertawa kecil, merutuki cerita yang ia buat sendiri. Tetapi ketika dirinya ingin mengklarifikasi dan melanjutkan peran, Dhimas dan Ojan sudah lebih dulu bicara.

“Iya ya? IYA DAH, AAAAAH UDAH LAH! Harusnya tuh lo mikir dong! Baru kenal ngapain lo ajak pacaran?! Ya pantes aja dibuang nggak jelas lo Ris aaaaah, buang-buang waktu nih klien begini nih!” ucap Ojan seraya mendorong tubuh Haris.

“Taaau nih, ngerugiin kita aja! Besok-besok cari klien yang pinteran dikit lah, Jan! Yang masalahnya rumit dikit gitu,” balas Dhimas.

“Iya, besok saya cari yang rumit dah! Kayak ini ya, misalnya cowoknya suka sama ceweknya, tapi ceweknya pindah sekolah nyusulin pacar aslinya. Gitu nggak sih?” ujar Ojan.

“ANJ— LO PULANG LEWAT MANA LO ANJ, GUE TEBAS PALAK LO YA!” balas Dhimas kesal. Ujung-ujungnya tetap dirinya yang kena.

“Ampun, damaaaai, damaai. Kita mah kan cinta damaaai, betul apa benul? Rispek, Brader, rispek!” ucap Ojan.

Haris ikut tertawa, pemuda itu sampai menepuk pahanya sendiri. “JHAHAHAH, Apaaa anjir rispek?!”

“Haris pekok,” jawab Dhimas. “BHAHAHAHAHAH, IYA ANJIR KOK BISA PAS GITU YA RISPEK HARIS PEKOK?!” balas Ojan heboh.

“Ah, anjir. Salah emang gue temenan sama lo semua,” balas Haris.

Damar yang sedari tadi hanya menyimak seraya mengeluarkan sedikit tawanya, kini akhirnya bersuara. “Eh, mending lo semua duduk deh,” ucapnya pada ketiga teman lelakinya yang berulah sejak tadi.

“gue malu anjir dari tadi nontonnya,” lanjut Damar.

Ketiganya cengegesan, “Naah, Pak Ustad sudah berbicara berarti ini alarm. Mending kita udahan sebelum kita kena slepet sarung sakti,” ucap Dhimas.

“Gue nggak ikutan Dam, sumpah. Ni dua anak ini nih,” timpal Haris.

“Bener, udah udah. Duduk, duduk. Ampun ya, Pak. EH INI ADA EMAK GUE DI SINI OMG KELUARGAKU,” ucap Ojan heboh.

“Ojan?”

“Iya, Pak, ampun,” balas Ojan lagi. Kini ia benar-benar menutup mulutnya, tak lupa memperagakan gerakan mengunci mulutnya dengan gembok kemudian membuang kuncinya jauh-jauh.

Damar melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang kelas yang menjadi ruang kelas paling ramai saat itu. Entah karena penghuninya sangat ramah atau bagaimana, kelas 11 MIPA 2 selalu ramai pendatang dari kelas lain. Termasuk teman-teman Damar.

Damar celingak-celinguk mencari kawanannya. Pria itu tak memerlukan waktu lama untuk menemukan mereka, mengingat mereka semua berkumpul di meja Aghniya dan Dhimas yang memang berada di tengah-tengah kelas.

Kemudian dengan langkah pasti Damar menghampiri teman-temannya, menepuk pundak Haris dan menyempil di antara mereka semua.

“Waduh, bubar, bubar! Ada Damar, udahan yuk udahan!” canda Ojan yang mendapat kekehan Haris.

“Hajar, Dam, hajaaaaar,” Ayesha mengompori.

“Hajar, Daam, tadi katanya Ojan nggak mau temenan sama Damar soalnya Damar nggak jelas. Parah, Dam, hajaaar!” timpal Aghniya.

“Nah, inilah, Sobat, wanita-wanita pembawa kayu bakar,” balas Ojan dengan nada pasrah.

“EH SEMBARANGAN GUE GATAK LO!” balas Aghniya tidak terima. Sementara Ojan hanya tertawa. “Ya, bener laah, penebar fitnatun!” balas Ojan lagi.

“Fitnatun mah yang nyanyi bolo-bolo!” canda Haris.

“Tina Toon. Kurang, Ris, kurang dikit lagi candaan lu. Semangat, ya!” balas Dhimas sambil menepuk-nepuk bahu haris.

“Lo dari mana dah, Dam?” tanya Dhimas.

“Eluu pada yang ke mana! Gue bilang mau turun katanya tadi mau nyusul turun juga, nyamper Dhimas malah mangkal di sini lo berdua?” ujar Damar pada Haris dan Ojan. Sementara yang ditunjuk hanya pamer gigi, terkekeh geli setelah meninggalkan Damar sendirian.

“Gue jadi ketemu Pak Indra, digunting nih rambut gue. Jadi jelek anjir sebel,” balas Damar.

“Hah digunting beneran? Mana, Dam?” tanya Aghniya.

“Ini poni gue jadi nggak rata begini,” balas Damar.

