Asar
Sepulang sekolah, Damar sudah menunggu di depan kelas Aghniya. Pria itu bersandar pada teralis balkon sekolahnya. Sesekali melempar senyum dan salam pada guru yang ingin kembali ke ruangan lantaran sudah selesai mengajar.
Damar setengah terkejut ketika mendengar seisi kelas Aghniya mengucap salam pada guru mata pelajaran terakhir. Kemudian ia kembali mengumbar senyum dan tundukan hormat pada guru yang baru saja keluar dari kelas gadis itu.
Tak lama setelahnya Damar menangkap Aghniya dengan penglihatannya. Gadis itu tengah merapikan rambutnya dengan mengikatnya ulang menjadi ponytail rendah. Cantik, pikirnya. Senyuman sangat tipis di sudut bibirnya mewakili suaranya yang terpendam.
Matanya tak lepas dari gadis itu. Aghniya yang sesekali memukul Dhimas yang mencoba mengganggunya membereskan buku. Sesekali tersenyum ramah pada temannya yang mengembalikan barang pinjaman. Hingga akhirnya Aghniya keluar kelas setelah beberapa saat. Matanya sedikit melebar dengan pancaran binar yang membuatnya semakin menggemaskan.
“Halooo! Udah di sini aja, Masnya.”
Damar terkekeh, “Dari tadi. Kelas gue keluar duluan.”
“Hah serius? Lama dongg?”
“Nggak pa-pa. Bentar lagi Asar, salat dulu ya?” ujar Damar.
“Iyaaa. Azan jam berapa emang?” tanya Aghniya.
“Lima menit lagi, turun aja, yuk?”
“Weh Kodamar!” panggil Dhimas. Damar hanya mengangkat sebelah alisnya menjawab Dhimas. “Salat di sini?”
“Iya, orang bentar lagi juga. Ntar gue nyampe parkiran azan kan gimane gitu,” balas Damar.
Setelahnya ketiga remaja itu memutuskan untuk segera ke masjid sekolah kemudian menunggu beberapa saat. Namun, setelah waktu azan tiba rupanya hanya ada segelintir orang yang hadir di sana.
“Azan, Dam!” titah Dhimas.
“Kok gue sih?”
“Buruaaan, lo azan gue qomat,” balas Dhimas. “Jangan kabur lo ya! Biasanya ngomong gitu abis itu wudhu-nya dientar-ntarin, giliran disuruh qomat malah kabur,” kesal Damar.
“Iyeee, buru ah. Ngambek muluu kek bocah,” balas Dhimas.
Pada akhirnya pemuda itu mengumandangkan azan dengan suaranya yang merdu. Membuat seorang gadis yang sedaritadi bermain ponsel itu tercengang. Suara Damar tersimpan di luar kepala. Tanpa perlu menoleh dan melirik wujudnya, Aghniya tahu ini suara Damar.
“Masya Allah, ya Allah, astaghfirullah...“
Damar menyelesaikan kumandang azan-nya dengan baik, sangat baik. Sembari Aghniya merapikan hatinya yang berantakan akibat suara halus Damar, gadis itu membaca doa setelah azan.
Gadis itu baru saja ingin bangkit dan mengambil wudhu, namun sebelum sempat berjalan, ia menangkap Damar yang mengintip dibalik celah tirai yang membatasi jamaah lelaki dan perempuan.
Pria itu tersenyum kemudian bicara pelan pada Aghniya yang memang duduk di saf paling depan, dekat dengan tirai pembatas. “Kirain tidur, nggak ada suaranya.”
Aghniya tersenyum sebelum membalas dengan suara yang sama pelannya, “Nggak lah!”
Seusai salat, Aghniya memakai sepatunya. Sesekali melirik ke arah kumpulan laki-laki, mencari keberadaan Damar yang kemudian dengan mudah gadis itu temukan. Pemuda itu bahkan belum memakai sepatunya, masih asik bercanda dengan Dhimas serta adik kelas yang tiba-tiba menyapanya.
Setelah selesai dengan urusannya, Damar melirik Aghniya. Tatapan keduanya bertemu, kemudian Damar memberi isyarat ajakan untuk segera bergegas yang kemudian Aghniya jawab dengan anggukan.
Gadis itu berjalan lebih dulu, melalui Damar dan gerombolan laki-laki itu. Berpura-pura tidak ada urusan dengan Damar.
“Duluan, yaa! Duluan, Dhim!” pamit Damar. Pria itu meraih ranselnya asal. Setelah langkahnya sejajar dengan gadis yang disusulnya, Damar menegurnya. “Tungguin kali.”
Aghniya menoleh lalu tertawa. Setelahnya keduanya berjalan beriringan menuju parkiran seraya menahan degup jantung masing-masing yang kian berubah tempo menjadi dua kali lebih cepat.