“LAH IYA HAHAHAHA, modelnya jadi kayak mangkok dah, tapi nggak rataaa hahahaha.”

“Iya nih ah sebel, nanti cukur dah,” ujar Damar lagi.

“Eh ini istirahat kapan sih?” tanya Haris. Perutnya mulai keroncongan lantaran belum sarapan. Niatnya tadi adalah mengajak Dhimas, kemudian turun ke kantin bersama Damar. Memanfaatkan jam kosong untuk mengisi perut, karena pasti kantin sepi dan mereka bisa dengan bebas bersantai di sana.

“Bentar lagi juga bunyi belnya,” jawab Ayesha. Benar saja, setelah Ayesha selesai bicara, bel tanda istirahat berbunyi.

“Nah, kan. Apa gue bilang. Ayo, Met, turun nggak?” ucap Ayesha. Gadis itu sudah berdiri sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku rok miliknya.

“Ayo, turun lah. Mau jajan,” balas Aghniya. “Haris mau turun juga? Ojan mau turun juga? Dhimas mau turun juga? Damar mau turun juga?” tanya Aghniya sambil menunjuk satu-satu teman laki-lakinya.

Membuat Damar terkekeh geli, “Harus banget ditanyain satu-satu gitu ya?”

Gadis itu menyengir, lalu mengangguk yakin. “Oh, iya dong. Biar lebih personal gitu.”

“Boong, Dam. Emang anaknya bawel aja berisik,” balas Ayesha yang dibalas lirikan tidak terima oleh Aghniya.

“Turun, turun. Gue turun,” jawab Haris.

“Gue juga Agh, ayo lah bareng aja,” ajak Ojan yang kemudian disetujui oleh Aghniya dan Ayesha.

Akhirnya keenam muda-mudi itu mulai berjalan menuju kantin. Sementara Ayesha, Aghniya, Haris, dan Ojan sudah berjalan lebih dulu dengan semangat, Damar dan Dhimas memilih melangkah pelan. Membiarkan diri mereka tertinggal di belakang.

Dhimas melirik Damar sekilas, “Dam.”

Damar hanya menoleh dan menjawab panggilan Dhimas dengan sebelah alis terangkat.

“Gue udah denger yang lo ceritain ke Haris semalem,” ucap Dhimas lagi.

Damar menunduk, menatap sepatunya yang kini silih berganti mengambil posisi untuk membantunya berpindah tempat. Setelahnya pemuda itu mengangguk.

Sorry, nggak bermaksud ngomongin lo di belakang. Gue bingung aja dari kemaren.”

“Nanti lo ada waktu? Kita harus omongin ini cepet-cepet. Dari pada nanti kita yang salah paham karena omongan nggak jelas-nya Revan atau siapapun itu,” balas Dhimas.

“Ada. Tapi lo nggak pa-pa ngobrol dulu sama gue? Lo mau ke rumah sakit kan?”

Dhimas menggeleng dengan senyuman kecil di wajahnya, menunjukkan bahwa dirinya tak keberatan. “Santai. Tapi nanti gue balik dulu, ganti baju. Biar sekalian langsung ke rumah sakit kalo udah kelar.”

“Ya udah, gue juga balik dulu kalo gitu. Ketemuan di tempat biasa aja deh,” balas Damar.

“Ya udah. Ayo turun dulu dah, nanti keburu masuk.

“Dua! Ah goblok ngapain lo angkat juga tai!” kesal Dhimas. Aghniya hanya tertawa penuh kemenangan.

“Ya lagian tolol banget ini masi rame orang nebak jempol dua doang begimana ceritanya anjir?” sahut Ojan.

Remaja-remaja itu sedang dilanda jam kosong yang mana merupakan waktu favorit semua orang. Ada yang sudah terlelap di lantai kelas atau di kursinya sendiri, ada yang dengan lahap menyantap bekal makan yang dibawa dari rumah, ada yang sibuk bermain game di ponselnya, ada juga yang membuat kelas berisik dengan membuat persekutuan dengan kelas lain seperti Aghniya dan Dhimas.

Aghniya dan Dhimas awalnya bermain berdua seperti biasa. Keduanya memainkan permainan tebak jempol. Hingga tiba-tiba Ojan dan Haris datang, maksud hati ingin mengajak Dhimas turun menyusul Damar. Namun, kedua oknum itu malah ikut bermain. Kemudian disusul Ayesha yang ikut bermain pula. Jadilah mereka semua melingkar dan saling mengumpatkan kekesalan selama permainan berlangsung. Sesekali permukaan meja tak bersalah pun kena pukul.

“Gue ya?” tanya Haris.

“Hoohh, buruan!” jawab Dhimas.

Haris memandangi jempol teman-temannya. Ada yang sudah tersisa satu, ada pula yang masih utuh. Dengan serius Haris menerka-nerka, memprediksi berapa jumlah jempol yang akan terangkat. Setelah beberapa detik, Haris berucap dengan nada mengagetkan.

“Tujuh!” ucap Haris. Jempol-jempol itu terangkat.

“Tahan, tahan! Gua aja yang ngitung sendiri— eh lo diem anjir Dhim!” ucap Haris lalu mulai menghitung jempol dengan seksama.

“Lima, enam, tujuh, ADUH ANJIR AGHNIYAAAA LO NGAPAIN IKUTAN!” ucap Haris frustasi. Tebakannya nyaris benar. Jika Aghniya tidak ikut mengangkat jempolnya yang tersisa satu itu, maka Haris otomatis memenangkan pertandingan karena jempol pemuda itu juga tersisa satu.

Aghniya hanya tertawa-tawa tanpa merasa bersalah. “Nggak tau gue iseng aja, Ris, hahahaha. Nggak jadi menang lu ya? Kesian.”

“HAHAHAHA, MAKASI MAK YA ALLAH GUE NGGAK RELA HARIS MENANG!” sambar Ojan. Haris masih mengerang frustasi, geregetan.

“Mana lagi dong siapa sekarang?” tanya Ayesha.

“Ojan tuh Ojan,” jawab Aghniya.

“HOKEH! Bismillah nih tebakan gue mujur,” Ojan mengambil ancang-ancang.

“Lima! YES! MANTAP KAWANNN!”

“Ah elah bener lagi,” ucap Haris tak terima.

“Eh, Anda kok nggak menerima kekalahan?” balas Ojan. “Jangan begitu, Kawann! Kita nih kawan bukan lawan. Jangan terlalu berambisi gitu lah!” sambung Ojan.

“Najis geli banget Ojan?” ucap Ayesha geli.

“TAU DAH JAMET BENER BAHASA LO!” Aghniya menimpali.

“Udeh kek ini tau nggak lo, bahasa-bahasa jamet yang biasa buat video editor berkelas,” balas Ayesha lagi.

“EH, BENER BANGET LAGI HAHAHAHA,” sahut Aghniya.

“Lah lo nggak tau Sha? Itu yang ngajarin editor berkelas Ojan, anjir. Ojan master-nya,” ucap Dhimas.

“Eh, sembarangan lo Dhim! Ojan ntar kalo lulus kuliah gelarnya S.Pd, anjir!” balas Haris membela Ojan.

“Tau lo, Dhim. Jadi temen tuh kayak Haris, neeh. Ni baru temen gue ni!” Ojan menanggapi.

“Emang mau jadi guru, Jan?” tanya Aghniya.

Ojan menggeleng sambil tertawa, “Kagak, sih, hahaha.”

“Terus kenapa S.Pd?” tanya Ayesha bingung.

“Auk, kenape Ris?” kini Ojan bertanya pada Haris.

“Sarjana Pakcepak jeDer,” jawab Haris singkat namun membuat lingkaran mereka jauh lebih ramai karena semua personelnya tertawa keras.

“Yah, goblok juga lo, Ris!” ucap Ojan kesal.

Sambil tertawa, Haris menjawab. “Lah, cita-cita lo DJ kan? Ntar lo nge-dj dah tuh, aduaduaduaduu~”

“HARIS NGGAK COCOK BANGET ANJIR BEGITU!” ucap Ayesha heboh.

“ENGGAK MAKSUDNYA KAN SUARA DIA TUH BERAT YA, MACO BANGET NIH, terus tiba-tiba aduaduaduadu tuh kayak 'HIH NGGAK USAH DEHHH!' GIIITUUU,” sambung Ayesha lagi.

“Dih lo nggak tau aja, Shaa. Haris kan kalo malem mangkal tau berdua Dhimas. Haris kalo siang aja namanya Haris, kalo malem berubah,” Ojan membalas Ayesha.

“Kalo malem jadi apa?” tanya Aghniya ketika tawanya mereda.

“Jadi 'Ayis,” sahut Ojan dengan suara diimut-imutkan. Membuat tawa Aghniya dan Ayesha menjadi semakin keras.

“Dhimas kalo malem jadi apa?” kini giliran Ayesha yang bertanya.

“Jadi Imashh,” sahut Ojan lagi, masih dengan suara yang diimut-imutkan.

“Geli nggak sih lo, Ris? Kapan-kapan kalo dia tidur kita geret kita buang aja lah ke sebelah,” ucap Dhimas.

“Ngapain kapan-kapan? Sekarang aja lah yuk, lo pala gue kaki. Kita gotong!” balas Haris.

“Ayok!” ucap Dhimas kemudian berpura-pura bangkit untuk benar-benar menghajar Ojan bersama dengan Haris.

“JANGAN ANJIR! AMPUN, AMPUN! GUE MASIH MAU HIDUP!!”

Hari itu, pada waktu yang senggang kala itu, semuanya berperan. Semua dalam lingkaran itu berperan. Membagi kebahagiaan dan bertukar tawa satu sama lain. Semuanya berperan, menghibur Dhimas yang baru kembali lewati hari-hari berat. Dan pemuda itu tahu, memang akan terasa jauh lebih baik jika bersama semua temannya.

Dhimas tak lagi merasa sendiri. Sebaliknya, pada waktu senggang ini, pada waktu yang kosong ini, Dhimas merasa lengkap.